BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pendekatan Kontekstual Komponen Inkuiri 2.1.1.1 Hakekat Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) CTL adalah salah satu strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatan dari konsorsium tersebut adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru dari enam propinsi di Indonesia untuk mempelajari pendekatan kontekstual di Amerika Serikat (Priyatni, 2002:1). Pendekatan kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran afektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya (Nurhadi, 2002:5). Johnson (dalam Nurhadi, 2002:12) merumuskan pengertian CTL sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa ke semua komponen utama CTL yaitu melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis, dan kreatif, memelihara atau merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya. Pendekatan CTL menurut Suyanto (2003:2) merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan 8
9
ketrampilan yang mereka peroleh dalam berbagai macam mata pelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. 2.1.1.2 Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional (Behaviorisme/Strukturalisme) Pendekatan kontekstual memiliki perbedaan dengan pendekatan tradisional (behaviorisme/strukturalisme). Adapun perbedaannya dapat dilihat pada tabel 2 yaitu sebagai berikut: Tabel 2 Perbedaan Pendekatan Kontekstual dan Pendekatan Tradisional No 1.
Pendekatan CTL
Pendekatan Tradisional
Siswa secara aktif terlibat dalam proses Siswa adalah penerima informasi pembelajaran.
2.
secara pasif.
Siswa belajar dari teman melalui kerja Siswa belajar secara individual. kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi.
3. 4.
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan Pembelajaran sangat abstrak dan nyata dan atau masalah yang disimulasikan.
teoritis.
Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
Perilaku
dibangun
atas
dasar
kebiasaan. 5.
Ketrampilan pemahaman.
6.
atas
dasar Ketrampilan
dikembangkan
atas
dasar latihan.
Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan Hadiah untuk perilaku baik adalah diri.
7.
dikembangkan
pujian atau nilai (angka) rapor.
Sesorang tidak melakukan yang jelek karena Seseorang tidak melakukan yang
10
dia sadar hal itu keliru dan merugikan. 8.
Bahasa
diajarkan
komunikatif
yakni
jelek karena dia takut hukuman.
dengan
bahasa Bahasa diajarkan untuk pendekatan
siswa
diajak struktural: rumus diterangkan sampai
menggunakan bahasa dalam konteks nyata. 9.
paham, kemudian dilatihkan (drill).
Pemahaman rumus dikembangkan atas Rumus itu ada di luar diri siswa yang dasar skemata yang sudah ada dalam diri harus siswa.
10.
diterangkan,
diterima,
dihafalkan, dan dilatihkan.
Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara Rumus adalah kebenaran absolut siswa yang satu dengan yang lainnya, (sama untuk semua orang). Hanya sesuai dengan skemata siswa (ongoing ada process of development).
dua
kemungkinan
yaitu
pemahaman rumus yang salah atau pemahaman rumus yang benar.
11.
Siswa menggunakan kemampuan berpikir Siswa secara pasif menerima rumus kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan atau
kaidah
(membaca,
terjadinya proses pembelajaran yang efektif, mendengarkan, ikut
bertanggungjawab
atas
terjadinya menghafal)
proses pembelajaran yang efektif, dan kontribusi membawa
masing-masing
skemata
mencatat,
tanpa ide
memberikan
dalam
proses
ke pembelajaran.
dalam proses pembelajaran. 12.
Pengetahuan
yang
dimiliki
manusia Pengetahuan adalah penangkapan
dikembangkan oleh manusisa itu sendiri. terhadap serangkaian fakta, konsep, Manusia
menciptakan/mengembangkan atau hukum yang berada di luar diri
pengetahuan dengan cara memberi arti dan manusia. memahami pengalamannya. 13.
Karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan Kebenaran bersifat absolut dan (dikonstruksi) oleh manusia itu sendiri, pengetahuan bersifat final. sementara manusia selalu memgalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative and inclompete).
11
14.
Siswa diminta bertanggungjawab memonitor Guru
adalah
penentu
jalannya
dan mengembangkan pembelajaran mereka proses pembelajaran. masing-masing. 15.
Penghargaan terhadap pengalaman belajar Pembelajaran tidak memperhatikan siswa sangat diutamakan.
16.
pengalaman siswa.
Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: Hasil belajar hanya diukur dengan proses bekerja, hasil karya, penampilan, tes. rekaman, tes, dll.
17.
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, Pembelajaran hanya terjadi dalam konteks dan setting.
18. 19
kelas.
Penyesalan adalah hukuman dari perilaku Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek.
jelek.
Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik.
