perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Otoritas Jasa Keuangan 1. Sejarah Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada Pasal 34 yang menyebutkan bahwa : a.
Tugas
mengawasi
bank
akan
dilakukan
oleh
lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang; b.
Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Pada akhir tahun 2002, lembaga sektor jasa keuangan
independen sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia belum juga terbentuk. Pada tahun 2004, terbentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang pada Pasal 34
menyebutkan: 1) Tugas
mengawasi
bank
akan
dilakukan
oleh
lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang; 2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Jangka waktu yang diamanatkan dalam Undang-Undang Bank Indonesia kembali mengalami daluarsa. Sampai akhirnya, baru pada tahun 2011 disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, commit to userpasar modal, modal ventura, dan
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perusahaan
pembiayaan,
serta
badan-badan
lain
yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Penjelasan
Pasal
34
Undang-Undang
Bank
Indonesia
menyebutkan bahwa OJK bersifat independen dalam menjalankan tugas, kedudukan OJK berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pembentukan OJK adalah keberadaan produk jasa keuangan yang semakin kompleks dan bervariasi, muncul gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Salah satu alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, sejumlah bank yang ada pada saat itu dilikuidasi. 12 OJK harus memiliki tujuan yang jelas dan meyakinkan bagi OJK sendiri, pemerintah dan masyarakat. Tujuan tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar regulasi yang baik sebagaimana ditekankan oleh forum-forum regulator internasional, seperti BISBasle Principles, IAIS, IOSCO, OECD, INPRS dan asosiasi lain yang diakui secara internasional sebagaimana dipraktikkan di berbagai negara, tujuan OJK adalah untuk memelihara pertumbuhan industri sektor jasa keuangan yang sehat, kompetitif, stabil, efisien, dan aman, sebagai
media
Indonesia.
utama
dalam
perbaikan
kesejahteraan
rakyat
13
Guna pencapaian tujuan yang dicanangkan, maka OJK sepatutnya memiliki cakupan kewenangan yang meliputi perizinan (entry-exit),
pengaturan,
pengawasan,
penegakan
hukum
dan
perlindungan konsumen di bidang sektor jasa keuangan. Untuk 12
Sulistyandari, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012, hlm. 171 13 Darmin Nasution, Konsepsi Pemikiran Otoritas Jasa Keuangan, dalam kumpulan commit to user di Indonesia dalam Setengah Abad artikel berjudul Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Terakhir, 2005, hlm. 180
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendukung pencapaian tujuan dan optimalisasi pelaksanaan kegiatan tersebut, OJK harus melaksanakan wewenangnya dengan 14: a.
merumuskan dan menerapkan ketentuan dengan konsisten;
b.
merumuskan dan menerapkan regulasi dan arahan-arahan yang jelas dan dapat dipahami;
c.
mampu mengurangi tingkat kejahatan di bidang jasa keuangan;
d.
bertindak secara transparan dan akuntabel;
e.
tidak terlibat dalam kompetisi antar pelaku pasar;
f.
meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan;
g.
bertindak fair; dan
h.
efisiensi biaya.
2. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan menurut Siti Sundari adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan OJK sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia perlu diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut. 15 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undangundang
ini.
OJK
adalah
lembaga
yang
independen
dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
14
Andika Hendra Mustaqim, Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional, Jurnal Hukum Perspektif. Vol.VIII. No. 1, 2010, hlm. 11 15 commitHukum to user Siti Sundari, Laporan Kompendum Bidang Perbankan, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011, hlm. 44
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang OJK, senada dengan yang termuat dalam Pasal 2. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsipprinsip tata kelola
yang baik,
yang meliputi independensi,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Exofficio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional
dalam
rangka
persaingan
global
dan
kesepakatan
internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. 3. Asas-asas Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut: a.
asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
c.
digilib.uns.ac.id
asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
d.
asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan;
e.
asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.
asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
g.
asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
4. Tujuan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 4 Undang-undang OJK mengatur bahwa tujuan OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalam penjelasan Undang-undang OJK dipaparkan bahwa dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber manusia, pengelolaan, pengendalian, commitdaya to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
dan
digilib.uns.ac.id
kepemilikan
di
sektor
jasa
keuangan,
dengan
tetap
mempertimbangkan aspek positif globalisasi. 5. Fungsi dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan Fungsi OJK diatur pada Pasal 5 yang pada pokoknya untuk menyelenggarakan
sistem
pengaturan
dan
pengawasan
yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tugas pokok OJK adalah untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana tercantum pada Pasal 6. Pengintegrasian sistem pengawasan ini dilakukan agar mekanisme pengawasan dapat dilakukan satu atap oleh sebuah lembaga independen yang sebelumnya fungsi pengawasan lembaga keuangan dilakukan secara terpisah oleh Bapepam dalam pengawasan Pasar Modal dan Bank Indonesia dalam pengawasan Perbankan. Wewenang OJK diatur pada Pasal 6 diantaranya: a.
pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.
pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,
rasio
pinjaman
terhadap
simpanan,
dan
pencadangan bank;to user commit
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; a) sistem informasi debitur; b) pengujian kredit (credit testing); dan c) standar akuntansi bank. c.
pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, serta pemeriksaan bank. Pasal 39 memaparkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya,
OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: a.
kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
b.
sistem informasi perbankan yang terpadu;
c.
kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri;
d.
produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
e.
penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
f.
data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip checks andbalances. Prinsip checks and balances diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan commit to user untuk sektor Perbankan, Pasar
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
B. Perbankan Syariah 1. Pengertian Perbankan Syariah Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). 16Menurut Zainuddin Ali, bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai hukum Islam. Selain itu, bank syariah atau yang biasa disebut Islamic Banking atau interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan yang dalam melaksanakan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir),
dan
ketidakpastian
atau
ketidakjelasan
(gharar). 17 Peristilahan dengan menggunakan kata Islam tidak dapat lepas dari asal-usul sistem perbankan syariah itu sendiri yaitu penyedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip hukum Islam. 18 Pengertian bank syariah dibedakan manjadi dua: (1) bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam; (2) bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya
mengikuti
ketentuan-ketentuan
syariah
Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
16
Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm, 61 17 commit to user Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 1 18 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2004, hlm. 13
17
perpustakaan.uns.ac.id
Tata
digilib.uns.ac.id
cara
bermuamalahharus
menjauhi
praktek-praktek
yang
dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. 19 Mencermati beberapa pengertian tersebut dapat diartikan bahwa bank syariah adalah bank yang melakukan aktivitasnya dalam pemberian jasa dan lainnya dengan mendasarkan kegiatannya pada prinsip syariah Islam, bank syariah menghindari penggunaan instrumen bunga (riba) dan beroperasi dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Hal inilah yang membedakan sistem perbankan syariah dengan sistem perbankan konvensional.
2. Dasar Hukum Perbankan Syariah Al Quran mengharuskan umat Islam untuk melakukan investasi dan perdagangan dengan prinsip syariah dan melarang riba : a.
Q.S. Al Baqarah 2 : 275
Artinya: Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat). Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
19
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafe’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 1.
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. 20 b.
Q.S. Ali Imran 3 : 130 Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. 21
c.
Q.S. An Nisa 4 : 161 Artinya: Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih. 22 Hadist riwayat Muslim menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : Allah mengetuk terhadap orang yang makan harta riba, juga wakilnya, dua orang saksinya serta juru tulisnya, yang mereka keadaannya serupa (dalam hal dosanya). 23 Pemberian landasan hukum bagi beroperasinya perbankan syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dicantumkan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan perbankan dengan prinsip bagi hasil yang selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank dan Bagi Hasil. Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang 20
Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Pustaka Al Hanan, Klaten,
2009 21
Ibid. Ibid. 23 commit to userShahih Bukhari Muslim, Karya Utama, Hussein Bahreisj, Hadits Shahih Al Jamius Surabaya, hlm. 123 22
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perbankan didalamnya tercantum kata-kata Bank Syariah. Bahkan Pasal 1 angka 3 menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha adalah menyediakan
pembiayaan
dan/atau
melakukan
kegiatan
lain
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain : a.
Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsipprinsip syariah;
b.
Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah;
c.
Persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Menurut Undang-undang Bank Indonesia, bank syariah harus
tunduk pada seluruh peraturan bank umum yang berlaku, yang pada umumnya belum mengakomodir keunikan Bank Syariah. Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berdasarkan nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat karena perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, belum spesifik mengatur mengenai perbankan syariah, maka kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini mengatur tentang perbankan yang berdasarkan prinsip syariah sehingga dengan eksistensi undangundang ini, perbankan syariah telah mempunyai kedudukan hukum yang jelas di Indonesia. Bank Syariah memiliki keistimewaan-keistimewaan yang juga merupakan perbedaancommit jika dibandingkan dengan bank konvensional. to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumitro memberikan pemahamannya mengenai keistimewaan bank syariah 24 : a.
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya;
b.
Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, akan menimbulkan akibat-akibat yang positif;
c.
Di dalam bank syariah, tersedia fasilitas kredit kebaikan (alQardhul Hasan) yang diberikan secara cuma-cuma;
d.
Keistimewaan yang paling menonjol dari bank syariah adalah melekat pada konsep (built in concept);
e.
Keistimewaan lain bank syariah adalah dengan penerapan sistem bagi hasil berarti tidak membebani biaya diluar kemampuan nasabah dan akan menjamin adanya keterbukaan;
f.
Adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan ekonomi masyarakat modern cenderung menimbulkan pengeksploitasian kelompok kuat (kuat ekonomi dan politik) dan kelompok lemah. Kenyataan ini menimbulkan reaksi balik dari kelompok lemah yang mayoritas untuk berkreasi bagi munculnya kehidupan ekonomi yang berkeadilan.
Dari keistimewaan-keistimewaan bank syariah tersebut, disebutkan adanya ikatan emosional, kuatnya emosional keagamaan ini akan menimbulkan adanya akibat-akibat kebersamaan dalam menghadapi risiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil, semua pihak yang terlibat dalam bank syariah akan memiliki tanggung jawab usaha yang sama sesuai dengan ajaran agamanya, sehingga semua pihak akan menerima perolehannya dengan ikhlas. Selain itu juga akan membawa akibat-akibat positif yaitu cost push inflation, yaitu akibat penerapan sistem bunga pada bank konvensional dapat dihilangkan, sehingga bank syariah diharapkan akan mampu menjadi pendukung kebijaksanaan moneter yang handal dan memungkinkan persaingan antar bank syariah berjalan secara wajar, karena 24
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait commit to user (BAMUI, Takaful, Pasar Modal Syariah)di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keempat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 22
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keberhasilan bank syariah ditentukan oleh fungsi edukatif bank didalam membina nasabah dengan kejujuran, keuletan, dan profesionalisme. Bank syariah akan lebih mandiri dari pengaruh gejolak moneter dari dalam maupun luar negeri. Keistimewaan bank syariah yang paling menonjol yaitu melekat pada konsep yang berorientasi dalam hal mendorong kegiatan investasi melalui sistem operasi profit and loss sharing sebagai pengganti bunga, baik yang diterapkan kepada nasabah al-mudharabah dan al-musyarakah, maupun yang diterapkan kepada banknya sendiri. Dengan sistem ini penyimpan dana diberikan motivasi untuk melakukan investasi yang menguntungkan. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan tertindas (dhu’afa dan mustadh’afin) melalui bantuan hibah yang diarahkan oleh bank secara produktif. Dananya bisa diperoleh dari zakat dan sedekah, serta melalui pinjaman lunak tanpa bunga (al-qardhul hasan) yang dananya diperoleh dari zakat. Khususnya penerimaan dari infaq dananya disalurkan untuk pengembangan sarana ibadah dan pendidikan Islam. Mengembangkan produksi, menggalakkan dan memperluas lapangan kerja melalui kredit pemilikan barang/peralatan modal dengan pembayaran tangguhan (al-murabahah) dan pembayaran cicilan (al-ba’i bithaman ajil) yang disalurkan kepada pengusaha produsen, pengusaha pedagang perantara, dan konsumen dari barang yang dihasilkan pengusaha produsen. Dana untuk pengembangan industri, perdagangan dan kesempatan kerja ini diperoleh dari penyimpanan dana baik dalam bentuk giro, deposito maupun tabungan. Pemerataan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan kerugian baik yang diberlakukan kepada bank sendiri selaku mudharib atau pemegang amanah maupun kepada peminjam dalam operasi mudharabah dan musyarakah. Keistimewaan lain bank syariah yaitu tidak membebani biaya kepada nasabah diluar kemampuannya karena bank syariah tidak menetapkan beban biaya di muka. Apa yang menjadi kewajiban nasabah adalah membagi hasil dari perolehan usaha secaracommit nyata to yang usersebagian atau seluruhnya dibiayai
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh bank. Keterbukaan akan terjamin, karena nasabah selalu dapat mengetahui perkembangan perolehan bank dari sistem bagi hasilnya. Sehingga bank tidak akan bisa menyembunyikan pendapatannya.
C. Kontrak 1) Pengertian Kontrak Secara etimologi, perjanjian dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah al-mu’ahadah (janji), al-ittifa’ (kesepakatan) dan al‘aqdu (ikatan). Mencermati dari segi terminologi, perjanjian atauakad secara umum adalah suatu janji setia kepada Allah SWT, atau suatu perjanjian yang dibuat antar manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari. Kamus al-Mawrid, menerjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian. Akad menurut istilah adalah kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum
yang
mengikat
untuk
melaksanakannya.
Subhi
Mahmasaniymengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan. 25 Hasbi mendefinisikan kontrak sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama. Hukum Islam tidak membedakan istilah kontrak dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. 26 Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syara’ yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya. 27 Pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrak merupakan kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih melalui ijab dan qabul yang 25
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah, Jurnal Ekonomi Islam La Riba Vol II No.1, Juli 2008, hlm.94 26 Hasbi al-Shiddieqiyy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm.34 27 Syamsul Anwar, Kontrak dalam Islam, makalah disampaikan pada Pelatihan commit to userAgama, Kerjasama Mahkamah Agung RI Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2006, hlm.7
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan apa yang telah disepakati. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 28 Berdasarkan definisi tersebut, timbul hubungan antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Perikatan/perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. 29 Menurut Subekti, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perikatan menurut Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah suatu hubungan hukum antara dua orang yang memberi hak pada pihak pertama untuk menuntut barang sesuatu dari pihak kedua, sedangkan pihak kedua diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Tuntutan dalam hal ini biasa dikenal dengan sebutan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa 30: a.
Menyerahkan suatu barang;
b.
Melakukan perbuatan;
c.
Tidak melakukan suatu perbuatan;
d.
Suatu perikatan dapat lahir dari dari undang-undang dan dapat pula lahir dari perjanjian. Istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami
secara rancu. Burgerlijk Wetboek menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua tentang Perikatan-perikatan
28
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet 12, PT Intermasa, Jakarta, 1990, hlm. 1 Dhaniswara K. Harjono, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Pusat Pengembangan Hukum to user dan Bisnis Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.commit 7 30 R. Subekti, Op. cit., hlm.22 29
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang lahir dari kontrak atau perjanjian dalam bahasa Belanda berbunyi Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden. Subektimenganggap istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit daripada perjanjian/perikatan, karena kontrak ditujukan kepada perjanjian/perikatan yang tertulis.
31
Sedangkan Pothier
membedakan contract dan convention (pacte). Disebut convention yaitu perjanjian antara dua orang atau dan lebih untuk menciptakan, menghapuskan atau merubah perikatan. Adapun contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan. 32 Argumentasi kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian disumbangkan oleh Peter Mahmud Marzuki dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem Anglo-American.
33
verbintenissenrecht
perikatan)
(hukum
Sistematika Buku III tentang mengatur
mengenai
overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti
perjanjian.
Menukil
konsep
kontinental,
penempatan
pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang hukum perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah harta kekayaan (vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Pola pikir Anglo-American, perjanjian yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan overeenkomst dan dalam Bahasa Inggris disebut agreement, mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement. Peneliti tidak akan membedakan pemakaian kontrak dan perjanjian dalam penulisan hukum dimaksud meskipun dalam kaitan 31
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 1. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1978, hlm. 84 33 commit toKebebasan user Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Berkontrak, artikel dalam Jurnal Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196 32
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini kontrak yang dimaksud adalah jelas merupakan kesepakatan tertulis antara para pihak dalam kontrak perbankan syariah, mengingat kedua istilah tersebut merujuk pada suatu kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri, dimana para pihak dikenai dengan hak dan kewajiban masing-masing.
2) Asas-Asas Kontrak Asas-asas hukum kontrak/perjanjian dalam hukum Islam diataranya : a.
Asas Ilahiah atau Asas Tauhid Allah SWT berfirman dalam QS.al-Hadid (57: 4) 34, yang bunyinya :
Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan tidak akan luput dari ketentuanAllah SWT. Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akanlepas dari nilai-nilai ketauhidan. 35 Dengan demikian manusia memiliki tanggungjawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepadapihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada AllahSWT. Akibat dari penerapan
asas
ini,
manusia
tidak
akan
berbuat
34
Al Qur’an,Op.cit. Muhammad Syakir Aula, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hlm. 723-727, lihat juga A.M. Hasan Ali, commit to user Analisis Historis, Teoritis dan Praktis, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan cet. 1, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 125-126 35
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekehendakhatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. b.
Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah) Kaidah fiqiyah berkait dengan perjanjian dintaranya menyebutkan bahwa pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang.
c.
Asas Keadilan (Al A’dalah) QS.Al A’raf (7: 29) 36, menyebutkan bahwa :
Artinya: Katakanlah, Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan dan (katakanlah), luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya). Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. 37 d.
Asas Persamaan atau Kesetaraan QS. Al-Hujurat (49:13)
38
, mengamanahkan sebagai
berikut: Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa 36
Al Qur’an,Op.cit. Dewi, Gemala dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana,Jakarta, 2006,
37
commit to user
hlm.33 38
Al Qur’an,Op.cit.
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Berpijak pada kesadaran atas ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri serta pentingnya bantuan orang lain, maka asas persamaan atau kesetaraan wajib dijunjung tinggi agar hak dan kewajiban masing-masing dapat berjalan secara baik. e.
Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq) Asas kejujuran dan kebenaran harus menjadi landasan pokok dalam perjanjian. Jika kejujuran ini tidak diterapkan, maka akan merusak legalitas perjanjian dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.
39
Allah berfirman dalam
QS.alAhzab (33:70) 40 : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat serta lingkungannya. f.
