BAB II LATAR BELAKANG DILAKUKANNYA PERJANJIAN KAWIN SEBELUM NIKAH
A. Harta Benda Dalam Perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang harta perkawinan dalam Pasal 35, 36 dan 37 yaitu harta bawaan, harta bersama calon suami isteri dan bila terjadi perceraian, harta diatur menurut hukumnya masingmasing, ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Maka dari itu suami tidak dapat mempergunakan atau memakai harta milik calon isteri dan sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasarkan atas perjanjian pinjam meminjam antara suami dan isteri. Perjanjian kawin pada umunya perjanjian hanya diketahui para pihak (calon suami isteri) saja sedangkan pihak keluarga calon suami isteri tersebut tidak terlibat dan ada juga yang tidak mengetahui adanya perjanjian kawin tersebut. Namun perjanjian kawin ini juga harus diketahui oleh pihak ketiga yang mempunyai hubungan keperdataan dengan calon suami isteri tersebut. Pengaturan mengenai hukum harta bersama yang diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 berbeda dengan yang diatur dalam KUH Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 119-122 KUH Perdata. Menurut ketentuan dalam KUH Perdata sejak pada hari terjadinya perkawinan dengan sendirinya menurut hukum terjadi percampuran harta kekayaan (gemeenschap van goederen). Percampuran itu berlaku secara bulat
28
Universitas Sumatera Utara
tanpa mempersoalkan bawaan masing-masing. Semua bawaan baik yang berasal dari bawaan suami maupun bawaan pusaka isteri dengan sendirinya satu kekayaan bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami-isteri, kecuali sebelum perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan (huwelijks voorwaarden) yang memuat ketentuan bahwa dengan perkawinan tidak akan terjadi percampuran kekayaan sama sekali. Atau percampuran itu hanya terbatas percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan.35 Akan tetapi menurut hukum Islam perkawinan tidak membawa akibat apa-apa terhadap harta kekayaan masing-masing pihak. Apa yang menjadi harta isteri tetap menjadi hak milik yang berada dalam kekuasaan dan pengawasannya. Calon isteri berhak sepenuhnya untuk memindahkan, menjual atau mengibahkannya tanpa persetujuan calon suami. Demikian juga sebaliknya, calon suami tetap menjadi pemilik yang mutlak dari segala harta kekayaan yang dibawanya ke dalam perkawinan. Hukum Islam menganggap kekayaan calon suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan dimulai (berjalan) tetap menjadi miliknya masing-masing. Demikian juga segala barang-barang mereka masing-masing yang didapat atau diperoleh selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu sama lain; artinya atas harta benda milik suami, calon isteri tidak mempunyai hak, dan terhadap barang-barang milik calom isteri, calon suami tidak mempunyai hak. Hal ini berarti calon suami tidak dapat mempergunakan atau memakai barang milik calon isteri dan sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasarkan atas perjanjian pinjam meminjam antara calon suami dan isteri. Perjanjian ini tidak dilakukan secara tegas melainkan secara diam-diam saja.36 Mengenai hal ini Martiman Prodjohamidjojo mengatakan bahwa : Sebagai konsekuensinya, dalam Hukum Islam status harta benda seorang isteri tidak berubah dengan adanya perkawinan. Harta seorang isteri tidak menjadi milik bersama antara suami dan isteri karena pernikahan. Isteri mempunyai hak penuh atas harta miliknya, boleh menjual, menggadai, 35 36
M. Yahya Harahap, Op cit, hal. 116 Martiman Prodjohamidjojo, Op cit, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
menghibakan hartanya yang terlepas dari kekuasaan orang lain termasuk suaminya sendiri. Suami tidak boleh bertindak atas harta benda isterinya, sekalipun mereka telah menikah, bahkan suami berkewajiban untuk turut menjaga dan memeliharanya, tetapi tidak menjadi hak bagi suami untuk bertindak secara hukum kepadanya.37 Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa : Dalam KUH Perdata apabila suami dan isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka maka ”akibat dari perkawinan itu ialah pencampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu, kekayan milik bersama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh”.38 Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa ”Bagian separuh ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan (onverdeeld aandell) artinya tidak mungkin masing-masing suami atau isteri meminta pembagian harta kekayaan itu, kecuali jika perkawinannya sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan tempat tidur atau perceraian harta kekayaan (scheiding van goedern)”.39 Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian kawin dapat ditentukan bahwa barang tak bergerak dan piutang atas nama dari isteri yang jatuh pada persatuan tanpa persetujuan si isteri tidak dapat dipindahtangankan atau dibebani. Karena kekuasaan suami begitu besar, maka untuk menghadapi penyalahgunaan dari kekuasaan itu terdapat beberapa ketentuan. Di dalam hal ini harus diadakan perbedaan apa yang diperbuat oleh isteri dalam hal ia masih terikat oleh perkawinan dengan si suami, dan apa yang dapat ia buat setelah bubarnya perkawinan.