Perilaku baik berdasar motivasi ekstrinsik.
20.
Seseorang berperilaku baik karena dia yakin Seseorang berperilaku baik karena bahwa itulah yang terbaik dan bermanfaat.
dia
terbiasa
melakukan
begitu.
Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan.
Berdasarkan tabel 2 perbedaan pendekatan kontekstual dan pendekatan tradisional, maka dapatlah disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual lebih menekankan siswa untuk belajar lebih aktif, menekankan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri dan siswa belajar dari mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain dan pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata. 2.1.1.3 Penerapan Pendekatan CTL dalam kelas Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut:
12
1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. 2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri (menemukan sendiri) untuk semua topik. 3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). 5) Lakukan refleksi di akhir pertemuan. 6) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Selain itu, pendekatan kontekstual mendasarkan pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut: 1. Proses Belajar • Belajar tidak hanya sekedar menghafal. • Anak belajar dari mengalami. • Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan. • Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. • Proses belajar dapat mengubah struktur otak. 2. Transfer Belajar • Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’. • Ketrampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit. • Penting bagi siswa tahu ’untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan ketrampilan itu. 3. Siswa sebagai pembelajar • Strategi belajar penting agar anak mudah mempelajari sesuatu yang baru. • Peran guru membantu menghubungkan antara ’yang baru’ dan ‘yang sudah diketahui’. • Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
13
4. Pentingnya lingkungan belajar • Belajar lebih efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. • Pengajaran harus berpusat pada ‘bagaimana cara’ siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. • Umpan balik penting bagi siswa yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. • Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok. Menurut Zahorik (1995:14-22), ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual yaitu: 1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge) 2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya. 3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan/validasi dan konsep tersebut direvisi dan dikembangkan. 4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). 5)
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Jadi pada dasarnya penerapan pendekatan CTL dapat diterapkan pada
kurikulum apapun, bidang studi apa saja dan dalam kelas yang bagaimanapun juga. Hal tersebut dengan melihat konsep pada anak untuk menemukan sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. 2.1.1.4 Karakteristik Contextual Teaching and Learning Menurut Johnson (dalam Nurhadi, 2002:14) terdapat delapan utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual, yaitu (1) melakukan hubungan yang bermakna, (2) mengerjakan pekerjaan yang berarti, (3) mengatur cara belajar sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mengasuh atau memelihara pribadi siswa, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian sebenarnya.
14
Nurhadi (2003:20) menyebutkan dalam kontekstual mempunyai sebelas karakteristik antara lain yaitu (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa aktif, guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, serta (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. Priyatni (2002:2) menyatakan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan CTL memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang autentik, artinya pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki ketrampilan dalam memecahkan masalah bagi konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting). 2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning). 3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami (learning by doing). 4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi (learning in group). 5) Kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (learning to knot each other deeply). 6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif dan mementingkan yang diarahkan untuk bekerja sama (learning to ask, to inquiry, to York together). 7) Pembelajaran dilaksanakan dengan cara menyenangkan (learning enjoy activity). Berdasar uraian di atas maka karakteristik pembelajaran berbasis CTL diantaranya kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, tidak membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dll serta siswa kritis guru kreatif.
15
2.1.1.5 Tujuh Komponen CTL Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu sebagai berikut: 1. Konstruktivisme (Constructivism) Kontruktivisme merupakan landasan filosofi pendekatan CTL yang memyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Dalam pendangan konstruktivis, strategi memproleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. 2. Menemukan (inquiry) Menemukan/inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran CTL. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Inkuiri adalah siklus proses dalam membangun pengetahuan yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. 3. Bertanya (questioning) Bertanya merupakan keahlian dasar yang dikembangkan dalam pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya, merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahuinya, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Konsep ini berhubungan dengan kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan siswa, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. 4. Masyarakat belajar (Learning Community) Masyarakat belajar adalah kelompok belajar yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Aplikasinya dapat diterapkan pada pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas atau belajar dengan teman-teman lainnya.