Asas Tertulis (Al Kitabah) Q.S. Al-Baqarah (2:282-283) 41 menyebutkan bahwa :
39
Ibid, hlm.37 Al Qur’an,Op.cit. 41 Al Qur’an,Op.cit. 40
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang commit penulis, to user maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah SWT telah mengingatkan untuk melakukan perjanjian secara tertulis dan menyarankan untuk adanya saksi. Selain itu, perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa. g.
Asas Itikad Baik (Asas Kepercayaan) Firman Allah SWT dalam QS.al-Hadid (57: 4) 42 :
Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Nilai ketuhanan menjadi landasan bagi para pihak untuk melaksanakan
kontrak
dengan
itikad
baik
dan
saling
menguntungkan. Asas itikad baik tercantum pula dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini mengamanatkan pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaian
commit to user 42
Al Qur’an,Op.cit.
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik diantaranya adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I. 43 h.
Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar. 44 Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti al-Ghazali dan asy-Syatibi merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-ayat alQur’an dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu melindungi agama, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat diri dan keluarga, serta harta kekayaan.
i.
Asas Konsensualisme atau Asas Kerelaan (Mabda’ arrada’iyyah) Firman Allah dalam QS. An-Nisa (4: 29) 45 : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Ayat tersebut mengajarkan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara
43
Ibid, hlm.11 M.Tamyiz Muharrom, Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM, dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X tahun 2003, Program Studi Syari’ah FIAI UII, Yogyakarta, 2003 commit to user 45 Al Qur’an,Op.cit. 44
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi
tersebut
dilakukan
dengan
cara
yang
batil. 46Berdasarkan hukum Islam, konsensualisme atau kerelaan merupakan asas yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata diatur bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. j.
Asas Kebebasan Berkontrak (Mabda’ hurriyah at ta’aqud) Asas-asas perjanjian Islam mengenal pula apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyah al-ta’aqud). Menurut al-Zarqa kebebasan berkontrak itu meliputi empat segi kebebasan 47 yaitu: 1) Kebebasan untuk mengadakan perjanjian; 2) Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian; 3) Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama; 4) Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian. Kaum
muslimin
dibenarkan
membuat
perjanjian
perdamaian dalam pelaksanaan hak-hak mereka, namun kebolehan tersebut berlaku dalam batas-batas sepanjang tidak melanggar ketentuan halal dan haram. Asas kebebasan berkontrak dalam ketentuan Pasal 1338 ayat KUH Perdata, yang berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
46
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Mariam Darus Badzrulzaman et. al. Kompilasi Hukum Perikatan, cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 250 47 to al-Jadid, user cet. ke-9, Matabi’ Alifba ‘al-Adib, Al-Zarqa. Al-Fiqh al-Islami commit fi SaMhihi Damaskus, 1968, hlm. 462
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3) Menentukan
isi
perjanjian,
pelaksanaan,
dan
persyaratannya; serta 4) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. k.
Asas Perjanjian Mengikat Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya:
Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-
perjanjian
mereka,
kecuali
perjanjian
(klausul)
yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 48 Setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian, kecuali yang menyangkut berbagai macam hal yang tidak halal. l.
Asas Keseimbangan Prestasi (Mabda’ at-Tawazun fi alMu’awadah) Asas
keseimbangan
prestasi
adalah
asas
yang
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. 49 Misalnya, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Keseimbangan kewajiban (prestasi) demikian akan berbanding lurus dengan terpenuhinya hak masing-masing. m.
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Pada QS. Al Isra’ (17:15) 50 disebutkan bahwa :
48
Hussein Bahreisj, Op.Cit. Salim H.S, Op. cit., hlm 13-14commit to 50 Al Qur’an,Op.cit. 49
user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. Firman Allah tersebut menunjukkan sebuah ketegasan dan kepastian mengenai perbuatan termasuk dalam kaitan perjanjian. Hak dan kewajiban menjadi tanggungan para pihak yang terikat dalam perjanjian Asas
kepastian
hukum
adalah
tidak
ada
suatu
perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut. 51 Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas demikian juga tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.
n.
Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
51
commit to user Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990,
hlm. 115.
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya. Ketentuan ini terdapat pengecualian sebagaimana yang dijelaskan Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan
bahwa
seseorang
dapat
mengadakan
perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli waris dan untuk orang-orang yang memperoleh
hak
daripadanya.
Asas
kepribadian
dalam
perjanjian dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hukum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang atasnya. Selain asas-asas sebagaimana tersebut diatas, juga dikenal
adanya
asas
kepatutan,
asas
kebiasaan,
dan
perlindungan. Asas-asas tersebut menjadi landasan dalam melaksanakan kontrak/perjanjian diantara para pihak.
3) Syarat Sah Kontrak Syarat sahnya perjanjian menurut Hukum Islam diantaranya 52 : a.
Adanya subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban serta cakap dalam melakukan perbuatan hukum (ahliyatul ada’);
commit to user 52
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006, hlm.83
35
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Adanya obyek 1) Obyek telah ada pada waktu akad diadakan, para ulama membolehan ketentuan ini disimpangi dengan belum ada wujud obyek, dengan syarat tidak akan menjadi sengketa di kemudian hari; 2) Obyek dapat dijadikan obyek hukum dan dapat dikenai akad; 3) Obyek akad harus dapat ditentukan dan dapat diketahui oleh kedua belah pihak, baik bentuk, sifat maupun kadarnya; 4) Obyek harus dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau setidaknya obyek tersebut benar-benar diketahui berada dalam wewenang pihak yang bersangkutan.
c.
Adanya Aqad (Ijab dan Qabul), yang secara rinci harus memuat: 1) Harus jelas pengertiannya, lafadz atau kalimat yang digunakan dalam ijab qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (urf) yang berlaku; 2) Harus terdapat kesesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul dalam
semua
segi
perjanjian,
untuk
menghindari
terjadinya kesalahpahaman di kemudian hari antara para pihak; 3) Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tanpa paksaan). Syarat lain dari perjanjian menurut hukum Islam 53 adalah : a. Tidak menyalahi hukum syariat b. Harus sama-sama saling ridha dan berdasarkan pada kesepakatan bersama, karena pemaksaan menafikan kemauan. Tidak ada penghargaan terhadap akad yang menafikkan kebebasan seseorang.
commit to user 53
Sayyid Sabiq, Op.Cit.
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Harus jelas dan tidak samar sehingga tidak mengundang berbagai interpretasi yang bisa menimbulkan salah paham pada waktu penerapannya. Perjanjian akan berlaku bagi para pihak yang mengikatkan diri. Pernyataan tersebut dikenal dengan Asas Pacta Sunt Servanda. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa keabsahan suatu perjanjian menjadi poin penting yang akan membuat aturan-aturan yang dibuat dalam perjanjian dapat berlaku mengikat kepada para pihak dalam perjanjian tersebut. Syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata setidaknya sebuah perjanjian harus memuat 4 syarat, yaitu : a.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Syarat pertama dan syarat kedua merupakan syarat subjektif, yaitu suatu syarat yang menyangkut pada subjek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
c.
Suatu pokok persoalan tertentu;
d.
Suatu sebab yang tidak terlarang. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, yaitu syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, meliputi suatu hal tertentu dan commit suatu sebab yang halal. Apabila syarat obyektif to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum dengan kata lain batal sejak semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian. Hukum
Islam
juga
mengatur
mengenai
pembatalan
perjanjian 54 , yang dapat dilakukan apabila terjadi situasi sebagai berikut : a. Jika waktunya terbatas atau diatasi dalam situasi dan kondisi tertentu. Jika waktu telah berakhir dan situasi kondisi telah berubah maka perjanjian tersebut batal; b. Jika pihak lain menyimpang dari perjanjian; c. Jika tampak penipuan dan bukti-bukti pengkhianatan.
4) Akibat Hukum Kontrak Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak menimbulkan akibat hukum, akibat tersebut menurut hukum Islam diantaranya : 1) Pelaksanaan perjanjian diliputi nilai ketuhanan (tauhid), para pihak tidak dapat bertindak sekehendak hatinya karena segala perbuatan akan mendapat balasan dari Allah SWT; 2) Para pihak dikenakan hak dan kewajiban atas prestasi; 3) Apabila ada salah satu pihak yang melanggar prestasi, maka pihak lain dapat menuntut pemenuhan prestasi; 4) Para pihak harus menghormati substansi kontrak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, hal demikian merupakan implikasi penerapan asas kepastian hukum (pacta sunt servanda); Akibat hukum kontrak atau perjanjian dalam KUH Perdata diatur pada Pasal 1338 sampai Pasal 1341, diantaranya : a.
Pasal 1338, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
b.
Pasal 1339, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
commit to user 54
Ibid, hlm 83-84
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang; c.
Pasal 1340, persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya;
d.
Pasal 1341, meskipun demikian tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan, bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur.