37
Ibid, hal. 38 Wiryono Prodjodikoro, Loc cit 39 Martiman Prodjohamidjojo, Op cit, hal. 39 38
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut hukum adat yang dimaksud dengan “harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang-barang hadiah”.40 Semuanya dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap calon suami isteri bersangkutan. “Harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri dalam ikatan perkawinan, baik harta yang dibawa ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan”.41 “Harta atau barang-barang itu meliputi baik barang-barang warisan atau hadiah yang diterima oleh masing-masing suami atau isteri sebelum maupun sesudah perkawinan, maupun barang-barang yang diperoleh karena usaha atau jeri payah suami isteri bersama-sama selama berlangsungnya perkawinan”.42 Menurut Hilam Hadikusuma bahwa ”Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami isteri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, sebagai berikut: 40
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 156 41 Syaiful Azam dkk, Refleksi Hukum Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Melayu (Studi di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang), http://library.usu.ac.id., 2007, diakses tanggal 15 Januari 2008 42 http://www.small2law.co.cc/2010/04/pengertian-harta-benda-dalam-perkawinan.html, Pengertian Harta Benda Dalam Perkawinan, dipublikasikan tangga 13 April 2010, diakses tanggal 5 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
1) Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”. 2) Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”. 3) Harta yang diperoleh /dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”. 4) Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”. 43 Dari penggolongan harta perkawinan tersebut diatas, diketahui bahwa pada dasarnya harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu harta asal suami atau isteri dan harta bersama suami isteri. Dalam hukum Islam tidak dikenal adanya lembaga harta bersama (gezifaverinogen). Apabila diperhatikan ketentuan asalnya, maka pada dasarnya harta suami isteri adalah terpisah baik harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah satu pihak atas usahanya sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang dari mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Mengenai harta bersama ini, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Pasal 35 yang menyatakan bahwa : 1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari peraturan ini dapat diketahui bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya pemberian, warisan dan harta bersama (Pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama 43
Hilman Hadikusuma, 2003, Loc cit, hal. 156
Universitas Sumatera Utara
perkawinan berlangsung. Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan ke dalam harta bersama dalam perkawinan. Sedangkan tentang siapa yang berhak untuk mengatur harta bersama, Undangundang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan Pasal 36 ayat 1 dan 2 sebagai berikut : 1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dari ketetuan pasal 36 tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu. Selanjutnya Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing
Universitas Sumatera Utara
pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.
