15
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1 Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Siswa sekolah dasar adalah anak yang umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase berfikir operasional konkret. Dari usia perkembangan kognitif, siswa sekolah dasar masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak siswa memerlukan alat bantu yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. Menurut Jonhson (2002:25) bahwa pembelajaran dengan pedekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari. Karena dalam proses pembelajaran, siswa merupakan pelaku utama dalam menemukan isi pelajaran dan harus memahami apa yang ingin diperoleh dari pembelajaran tersebut. Berikutnya The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning pengajaran
(2001:3-4) yang
menyatakan
memungkinkan
bahwa
pengajaran
siswa
memperkuat,
kontekstual adalah memperluas,
dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah untuk memecahkan persoalan yang ada dalam dunia nyata.
16
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh
untuk
dapat
menemukan
materi
yang
dipelajari
dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2006: 253). Menurut Nurhadi (2002), pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dari rumusan pengertian di atas disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang menekankan pada kondisi belajar yang lebih bermakna bagi siswa karena menghadirkan dunia nyata dalam kegiatan pembelajaran dan mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa merasakan bahwa belajar memiliki kaitan dan bermanfaat bagi kehidupannya. Pembelajaran kontekstual menurut Jonhson (2002) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu konstruksivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian otentik (authentic assesment).
17
Konstruksivisme merupakan landasan fislosofis dari CTL, yaitu bahwa ilmu pengetuhuan itu pada hakekatnya dibangun tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses yang tidak selalu mulus (trial and error). Dalam konstruksivisme proses lebih utama daripada hasil. Bertanya merupakan jiwa dalam pembelajaran, bertanya adalah cerminan dalam kondisi berpikir. Melalui bertanya jendela ilmu pengetahuan menjadi terbuka, karena dengan bertanya bisa melakukan bimbingan, dorongan, evaluasi, atau. konfirmasi. Di samping itu dengan bertanya bisa mencairkan ketegangan, menambah pengetahuan, mendekatkan hati, menggali informasi, meningkatkan motivasi, dan memfokuskan perhatian. Menemukan (inquiry) adalah proses yang penting dalam pembelajaran agar retensinya kuat dan munculnya kepuasan tersendiri dalam benak siswa dibandingkan hanya melalui pewarisan. Dengan menemukan kemampuan berpikir mandiri (kognitif tingkat tinggi, kritis, kreatif, inovatif, dan improvisasi) akan terlatih yang pada kondisi selanjutnya menjadi terbiasa. Dalam pelaksanaan CTL guru disarankan untuk membentuk kelompok belajar agar siswa membentuk masyarakat belajar untuk saling berbagi, membantu, mendorong, menghargai, atau membantu. Karena dengan belajar kelompok, siswa akan dapat menyelesaikan dan menghadapi berbagai permasalahan dan rintangan, (Lujan, 2010). Dan dengan belajar kelompok akan menimbulkan ketertarikan siswa terhadap pembelajaran. Hal ini sejalan dengan temuan Gosselin (2008) dalam penelitiannya yang mengemukakan bahwa pembelajaran yang aktif bermula dari ketertarikan siswa dalam belajar kelompok.
18
Pemodelan akan lebih mengefektifkan pelaksanaan CTL untuk ditiru, diadaptasi, atau dimodifikasi. Dengan adanya model untuk dicontoh biasanya konsep akan lebih mudah dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru. Pemodelan dalam matematika, misalnya mempelajari contoh penyelesaian. Pemodelan tidak selalu oleh guru, bisa juga oleh siswa atau media lainnya. Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan, atau mengevaluasi kembali bagaimana belajar yang telah dilakukan. Refleksi berguna untuk evaluasi diri, koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri. Membuat rangkuman, meneliti dan memperbaiki kegagalan, mencari alternatif lain cara belajar (learning how to learn), dan membuat jurnal pembelajaran adalah contoh kegiatan refleksi. Asesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara komprehensif berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukannya mendapat penghargaan. Hakekat penilaian yang diwujudkan berupa nilai merupakan penilaian atas usaha siswa yang berkenaan dengan pembelajaran, bukan merupakan hukuman. Kata kunci asesmen otentik adalah menjawab pertanyaan apakah siswa belajar, bagaimana usahanya, bukan pada pertanyaan apa yang sudah dikuasai siswa. Dari ketujuh komponen tersebut, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata (real world), berpikir tingkat tinggi, aktivitas siswa (doing math), aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif, dan pembentukan manusia yang memiliki akal dan nurani.