D. Hukum Islam Istilah hukum berasal dari bahasa Arab al-hukm yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingga kata al-hukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan. 55 Dalam perkembangannya, hukum ada yang tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis adalah dalam bentuk undang-undang, dan yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Hukum Islam adalah perintah-perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan orang Islam dalam seluruh aspeknya. Hukum Islam terdiri atas hukum-hukum yang sama mengenai ibadah dan ritual, seperti aturan politik dan aturan hukum (dalam pengertian yang sempit). Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi paling khas dari pandangan hidup Islam yang merupakan intisari dari Islam itu sendiri. Hukum merupakan elemen penting dalam perjuangan yang dipertarungkan dalam Islam antara tradisionalisme dan modernisme di bawah pengaruh ide-ide Barat. Di samping itu, semua kehidupan umat Islam, literatur berbahasa Arab, dan disiplin Arab serta keislaman tentang belajar sangat dipengaruhi oleh
commit Arab-Indonesia to user A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Terlengkap, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, hlm. 286 55
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gagasan-gagasan. Maka mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. 56 Alqur’an dan hadist merupakan sumber tuntunan hidup bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan fana di dunia ini dalam rangka menuju kehidupan kekal di akhirat nanti. Keduanya memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal, meliputi segenap aspek kehidupan umat manusia dan selalu ideal untuk masa lalu, kini, dan yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Alqur’an dan Hadist memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya dalam bidang perekonomian umat. 57 Prinsip syariah didasarkan pada sumber hukum Islam yang terdiri atas 3 (tiga) pedoman utama yakni Al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad (akal pikiran manusia), yang akan dipaparkan sebagai berikut 58: a. Al Qur’an Al Qur’an mengatur kaidah-kaidah umum berkaitan dengan muamalah, mengingat Al Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam, diantaranya : 1) QS. Al Baqarah (2:188) 59 : Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu denganjalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. 2) QS. Al Baqarah (2:275) 60 :
56
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Bandung, Nuansa, 2010, hlm. 21-22 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm. 1 58 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. 8, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 68 59 commit to user Al Qur’an,Op.cit. 60 Al Qur’an,Op.cit. 57
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. 3) QS. An Nisa (4:29) 61 :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
4) QS. Al Maidah (5:1) 62 :
61
Al Qur’an,Op.cit. Al Qur’an,Op.cit.
commit to user
62
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. b. Hadist Ketentuan Muamalah dalam hadist relatif lebih terperinci, meskipun tidak dapat dikatakan mendetail, dan berada pada jalur kaidah-kaidah
yang
bersifat
umum.
63
Hadist-hadist
tersebut
diantaranya: 1) Allah akan memberikan rahmat kepada laki-laki (seseorang) yang berlapang dada (toleransi) ketika berjualan atau membeli, dan ketika menagih hutang (HR. Bukhari). 64 2) Barangsiapa memberi kelonggaran waktu pembayaran kepada orang yang berhutang atau menghapuskannya hutang itu maka ia akan berada dalam naungan Arsy (kursi kerajaan) Allah pada hari kiamat (HR.Muslim). 65 3) Barangsiapa yang mengambil harta manusia dengan berkeinginan untuk membayarnya maka Allah akan membayarkan untuknya. Dan barangsiapa yang mengambil harta manusia dengan berkeinginan untuk merusaknya, maka Allah akan merusak orang itu (HR. Bukhari). 66 4) Tidak akan makan seseorang akan satu makanan yang lebih baik kecuali dari usaha tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud adalah makan dari usaha tangannya sendiri (HR.Bukhari). 67 5) Allah mengetuk terhadap orang yang makan harta riba, juga wakilnya, dua orang saksinya serta juru tulisnya, yang mereka keadaannya serupa (dalam hal dosanya) (HR. Muslim). 68 6) Akan datang pada manusia satu zaman yang tidak akan memperhatikan dengan apa yang ia ambil dari hartanya, apakah dari harta yang halal atau dari harta yang haram (HR. Bukhari). 69
63
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001. hlm. 41-42 64 Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.113 65 Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.114 66 Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.120 67 Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.122 68 commit to user Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.123 69 Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.123
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Sungguh Allah dan RasulNya telah mengharamkan berjual beli khammar (minuman keras), bangkai, babi dan patung (HR. Bukhari-Muslim). 70 8) Penjual dan pembeli diberi kebebasan memilih sebelum mereka berpisah. Maka jika mereka berdua berlaku jujur dan saling memberikan keterangan maka mereka berdua akan mendapatkan berkat (kebaikan) dalamjual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan (cacat) dan berdusta, maka akan hilanglah berkat (kebaikan) dalam jual beli mereka berdua (HR.Bukhari). 71 c. Ijtihad Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang diperoleh dengan menggunakan akal atau ar ra’yu. Posisi akal dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Akal diciptakan untuk memahami, mengembangkan dan menyempurnkakan ketentuanketentuan hukum Islam secara lebih terperinci dengan pedoman Al Qur’an dan Hadist. Meurut Hazairin, ketentuan yang berasal dari ijtihadulil amri terbagi menjadi dua, yaitu : 1) Berwujud pemilihan atau penunjukkan garis hukum yang setepat-tepatnya untuk diterapkan pada perkara tertentu yang mungkin langsung diambil dari ayat Al Qur’an ataupun dari perkataan (penjelasan) maupun teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad; dan 2) Ketentuan yang berwujud penciptaan atau pembentukan garis hukum baru bagi keadaan-keadaan baru menurut tempat dan waktu, dengan berpedoman kepada kaidah hukum yang telah ada di Al Qur’an dan Hadist. Kegiatan muamalah memiliki beberapa kaidah fiqih muamalat 72 , diantaranya :
70
Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.124 Hussein Bahreisj, Op Cit, hlm.126 72 commit to Muamalat, user Yusuf Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2014, hlm. 7 71
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Al-Ashl Fi Al-Mu’amalat Al Ibahah (Hukum dasar muamalat adalah boleh) Menurut Madzhab Maliki, jual beli yang diperbolehkan adalah yang tidak dilarang syariat, dan tidak ada laragan kecuali berkenaan dengannya, karena Allah memperbolehkan dan mengizinkan jaul beli bagi hambaNya, salah satunya dalam kutipan Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sehingga jual beli secara umum merupakan suatu kegiatan yang diperbolehkan oleh Allah. 73 Menurut Madzhab Hanafi, pengalihan kepemilikan, akad pertama
dengan
harga
pertama
tanpa
tambahan
keuntungan
merupakan hal yang diperbolehkan karena memuat syarat-syarat yang mengandung kebolehan. Satu hal yang terpenting adalah landasannya berupa amanah dan kewaspadaan terhadap kecurangan ataupun kesamaran (syubhat). 74 Menurut Madzhab Syafi’i, hukum dasar semua jual beli adalah mubah apabila dilakukan dengan saling sukarela antara kedua belah pihak yang boleh melakukan tindakan hukum, kecuali jual beli yang secara tegas dilarang. Madzhab Hanbali menyatakan bahwa semua muamalat yang dilarang Al-Qur’an dan sunnah berpulang kepada perwujudan keadilan dan pelarangan kezaliman, baik kecil maupun besar, seperti memakan harta benda secara tidak sah, misalnya riba dan judi. 75
2. Al-Ibrah bi Al-Maqashid wa Al-Musammayyat La bi Al-Alfazh wa atTamsiyat (yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi dan penamaannya) Saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan bukanlah redaksi yang dilakukan kedua belah pihak dalam melangsungkan 73
Ibid, hlm.20 Ibid, hlm. 21 75 Ibid, hlm. 22-23 74
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
transaksi, melainkan maksud hakiki dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Maksud hakiki adalah pengertian, bukan redaksi yang digunakan. 76 Segolongan orang diadzab lantaran menghalalkan hal-hal yang diharamkan sambil mengira itu bisa dilakukan dengan sekadar mengganti
namanya
tanpa
memerhatikan
pengertian
yang
diharamkan. Hal demikian sama dengan syubhat yang dilakukan oleh kaum
Yahudi
yang
menghalalkan
jual
beli
lemak
setelah
mencairkanya. Penghalalan termasuk pula pada minuman yang memabukkan namun mereka menyatakan bukan khamar, padahal mereka tahu bahwa pengertian khamar adalah minuman yang memabukkan. 77 3. Tahrim Akl Amwal An-nas ni al-Bathil (diharamkan memakan harta orang lain secara batil) Salah satu ucapan yang diriwayatkan dari Al Ustadz Al Imam Muhammad adalah setiap orang yang menjual atau membeli sesuatu dengan memanfaatkan angan-angan, pikiran, atau pandangan orang lainyang tidak berdasar (tidak rasional), yang pada hakikatnya tidak ada atau tidak benar, yang seandainya ia mengetahui apa yang disembunyikan di balik itu dan pandangan yang tidak rasional tersebut diketahui kenyataannya, tentulan ia tidak mau membeli ataupun menjualnya, berarti ia memakan harta bendanya secara batil. 78
4. La Dharara Wa La Dhirar (tidak boleh merugikan diri sendiri ataupun orang lain) Adh dharar adalah merugikan diri sendiri dengan segala macam perbuatan merugikan baik secara material maupun spiritual. Adh dhirar adalah merugikan orang lain, apapun bentuk perbuatan 76
