BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Satelit Satelit adalah benda angkasa yang bergerak mengelilingi bumi menurut periode revolusi dan rotasi tertentu. Satelit ada 2 tipe yaitu satelit aktif dan satelit pasif. Satelit aktif memiliki kemampuan untuk menerima dan mengirimkan kembali sinyal yang didapat ke bumi. Sedangkan satelit pasif hanya berfungsi sebagai pemantul saja. Pada sistem komunikasi, satelit dapat dikatakan sebagai sistem komunikasi dengan menggunakan satelit sebaga repeater. Satelit berfungsi sebagai repeater aktif dimana pada satelit terjadi proses penguatan daya sinyal dan translasi frekuensi. Berdasarkan ketinggiannya, satelit terbagi atas : 1.
Orbit Rendah (Low Earth Orbit, LEO) dengan ketinggian 300 – 1.500 Km di atas permukaan bumi.
2.
Orbit Menengah (Medium Earth Orbit, MEO) dengan ketinggian 1.500 – 36.000 Km.
3.
Orbit Geosinkron (Geosynchronous Orbit, GSO) dengan ketinggian sekitar 36.000 Km di atas permukaan bumi.
4.
Orbit Geostasioner (Geostationary Orbit, GEO) dengan ketinggian 35.870 Km di atas permukaan bumi.
5.
Orbit Tinggi (High Earth Orbit, HEO) dengan ketinggian diatas 36.000 Km.
5
Berdasarkan orbitnya, satelit terbagi atas : 1.
Equatorial Orbit Satellite, yaitu tipe orbit yang mengelilingi bumi melalui zona atau garis khatulistiwa.
2.
Inclined Orbit Satellite, yaitu tipe orbit yang mengelilingi bumi dengan garis orbit sebesar 45° dari garis khatulistiwa.
3.
Polar Orbit Satellite, yaitu tipe orbit yang mengelilingi bumi melalui garis bujur yang melewati kutub Utara dan Selatan. Orbit satelit yang digunakan dalam sistem komunikasi satelit adalah
Geostationarry Orbit. Orbit geostasioner dipopulerkan pertama kali oleh penulis fiksi ilmiah Arthur C. Clarke pada tahun 1945 sebagai orbit yang berguna untuk satelit komunikasi. Oleh karena itu, orbit ini kadang disebut sebagai orbit Clarke. Dikenal pula istilah Clarke Belt. Satelit komunikasi geostasioner mengelilingi bumi dengan ketinggian 35.870 Km dari permukaan bumi, serta dengan kecepatan sudut dan arah orbit yang sama persis atau tepat dengan kecepatan dan arah rotasi bumi.
2.2
Sistem Komunikasi Satelit Satelit merupakan suatu repeater yang berfungsi untuk menguatkan sinyal dari stasiun bumi dan memancarkannya kembali dengan frekuensi yang berbeda ke stasiun bumi penerima. Secara umum komunikasi satelit tersusun atas dua bagian yaitu ruas angkasa (space segment) dan ruas bumi (ground segment). Ruas angkasa merupakan satelit yang terletak di orbit bumi sedangkan ruas bumi adalah seluruh perangkat yang berada di stasiun bumi.
6
Gambar 2.1. Arsitektur Komunikasi Satelit (Sumber : http://4mie.wordpress.com/2008/01/19/satelit/) 2.1.1
Stasiun Bumi Stasiun bumi adalah terminal yang dapat berfungsi pada dua arah komunikasi baik sebgai transmitter ataupun receiver. Perangkat ground segment pada stasiun bumi ini, berdasarkan penempatannya dibedakan menjadi 2 jenis yaitu indoor dan outdoor unit. Perangkat indoor umumnya bersifat sensitive sehingga peletakannya berada pada sisi dalam ruangan, contoh perangkat indoor unit adalah : 1.
Encoder, berfungsi sebagai perangkat kompresi (dalam format MPEG2 atau MPEG4). Tujuan dari kompresi sinyal ini adalah untuk menghemat bandwidth.
2.
Modulator,
berfungsi
sebagai
alat
yang
memasukan
atau
menumpangkan sinyal informasi ke dalam sinyal pembawa (carrier). Frekuensi sinyal pembawa ini berada sekitar 70 MHz. 3.