19
Dalam kelas yang melaksanakan pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah sistem yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) diperoleh dan ditemukan sendiri, bukan dari apa kata guru. Pembelajaran kontekstual adalah sebuah strategi pembelajaran, seperti strategi pembelajaran yang lain. Pembelajaran kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Dalam pelaksanaannya pembelajaran kontekstual memiliki beberapa strategi atau bentuk pembelajaran untuk membangun konteks dalam pikiran siswa. Strategi-strategi tersebut antara lain: a. Relating (menghubungkan)
dalam hal ini belajar
dilakukan dengan
menghubungkan pengalaman hidup dengan hal baru yang akan dipelajari. b. Experiencing (mengalami) dalam hal ini belajar dilakukan dengan cara mengenalkan siswa langsung pada sebuah masalah contoh sehingga siswa dapat menemukan dan merumuskan pengetahuan secara mandiri. c. Applying (menerapkan) dalam hal ini belajar dilakukan dengan cara menerapkan rumusan pengetahuan yang telah dikuasai siswa dalam situasi yang berbeda dengan situasi sebenarnya. d. Cooperating (bekerja sama) dalam hal ini belajar dilakukan dalam kelompok masyarakat belajar sehingga terjadi komunikasi dan bertukar pengetahuan.
20
e. Transfering (memindahkan) dalam hal ini belajar dilakukan dengan cara memindahkan pengetahuan yang telah diperolehnya dalam konteks baru Dalam penyusunan program pembelajaran secara kontekstual, Nurhadi (2002: 23) menyarankan sebagai berikut: (1) Nyatakan kegiatan utama pembelajaran, yaitu gabungan antara Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Indikator Pencapaian Hasil Belajar, (2) Nyatakan tujuan umum pambelajarannya (3) Rincilah media yang mendukung pembelajaran itu, (4) Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa, (5) Nyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
2.2 Pemahaman Konsep (Conceptual Understanding) Menurut Bloom (dalam Putra, 2007), pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman tersebut diperoleh dari proses pembelajaran yang dirasakan dan dialami seseorang dan memiliki indikator individu tersebut dapat menjelaskan informasi yang dimilikinya melalui bahasanya sendiri. Pemahaman adalah kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri, mengenali sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda dengan yang terdapat dalam buku teks (Baharudin, 1982). Menurut Driver (Simin, 2004) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Dari pengertian ini ada tiga aspek
21
pemahaman, yaitu: 1) Kemampuan mengenal, 2) kemampuan menjelaskan, dan 3) kemampuan menginterpretasi atau menarik kesimpulan. Skemp (Sumarmo, 1987) membedakan dua jenis pemahaman konsep, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Pada tahap pemahaman ini siswa baru mampu mengaitkan informasi yang dimilikinya dengan keadaan yang ada di hadapannya. Sedangkan pada pemahaman relasional termuat suatu skema atau struktur yang dapat digunakan dalam penyelesaian masalah yang lebih luas, sehingga pemakaiannya lebih bermakna. Pemahaman konsep menunjuk kepada kemampuan yang menyeluruh dan fungsional dalam memahami ide-ide matematika. Para siswa yang memiliki pemahaman konsep akan mengetahui lebih dalam tentang ide-ide dan metode yang masih terselubung. Mereka mengerti mengapa sebuah ide matematika begitu penting
dan
macam-macam
kegunaannya.
Mereka
mengorganisasikan
pengetahuannya menjadi sesuatu yang menyeluruh, yang dapat digunakan untuk mempelajari ide-ide baru dengan jalan mengaitkan ide-ide tersebut dengan hal-hal yang telah mereka pelajari sebelumnya. Pemahaman konsep juga sangat mendukung daya ingat. Oleh karena fakta-fakta dan metode yang dipelajari dengan pemahaman saling berhubungan, maka mereka akan lebih mudah untuk menggunakan dan mengingatnya kembali, juga mereka dapat menyusunnya kembali dengan mudah ketika mereka lupa.