Ibid, hlm. 39 commit to Ibid, hlm. 56 78 Yusuf Al Qaradhawi, Op.Cit, hlm.89 77
user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merugikan itu, dan bagaimanapun kadarnya, serta siapapun orang lain itu. Ada pula ulama yang mengartikan adh dharar sebagai peruatan seseorang merugikan kawannya sebagai permulaan, sementara adh dhirar adalah perbuatan merugikannya sebagai balasan. Dan keduanya merupakan hal yang dilarang. 79 5. At-takhfif wa at-Taysir la at-Tasydid wa at-Ta’sir (memperingan dan mempermudah, bukan memperberat dan mempersulit) Allah berfirman dalam Qur’an Surat Al Hajj (22:78) 80:
Artinya :Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. Para ulama madzhab mengungkapkan kaidah al masyaqqah tajlib at taysir (jika ada kemudahan maka mesti dipermudah). 81 6. Ri’ayah adh-Dharurat wa al-Hajat (memerhatikan keterpaksaan dan kebutuhan) Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat (2:173) 82 : Artinya :
79
Ibid, hlm.117 Al Qur’an, Op. cit. 81 Ibid, hlm.183 82 Al Qur’an, Op. cit. 80
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kondisi darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang (adh dharurat tubih al mahzhurat). Maka, orang yang megonsumsi makanan haram pada saat darurat (terpaksa) tidak berdosa. Hal yang diperbolehkan karena darurat adalah hanyalah seukuran kadar darurat pula. Orang tidak diperkenankan bermudah-mudah dalam hal darurat, sebab pada dasarnya hal ini adalah pengecualian (al istitsna’) dan pengecualian tidak boleh menjadi pokok (al ashl). 7. Mura’ah al-Adat wa al-A’raf fi ma la Yukhalif asy-Syar’a (memerhatikan tradisi
dan kebiasaan masyarakat
yang tidak
menyalahi syariat) Allah berfirman dalam Surat At Taubah (9:105) 83 : Artinya : Dan katakanlah : Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kaidah al adah muhakkamah (tradisi/kebiasaan yang dijadikan hukum) menjadi rujukan dalam ibadah dan muamalah sekaligus, bukan terbatas pada muamalah saja. Kenyataan menunjukkan bahwa al adat paling banyak dibutuhkan di bidang muamalat, karena al urf (kepatutan dalam masyarakat) yang berlaku dan al adat yang dominan sangat memengaruhi muamalat dan perilaku duniawi masyarakat. 84
E. Maqashid Asy Syariah
83
Al Qur’an, Op. cit. Ibid, hlm.229
commit to user
84
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Al Qur’an dan Hadist yang dijadikan sebagai pedoman hidup seluruh umat muslim memiliki aspek hukum, terutama dalam bidang muamalah yang dikembangkan oleh para ulama, diantaranya adalah asy Syathibi yang mencoba mengembangkan pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu dengan mengaitkannya dengan maqshid asySyari’ah. dilakukan
85
Pendekatan maqshid asy-Syari’ah merupakan kajian yang dengan
menitikberatkan
pada
nilai-nilai
yang
berupa
kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah SWT. Taklif berarti pembebanan atau pemugaran. Taklifdiartikan pula sebagai pembebanan atau tuntutan kepada manusia untuk dipenuhinya. Orang yang diberi beban atau tugas untuk melakukan sesuatu perbuatan syari’at disebut mukallaf. Ia adalah subyek hukum yang oleh ilmu Ushul Fiqh disebut mahkum ‘alaih, di mana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah dan firmanNya. 86 Hukum taklifi menurut Al Amidiadalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan”. 87 Sedangkan perkara-perkara yang dituntut untuk melakukannya atau meninggalkannya atau terdapat pilihan itu ada 5 jenis, 88 diantaranya : 1. Al-Wâjib, sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Orang yang melakukan perbuatan itu mendapat pahala dari Allah SWT dan bila ditinggalkan berakibat dosa. Seperti contoh mendirikan sholat lima waktu, membayar zakat, dan lain-lain; 2. Al-Mandub (sunah), sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Orang yang melakukan perbuatan mandûb mendapat
85
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 49. 86 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Jilid 3, CV. Anda Utama, Jakarta, 1992, hlm. 1181. 87 Al-Amidi, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm Juz 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2005, commit to user hlm. 35. 88 Ibid, hlm. 32.
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pahala dari Allah SWT, tetapi apabila ditinggalkan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menulis hutang-piutang, siwakan, dan lain-lain; 3. Al-Haram, sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Orang yang melakukan perbuatan itu mendapat dosa dari Allah SWT dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti contoh memakan harta riba, melakukan zina, dan lain-lain; 4. Al-Makruh, sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Orang yang meninggalkan perbuatan makruh mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila dilakukan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menjatuhkan thalâq terhadap istrinya; 5. Al-Mubah, sebuah perkara yang oleh al-Syari’ memperbolehkan terhadap mukallaf untuk memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Orang yang melakukan atau meninggalkan perkara yang mubah tidak diberi pahala maupun dosa. Seperti contoh diperbolehkannya berburu apabila telah selesai melaksanakan ibadah haji. Maqashid asy-Syari’ah dalam arti bahasa atau lughah (etimologi) terdiri dari dua kata, yaitu maqshid dan syari’ah. Maqshid adalah bentuk jamak dari maqashud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air dapat diartikan sebagai jalan menuju sumber kehidupan. Syari’ah merupakan an-nushush al muqaddasah (nash-nash yang suci) dari Al Qur’an dan Sunnah yang muttawatir dan sama sekali belum dicampuri oleh pemikiran manusia. Syari’ah disebut juga ath-thariqah almustaqimah (jalan/cara, ajaran yang lurus). Muatan syari’ah dalam arti ini mencakup aqidah, amaliyyah dan khuluqiyyah. 89 Menurut Mahmud Syaltut, syari’ah adalah aturan-aturan yang diciptakan Allah sebagai pedoman manusia dalam mengatur hubungan 89
Ahmad Hasan, The Principles of Islamic Jurisprudence, Adam Publisher and to user Distributors, Delhi, 1994, hlm.50. dalamcommit Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy Syathibi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 61.
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan seluruh alam semesta. 90 Ali asSayis memberikan pengertian syari’ah sebagai hukum-hukum yang diberikan oleh Allah untuk hamba-hambaNya agar mereka percaya dan mengamalkannya demi kepentingan mereka di dunia dan akhirat. 91 Terdapat keterkaitan kandungan makna antara syari’ah dan air dalam arti keterkaitan antara cara dan tujuan. Sesuatu yang hendak dituju tentu merupakan sesuatu yang amat penting. Syari’ah adalah cara atau jalan, sedangkan air merupakan sesuatu yang hendak dituju. Penyimbolan ini cukup tepat karena air merupakan unsur penting dalam kehidupan. Urgensi unsur air ditegaskan oleh Allah dalam Al Qur’an Surat al Anbiya’ (QS. 21:30) Artinya : dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? Menurut
asy-Syatibi,
syari’at
bertujuan
untuk
mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, atau hukum itu disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba. 92 Maka dapat dikatakan bahwa kandungan maqashid asy-syari’ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia. Titik tolak pandangan demikian adalah pemahaman suatu kewajiban (taklif) diciptakan untuk merealisasikan kemaslahatan hamba. Tidak satupun dari hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan, karena apabila hukum tidak mempunyai tujuan maka sama saja dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksankan (taklif ma la yutaq). Sehingga hukum dibuat bukan untuk hukum itu sendiri, melainkan untuk sebuah tujuan yakni kemaslahatan. Melalui analisis maqashid asy-syari’ah, kemaslahatan tidak dilihat dalam arti teknis saja, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum, hukum-hukum yang disyari’atkan 90
Mahmud Syaltut, Al-Islam: Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, 1966, hlm. 12. commit to user Muhammad Ali as-Sayis, Nasy’ at al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwarah, 1970, hlm. 18. 92 Kutbuddin Aibak, op.cit. hlm. 53. 91
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Allah terhadap manusia bisa dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis. 93 Hakikat
maqashid
asy-syari’ah
dari
segi
substansi
adalah
kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklifTuhan dapat berwujud dalam dua bentuk, yatu kemaslahatan dalam bentuk haqiqi dan majazi. Kemaslahatan dalam bentuk haqiqi yaitu manfaat langsung dalam arti kausalitas, sedangkan dalam bentuk majazi adalah bentuk yang merupakan sebab yag 94
membawa kepada kemaslahatan.
Menurut Asy-Syatibi, kemaslahatan
dapat dilhat dari dua sudut pandang, yaitu tujuan Tuhan (maqashid asysyari’) dan tujuan Mukallaf (maqashid al-mukallaf). Maqashid asy-syari’ah dalam arti maqashid asy-syari’ mengandung empat aspek yaitu : 1. Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat; 2. Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami; 3. Syari’at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan; 4. Tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam memahami maqashid asy-syari’ah menurut asy-Syathibi 95, diantaranya : 1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan. Makna-makna yang terkandung dalam lafal perintah dan larangan dikembalikan kepada arti yang hakiki. Suatu keharusan untuk mewujudkan
apa
yang
telah
diperintahkan
atau
sebaliknya
meninggalkan hal-hal yang dilarang. Penekanan bentuk perintah dan larangan yang tegas merupakan sikap kehati-hatian yang perlu dimengerti dalam upaya melakukan pemahaman maqashid asysyari’ah yang lebih tepat, sehingga maqashid asy-syari’ah benarbenar
dapat
dijadikan
pertimbangan
dalam
penetapan
dan
pengembangan hukum Islam. 2. Penelaahan ‘illah al-amr (perintah) dan an-nahy (larangan).