B. Latar Belakang Dilakukannya Perjanjian Kawin Sebelum Nikah Perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut selanjutnya diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Menurut Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan dapat membuat perjanjian kawin. Dari pengertian Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dapat diuraikan, bahwa perjanjian kawin (huwelijksvorwaaerden) sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. ”Pada umumnya perjanjian kawin ini dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri”.44 Perjanjian kawin pada umumnya diadakan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan, khususnya terhadap harta perkawinan jika terdapat sejumlah harta yang tidak sama atau lebih
44
Wawancara dengan Notaris Amelia Kosasih di Medan, Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
besar pada satu pihak calon suami isteri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian kawin akan selalu terkait dengan persoalan harta perkawinan. Perjanjian kawin dapat diadakan baik dalam hal suami istri akan campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah, artinya ada harta di luar persatuan dalam perkawinannya. Perjanjian kawin (Prenuptial Agreement) adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian di salah satu pasangan.45 Dari uraian di atas maka perjanjian kawin yang dibuat oleh calom suami isteri bertujuan untuk mengatur akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Inti
perjanjian kawin adalah kesepakatan antara calon suami isteri yang akan menikah untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera rumah tangga. Ada berbagai alasan orang memperjanjikan terpisahnya harta, harta tertentu dan atau pengelolaan atas harta tertentu dalam perjanjian kawin. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah : 1. Dalam perkawinan dengan persatuan bulat Dalam hal ini tidak adanya pembatasan yang diperjanjikan dalam harta perkawinan dimana suami dan isteri mempunyai wewenang penuh atas harta 45
http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/10/perjanjian-pra-nikah_13.html, Nikah, dipublikasikan tanggal 13 Oktober 2009, diakses tanggal 20 Maret 2010
Perjanjian
Pra
Universitas Sumatera Utara
persatuan bulat termasuk semua harta/barang bergerak maupun tidak bergerak yang dibawa suami atau istri setelah berlangsungnya perkawinan. 2. Dalam perkawinan dengan harta terpisah Adanya perjanjian merupakan perlindungan bagi istri, terhadap kemungkinan dipertanggungkannya harta tersebut terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh suami atau sebaliknya Dari pandangan tersebut maka perjanjian kawin yang dibuat oleh calon suami isteri terhadap pengurusan dan pengelolaan harta benda terjadi, karena adanya kemungkinan penyalahgunaan secara sewenang-wenang terhadap harta salah satu pihak oleh pihak lainnya, di samping itu dalam perkawinan dengan harta terpisah, perjanjian dibuat dengan alasan agar harta pribadi tersebut terlepas dari kekuasaan suami, dan isteri dapat mengurus sendiri harta tersebut. Perjanjian kawin itu oleh karenanya berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yaitu berlaku bagi suami dan isteri. Perjanjian tersebut berlaku pula terhadap pihak ketiga. Perjanjian kawin dibuat untuk menjaga hubungan, dan citra calon pasangan suami isteri, juga menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak atau keluarganya ingin mendapatkan kekayaan pihak lain, terutama dari hasil pembagian harta gonogini (harta yang didapat setelah pernikahan). Perjanjian kawin juga banyak dipilih calon pasangan yang salah satu atau keduanya punya usaha berisiko tinggi. Misalnya, sebuah usaha yang dikelola di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang memungkinkan banyak terjadinya hal yang tak terduga. Dalam pengajuan kredit,
Universitas Sumatera Utara