16
5. Pemodelan (Modeling) Model merupakan acuan pencapaian kompetensi dalam pembelajaran kontekstual. Konsep ini berhubungan dengan kegiatan mendemonstrasikan suatu materi pelajaran agar siswa dapat mencontoh atau agar dapat ditiru, belajar atau melakukan dengan model yang diberikan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model, siswa juga dapat berperan aktif dalam mencoba menghasilkan model. 6. Refleksi (Reflection) Refleksi berarti melihat kembali suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang telah diketahui dan hal yang belum diketahui. 7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment) Penilaian yang sebenarnya merupakan proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian ditekankan pada proses pembelajarannya, maka data dan informasi yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Penilaian yang sebenarnya merupakan tindakan menilai kompetensi siswa secara nyata dengan menggunakan berbagai alat dan berbagai teknik tes, portofolio, lembar observasi, unjuk kerja, dan sebagainya. Prosedur penilaian yang menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa secara nyata. Penilaian yang sebenarnya ditekankan pada pembelajaran yang seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan hanya memperoleh informasi pada akhir periode. Kemajuan belajar siswa dinilai bukan hanya yang berkaitan dengan nilai tetapi lebih pada proses belajarnya.
2.1.1.6 Hakekat Pendekatan Kontekstual Komponen inkuiri Inti dari pembelajaran CTL adalah inkuiri (menemukan). Pengetahuan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil
17
dari menemukan sendiri yang siklusnya observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data dan penyimpulan (Depdiknas 2002:12). Prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiri dalam pembelajaran Masnur (2007:45) menjelaskan: (1) Pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri. (2) Informasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data yang ditemukan sendiri oleh siswa. (3) Siklus inquiri adalah observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. (4) Langkah-langkah kegiatan menemukan (inquiri) adalah a. merumuskan masalah, b. mengamati atau melakukan observasi, c. menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain, d. mengkomunikasikan atau menyajikan hasil pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens dan lain-lain). Asas menemukan sendiri merupakan asas penting dalam pembelajaran kontekstual. Dengan proses berpikir yang sistematis ini diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis yang dapat dijadikan dasar pembentukan keaktifan siswa dalam pembelajaran. Jadi pada hakekatnya pendekatan kontekstual komponen inkuiri adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari melalui kegiatan inkuiri: a) identifikasi dan merumuskan masalah, b) menyusun hipotesis, c) merancang dan melaksanakan kegiatan/percobaan, d) analisis data, e) penyajian hasil percobaan, dan f) penarikan kesimpulan.
2.1.1.7 Teori Belajar Yang Mendasari Inkuiri Gulo dalam Trianto (2007) menyatakan inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
18
Kegiatan inkuiri dibentuk dan meliputi discovery karena siswa harus menggunakan kemampuan discovery lebih banyak lagi. Dengan kata lain inkuiri adalah suatu proses perluasan proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Kegiatan discovery adalah proses mental yang memungkinkan siswa mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip. Proses mental dalam discovery diantaranya mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, menarik kesimpulan, dan sebagainya (Roestiyah, 2001). Implementasi pembelajaran inkuiri memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja seperti ilmuwan diantaranya merumuskan hipotesis, menguji hipotesis melalui percobaan dan menginformasikan hasil penyelidikan. Pembelajaran inkuiri juga didefinisikan sebagai pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri; dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, melakukan sesuatu, menggunakan simbol-simbol (gambar-gambar) dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan yang lain, membandingkan yang ditemukan sendiri dengan yang ditemukan orang lain (Sidharta, 2005) Hal senada juga diungkapkan oleh Sanjaya (2011:196) yang menyatakan bahwa “Inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari suatu masalah yang dipertanyakan”. Dari pengertian inkuiri yang dikemukakan oleh para ahli, peneliti mengambil kesimpulan bahwa inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang mencakup seluruh kemampuan siswa dalam struktur kelompok melalui proses berpikir kritis, logis, analitis, dan sistematis untuk menemukan jawaban dari suatu masalah. Masalah yang akan dicari jawabannya tersebut harus kontekstual. Kontekstual dalam hal ini yaitu mengaitkan konten mata pelajaran (isi, materi pelajaran) dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
19
2.1.1.8 Kelebihan dan Kekurangan Metode Inkuiri Dalam penerapan pembelajaran menggunakan metode inkuiri, memiliki beberapa keuntungan/kelebihan yaitu meliputi: 1. Pengajaran berpusat pada siswa sehingga makin besar baginya untuk mengalami proses belajar. 2. Pengajaran inkuiri dapat membentuk self concept (konsep diri) sehingga terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, lebih kreatif, berkeinginan untuk selalu mengambil kesempatan yang ada dan pada umumnya memiliki mental yang sehat. 3. Tingkat pengharapan bertambah yaitu ada kepercayaan diri serta ide tertentu bagaimana siswa dapat menyelesaikan suatu tugas dengan caranya sendiri. 4. Pengembangan bakat dan kecakapan individu lebih banyak kebebasan dalam proses
belajar
mengajar
berarti
makin
besar
kemungkinannya
untuk
mengembangkan kecakapan, kemampuan dan bakat-bakatnya. 5. Dapat memberi waktu kepada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi. 6. Dapat menghindarkan siswa dari cara-cara belajar yang sifatnya tradisional. Di samping memiliki kelebihan, inkuiri juga memiliki kelemahan diantaranya sebagai berikut: 1. Diperlukan kesiapan mental untuk belajar, percaya diri yang kuat dan siswa harus mampu menghilangkan hambatan. 2. Inkuiri bila diterapkan dalam kelas dalam jumlah siswa yang besar, kemungkinan besar tidak berhasil sehingga disini akan dikombinasikan dengan media untuk mengatasi kelas besar tersebut. 3. Siswa yang terbiasa belajar dengan pengajaran tradisioanal yang telah dirancang guru, biasanya agak sulit untuk memberi dorongan. 4. Lebih mengutamakan dan mementingkan pengertian, sikap, dan ketrampilan memberi kesan terlalu idealis (Sofa, 2008).