93
Ibid, hlm. 54. commit to user Ibid, hlm. 58. 95 Asy Syathibi, Al Muwafaqat, hlm 273-290 dalam Ibid, hlm. 71 94
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menganalisis ‘illat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist. Adakalanya ‘illat hukum tertulis secara jelas, ada kalanya tidak tertulis secara jelas. ‘Illat yang tertulis jelas harus diikuti sesuai dengan apa yang diperintahkan atau dilarang agar tujuannya dapat tercapai. Apabila ‘illat hukum tidak tertulis secara jelas maka harus dilakukan tawaqquf (menyerahkan hal itu kepada asy-syari’ yang lebih mengetahui tujuan dari pensyari’atan hukum). 3. Analisis terhadap sikap diam asy-Syari’ dari pensyari’atan sesuatu. Melakukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak disebut oleh asy-syari’. Permasalahan hukum tersebut pada hakikatnya sangat berdampak positif pada kehidupan. Sikap diam demikian juga dikenal dengan istilah as-sukut asy-syari’ah al-amal yang memiliki obyek ganda, mu’amalah dan ibadah. Maqashid asy-syari’ah dapat disimpulkan sebagai sebuah aturanaturan yang diciptakan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan,
manusia
dengan
manusia
serta
manusia
dengan
lingkungannya guna mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Teori ini akan digunakan sebagai pisau analisis terhadap fungsi pengawasan OJK terhadap pelanggaran hukum Islam pada kontrak perbankan tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat, sehingga pelaksanaan kontrak perbankan syariah tetap berpegang pada hukum Islam.
F. Teori Legal System Sistem merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau elemen-elemen yang saling berinteraksi satu sama lain. Sistem tidak menghendaki adanya konflik unsur-unsur yang ada didalamnya, apabila terjadi konflik maka segera diselesaikan oleh sistem tersebut. Pengertian dasar yang terkandung di dalam sistem adalah 96 : 1. Sistem berorientasi kepada tujuan (purposive behaviour the system is objective oriented);
to user Teguh Prasetyo, Hukum dan commit Sistem Hukum - Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, hlm. 39-40. 96
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (wholism the whole is more than the sum all the parts); 3. Suatu sistem berorientasi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (openes the system interact with a larger system, namely its environment); 4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformation the working of the parts creates something of values); 5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (interrelatedness the various parts must fix together); 6. Adanya kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol) (control mechanism there is an unifying force that olds the system together). Menurut para ahli, hukum dapat didefinisikan sebagai berikut 97: 1. Plato, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat; 2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim; 3. Immauel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain guna memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan; 4. E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya bersangkutan.
ditaati
oleh
Pelanggaran
seluruh
anggota
terhadap
masyarakat
petunjuk
hidup
yang dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa; 5. M.H. Tirtaamidjata, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan itu,
commit to user 97
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 2.
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang akan membahayakan diri sendiri atau harta, misalnya orang akan kehilangan kemerdekaan, diminta membayar denda, dan sebagainya; Hakikat hukum adalah untuk mengatur hubungan tingkah laku dan pergaulan yang ada di dalam masyarakat, baik antara perorangan, orang dengan negara, maupun mengatur antar lembaga negara. Tujuan hukum adalah apa yang hendak dicapai oleh hukum. Hukum ingin mencapai keseimbangan agar hubungan
yang ditimbulkan oleh kepentingan
masyarakat tidak saling berbenturan dan mencegah terjadinya kekacauan, sehingga guna menjamin keseimbangan tersebut menjadi tujuan hukum itu sendiri. Menurut Gustav Radburgh, hukum mempuyai tiga tujuan 98, yaitu: 1. Kepastian hukum artinya bahwa hukum harus pasti dan tidak mudah untuk berubah-ubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat serta dapat ditaati oleh masyarakat pada waktu dan tempat manapun. Kepastian hukum mempunyai fungsi memastikan bahwa hukum berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan manusia, benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati; 2. Keadilan merupakan tujuan yang paling penting dan utama dalam hukum; 3. Daya guna (doelmatigheid) artinya bahwa dalam proses bekerjanya hukum, hukum itu dapat memaksa masyarakat pada umumnya dan para penegak hukum khususnya untuk melakukan segala aktivitasya dengan selalu berkaca pada hukum yang mengatur setiap tindakan yang dilakukan. Tujuan hukum yang diharapkan dapat tercapai dengan adanya fungsi hukum yang diharapkan dapat menggerakkan berbagai tingkah laku dari masyarakat, bukan sekedar sebagai alat kontrol sosial. Manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan hidup tidak selalu sama antara satu dengan lainnya, kadang berbeda bahkan tidak jarang pula bertentangan satu sama lain. Sehingga sebagai pemenuhan kebutuhan 98
Teguh Prasetyo, dan Abdul Hakim Berkatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukumcommit dan to user Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkaitan Bermartabat, Rajawali Pres, Jakarta, 2012, hlm. 9-11.
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau kepentingan tersebut, hukum diselenggarakan agar masyarakat tertib dan aman. Secara garis besar, fungsi hukum dapat diklasifikasikan dalam tiga tahap 99, yaitu : 1. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku dalam masyarakat. Menunjukkan mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-norma yang mengatur pemerintahan maupun laranganlarangan, sehingga warga masyarakat diberi petunjuk dalam bertingkah laku. Masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang harus dilakukan atau yang tidak harus dilakukan, sedemikian rupa sehingga segala sesutau dapat berjalan tertib dan teratur; 2. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis dapat menjatuhkan hukuman nyata dan takut berbuat yang merupakan kekangan. Daya mengikat dan memaksa demikian adalah watak hukum sehingga dapat menangani kasus-kasus yang nyata dan memberikan keadilan, menghukum yang salah, memutuskan agar yang hutang harus membayar dan sebagainya, sedemikian rupa, sehingga relatif dapat mewujudkan keadilan; 3. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu daya mengikat dan memaksa dari hukum, juga dapat dimanfaatkan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Seringkali muncul kritik atas fungsi hukum sebagai alat penggerak pembangunan, hukum dianggap melaksanakan pengawasan perilaku dan mendesak, sematamata hanya kepada masyarakat belaka sedangkan aparatur otoritas dengan dalih menggerakkan pembangunan, lepas dari kontrol hukum; 99
commitIlmu to user Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum, PT Grafindo Persada, Jakart,: 2001,
hlm. 155.
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Fungsi kritis dari hukum. Belakangan berkembang sebuah pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis berupa daya kerja hukum yang tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawasan, namun aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum termasuk di dalamya. Berpijak pada tujuan dan fungsi hukum demikian, Hobel menyimpulkan empat fungsi dasar hukum 100, yaitu : 1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa yang dilarang; 2. Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan, serta siapakah yang harus menaatinya sekaligus memilih saksi-saksi yang tepat dan efektif; 3. Menyelesaikan sengketa; 4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi
kehidupan
yang berubah,
yaitu
dengan
cara
merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat. Sistem hukum menurut Harold J. Berman, diartikan sebagai keseluruhan aturan dan prosedur spesifik, yang karena itu dibedakan ciricirinya dari kaidah-kaidah sosial yang lain umumnya, dan kemudian daripada itu secara relatif konsisten diterapkan oleh suatu struktur otoritas profesional guna melakukan kontrol terhadap proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.
101
Hukum selalu ada hubungannya dengan
manusia, hukum ada karena manusia yang hidup bermasyarakat dan sebaliknya ada manusia yang hidup bermasyarakat pasti ada hukum. 102
100
Esmi Warrasih, Pranata Hukum-Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 26. 101 to user Teguh Prasetyo, op.cit, hlm. commit 41. 102 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 12.
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lawrence M. Friedman dalam teori legal system yang termuat dalam buku Achmad Ali, menyatakan bahwa hukum merupakan gabungan antara tiga komponen 103 yang diantaranya meliputi : 1. Komponen struktur hukum (legal structure), yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur; 2. Komponen substantif hukum (legal substance), sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan, baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur; 3. Komponen kultur hukum (legal culture), terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang memengaruhi bekerjanya hukum atau oleh Lawrence M. Friedman disebut kultur hukum. Kultur (budaya) hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. Kultur hukum dibedakan antara internal legal culture yakni kultur hukumnya lawyers, judges dan external legal culture yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Tiga komponen legal system tersebut mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan
penegakan
hukum
dalam
masyarakat
sebagai
kongkretisasi pemberlakuan suatu sistem hukum. Berfungsinya suatu penegakan hukum ditentukan oleh tiga elemen sistem hukum, sebagai berikut : 1. Unsur hukum materi perundang-undangan sebagai salah satu substansi hukum; 2. Penegakan hukum dalam struktur dan kesadaran hukum; dan 3. Karakter masyarakat dalam budaya hukum. Substansi hukum tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan tentang bagaimana institusi-istitusi harus berperilaku dengan berskala 103
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial commit to(Legisprudence), user Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 30.
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum primer yang menentukan tingkah laku masyarakat dan hukum sekunder yang menentukan pemberlakuan dan pelaksanaan tingkah laku dalam hukum primer. Struktur hukum sebagai pondasi dasar sistem hukum merupakan kerangka elemen nyata dari sistem hukum. Sementara budaya hukum merupakan elemen sikap dan nilai sosial. Budaya hukum mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum, adat, kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dengan cara tertentu. Budaya hukum juga dapat diartikan sebagai pengikat sistem, serta menentukan tempat dari sistem hukum di tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan. 104 Lawrence M. Friedman juga mengemukakan bahwa sistem hukum mengemban empat fungsi 105, yaitu : 1. Hukum sebagai bagian dari sistem kontrol sosial (social control) yang mengatur perilaku; 2. Sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (dispute settlement); 3. Sistem hukum memiliki fungsi sebagai social engineering function; 4. Hukum sebagai social maintenance, yaitu fungsi yang menekankan pada peranan hukum sebagai pemelihara status quo yang tidak menginginkan perubahan. Mengenal hukum sebagai sistem harus mencermati kesesuaiannya terhadap asas-asas hukum (principle of legality) sebagaimana dikemukakan oleh Lon L. Fuller diantaranya 106, : 1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan yang bersifat ad hoc; 2. Peraturan yang telah dibuat harus diumumkan; 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut; 4. Peraturan disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti; 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
104
Ibid, hlm. 104. to Teguh Prasetyo, Op. cit, hlm.commit 41. 106 Ibid, hlm. 41. 105
user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 7. Peraturan tidak boleh berubah-ubah; 8. Harus
ada
kecocokan
antara
yang
diundangkan
dengan
pelaksanaannya sehari-hari. Eksistensi legal system dan hukum Islam di Indonesia menjadi suatu hal yang sangat menarik. Legal system banyak digunakan sebagai acuan utama tata laksana hukum di Indonesia secara legal formal, namun faktanya terdapat pula hukum Islam yang eksis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga negara kemudian mengakomodasi substansi hukum Islam ke dalam peraturan perundangundangan.