22
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematik adalah kemampuan menyeluruh dalam memahami ide-ide matematika, merumuskan cara mengerjakan atau menyelesaiakan suatu butir soal secara algoritmik, menerapkan suatu perhitungan sederhana, menggunakan simbol untuk mempresentasikan konsep, dan menunjukkan baik secara lisan maupun tulisan dalam konteks keseharian siswa. Indikator yang signifikan dari pemahaman konsep ini adalah kemampuan untuk menyatakan situasi-situasi matematika dalam berbagai cara dan mengetahui bagaimana pernyataan yang berbeda dapat digunakan untuk tujuan yang berbeda juga. Untuk menemukan salah satu jalan di seputar wilayah matematika, sangat penting melihat bagaimana berbagai macam representasi saling berkaitan satu sama lain, kesamaannya dan juga perbedaannya. Tingkat pemahaman konsep siswa berhubungan dengan tingkat koneksi yang mereka buat. Konsep-konsep matematika terorganisasikan secara sistematis, logis, dan hirarkis dari yang sederhana hingga pada yang kompleks. Pemahaman terhadap konsep matematika merupakan dasar untuk mengerjakan matematika secara bermakna. Pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika menurut NCTM (1989) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam: 1) mendefinisikan konsep secara verbal dan tertulis; 2) mengidentifikasi membuat contoh dan bukan contoh; 3) menggunakan model, diagram, dan simbol-simbol untuk mempresentasikan suatu konsep; 4) mengubah suatu bentuk presentasi ke bentuk lain; 5) mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; 6)
23
mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; 7) membandingkan dan membedakan konsep-konsep. Pengetahuan yang diperoleh siswa melalui pemahaman akan memberikan dasar dalam pembentukan pengetahuan baru dan membantu siswa dalam menyelesaikan masalah baru yang lebih sulit. Ketika para siswa memiliki pemahaman konsep dalam wilayah matematika, mereka akan melihat hubungan antara konsep-konsep dan prosedur penyelesaiannya serta mereka akan dapat memberikan pendapat ketika menjelaskan alasan. Kecakapan ini dapat dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut: 1. Siswa mampu menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari 2. Siswa mampu mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan membentuk konsep tersebut. 3. Siswa mampu menerapkan konsep secara algoritma. 4. Siswa mampu memberikan contoh atau contoh kontra dari konsep yang dipelajari. 5. Siswa mampu menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematis. 6. Siswa
mampu
mengaitkan berbagai konsep
(internal atau eksternal
matematika). 7. Siswa mampu mengembangkan syarat perlu dan atau syarat cukup suatu konsep.
24
2.3 Disposisi Matematik (Mathematical Disposition) Menurut Slameto (2003: 189) orang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek yang bernilai dalam pandangannya, dan ia akan bersikap negatif terhadap objek yang dianggapnya tidak bernilai dan atau juga merugikan. Sikap itulah yang mendorong ke arah perbuatan belajar. Sikap siswa dapat dipengaruhi oleh motivasi sehingga ia dapat menentukan sikap belajar. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah sikap siswa terhadap apa yang sedang dipelajarinya. Sesuatu yang belum diketahui dapat mendorong siswa untuk belajar mencari tahu. Siswa mengambil sikap seiring dengan minatnya terhadap suatu objek. Siswa mempunyai keyakinan dan pendirian tentang apa yang harus dilakukannya. Disposisi matematik (mathematical disposition) adalah sikap produktif atau sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan berfaedah (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Kilpatrick et.al (2001:131) menyatakan “student disposition toward mathematics is major factor in determining their educational success”. Hal ini berarti bahwa faktor utama yang menentukan kesuksesan siswa dalam belajar matematika adalah disposisi siswa terhadap matematika. Disposisi juga terbentuk jika komponen-komponen yang lain telah berkembang dengan baik sebelumnya. Disposisi matematika siswa seperti yang dikemukakan di atas termuat dalam kompetensi matematika dalam ranah afektif yang menjadi tujuan pendidikan matematika di sekolah menurut Kurikulum 2006 adalah sebagai berikut: Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
25