20
2.1.1.9 Langkah-Langkah Pembelajaran CTL Komponen Inkuiri Langkah-langkah pembelajaran CTL Komponen Inkuiri di dalamnya memuat tugas meneliti, menyusun laporan (lisan/tulisan), tugas motorik dan lain sebagainya. Penggunaannya pada pembelajaran IPA untuk siswa SD dapat memberikan hasil yang baik apabila guru mengetahui langkah-langkah pelaksanaannya. Seperti yang dijelaskan Joyce dan Weil dalam Hidayati (2008:6.10) ada 5 tahap pelaksanaannya yang berasal dari fakta sampai terjadinya suatu teori yaitu sebagai berikut: 1. Guru memberi permasalahan dan menjelaskan prosedur pelaksanaan penemuan kepada siswa. Guru harus menjelaskan tentang tujuan dan proses pelaksanaan penemuan dengan memberikan pertanyaan yang jawabannya hanya “ya” atau “tidak”. Maksudnya agar siswa berpikir lebih teliti. Dengan demikian menghindarkan siswa dari beban pemikiran, karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang terbuka dari guru. 2. Verifikasi. Verifikasi yaitu siswa mengumpulkan data atau informasi tentang peristiwa atau masalah yang telah mereka lihat atau alami. 3. Melakukan eksperimentasi. Eksperimen mempunyai dua fungsi yaitu eksplorasi dan menguji langsung. Eksplorasi adalah merubah sesuatu untuk melihat apa yang akan terjadi dan tidak perlu bimbingan atau teori hipotesis. Sedangkan menguji langsung terjadi bila siswa melakukan uji coba teori atau hipotesis. Selanjutnya guru harus memperdalam proses inkuiri siswa dengan memperluas jenis-jenis informasi yang diperoleh tentang benda, sifat, kondisi, dan peristiwa. 4. Guru meminta siswa untuk mengorganisir data dan menyusun suatu penjelasan. Artinya data tersebut setelah diorganisir kemudian dideskripsikan sehingga menjadi suatu paparan hasil temuannya. 5. Siswa diminta untuk menganalisis proses inkuiri. Analisis dari siswa ini penting karena menjadi dasar pelaksanaan inkuiri berikutnya, artinya guru harus memperbaiki kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang telah dilakukan.
21
Sedangkan menurut Sanjaya (2010:201), menjelaskan langkah-langkah pembelajaran CTL komponen inkuiri yaitu sebagai berikut: 1. Orientasi Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsive. Pada langkah ini guru mengkondisikan agar siswa siap melaksanakan proses pembelajaran. Keberhasilan strategi inkuiri sangat bergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan masalah; tanpa kemauan dan kemampuan itu tidak mungkin proses pembelajaran berjalan dengan lancar. 2. Merumuskan masalah Merumuskan masalah merupakan langkah yang membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Dengan demikian, teka-teki yang menjadi masalah dalam berinkuiri adalah teka-teki yang mengandung konsep yang jelas yang harus dicari dan ditemukan. 3. Mengajukan hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan berhipotesis pada setiap anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji. Hipotesis bukan sembarang perkiraan, tetapi harus memiliki landasan berpikir kokoh sehingga hipotesis yang diajukan itu bersifat rasional dan logis. 4. Mengumpulkan data Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji
hipotesis
yang
diajukan.
Dalam
strategi
pembelajaran
inkuiri,
mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya.