G. Penelitian yang Relevan Penelitian
yang
relevan
dengan
penelitian
tesis
dimaksud
diantaranya : 1. Penulisan Tesis, 2011, Abdul Hayyi, Efektivitas Pengawasan Bank Syariah, Studi Terhadap Pengawasan Dewan Pengawas Syariah BPR Syariah di Kota Mataram, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulisan
tesis
ini
mendeskripsikan
dan
menganalisis
mengenai efektifitas pengawasan bank syariah oleh Dewan Pengawas Syariah pada BPR Syariah di Kota Mataram. Hasil temuan dalam tesis Abdul Hayyi adalah Pengawasan DPS BPR Syariah di Kota Mataram berjalan kurang efektif karena intensitas pengawasan yang minim serta transaksi riil tidak pernah dilihat secara langsung. Kompetensi DPS sebenarnya sangat memadai dan telah memenuhi kriteria yang disyaratkan Bank Indonesia. Meskipun pengawasan yang dilakukan tidak secara langsung, namun kontribusi yang diberikan oleh DPS lebih kepada pemikiran untuk memecahkan persoalan bank. Faktor yang mempengaruhi rendahnya efektivitas pengawasan DPS adalah faktor fasilitas dan honorarium yang orientasinya lebih kepada amal, commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
produk yag tidak variatif, serta koordinasi dengan lembaga lain seperti Bank Indonesia dan DSN kurang optimal. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian tesis ini, penulisan tesis terdahulu mencermati efektifitas pengawasan bank syariah oleh DPS, sementara penelitian tesis yang dilaksanakan penulis fokus pada pengawasan terhadap bank syariah oleh lembaga independen OJK. Selain itu, fokus penelitian tesis ini juga secara spesifik mendalami tentang kontrak perbankan syariah yang melanggar hukum Islam serta langkah tindak lanjut yang dilakukan OJK dalam terhadap pelanggaran hukum Islam pada kontrak perbankan syariah dimaksud. Perbedaan keduanya memberikan ruang bagi penelitian tesis ini untuk melakukan pengembangan arah pemikiran terkait pengawasan terhadap bank syariah, bukan hanya oleh DPS tetapi juga oleh OJK selaku lembaga independen pengawas sektor jasa keuangan. 2. Penulisan Tesis, 2013, Ashinta Sekar Bidari, Politik Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga Pengawas Sektor Perbankan di Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan
tesis
ini
mendeskripsikan
dan
menganalisis
mengenai politik hukum yang melatarbelakangi pembentukkan OJK sebagai lembaga pengawas sektor perbankan. Kesimpulan dari penulisan tesis dimaksud adalah Politik Hukum OJK dapat dirunut dari masa pemerintahan Gus Dur yang mendukung pembentukan OJK dengan mengeluarkan Surat Sekretaris Kabinet untuk mendukung pembentukan Tim Penyusunan RUU OJK. Masa pemerintahan Megawati, politik hukum OJK mengalami hambatan dengan diamandemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perbankan yang pada Pasal 34, pembentukkan OJK yang semula dicanangkan akan terlaksana pada akhir tahun 2002 diundur menjadi akhir tahun 2010. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 21 November 2011, akhirnya disahkan commit to userUndang-Undang Nomor 21 Tahun
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Kendala yang dialami OJK dalam melaksanakan tugas pengawasan, pertama kendala koordinasi OJK, BI dan Bapepam LK. Kedua, berkaitan dengan masalah struktur dewan komisioner yang sempat menjadi dead lock. Ketiga, kendala struktur pengorganisasian pegawai mengingat OJK merupakan penggabungan dua organisasi BI dan Bapepam LK. Keempat, kendala harmonisasi peraturan perundang-undangan OJK, BI dan LPS. Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian tesis ini, penulisan
tesis
terdahulu
lebih
fokus
pada
politik
hukum
pembentukkan OJK dan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pengawasan pada sektor perbankan dimaksud. Sedangkan pada tesis kali ini, penulis akan mengkaji lebih mendalam dan lebih spesifik terkait dengan pengawasan OJK terhadap perbankan syariah dalam hal kontrak yang tidak sesuai dengan prinsip syariah Islam serta langkah aktif yang dilakukan dalam mengidentifikasi pelanggaran serta tindak lanjut OJK untuk menindaklanjuti pelanggaran hukum Islam pada kontrak perbankan syariah, sehingga diperoleh pemahaman terkait pelaksanaan pengawasan terhadap kontrak lembaga keuangan syariah yang tidak sesuai dengan hukum Islam. 3. Penulisan Tesis, 2013, Firman Kusbianto, Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan Kegiatan di Sektor Jasa Keuangan, Universitas Indonesia. Penulisan
tesis
ini
mendeskripsikan
dan
menganalisis
mengenai fungsi OJK dalam pengawasan kegiatan pada sektor jasa keuangan secara umum serta menyoroti independensinya dalam melaksanakan tugas dan fungsi dimaksud. Penulisan tesis ini menemukan bahwa OJK merupakan lembaga independen di luar pemerintah yang berperan mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan yang memiliki keterwakilan dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Independensi yang dimiliki OJK adalah agar pelaksanaan tugas OJK dapat optimal dan efektif tanpa intervensi industri jasa keuangancommit maupun topolitik. user Pengukuran independensi OJK
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat dilihat dari aspek pengaturan/ regulatory independence, aspek pengawasan/
supervisory
independence,
institusional
independencedan
aspek
aspek anggaran/
kelembagaan/ budgetary
independence, serta termasuk aspek akuntabilitas dan transparansi OJK. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian tesis ini, penulisan tesis terdahulu lebih fokus independensi pengawasan OJK terhadap sektor jasa keuangan secara umum, sedangkan pada tesis kali ini, penulis akan mengkaji lebih mendalam dan lebih spesifik terkait pengawasan OJK terhadap perbankan syariah dalam hal kontrak yang tidak sesuai dengan prinsip syariah Islam serta langkah tindak lanjut yang dilakukan OJK dalam mengidentifikasi pelanggaran pelanggaran hukum Islam pada kontrak perbankan syariah. Penelitian tesis yang dilaksanakan ini lebih bersifat spesifik mengenai pelanggaran hukum Islam pada kontrak perbankan syariah serta langkah tindak lanjut yang diambil OJK selaku lembaga independen pengawas sektor jasa keuangan termasuk perbankan syariah 4. Penulisan Skripsi, 2013, Rahma Safitri, Independensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Melakukan Pengawasan Perbankan Di Indonesia (Berdasarkan Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan), Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan skripsi ini mendeskripsikan dan menganalisis mengenai independensi OJK dalam melaksanakan pengawasan perbankan pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Kesimpulan dari penulisan skripsi dimaksud adalah independensi pengawasan perbankan dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ditunjukkan dalam Pasal 4-6 (independensi institusional), Pasal 10,11 (independensi organisatoris), Pasal 8,9 (independensi fungsi), dan Pasal 34-37 (independensi financial) sedangkan independensi pengawasan perbankan dalam Undang-Undang Bank Indonesia ditunjukkan dalam Pasal 4, 7-9 (independensi institusional), 36, 37 (independensi organisatoris), commitPasal to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 10 (independensi fungsi) dan Pasal 4, 6 (independensi financial). Pengaturan independensi pengawasan perbankan, UndangUndang Bank Indonesia lebih memberikan independensi dalam pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia daripada UndangUndang Otoritas Jasa Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Kelemahan pengaturan terkait pengawasan perbankan di dalam Undang-Undang OJK dapat dilihat dari alasan pengalihan pengawasan perbankan kepada OJK dan alasan pembentukan OJK yang tidak disertai dasar yang kuat, pola rekrutmen anggota Dewan Komisioner OJK yang harus disesuaikan dengan amanat independensi, adanya Pejabat
Ex-officio
dalam
Dewan
Komisioner
OJK
yang
memperlihatkan adanya campur tangan pemerintah, tidak dijelaskan mengenai definisi pembagian fungsi pengawasan perbankan secara macroprudential yang akan dilaksanakan oleh BI dan microprudential yang akan dilaksanakan oleh OJK. Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian tesis ini, penulisan skripsi lebih fokus pada independensi OJK dalam pengawasan perbankan pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan pada tesis dimaksud penulis akan mengkaji lebih mendalam dan lebih spesifik terkait dengan pengawasan OJK terhadap perbankan syariah secara khusus dalam hal pengawasan kontrak yang tidak sesuai dengan prinsip syariah Islam serta langkah aktif yang dilakukan dalam OJK dalam menindaklanjuti pelanggaran yang ditemukan.