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Departemen Pendidikan Nasional, 2006, h. 346). Disposisi siswa terhadap matematika dapat terwujud melalui sikap dan tindakannya dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika. Dalam mengerjakan tugas tersebut siswa akan menampakkan rasa percaya diri, keinginan untuk mencari alternatif, tekun dan tertantang serta cenderung merefleksikan cara berfikir yang dilakukannya. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (1989), disposisi matematika memuat tujuh komponen. Adapun komponen-komponen itu sebagai berikut:(i) percaya diri dalam menggunakan matematika, (ii) fleksibel dalam melakukan kerja matematika (bermatematika), (iii) gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika, (iv) penuh memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika, (v) melakukan refleksi atas cara berfikir,(vi) menghargai aplikasi matematika, dan (vii) mengapresiasi peranan matematika. Wujud disposisi dalam proses pembelajaran matematika terlihat ketika bagaimana siswa bertanya, menjawab, mengerjakan tugas dan dalam mempelajari konsep-konsep matematika yang baru. Dengan demikian guru mendapat informasi yang berguna untuk mengukur disposisi siswa. Pengukuran disposisi ini berguna bagi aktivitas pembelajaran dan perubahan suasana kelas (NCTM, 1989:236). Siswa akan memberikan respon positif terhadap pelajaran matematika apabila mereka merasakan manfaat dari proses yang dilakukannya. Whitin (2007) menyatakan bahwa menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika dengan mengembangkan kepercayaan siswa terhadap matematik, keterbukaan
26
fikiran, kemampuan menyikapi matematika, keterampilan dalam bermatematika, serta memiliki pengetahuan dan strategi dalam menyelesaikan matematika. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa disposisi matematik adalah sikap positif siswa terhadap manfaat mempelajari matematika dan kegunaannya dalam kehidupan nyata yang dapat ditunjukkan melalui tindakannya dalam belajar dan menyelesaikan tugas-tugas matematika, ditandai dengan kecenderungan siswa untuk menampakkan rasa percaya diri, keinginan untuk mencari alternatif, tekun dan tertantang serta berupaya merefleksikan cara berfikir yang dilakukannya. Menanamkan dan menumbuhkan disposisi matematik siswa sangat perlu, karena sikap siswa terhadap matematika merupakan faktor utama yang menentukan kesuksesan mereka dalam belajar. Para siswa yang memiliki disposisi yang positif akan merasa percaya diri atas pengetahuan dan kemampuan mereka. Mereka memandang matematika sebagai sesuatu yang masuk akal dan dapat dimengerti, serta percaya bahwa dengan usaha yang tepat dan dari pengalaman, mereka dapat mempelajarinya. Menanamkan dan menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan sejak dari pendidikan dasar agar siswa menyenangi pelajaran matematika, sehingga pelajaran mudah dipahami, tidak menjadikannya sebagai pelajaran yang menakutkan dan menunjukkan bahwa matematika bermanfaat bagi kehidupan siswa. Dalam pembelajaran matematika, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melihat keterkaitan-keterkaitan antar topik matematika, keterkaitan antara matematika dengan mata pelajaran lain, dan keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, materi yang
27
disampaikan hendaknya disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
2.4 Teori-teori belajar yang berkaitan dengan pembelajaran kontekstual 1. Teori Konstruktivisme Konstrutivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus dipresentasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri (Suparno, 1997). Senada dengan hal tersebut Nurhadi dan Senduk (2003) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran paham konstruktivisme memiliki ciri penting yaitu bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan jadi kepada siswa, tetapi siswa mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Prinsip-prinsip teori konstruktivisme menurut Driver (Suparno, 1997) adalah (a) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal atau sosial, (b) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kepada siswa kecuali hanya dengan keaktipan siswa sendiri untuk menalar, (c) siswa aktif menkonstruksi terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, dan (d) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
28
Dari beberapa prinsip di atas terlihat ide pokok dari teori konstruktivisme bahwa belajar adalah kegiatan siswa secara aktif dalam membangun pengetahuannya
sendiri.
Tugas
guru
adalah
sebagai
fasilitator.
Siswa
mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukannya baik secara individu maupun secara bersama-sama teman sekelompoknya. Sedangkan mengajar bukanlah proses pemindahan pengetahuan guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang membimbing dan menuntun siswa dalam membangun sendiri pengetahuan, menginterpretasi, mencari kejelasan, dan bersifat kritis. Dalam pembelajaran pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan antara lain dalam pembelajaran secara kelompok, dimana siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi secara sosial dan berkomunikasi dengan sesamanya untuk mencapai tujuan pembelajaran dan guru bertindak sebagi motivator dan fasilitator.