misalnya, bank menganggap harta suami-istri adalah harta bersama. Jadi, utang juga jadi tanggungan bersama. Dengan adanya perjanjian kawin, pengajuan utang menjadi tanggungan pihak yang mengajukan saja, sedangkan pasangannya bebas dari kewajiban tersebut. Lalu, kalau debitur dinyatakan bangkrut, keduanya masih punya harta yang dimiliki pasangannya untuk usaha lain di masa depan, dan untuk menjamin kesejahteraan keuangan kedua pihak, terutama anak-anak. Oleh karena itu perjanjian kawin dalam hal ini juga banyak mengandung nilai positifnya. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara dengan 10 orang informan : 1. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang. 2. Pasangan calon suami isteri yang melakukan perjanjian kawin sebanyak 7 (tujuh) orang. Berdasarkan hasil informasi dari para informan alasan dibuatnya perjanjian kawin adalah sebagai berikut : 1. Mengurus hartanya sendiri 2. Melindungi hartanya dari sifat buruk pasangan 3. Keinginan keluarga salah satu calon suami isteri Menurt Notaris Adi Pinem, ”pada umumnya perjanjian kawin dibuat untuk melindungi harta, baik calon suami atau isteri”.46 Sebanyak 70% informan yang beralasan melakukan perjanjian kawin sebagai upaya untuk melindungi hartanya baik calon suami maupun isteri. Calon isteri yang melakukan perjanjian kawin dengan alasan agar dapat mengelola keuangannya (hasil pendapatannya) sendiri sehingga 46
Wawancara dengan Notaris Adi Pinem di Medan, Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
tidak ada percampuran harta setelah terjadinya perkawinan kelak dan calon suami tidak berwenang atas harta calon isterinya. Selain itu juga ”adanya pengaruh lingkungan kerja dimana kawan-kawan sekantor menyarankan untuk membuat akta perjanjian kawin selain untuk melindungi hartanya, juga agar apabila kelak terjadi perceraian maka tidak akan berlarut-larut”.47 Dibuatnya perjanjian kawin sebelum perkawinan, membawa konsekuensi pada calon pasangan suami isteri yaitu terpisahnya pengurusan harta masing-masing pihak calon suami isteri dimana masing-masing berwenang mengurus dan mengusahakan hartanya, sehingga apabila terjadi perceraian di antara calon suami isteri tersebut kelak maka mengenai harta perkawinan akan diseleaikan sebagaimana diatur dalam perjanjian kawin yang telah dibuat di antara kedua calon suami isteri tersebut. Salah satu hal yang selalu dipermasalahkan dalam proses perceraian selain masalah pengasuhan anak, pembagian harta gono-gini juga menjadi hal yang sering dipermasalahkan,
yang
terkadang
memakan
waktu
yang
lama
dalam
menyelesaikannya. Namun apabila adanya perjanjian kawin di antara calon pasangan suami isteri tersebut, maka hal tersebut tidak akan terjadi karena diselesaikan sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kawin yang telah dibuat sebelumnya. “Sedangkan dari calon suami, perjanjian kawin ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila terjadi perceraian, maka hartanya tidak akan dibagi dengan calon isterinya sebab menurut mereka harta mereka adalah milik mereka sendiri”.48
47 48
A, 28 tahun, pegawai swasta, wawancara di Medan, Maret 2010 HW, 41 tahun, wiraswasta, wawancara di Medan, Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
“Akan tetapi ada juga calon suami yang membuat perjanjian kawin, dengan alasan yaitu mengikuti kehendak isteri dan tidak mau ribut, serta merasa tidak ingin dipersulit isteri. Pada dasarnya hal ini bertentangan dengan hati nurani calon suami namun oleh karena calon isteri menghendakinya, maka dibuatlah perjanjian kawin tersebut dilaksanakan. Menurut informan dengan dibuatnya perjanjian kawin ini seolah-olah calon isteri tidak mempercayai calon suaminya dan merasa tidak adanya kepercayaan sama sekali kepada calon suami”.49 Selanjutnya informan sebanyak 10% yang melakukan perjanjian kawin untuk mengantisipasi apabila pasangannya baik calon suami atau isteri menjadi tidak setia/melakukan perselingkuhan. Jika melihat alasan dibuatnya perjanjian kawin untuk mengantisipasi tidak setianya calon suami atau isteri, dapat dikatakan bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan tidak lagi berlandaskan kepercayaan di antara calon suami atau isteri tersebut. Ada juga informan sebanyak 10% yang melakukan perjanjian kawin dengan alasan sifat materialistik calon pasangannya. Hal ini biasanya terjadi karena adanya ketimpangan perekonomian di antara kedua calon suami isteri tersebut, sehingga keluarga pihak calon suami atau isteri yang ekonominya lebih mapan menilai calon pendamping anaknya hanya menginginkan kekayaan anaknya saja. Oleh karena itu dibuatlah perjanjian kawin untuk melindungi harta anaknya tersebut. Menurut informan (calon isteri), ”perjanjian kawin yang dilakukannya sebenarnya tidak diinginkannya, oleh karena perkawinan yang akan dilaksanakannya 49