Framesync, berfungsi sebagai peralatan digitalisasi atau merubah sinyal analog menjadi sinyal digital yang berupa audio maupun video. Framesync berfungsi juga untuk mengatur set waktu delay
7
pengiriman data antara audio dan video agar terjadi sinkronisasi antara keduanya. Perangkat outdoor adalah unit perangkat yang letak atau posisi efisiensi relatif penggunaannya berada di luar ruangan. Contoh perangkat outdoor unit adalah : 1.
Up Converter dan Down Converter, perangkat ini dikemas dalam satu kemasan yang umunya kita sebut converter. Fungsi dari Up Converter adalah untuk mengkonversi sinyal intermediate frequency (IF) menjadi sinyal radio frekuensi (RF) dengan frekuensi yang dikehendaki pada sisi uplink satelit. Sedangkan fungsi Down Converter adalah untuk mengkonversi sinyal RF downlink satelit dengan frekuensi yang dikehendaki.
2.
High Power Amplifier (HPA), perangkat ini berfungsi sebagai penguat sinyal dengan tujuan agar sinyal tersebut sampai ke satelit. Ada dua jenis HPA, yaitu amplifier yang berbasis tabung atau TWTA (Travelling Wave Tube Amplifier) dan amplifier yang berbasis solid state transistor atau SSPA (Solid State Power Amplifier).
3.
Antena, perangkat ini berguna untuk menerima dan mengirim sinyal dari atau ke satelit agar pancaran gelombang tepat terarah kepada satelit yang dituju.
4.
Low Noise Amplifier (LNA), perangkat ini berguna untuk memperkuat sinyal downlink yang diterima pada stasiun bumi.
5.
Feedhorn, perangkat ini berguna untuk sistem penghubung pancaran
8
HPA ke LNA pada sisi transmit yang dipasang pada antenna. 2.3
Satellite News Gathering (SNG) Transmisi merupakan ujung tombak dan berperan penting dalam sebuah siaran broadcast. Televisi merupakan media audio-visual, yang berarti memiliki unsure gambar dan suara. Tugas trasmisi adalah menyampaikan kualitas video maupun audio dengan baik ke televise yang ditonton oleh para pemirsa yang ada di rumah. Transmis sering disingkat dengan Tx, sebenarnya Tx hanya simnol teknis yang bisaa digunakan
untuk
antenna
pemancar/transmitter,
jadi
Tx
bukan
merupakan singkatan. Blok diagram dari proses siaran pada umumnya meliputi sebagai berikut:
Studio 1
Studio 2
Control Equipment Room (CER)
Master Control Room (MCR)
Studio N Uplink Siaran Via Satelit Satelit Siaran Via OB
INDONESIA
Semua siaran yang ada baik itu dari studio yang hanya rekaman ulang (taping) ataupun acara langsung (live) yang ada di studio maupun
9
yang langsung dari lokasi kejadian menggunanakan (Outdoor Broadcast) Van semuanya melalui MCR (Master Control Room) sebelum dipancarkan ke satelit. Di MCR gambar dipasang logo televise tersebut, lalu terdapat segmen iklan dan promo, sampai materi yang ingin disampaikan kepemirsa di rumah benar-benar siap on air. Dari MCR, materi tersebut menuju ke perangkat Uplink untuk ditransmisikan melalui satelit ke stasiun relay yang tersebar. Dalam siaran TV broadcast, terdapat 3 macam sistem transmisi yang bisa digunakan yaitu : 1.
Transmisi satelit, yaitu transmisi dari studio ke stasiun relay dengan bantuan satelit sebagai repeater.
2.
Transmisi terrestrial, yaitu transmisi dari stasiun relay ke televise pemirsa yang ada di rumah.
3.
Transmisi microwave, yaitu transmisi yang menggunakan sinyal gelombang micro, bisaanya digunakan untuk transmisi dari studio ke stasiun relay, hal ini bisa terjadi jika jarak keduanya memungkinkan. SNG (Satellite News Gathering) secara harfiah bisa diartikan sebagai
pengumpul berita melalui satelit, meskipun sebenarnya SNG tidak selalu digunakan untuk pemberitaan. SNG merupakan piranti (alat) untuk transmisi satelit portable, yang berarti SNG lebih praktis untuk dibawa kemana-mana (mudah berpindah tempat/mobile). Tidak hanya itu, SNG juga mudah dalam hal proses install dan uninstall. SNG berfungsi sebagai pengirim materi berita/suatu kejadian ke satelit yang kemudian materi tersebut dipantulkan oleh satelit ke perangkat penerima yang ada
10
di bumi (Ground Segment) yang kemudian akan diproses di MCR.