2. Teori Jerome S. Bruner Bruner (dalam Nasution, 1982) menyatakan dalam proses belajar, peserta didik menempuh tiga fase, yaitu: 1). Fase informasi (tahap penerimaan materi); 2). Fase transformasi (tahap pengubahan materi); 3). Fase evaluasi (tahap penilaian materi). Dalam fase informasi, siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah informasi atau keterangan mengenai materi yang disajikan atau materi yang dipelajari oleh siswa. Diantara materi yang dipelajari tersebut, tentunya ada materi
29
yang baru dan berdiri sendiri, ada yang sifat menambah, memperhalus, dan juga ada yang sifatnya memperdalam materi yang dipelajari sebelumnya. Sedangkan pada fase transformasi, informasi yang telah diperoleh oleh siswa, harus dianalisis, dikonversikan atau ditransformasikan kedalam bentuk yang lebih abstrak ataupun konseptual, sehingga dapat dipergunakan kepada hal-hal yang lebih luas. Selanjutnya pada fase evaluasi Bruner menyatakan bahwa siswa akan dapat menilai sejauh mana informasi yang diperoleh dapat ditransformasikan dan dimanfaatkan pada gejala-gejala lain atau pada masalah-masalah yang sedang dihadapi.
2.5 Pembelajaran Biasa (Konvensional)
Pembelajaran biasa atau disebut juga pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru dalam menyampaikan materi pelajaran selama ini. Dalam pembelajaran ini biasanya guru cenderung lebih aktif karena guru merupakan sumber informasi bagi siswa dan siswa cenderung pasif karena hanya bersifat menerima pelajaran. Guru menyajikan materi pelajaran sebagai
rutinitas
kesehariannya
dengan
banyak
berbicara
dalam
hal
menyampaikan materi pelajaran, memberikan contoh-contoh soal dengan langkah-langkah tertentu, dan pada akhir kegiatan siswa mengerjakan dan menjawab soal-soal sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh guru.
30
Kardi dan Nur (2000:7) memandang pembelajaran yang selama ini biasa dilakukan guru disebut pembelajaran langsung yaitu suatu pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Walaupun pada saat ini sudah banyak model pembelajaran, namun model pembelajaran biasa tetap digunakan. Nasution (Guntur, 2004:17) memberikan ciri-ciri pembelajaran biasa sebagai berikut:(a) bahan pelajaran disajikan kepada kelompok atau kelas secara keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individu; (b) pembelajaran umunnya berbentuk ceramah, tugas tertulis, dan media menurut pertimbangan guru; (c) siswa umumnya bersifat pasif karena harus mendengarkan penjelasan guru; (d) dalam hal kecepatan belajar, semua siswa belajar menurut kecepatan yang umumnya ditentukan oleh kecepatan guru mengajar; (e) keberhasilan belajar biasanya dinilai guru secara subjektif; dan (f) guru terutama berfungsi sebagai penyampai/pentransfer pengetahuan. Pembelajaran biasa mempunyai kelemahan dan keunggulan. Kelemahankelemahan pembelajaran biasa antara lain:(a) kurikulum disajikan secara linier; (b) kurikulum dijadikan bahan acuan yang harus diikuti; (c) aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan; (d) guru bertindak sebagai pusat informasi; (e) penilaian dilakukan terpisah dari proses belajar mengajar; (f) siswa banyak bekerja secara individu. Sudjana (1986:59) menyatakan bahwa kelemahan tehnik ceramah adalah guru tidak mampu mengontrol sejauh mana siswa telah memahami uraiannya. Keunggulan dari pembelajaran biasa adalah: 1) guru merasa nyaman karena seakan-akan tidak ada tuntutan terhadap inovasi atau
31
perubahan dalam proses belajar-mengajar, karena guru diberi wewenang penuh terhadap kegiatan pembelajaran, 2) sangat efektif digunakan untuk kelas yang jumlah siswanya banyak yang sulit digunakan dengan tekhnik lain, sehingga teknik ini sering disebut teknik kuliah.