H. Kerangka Berpikir Gambar I. commit to user Kerangka Berpikir 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Tugas dan Wewenang Pengawasan Pada Sektor Jasa Keuangan
PERBANKAN SYARIAH Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang tentang Perbankan Syariah
Kontrak Perbankan Syariah dengan Mitra
Identifikasi Pelanggaran
Prinsip Syariah
Pengawasan OJK dalam Mengidentifikasi dan Menindaklanjuti Kontrak Perbankan Syariah yang melanggar Hukum Islam Keterangan : Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang OJK, Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Fungsi Otoritas Jasa Keuangan termuat pada Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang pada pokoknya berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal 6 memaparkan bahwa tugas pengaturan dan pengawasan OJKto dilaksanakan terhadap kegiatan jasa commit user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keuangan di sektor perbankan, pasar modal, sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Fungsi Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan, termasuk pula pengawasan perbankan syariah, yang merupakan lembaga pelaksana kegiatan sektor jasa keuangan dengan menerapkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum
Islam.
Perbankan
syariah
dilaksanakan
guna
mewujudkan
kemaslahatan bagi para pelaku bisnis, kegiatan usaha bank syariah harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Penerapan prinsip syariah dilaksanakan dalam setiap kegiatan perbankan syariah, tidak terkecuali dalam kontrak dengan mitra/nasabah. Pada tataran praktik kegiatan perbankan syariah, masih terdapat bank-bank syariah yang membuat dan menyepakati kontrak dengan mitra/nasabah dengan substansi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Seperti misalnya penerapan besaran biaya ijarah yang didasarkan pada alqardh dalam pengurusan dana talangan haji. Pertentangan antara kontrak bank syariah yang seharusnya berlandaskan dengan prinsip syariah sementara masih terdapat bank syariah yang membuat kontrak dengan tidak sesuai dengan prinsip syariah merupakan persoalan yang sangat mendesak untuk ditemukan solusinya. Merunut rangkaian peristiwa dan pihak yang terkait dengan permasalah dimaksud, maka peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen pengawas sektor jasa keuangan menjadi pihak yang mempunyai andil besar untuk mengurai kekusutan persoalan dimaksud. Sehingga perlu diketahui terkait langkah OJK dalam melakukan identifikasi untuk mengetahui sebuah bank syariah melakukan pelanggaran syariat dalam kontrak dengan mitra/nasabah serta langkah aktif Otoritas Jasa Keuangan dalam menindaklanjuti pelanggaran pada kontrak perbankan syariah yang tidak sesuai dengan hukum Islam sebagai bentuk pelaksanakan pengawasan OJK terhadap lembaga keuangan khususnya Perbankan Syariah. BAB III METODE PENELITIAN commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi. Kegiatan penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. 107 Metodologi pada hakikatnya memberikan pedoman
tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari,
menganalisis dan memahami setiap lingkungan yang dihadapinya. Suatu penelitian yang bertujuan untuk mencari jawaban, maka penelitian tersebut memerlukan suatu metode yang tepat. Metode adalah alat untuk mencari jawaban atas suatu permasalahan yang sedang diteliti.
108
Adapun metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Jenis Penelitian Penelitian hukum sangat bergantung terhadap konsep hukum yang digunakan. Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, terdapat lima konsep hukum 109, yaitu: 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan hukum nasional; 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law; 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan eksis sebagai variabel sosial yang empirik; 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Mengacu pada lima konsep hukum yang dikemukakan Soetandyo Wignyosoebroto tersebut, penulis akan menggunakan konsep hukum yang keempat yakni hukum sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan
107
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hlm 42. Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana commit to user Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm.19. 109 Ibid, hlm. 20. 108
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Konsep keempat merupakan konsep normologic, hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai regularities dalam kehidupan sehari-hari atau dalam pengalaman. 110 Hukum disini sebagai tingkah laku atau aksi-aksi interaksi. Penelitian hukum ini disebut penelitian empris atau penelitian non doktrinal. Penulis dalam kajian dimaksud menggunakan penelitian non doktrinal guna menjawab rumusan masalah mengenai Bagaimana Bentuk Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dalam Mengidentifikasi Adanya Pelanggaran Hukum Islam pada Kontrak Perbankan Syariah? dan Bagaimana
Langkah
Pengawasan
Otoritas
Jasa
Keuangan
dalam
Menindaklanjuti Kontrak Perbankan Syariah yang Melanggar Hukum Islam?
B. Bentuk Penelitian Menurut bentuknya, penelitian dibagi menjadi tiga 111, yaitu : 1. Penelitian Diagnostik merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala; 2. Penelitian Preskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu; 3. Penelitian Evaluatif merupakan penelitian yang dilakukan apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan. Bentuk penelitian dalam mengkaji rumusan masalah pada penelitian ini adalah dengan menggunakan bentuk penelitian Preskriptif untuk mengetahui langkah-langkah aktif Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan identifikasi pelanggaran dan sistem pengawasan terhadap perbankan syariah secara umum dan kontrak perbankan syariah yang tidak sesuai dengan hukum Islam secara khusus.
C. Sifat Penelitian
commitHukum, to user Burhan Asshofa, Metode Penelitian Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 10. Ibid, hlm. 6.
110 111
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sifat penelitian dibedakan menjadi 112 : a.
Penelitian yang bersifat Eksploratif (penjajakan atau penjelajahan). Penelitian Eksploratif merupakan penelitian yang dilakukan apabila suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang sama sekali bahkan tidak ada. Penelitian ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai suatu gejala itu;
b.
Penelitian yang bersifat Deskriptif. Penelitian ini untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya. Penelitian Deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di dalam masyarakat;
c.
Penelitian yang bersifat Eksplanatif (menerangkan). Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara berbagai variabel yang diteliti. Mencermati uraian sifat penelitian, maka penelitian hukum ini
merupakan penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Sifat penelitian yang eksploratif dapat dicermati sebagai upaya untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau untuk mendapatkan ideide baru mengenai suatu gejala itu yang dalam hal ini berkesuaian dengan pokok persoalan yang ingin dikaji mengenai langkah aktif Otoritas Jasa Keuangan
dalam
melakukan
pengawasan
guna
mengidentifikasi
pelanggaran dan upaya tindak lanjut terhadap kontrak perbankan syariah yang tidak sesuai dengan hukum Islam.
D. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di : a.
Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia;
commit to user 112
Ibid, hlm. 5-6.
68
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.
E. Jenis dan Sumber Data 1. Data Primer Data yang diperoleh dari keterangan atau fakta langsung yang diperoleh dari sumber-sumber data di lapangan. Data dalam penelitian ini diperoleh data dari : a. Dr. Setiawan Budi Utomo, Asisten Direktur Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia; b.
M. Gunawan Yasni, SE.Ak., M.M., CIFA., FIIS.,Anggota Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.
2. Data Sekunder Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi : a.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah berupa peraturan perundangundangan yang digunakan dalam penelitian. Merujuk pengertian demikian, peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; 2) Undang-Undang
Nomor
21
Tahun
2008
tentang
10
Tahun
1998
tentang
Perbankan Syariah; 3) Undang-Undang
Nomor
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; 5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/2009 tentang Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa bukubuku
teks,
jurnal-jurnal
hukum,
kamus-kamus
hukum,
komentar-komentar atas putusan pengadilan, artikel internet dan artikel media massa yang berkaitan dengan topik yang tengah diteliti. c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa Kamus Hukum Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ensiklopedia.
F. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mendapatkan data yang diinginkan guna mendukung penelitian. Ketetapan penggunaan teknik pengumpulan data akan membuat data yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan studi dokumen atau bahan pustaka. 113 1. Wawancara Wawancaraadalah percakapan dengan maksud tertentu. Wawancara dimaksudkan untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, perasaan
dan
motivasi.
Teknik
pengumpulan
data
dengan
menggunakan metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang tidak dapat diperoleh dengan cara pengamatan. Metode ini dilakukan dengan percakapan formal yang menggunakan pedoman wawancara yang bersifat baku. Wawancara bersifat depth interview (wawancara secara mendalam), berstruktur maupun tidak berstruktur,
commit to user 113
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 186
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan petunjuk umum wawancara dan dimungkinkan dalam kondisi tertentu menggunakan wawancara pembicaraan informal dan tertutup, dilakukan langsung kepada pihak terkait. 114 2. Studi dokumen atau bahan pustaka Studi dokumen atau bahan pustaka merupakan pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang kemudian diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang diteliti. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
G. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian hukum dimaksud adalah teknik analisis data berupa model analisis interaktif (interactive model of analysis). 115 Model analisis interaktif yaitu data yang terkumpul akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Model analisis seperti ini dilakukan melalui suatu proses antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan saling berhubungan satu dengan yang lain dan benar-benar merupakan data yang mendukung penulisan penelitian. Ketiga tahap tersebut yaitu 116 : 1. Reduksi Data Mereduksi data ditujukan untuk mempertegas, memperpendek, memfokuskan, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data, serta mengatur sedemikian rupa sehingga penarikan kesimpulan dapat dilakukan
2. Penyajian Data Penyajian data merupakanseluruh informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data dapat 114
Ibid, hlm. 186 commitKualitatif, to user UNS Press, Surakarta, 2002, hlm. 37. HB. Soetopo, Pengantar Penelitian 116 Ibid, hlm.96 115
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan kegiatan dan/atau tabel. 3. Penarikan Kesimpulan Upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data, dimana sebelumnya data diuji likuiditasnya agar kesimpulan menjadi lebih kuat.
BAB IV PEMBAHASAN
commit to user
72