22
5. Menguji hipotesis Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima atau ditolak sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Yang terpenting dalam menguji hipotesis dalah mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban yang diberikan. Di samping itu, menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasar argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan. 6. Merumuskan kesimpulan Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Merumuskan kesimpulan merupakan akhir dalam proses pembelajaran. Oleh karena banyaknya data yang diperoleh, kadang menyebabkan kesimpulan yang dirumuskan tidak fokus terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Karena itu, untuk mencapai kesimpulan yang akurat, sebaiknya guru mampu menunjukkan kepada siswa data yang relevan. Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli, peneliti memodifikasi langkah tersebut. Berikut ini langkah-langkah yang peneliti gunakan: 1. Identiifkasi dan merumuskan masalah •
Siswa menyimak materi pembelajaran yang akan dibahas.
•
Siswa mengidentifikasi masalah yang menjadi fokus inkuiri.
•
Siswa diarahkan pada suatu pertanyaan terkait dengan identifikasi masalah.
•
Siswa bersama guru merumuskan masalah dengan menyajikan pertanyaan.
2. Membuat hipotesis •
Siswa dalam kelompok menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang telah dirumuskan.
3. Mengumpulkan data •
Siswa dalam kelompok menyimak rancangan percobaan.
•
Siswa bersama kelompok melakukan percobaan.
4. Menguji hipotesis •
Siswa menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh dari percobaan.
23
•
Siswa berdiskusi untuk mendeskripsikan hasil analisis data.
5. Penyajian hasil hipotesis •
Siswa mempresentasikan hasil percobaan dan kelompok lain menanggapi.
6. Merumuskan kesimpulan •
Guru bersama siswa merumuskan kesimpulan dari hasil percobaan.
2.1.2 Hasil Belajar IPA 2.1.2.1 Hakekat Hasil Belajar Dimyati dan Mudjiono (2009:20) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan suatu puncak proses hasil belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak bermanfaat bagi siswa dan guru. Menurut Davies dalam Dimyati dan Mudjiono (2009:201), ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 3, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sementara menurut Lindgren dan Suprijono (2011:7), hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Sedangkan menurut Sudjana (2011:22), bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Senada dengan Lindgren dalam Sudjana (2011:22) membagi 3 macam hasil belajar mengajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengarahan, dan (c) sikap dan cita-cita. Dari pendapat yang dikemukakan oleh para tokoh mengenai hasil belajar, maka peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan tingkat perkembangan mental yang membentuk pola pemahaman, ditampilkan dengan sikap dan diwujudkan dengan perbuatan setelah menerima pengalaman belajarnya menuju kecakapan hidup. Keberhasilan tingkat perkembangan dapat diukur dan dinilai berdasarkan evaluasi hasil belajar siswa. Nilai-nilai tersebut dapat dibandingkan dengan nilai-nilai peserta lain atau dibandingkan dengan nilai standar tertentu. Evaluasi hasil belajar dimulai dengan mengukur apakah siswa sudah menguasi ilmu yang dipelajari atas bimbingan guru
24
sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. Kemudian guru akan memberikan penilaian terhadap siswa berdasarkan pengukuran dari kriteria tertentu. Penilaian hasil belajar (PP No. 19 tahun 2005), Standar penilaian ada 3 yaitu: 1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik 2. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan 3. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah Pendekatan kontekstual komponen inkuiri merupakan pembelajaran yang inovatif, sehingga fokus perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan. Oleh karena itu, penilaian tidak cukup bila pada hasil belajar. Penilaian terhadap proses belajar juga sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Hal tersebut sejalan dengan Sudjana (2011:1) yang mengungkapkan bahwa lingkup sasaran penilaian mencakup tiga sasaran pokok, yakni (a) program pendidikan, (b) proses belajar mengajar, dan (c) hasil belajar. Penilaian program pendidikan atau penilaian kurikulum menyangkut penilaian terhadap tujuan pendidikan, isi program, strategi pelaksanaan program, dan sarana pendidikan. Penilaian proses belajar mengajar menyangkut penilaian terhadap penilaian guru, kegiatan siswa, pola interaksi guru-siswa, dan keterlaksanaan program belajar mengajar. Sedangkan penilaian hasil belajar menyangkut hasil belajar jangka pendek dan hasil belajar jangka panjang. Dalam penelitian ini, pembahasan dibatasi pada penilaian hasil belajar dan penilaian proses belajar mengajar. Penilaian proses dan hasil belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil merupakan akibat dari proses. Menurut Arikunto (2009:25) evaluasi adalah kegiatan pengumpulan data untuk mengukur sejauh mana tujuan sudah tercapai. Selain mengacu pada tujuan, evaluasi juga harus mengacu atau disesuaikan dengan kegiatan belajar yang dilaksanakan. Untuk memperoleh data evaluasi pembelajaran dalam penelitian perlu dilakukan pengumpulan data dan pengukuran. Peneliti sering menggunakan beberapa macam cara (teknik) dan alat (instrumen) pengumpulan data agar dapat saling melengkapi, sehingga kelemahan yang terdapat pada salah satu alat pengumpul data dapat diatasi oleh alat pengumpul data yang lain.