2.6 Pembelajaran Efektif Dalam pembelajaran yang efektif, interaksi yang baik antara guru dan siswa merupakan sesuatu yang harus terjadi. Interaksi ini diharapkan agar hubungan timbal balik antara guru dan siswa, siswa dan guru, dan siswa dengan siswa lainnya dapat terjalin dengan baik. Sehingga proses pembelajaran yang dilakukan berjalan dengan suasana yang tenang dan menyenangkan. Kondisi pembelajaran yang demikian menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Kemampuan seorang guru dalam mengelola pembelajaran yang efektif merupakan tolok ukur keberhasilan guru. Proses pembelajaran dikatakan efektif menurut Bisri (2008:1) apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Sebab dalam proses pembelajaran aktivitas yang menonjol ada pada peserta didik. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri.
32
Pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan tingkah laku yang positif pada diri peserta didik dan tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan pembangunan. Sedang menurut Depdiknas (2004) pembelajaran dikatakan tuntas bila mencapai angka ≥ 75 %. Dalam menciptakan pembelajaran matematika yang efektif peran guru sangat penting dalam merancang pembelajaran. Guru harus memiliki inovasi dalam menciptakan metode pembelajaran yang menantang dan memotivasi kemampuan-kemampuan matematik siswa (NCTM, 2009). Karena menurut Kikas (2009), “…pemilihan metode dan pengalaman mengajar guru berdampak terhadap keberhasilan dan sikap matematik siswa”. Efektivitas pembelajaran kontekstual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberdayaan pendekatan kontekstual dalam meningkatkan hasil belajar siswa yang diukur dengan mengkaji kemampuan pemahaman konsep, disposisi matematik, aktivitas belajar siswa dan tanggapan siswa dan guru terhadap pendekatan pembelajaran. Dikatakan efektif apabila hasil belajar dan aktivitas belajar siswa yang belajar dengan pendekatan kontekstual lebih baik dari siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Untuk dapat mewujudkan suatu pembelajaran yang efektif, maka diperhatikan beberapa aspek, di antaranya:(1) guru harus membuat persiapan mengajar yang sistematis, (2) proses belajar mengajar harus berkualitas tinggi
33
yang ditunjukkan dengan adanya aktivitas siswa secara menyeluruh dibawah pantauan dan pengawasan guru, (3) penggunaan waktu seefektif mungkin, (4) motivasi mengajar guru dan motivasi belajar murid cukup tinggi, dan (5) interaksi antara guru dan siswa terjalin dengan baik, sehingga bila terjadi kesulitan belajar dapat segera diatasi. 2.7 Sikap Siswa terhadap Pelajaran Matematika Sesuatu yang belum diketahui dapat mendorong seseorang belajar untuk mencari tahu. Seiring dengan minatnya terhadap suatu objek, siswapun mengambil sikap. Siswa mempunyai keyakinan dan pendirian tentang apa yang seharusnya ia lakukan. Jadi, sikap siswa dipengaruhi oleh motivasi sehingga ia dapat menentukan sikap dalam belajar. Adanya keinginan untuk mencapai suatu tujuan atau maksud-maksud tertentu bagi seseorang dapat menentukan bentuk tingkah laku orang tersebut. Tindakan yang dilakukannya akan selalu dipengaruhi oleh adanya dorongan, baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar dirinya. Dorongandorongan ini disebut dengan motivasi. Uno (2008:1) menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri sendiri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Motivasi pada dasarnya dapat membantu dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu yang sedang belajar. Dalam proses pembelajaran matematika
34
perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Menurut Djadir (Haji, 2005), sikap positif terhadap matematika perlu diperhatikan karena berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika. Siswa yang menyukai matematika, prestasinya cenderung tinggi dan sebaliknya siswa yang tidak menyukai matematika prestasinya cenderung rendah. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan seseorang untuk menerima (suka) atau menolak (tidak suka) terhadap konsep atau objek matematika. Sikap suka atau tidak suka seseorang tentang matematika akan menampakkan kecenderungan seseorang untuk terlibat atau menghindar dari kegiatan matematika, siswa yang menerima matematika, berarti bersikap positif, sedangkan siswa yang menolak metematika berarti bersikap negatif. Siswa yang bersikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain: menyenangi matematika, terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, memperhatikan guru dalam menjelaskan materi matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi dan mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas. Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika perlu diperhatikan agar penyampaian materi matematika harus menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan menunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Dalam menyampaikan materi matematika siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melihat keterkaitan antar topik matematika, keterkaitan antara matematika dengan mata pelajaran lain dan keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu materi
35
harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa.