2.4
Multiple Acces Pada Sistem Komunikasi Satelit Kelebihan dari sistem komunikasi satelit yang tidak dipunyai oleh sistem komunikasi lainnya adalah kemampuan untuk menghubungkan semua stasiun bumi bersama-sama baik secara multidestional atau point to point. Karena satu transponder satelit dapat dipergunakan banyak stasiun bumi secara bersamaan, maka diperlukan suatu teknik untuk mengakses transponder tersebut ke masing-masing stasiun bumi. Teknik ini dinamakan Satellite Multiple Acces atau metoda akses satelit.
2.4.1
Frequency Division Multiple Acces (FDMA) Metoda ini merupakan metoda yang paling sederhana dan digunakan sejak adanya satelit komunikasi. Setiap stasiun bumi menggunakan metode FDMA atau dikenal (Single Channel Per Carrier) memakai satu atau lebih frekuensi pembawa yang spesifik sepanjang waktu pelayanan. Metode FDMA tidak digunakan untuk pengiriman data berkecepatan rendah tetapi untuk pengiriman data dengan kecepatan diatas 56 kbps.
Gambar 2.2. Konsep dari FDMA (Sumber : Perancangan Jaringan VSAT, Ari Prabowo, Fakultas Teknik Universitas Indonesia)
11
2.4.2
Time Division Multiple Acces (TDMA) Pada metode TDMA, sejumlah stasiun bumi menggunakan suatu transponder satelit dengan membagi dalam bidang waktu. Pembagian ini dilakukan dalam selang waktu tertentu, yang disebut kerangka TDMA (TDMA frame). Setiap kerangka TDMA dibagi lagi atas sejumlah celah waktu (time slot). Informasi dimasukan dalam time slot yang berbeda dan dipancarkan secara periodic dengan selang waktu yang sama.
Gambar 2.3 Konsep dari TDMA (Sumber : Perancangan Jaringan VSAT, Ari Prabowo, Fakultas Teknik Universitas Indonesia) Setiap kerangka TDMA terbagi atas beberapa celah waktu, celah waktu tersebut mempunyai struktur yang terdiri dari preramble time dan data bit transmission. Dibandingkan dengan metode akses yang lain, TDMA mempunyai beberapa kelebihan, yaitu : 1.
Sistem pengendalian terpusat oleh stasiun pemandu Pengendalian dan pengwasan transmisi sinyal TDMA dilakukan secara terpusat oleh stasiun pemandu. Satsiun pemandu juga berfungsi menentukan waktu transmisi sinyal dari masing-masing stasiun bumi berdasarkan panduan pancaran.
2.
Perubahan rencana waktu pancar tanpa menghentikan lalu lintas 12
Setiap waktu transmisi sinyal ditentukan alokasi dan panjangnya dalam setiap kerangka TDMA. Perencanaan penyusunan transmisi sinyal untuk setiap stasiun bumi disebut Rencana Waktu Pancar (Burst Time Plan). Dalam perluasan jaringan dibutuhkan perubahan Burst Time Plan seperti pengubahan panjang pancaran atau menambah pancaran baru. Perubahan Burst Time Plan dapat dilakukan tanpa menghentikan lalu lintas yang sedang berlangsung. 3.
Adanya Satellite Transponder Hopping Dengan adanya pengunanaan teknik Satellite Transponder Hopping maka memungkinkan sebuah terminal TDMA mengirim dan menerima sinyalnya secara bergantian untuk beberapa transponder satelit.
4.
Penggunaan Teknik Forward Error Control (FEC) Penggunaan Forward Error Control dikhususkan pada jalur-jalur yang tidak dapt memenuhi criteria Bit Error Rate (BER) akibat adanya interferensi kanal yang bertambah banyak.