25
Teknik evaluasi dapat dibedakan menjadi 2, yakni tes dan non tes. 1. Tes Tes merupakan metode pengukuran penelitian yang berfungsi untuk mengukur kemampuan seseorang (Poerwanti, 2011:25). Adapun komponen atau kelengkapan sebuah tes menurut Arikunto (2009:159), yaitu (a) lembaran atau buku yang memuat butir-butir soal tes, (b) lembar jawaban tes, (c) kunci jawaban tes, dan (d) pedoman penilaian. Dengan demikian, hasil pengukuran dengan menggunakan tes termasuk kategori data kuantitatif. Ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur siswa, maka dibedakan ada 3 macam tes (Arikunto, 2009:33) yaitu meliputi: 1) Tes diagnostik Tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. 2) Tes formatif Tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengetahui suatu program tertentu. 3) Tes sumatif Tes yang dilaksanakan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program. Menurut Poerwanti (2008:4-9) berdasarkan cara mengerjakannya, tes dibagi menjadi 3 yaitu: 1)
Tes tertulis (written) Tes tertulis terdiri dari 2 bentuk yaitu: a) Tes objektif Tes objektif adalah tes tulis yang menuntut siswa memilih jawaban yang telah disediakan, bentuknya berupa: •
Tes benar salah
•
Tes pilihan ganda
•
Tes menjodohkan
•
Tes melengkapi
•
Tes jawaban singkat
26
b) Tes essai Tes essai adalah tes tulis yang meminta siswa memberikan jawaban berupa uraian. Bentuknya berupa tes essai: essai bebas dan essai terbatas. 2)
Tes lisan (oral test) Pada tes lisan baik pertanyaan maupun jawaban semuanya dalam bentuk lisan.
3)
Tes perbuatan/unjuk kerja (performance test) Pada tes ini siswa diminta untuk melakukan sesuatu sebagai indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor.
2. Non Tes Alat penilaian non tes yang dapat diterapkan di SD yaitu sebagai berikut: 1) Rating scale/skala penilaian 2) Check list/daftar cek 3) Anecdotal recard/catatan kejadian 4) Sosiometri 5) Portofolio Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa melalui teknik tes maupun non tes yang diperoleh dari penilaian proses. Hasil belajar tersebut dibandingkan dengan kriteria tertentu yaitu KKM untuk mengetahui nilai kompetensi yang diperoleh siswa. Dengan kata lain, hasil belajar merupakan perolehan skor kompetensi yang diperoleh siswa berdasarkan penilaian proses dan penilaian hasil belajar. 2.1.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Munadi (2008:24) antara lain meliputi faktor internal dan eksternal, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Internal a) Faktor fisiologis Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani dan
27
sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran. b) Faktor Psikologis Setiap individu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor intelegensi meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik. 2. Faktor Eksternal a) Faktor Lingkungan Faktor lingkkungan dapat mempengaruhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udaranya akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran di pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega. b) Faktor Instrumental Faktor-faktor
instrumental
adalah
faktor
yang
keberadaan
dan
penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru. Menurut Sunarto (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain: 1. Faktor Intern Faktor intern adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Diantara faktor-faktor intern yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang antara lain: •
Kecerdasan/intelegensi
•
Bakat
•
Minat
•
motivasi
28
2. Faktor Ekstern Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut. Yang termasuk faktor-faktor ekstern antara lain: •
Keadaan lingkungan keluarga
•
Keadaan lingkungan sekolah
•
Keadaan lingkungan masyarakat Sedangkan menurut Darsono (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi proses
dan hasil belajar adalah sebagai berikut: 1. Kesiapan belajar Faktor kesiapan belajar baik fisik maupun psikologis, sikap guru yang penuh perhatian dan mampu menciptakan situasi kelas yang menyenangkan merupakan implikasi dari prinsip kesiapan ini. 2. Perhatian Perhatian adalah pemusatan pikiran, tenaga, dan psikis yang bertujuan pada suatu obyek. Perhatian timbul karena adanya sesuatu yang menarik sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. 3. Motivasi Motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif saat orang melakukan suatu aktivitas. Sedangkan motif adalah kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong orang melakukan kegiatan tertentu yang mencapai tujuan. 4. Aktivitas siswa Aktivitas siswa dapat dilihat dari suasana belajar yang tercipta dalam proses pembelajaran yang berlangsung sehingga siswa terlihat aktif berperan. 5. Mengalami sendiri Dalam melakukan sesuatu sendiri akan memberikan hasil belajar yang lebih mendalam. 6. Pengulangan Adanya latihan-latihan akan berarti bagi siswa untuk lebih meningkatkan kemampuan dan pemahaman materi.