2.8 Penelitian yang Relevan Dari hasil penelitiannya tentang pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran matematika, Heruman (2003) menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa SD, khususnya pokok bahasan pecahan. Heruman juga mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual siswa menunjukkan sikap yang positif, senang belajar baik secara kelompok maupun secara perorangan, percaya diri dan tidak putus asa dalam menghadapi masalah. Kurniawan (2006), dalam penelitiannya tentang pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran matematika menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan koneksi matematika siswa. Rauf (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa:(1) pembelajaran kontekstual meningkatkan pemahaman
konsep
siswa,
(2)
pembelajaran
kontekstual meningkatkan kemampuan koneksi matematika siswa, dan (3) siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran kontekstual yang didukung oleh respon positif siswa terhadap matematika. Darhim (2004) dalam temuan penelitiannya mengemukakan bahwa ditinjau dari kelompok siswa, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual berpengaruh lebih baik terhadap hasil belajar dan sikap siswa daripada pembelajaran biasa
36
untuk siswa lemah. Pada sekolah dengan kategori baik pembelajaran dengan pendekatan kontekstual berpengaruh lebih baik terhadap hasil belajar dan sikap siswa lemah daripada pembelajaran biasa. Pada sekolah dengan kategori sedang pembelajaran dengan pendekatan kontekstual berpengaruh lebih baik terhadap hasil belajar siswa lemah daripada siswa pembelajaran biasa, tetapi untuk siswa pandai tejadi sebaliknya. Karen (2008)
dalam temuan penelitiannya
mengemukakan bahwa
karakteristik siswa dan kebiasaan guru dalam pembelajaran akan berpengaruh dalam menumbuhkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran. Dari kajian terhadap beberapa penelitian di atas, terlihat bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa, kemampuan koneksi matematika dan meningkatkan kemampuan matematik siswa, serta lebih banyak melibatkan siswa dalam proses belajar karena siswa merespon positif terhadap pelajaran matematika.
2.9 Kerangka Berfikir Pembelajaran kontekstual menurut Jonhson (2002:25) adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam hal ini, strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.
37
Dalam pembelajaran kontekstual, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, peran dan fungsi mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya mencapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Oleh sebab itu, pembelajaran kontekstual pada dasarnya adalah usaha memperkenalkan siswa terhadap konteks secara luas yang meliputi situasi-situasi yang berhubungan dengan kehidupannya, fenomena nyata, isu-isu sosial yang kesemuanya dipahami benar oleh siswa baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Dengan pembelajaran yang mengkaitkan antara pengetahuan yang dimiliki oleh siswa dengan pengalaman belajar secara kontekstual, maka akan dapat membantu memudahkan siswa memahami konsep-konsep dalam pelajaran matematika yang pada umumnya berhubungan dengan angka-angka yang bersifat abstrak. Pemahaman konsep matematika merupakan suatu tujuan penting dalam pembelajaran yang memberikan pengertian bahwa materi-materi matematika yang diajarkan kepada siswa bukan sebagai hafalan, tetapi lebih dari itu, pemahaman matematika membantu siswa dalam menguasai cara-cara dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika. Dengan pemahamannya terhadap konsep matematika akan membuat siswa merasa tertarik dan tertantang untuk mengerjakan tugastugas matematika. Disposisi matematik (mathematical disposition) adalah sikap produktif atau sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis,
38
berguna dan berfaedah (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Hal ini berarti bahwa faktor utama yang menentukan kesuksesan siswa dalam belajar matematika adalah disposisi siswa terhadap matematika. Disposisi juga terbentuk jika komponen-komponen yang lain telah berkembang dengan baik sebelumnya. Dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Menurut Djadir (Haji, 2005), sikap positif terhadap matematika perlu diperhatikan karena berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika. Siswa yang menyukai matematika, prestasinya cenderung tinggi dan sebaliknya siswa yang tidak menyukai matematika prestasinya cenderung rendah. Melalui pembelajaran kontekstual yang membantu siswa dalam memahami konsep-konsep matematika yang abstrak akan dapat menarik minat siswa untuk mempelajari dan menyenangi matematika yang selama ini dianggap susah. Untuk lebih jelasnya kerangka berfikir sebagaimana diuraikan di atas dapat diuraikan dalam diagram yang sekaligus menggambarkan tata hubungan antar variabel dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
Pemahaman Konsep (Y1)
Pembelajaran kontekstual (X) Disposisi Matematik (Y2)