2.4.3
Code Division Multiple Acces (CDMA) CDMA merupakan teknik akses bersama ke satelit yang membagi lebar pita transponder satelit, dengan memberikan kode-kode alamat tujuan dan pengenal untuk setiap data. Sinyal informasi memiliki kode tujuan dan pengenal untuk setiap data. Sinyal informasi memiliki kode tujuan ang dapat menerima informasi tersebut.
13
Gambar 2.4 Konsep dari CDMA (Sumber : Perancangan Jaringan VSAT, Ari Prabowo, Fakultas Teknik Universitas Indonesia) 2.5
Parameter Link Budget Link budget adalah kegiatan menghitung dari rencana power yang akan dipancarkan ke satelit dari stasiun bumi untuk mendapatkan suatu nilai C/Ntotal dari suatu link. Dalam perhitungan Link Budget ini besarnya power yang dipancarkan akan tergantung dari jenis carrier, ukuran antenna penerima, karakteristik satelit, lokasi stasiun bumi dan servis yang diharapkan. Dalam mendesain Link Budget harus diusahakan supaya penggunaan satelit dapat optimal. Yang dimaksud optimal adalah persentase dari penggunaan bandwidth dan power satelit adalah sama.
2.5.1
Azimuth dan Elevasi Suatu posisi antena stasiun bumi dapat diselesaikan dengan menggunakan sudut azimuth (A) dan sudut elevasi (E) berdasarkan data posisi lintang (θi) dan posisi bujur (θL) stasiun bumi serta bujur satelit (θS). Sudut Azimuth didefinisikan sebagai sudut yang diukur searah jarum jam dari posisi utara memotong bidang horizontal. Besarnya sudut azimuth adalah berkisar antara 0° sampai 360°, tergantung pada lokasi stasiun bumi. Sudut Azimuth (A) diberikan sebagai berikut : 1.
Belahan Bumi Utara
14
Stasiun Bumi terletak di barat Satelit : A = 180° - A' (derajat) 2.
Belahan Bumi Selatan Stasiun Bumi terletak di barat Satelit : A = A' (derajat) Stasiun Bumi terletak di timur Satelit : A = 360° - A' (derajat) Sudut Elevasi (E) didefinisikan sebagai sudut yang dihasilkan
dengan memotong bidang horizontal dengan garis pandang antara stasiun bui dan satelit.
2.5.2
Intermodulasi Intermodulasi terjadi akibat dari penguat power TWTA atau SSP yang tidak linear. Sehingga apabila power SSPA dipakai untuk penggunaan multi carrier maka harus dilakukan output backoff. Besaran backoff ini tergantung dari berpa besar nilai intermodulasi yang diijinkan. Besarnya ouput backoff ini dihasilkan oleh karakteristik dari power TWTA atau SSPA. Dalam sistem komunikasi satelit maka intermodulasi yang sangat berpengaruh adalah intermodulasi yang diakibatkan karena power HPA dibebani lebih dari satu carrier. Rumus intermodulasi dirumuskan sebagai berikut : IM = 2F1 – F2 Keterangan : IM = Intermodulasi F = Frekuensi
2.5.3
Interferensi Satelit Interferensi merupakan energy frekuensi radio yang tidak diinginkan yang berasal dari sumber interferensi yang timbul pada penerima
15
(receiver). Pada sistem omunikasi satelit terdapat dua tipe interferensi, yaitu : 1.
Self Interference a.
Co-channel Interference merupakan kerugian dari penggunaan pengulangan frekuensi yang bertujuan meningkatkan kapasitas dari sistem karena keterbatasan bandwidth. Interference cochannel berasal dari isolasi yang tidak sempurna antara beam pada satelit dan juga disebabkan oleh ketidaksempurnaan isolasi antara pengulangan polarisasi orthogonal pada frekuensi yang sama.
b.
Adjacent Channel Interference merupakan interferensi yang bersala dari daya carrier penginterferensi terhadap sinyal yang diinginkan yang diterima oleh stasiun bumi.
2.
External Interference a.
Interferensi dari sistem terrestrial
b.
Interferensi dari sistem satelit yang berdekatan
Untuk menganalisa interferensi ke atau dan sistem satelit yang berdekatan maka perlu mempertimbangkan link satelit dan interferensi antara dua sistem satelit A dan B.