M.F, 30 tahun, wiraswasta, wawancara di Medan, Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
murni karena cinta kasihnya terhadap calon suaminya. Akan tetapi oleh karena keluarga pihak calon suami beranggapan calon isteri anaknya tersebut materilistik, maka untuk membuktikan bahwa yang dituduhkan kepadanya tidak benar, setujulah calon isteri tersebut untuk membuat perjanjian kawin.”50 Dalam hal ini perjanjian kawin hanya diketahui pihak calon suami isteri beserta orang tua salah satu calon suami atau isteri yang menginginkan dilakukannya perjanjian kawin tersebut. Selain itu 10% informan menyakatan dilakukannya perjanjian kawin ini agar suami mudah untuk menikah lagi apabila kelak sang isteri tidak dapat memberikan keturunan khususnya anak laki-laki. Bagi masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki sangat diharapkan untuk melanjutkan keturunan sehingga keberadaan anak laki-laki sangatlah penting. Oleh karena itu apabila sang isteri tidak dapat memberikan anak laki-laki, maka berdasarkan perjanjian kawin tersebut, suami dapat menikah lagi. ”Bagi masyarakat Tionghoa, mempunyai anak laki-laki merupakan suatu hal yang penting sebagai penerus keturunan keluarganya. Dalam hal ini, sebelum diadakannya perkawinan, maka diperjanjikan bahwa apabila calon isteri tidak dapat memberikan anak laki-laki, maka calon suami dapat melakukan perkawinan lagi dalam akta perjanjian kawin tersebut”.51 Mengenai perjanjian kawin ini Notaris Djuita Siregar berpendapat bahwa dilakukannya perjanjian kawin ini tergantung situasi. Maksudnya bagi mereka yang
50 51
N, 28 tahun, wiraswasta, wawancara di Medan, Maret 2010 HW, 41 tahun, wiraswasta, wawancara di Medan, Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
kaya maka perjanjian kawin ini dapat dilakukan untuk melindungi hartanya. Tapi disisi lain, menurut beliau dengan dibuatnya perjanjian kawin ini, seolah-olah tidak adanya atau kurangnya kepercayaan di antara calon suami isteri tersebut.52 ”Selama ini baru sebagian kecil masyarakat Indonesia yang membuat perjanjian sebelum menikah. Memang kebanyakan perjanjian kawin ini dilakukan oleh etnis Tionghoa, namun bukan berarti banyak yang membuatnya karena bagi sebagian masyarakat etnis Tionghoa sendiri, masalah perjanjian kawin ini masih dirasa tabu untuk dilakukan”.53 ”Anggapan bahwa setelah menikah segala sesuatu melebur menjadi satu membuat setiap pasangan merasa enggan untuk membuat perjanjian. Padahal, perjanjian kawin tidak hanya memuat tentang urusan harta benda, tetapi juga pembagian peran dan pengasuhan anak”.54 Selain itu menurut Notaris Adi Pinem, ada beberapa alasan dilakukannya perjanjian kawin, antara lain : 1. mengatur harta masing-masing pihak karena adanya ketimpangan ekonomi di antara calon suami isteri tersebut. 2. mengatur akibat hukum terhadap harta perkawinan. Dalam perkawinan dikenal ada harta perkawinan dan harta peninggalan dimana jika terjadinya persatuan harta bulat, maka suami berhak untuk mempergunakan harta peninggalan isteri apabila diperlukan.. Dalam perjanjian kawin maka harta peninggalan (hibah, warisan) dikuasai oleh masing-masing pihak, sedangkan harta bersama dikuasai bersama.55
52
Wawancara dengan Notaris Djuita Siregar di Medan, Maret 2010 Wawancara dengan Notaris Amelia Kosasih di Medan, Maret 2010 54 http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/10/perjanjian-pra-nikah_13.html, Nikah, Ibid 55 Wawancara dengan Notaris Edi Pinem di Medan, Maret 2010 53
Perjanjian
Pra