29
7. Balikan dan penguatan Balikan adalah masukan yang sangat penting bagi siswa maupun guru. Penguatan adalah tindakan yang menyenangkan dari guru terhadap siswa yang telah berhasil melakukan sesuatu perbuatan belajar. 8. Perbedaaan individual Karakteristik yang berbeda baik fisik maupun perbedaan tingkat kemampuan dan minat belajar memerlukan perhatian khusus agar perkembangan siswa tetap berlangsung baik sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri seseorang) dan faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri seseorang), sangatlah mempengaruhi terhadap proses dan perolehan hasil belajar yang didapat oleh siswa. 2.1.2.3 Dimensi Hasil Belajar Bloom (2001:7) mengemukakan bahwa ada 3 dimensi hasil belajar yaitu sebagai berikut: 1. Dimensi kognitif Dimensi kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah seperti pengetahuan komprehensif, aplikatif, sintesis, analisis dan pengetahuan evaluative. 2. Dimensi afektif Dimensi afektif adalah kemampuan yang berhubungan sikap, nilai, minat dan apresiatif. 3. Dimensi psikomotorik Dimensi psikomotorik adalah kemampuan yang berhubungan dengan ketrampilan motorik. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi belajar mengarah kepada 3 aspek dimensi yaitu dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik. 2.1.2.4 Hakekat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) The Harper Encyclopedia of Science menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu pengetahuan juga pendapat yang tersusun dan ditunjang secara sistematis oleh bukti-bukti yang formal atau hal-hal yang dapat diamati. Salah satu definisi Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu pengetahuan yang muncul dari aktivitas progresif manusia
30
berupa berbagai eksperimen dan observasi sedemikian rupa sehingga muncul konsep baru. Konsep baru itu kemudian akan mendorong dilakukannya eksperimen dan observasi lebih lanjut (Subiyanto, 1998:14). Ilmu Pengetahaun Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya
menekankan
pada
pemberian
pengalaman
langsung
untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Permendiknas No.22 Tahun 2006). Berdasarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006 mengenai mata pelajaran IPA, maka dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang mempelajari fenomena-fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mencari tahu melalui pertanyaan kritis (apa, mengapa, dan bagaimana) dan dilakukan dengan cara sistematis untuk mengembangkan potensi siswa. Potensi siswa yang dikembangkan mencakup pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang nantinya dapat digunakan sebagai bekal kecakapan hidup untuk kecakapan hidup untuk menyesuaikan perubahan perkembangan IPTEK yang berkembang pesat di era globalisasi. 2.1.2.5 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Di tingkat SD diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana (Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
31
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan ketrampilan proses dan sikap ilmiah (Permendiknas No. 22 Tahun 2006). Mata Pelajaran IPA di SD bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antar IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. 4. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/SMA. 2.1.2.6 Ruang Lingkup Bahan Kajian IPA Untuk SD Ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD secara umum meliputi dua aspek yaitu kerja ilmiah dan pemahaman. Konsep lingkup kerja ilmiah meliputi kegiatan penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan, kreatifitas, pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah. Sedangkan lingkup pemahaman konsep dalam Kurikulum KTSP relatif sama jika dibandingkan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sebelumnya telah digunakan. Secara terperinci lingkup materi yang terdapat dalam Kurikulum IPA SD yaitu sebagai berikut (Permendiknas No. 22 Tahun 2006):
32
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan. 2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: benda padat, cair dan gas. 3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana. 4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran IPA di SD, kedua aspek (kerja ilmiah dan pemahaman) saling berhubungan. Aspek kerja ilmiah diperlukan untuk memperoleh pemahaman atau penemuan konsep IPA sehingga tercapai SK dan KD berdasar standar minimum nasional. 