16
Gambar 2.5 Interferensi antara dua sistem satelit A dan B ( Sumber : http://1.bp.blogspot.com/nGAMUNSSzAw /TyunuT2keZI/AAAAAAAAAOA/bQGOo5ym_5Y/s1600/1.jpg) 2.5.4
Cross Pole Pengukuran cross pole interference adalah sebuah upaya untuk mengetahui seberapa besar interferensi yang diakibatkan oleh sinyal pada frekuensi yang sama tetapi polarisasinya bersebrangan (cross pole). Cara yang umum dilakukan adalah kita harus mengirim sinyal carrier murni (tanpa pemodulasi) dengan daya pancar yang cukup ke arah satelit (up link). Dengan demikian sinyal yang kita pancarkan ini dapat diterima secara jelas di penerima. Kemudian operator satelit (yang umumnya memiliki
antena
penerima
berdiameter
besar
sehingga
mampu
menangkap sinyal yang lemah) akan menerima sinyal dari satelit (downlink) dikedua polarisasi yang berbeda (vertical maupun horizontal). Pada polarisasi yang sama akan diperoleh level sinyal yang besar, sedangkan pada polarisasi yang berseberangan (cross pole) akan diperoleh level sinyal yang jauh lebih kecil. Level kedua sinyal ini kemudian dapat diukur perbedaannya. Jika perbedaannya masih dibawah 30 dB berarti polarisasi antena belum terkalibrasi dengan tepat. Untuk itu 17
feedhorn harus diputar-putar sedemikian rupa sehingga diperoleh polarisasi yang tepat. Polarisasi antena dikatakan sudah terkalibrasi dengan tepat bila perbedaan levelnya lebih besar atau sama dengan 30 dB. Angka sebesar 30 dB (atau seper-seribu) dinilai cukup untuk mengisolasi dua buah sinyal dengan frekuensi sama, tapi polarisasinya berbeda. Dengan demikian kedua sinyal tidak akan saling ganggu atau saling menginterferensi. 2.5.5
Redaman Hujan Redaman hujan merupakan redaman yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap propagasi gelombang dengan frekuensi diatas 10 GHz. Nilai redaman ini adalah fungsi dari frekuensi dan curah hujan dalam mm/jam.
Gambar 2.6 Redaman Hujan (Sumber : Perancangan Jaringan VSAT, Ari Prabowo, Fakultas Teknik Universitas Indonesia) 2.5.6
Gain Antenna Gain atau penguatan adalah perbandingan antara daya pancar suatu antena terhadap antena referensinya. Persamaan untuk antena parabolic adalah sebagai berikut : 18
G=
=
Atau secara logaritmis : G (dB) = 20.45 + 20 log f + 20 log d + 10 log η Keterangan :
2.5.7
η
:
Efisiensi antena
f
:
Frekuensi (GHz)
d
:
Diameter antena (m)
c
:
Kecepatan cahaya
λ
:
Panjang gelombang (m)
Carrier to Noise (C/N) C/N adalah perbandingan antara level power sinyal pemodulasi dengan sinyal noise yang diterima pada perangkat penerimaan. Pengukuran C/N ini bisaanya dilakukan pada tingkat IF (Intermediate Frequency) sebelum sinyal masuk ke demodulator untuk menunjukan kualitas sinyal pemodulasi yang sampai pada penerima. daya sinyal pemodulasi C/N = daya sinyal derau
C/N juga digunakan sebagai acuan batas ambang sinyal pemodulasi yang masih dapat didemodulasi dengan baik oleh perangkat demodulator. Untuk menentukan C/NUplink digunakan persamaan sebagai berikut : C/NUplink = EIRPSBTx – LTot – G/TUp – 10 log k – 10 log BAll - IBo Keterangan : EIRPSBTx
:
Nilai EIRP pada transmitter Stasiun Bumi
19
LTot
:
Uplink Path Loss (dB)
G/TUp
:
Gain to Noise Temperature Ratio Uplink (dB/°K)
k
:
Konstanta Boltzman = 1,3803·10-23 (J/°K)
BAll
:
Bandwidth Allocated (MHz)
IBo
: Input Back Off
(pengurangan nilai input yaitu
berupa kuat sinyal yang diterima satelit dibanding masukan maksimal dalam satuan dB) Untuk menentukan C/NDownlink digunakan persamaan sebagai berikut: C/NDn = EIRPsat – LTot – G/TDn – 10 log k – 10 log BAll - OBo Keterangan : EIRPSat
:
Nilai EIRP pada satelit
LTot
:
Uplink Path Loss (dB)
G/TDn
:
Gain to Noise Temperature Ratio Downlink (dB/°K)
k
:
Konstanta Boltzman = 1,3803·10-23 (J/°K)
BAll
:
Bandwidth Allocated (MHz)
IBo
: Output Back Off
Nilai dari C/NTotal merupakan penjumlahan dari C/NUplink dan C/NDownlink. Carrier to Noise Ratio Total (C/NTotal ) adalah parameter yang melambangkan kualitas daya carrier yang diterima oleh perangkat akhir dalam komunikasi satelit (stasiun bumi penerima). C/NTotal yang selanjutnya akan dipakai untuk mengetahui nilai Eb/No pada bagian modem. C/NTotal dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : C/NTotal = [(C/NUp)-1 + (C/NDn)-1]-1
20
2.5.8
Energy Per Bit to Noise Density Ratio (Eb/No) Eb/No adalah perbandingan energi tiap bit yang diterima dengan satuan Watt/detik dengan rapatnya daya spectral noise dengan satuan W/Hz. Besaran ini juga menunjukan kualitas dari sinyal Radio Frequency
(RF)
yang
diterima
oleh
modem.