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wirjono Prodjodikoro : KUH Perdata menganggap bahwa apabila suami dan isteri pada waktu akan melakukan pernikahan, tidak mengadakan perjanjian apa-apa di antara mereka, maka akibat dari perkawinan itu ialah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan, milik orang berdua bersama-sama, dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah setengahnya. Bagian setengah ini merupakan bagian tak terpisah (onverdeeld aandeel), artinya: tidak mungkin masing-masing suami atau isteri minta pembagian kekayaan itu, kecuali jika perkawinan sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan tempat tidur atau perceraian kekayaan (scheiding van goederen), yang hanya dapat terjadi dengan melalui suatu acara tertentu, termuat dalam KUH Perdata.56 Ketentuan undang-undang yang diatur dalam Pasal 147 KUH Perdata pada rasionya perjanjian perkawinan dilakukan untuk menghindari peraturan sistem yang diatur oleh KUH Perdata yang menganut sistem percampuran harta kekayaan dalam perkawinan. Segala harta, baik harta bawaan suami maupun harta kekayaan bawaan isteri dengan sendirinya menurut hukum bersatu menjadi harta kekayaan milik bersama. Maka huwelijks voorwaarden ini dimaksudkan untuk menghindari atau pengecualian atas percampuran kekayaan bersama (Pasal 119 KUH Perdata). Dari saat berlangsungnya pernikahan menurut hukum terwujudlah penggabungan harta benda bersama secara keseluruhan antara suami isteri sekedar hal itu tidak dibuat ketentuan pada saat terjadinya akad nikah.57 Perjanjian kawin biasanya dilakukan atas kemauan salah satu pihak. Jarang atas kesepakatan bersama. Poin-poin yang diatur dalam perjanjian kawin pada umumnya mengenai harta, jarang tentang hal lain, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, tapi umumnya harta tersebut adalah benda tidak bergerak karena pada umumnya benda tidak bergerak harga jualnya tinggi dan formalitasnya harus ada.58 Menurut M. Rezfah Omar pengacara LBH APIK Jakarta, yang dikutip oleh Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar, posisi perjanjian sebelum pernikahan lebih kuat daripada peraturan-peraturan yang ada dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena perjanjian tersebut dapat melindungi hak kedua belah pihak. Jika terjadi perceraian dan sengketa di antara keduanya, maka
56
Wirjono Prodjodikoro, Op cit, hal. 73 M. Yahya Harahap, Op cit, hal. 82 58 Wawancara dengan Notaris Adi Pinem di Medan, Maret 2010 57
Universitas Sumatera Utara
perjanjian pra nikah bisa dijadikan pegangan untuk penyelesaian. Bahkan, apa yang diatur oleh UU Perkawinan bisa batal oleh perjanjian pranikah.59 Perjanjian perkawinan itu dibuat untuk mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, dengan maksud untuk melindungi kepentingan pihak wanita atau kedua suami dan istri. Maka diketahui bahwa pada umumnya para informan membuat perjanjian kawin untuk melakukan pemisahan harta kekayaan masing-masing calon suami dan isteri sehingga tidak terjadi penyatuan harta perkawinan setelah perkawinan dilaksanakan. Dalam hal pemisahan harta ini, biasanya salah satu pihak, baik calon suami maupun calon isteri memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi atau pekerjaan calon isteri yang lebih baik dari calon suami. Dalam hal ini tentu saja perjanjian kawin ini diinginkan oleh salah satu pihak calon suami atau isteri, khususnya pihak yang ekonomi/hartanya lebih banyak. Selain alasan di atas, ada juga calon pasangan suami isteri yang membuat perjanjian kawin sebagai alasan agar bisa berpoligami. Mengenai hal ini, menurut informan, perjanjian kawin dibuat untuk mengantisipasi apabila setelah perkawinan mereka tidak dikaruniai anak, sehingga untuk mendapatkan keturunan calon suami dapat menikah lagi. Demikian juga dengan calon isteri, jika calon suami tidak dapat memberikan keturunan, calon isteri tersebut dapat menikah dengan laki-laki lain.
59
Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar, Perjajian Pranikah : Solusi Bagi Wanita, Jurnal Studi Gender dan Anak Yin dan Yang, hal. 3
Universitas Sumatera Utara