2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Dalam membuat penelitian perlu mempehatikan penelitian orang lain sebagai bahan kajian hasil penelitian yang relevan. Kajian hasil penelitian yang relevan dalam penelitian “Penggunaan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) Komponen Inkuiri Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas V SD Negeri Sawahjoho 01 Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang Semester I Tahun Pelajaran 2013/2014” yaitu: Kusumah, Panji (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Meningkatkan Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan CTL Pada Siswa Kelas V SDN Panggungrejo Kota Pasuruan”, Universitas Negeri Malang, S1 Program Studi S1 PGSD 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan CTL oleh guru dapat dilakukan dengan baik dan mengalami peningkatan siklus I ke siklus II sebesar 18% dari 72% menjadi 90%. Aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan dari pra tindakan ke siklus I sebesar 21% dan siklus I ke siklus II sebesar 13%. Hasil belajar siswa meningkat sebesar 15,64% dari pra tindakan ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar 8,83%. Tanggapan siswa dengan penerapan
33
pendekatan CTL menunjukkan bahwa dengan CTL siswa lebih senang dalam belajar, lebih cepat memahami makna dari kegiatan yang mereka lakukan karena siswa diajak menemukan sendiri isi materi yang dipelajari sehingga pembelajaran tidak menjenuhkan dan membosankan. Rakhmawati, Indah (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Kontekstual Dengan Model Inkuiri Untuk Meningkatkan Sikap dan Hasil Belajar IPA Biologi Kelas VII E SMP Negeri 3 Porong” S1 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan sikap belajar siswa untuk setiap aspek meliputi aspek kemauan untuk mengumpulkan dan menggunakan bukti 53% (siklus I) menjadi 72% (siklus II), aspek kemauan untuk mengubah gagasan atau pendapat terkait dengan bukti 48% (siklus I) menjadi 62% (siklus II), dan aspek kemauan untuk mereviu prosedur 26% (siklus I) menjadi 48% (siklus II). Hasil belajar kogntif klasikal yaitu 42% (siklus I) menjadi 97% (siklus II). Peningkatan juga terlihat pada rata-rata Nilai Tes Belajar individu (NTBi) siswa yaitu 63,26% (siklus I) menjadi 84,06% (siklus II). Dalam penerapan pembelajaran kontekstual dengan model inkuiri sebaiknya guru melakukan secara berkesinambungan dan teratur sehingga mampu mempercepat penyesuaian siswa terhadap kondisi belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Rohmani, Dian (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 2 SDN Pandanwangi 1 Kota Malang”, Program S1 PGSD Universitas Negeri Malang. Pada penelitian ini, guru menerapkan tujuh komponen CTL dalam pembelajaran. Tujuh komponen tersebut adalah constructivism, questioning, inquiry, modeling, learning community, reflection, and authentic assessment. Nilai kemampuan guru pada pra tindakan rata-rata 14,29% meningkat pada siklus I menjadi 76,79% dan pada siklus II menjadi 98,22%. Penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan aktivitas siswa pada pembelajaran IPA. Hasil belajar ssiwa pada pra tindakan rata-rata 63% meningkat pada siklus I menjadi 80,65% dan pada siklus II hasil belajar siswa menjadi 87,12%. Aktivitas belajar siswa juga mengalami peningkatan. Pada pra tindakan rata-rata yang diperoleh adalah 52, meningkat pada siklus I menjadi 64,23 dan pada siklus II menjadi 76,29. Untuk menunjang pembelajaran, guru menyiapkan media konkret untuk anak usia SD. Selain itu guru menerapkan komponen-komponen
34
pendekatan kontekstual, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa di kelas. 2.3 Kerangka Berpikir Berdasarkan penyajian deskripsi teoritik, dapat disusun suatu kerangka berpikir untuk memperjelas arah dan maksud penelitian. Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan variabel yang dipakai dalam penelitian yaitu Penggunaan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) Komponen Inkuiri Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA.. Kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut: Guru Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
Guru belum menggunakan Pendekatan Kontekstual Komponen Inkuiri dalam Pembelajaran IPA
Menerapkan Pendekatan Kontekstual Komponen Inkuiri dalam Pembelajaran IPA
Hasil Belajar Siswa Mengalami peningkatan
Gambar 1 Skema Kerangka Berpikir
Siswa Hasil Belajar IPA pada Siswa rendah
SIKLUS I Menerapkan Pendekatan Kontekstual Komponen Inkuiri dalam Pembelajaran IPA
Siklus II Menerapkan Pendekatan Kontekstual Komponen Inkuiri dalam Pembelajaran IPA
35
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian pada kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) komponen inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas V SDN Sawahjoho 01 Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang Semester I Tahun Pelajaran 2013/2014.