Parameter
yang
mempengaruhi besaran Eb/No adalah kecepatan transmisi data dan derau bandwidth dari demodulator. Persamaan untuk mencari Eb/No adalah : Eb/No = C/NTot + BWAll – 10 log IR Keterangan :
2.5.9
C/NTot
:
Carrier to Noise Ratio Total (dB)
BAll
:
Bandwidth Allocated (Hz)
IR
:
Information Rate (bps)
Bit Error Ratio (BER) Bit Error Rate (BER) adalah perbandingan antara jumlah bit yang diterima salah dengan jumlah total bit yang diterima pada selang waktu tertentu. Parameter BER digunakan untuk menilai performansi transmisi digital. Semakin rendah nilai BER yang dihasilkan oleh suatu transmisi digital, maka semakin baik performansi transmisi digital tersebut. Pengukuran BER ini spesifik hanya pada sistem komunikasi digital dan diukur pada level baseband. Jumlah bit salah BER = Jumlah bit diterima
2.5.10
Bandwidth Carrier Bandwidth adalah besaran yang menunjukan seberapa banyak data
21
yang dapat dilewatkan ataupun bisa disebut juga lebar pita atau kapasitas saluran informasi. Berikut ini merupakan perhitungan bandwidth carrier. Composite Rate (CR) = Information Rate + Overhead Untuk overhead rate dengan data rate lebih besar atau sama dengan 1544 Kbps, maka nilai overhead rate adalah 96 Kbps. Sedangkan untuk data rate lebih kecil atau sama dengan 1543,9 Kbps maka nilai overhead ! " rate adalah ( ). 15 Kbps
2.5.11
Effective Isotropic Radiated Power (EIRP) Effective Isotropic Radiated Power (EIRP) adalah besarnya nilai efektif daya yang dipergunakan untuk memancarkan carrier yaitu dari antena stasiun bumi sebelum dipengaruhi oleh redaman ruang bebas. Untuk nilai EIRP yaitu dari stasiun bumi pengirim dipengaruhi oleh besarnya daya keluaran dari SSPA/HPA, gain antenna dan loss saluran kabel feeder yang digunakan. EIRPSBTx = PTx – Lfeeder + GTx Keterangan :
2.5.12
PTx
:
Daya keluaran dari HPA stasiun bumi (dB)
Lfeeder
:
Loss saluran transmisi (dB)
GTx
:
Gain antenna stasiun bumi pengirim (dB)
Path Loss (L) Path loss atau redaman ruang bebas merupakan hilangnya daya yang dipancarkan pada ruang bebas saat pemancaran sehingga tidak seluruh daya dapat diterima oleh antena penerima. Besar redaman ini dapat
22
ditulis sebagai berikut : L (dB) =
& '
Atau secara logaritmis : L (dB) = 92,45 + 20 log d + 20 l0g f Keterangan :
2.5.13
f
:
Frekuensi up/down converter (GHz)
d
:
Jarak antara stasiun bumi ke satelit
c
:
Kecepatan cahaya
Free Space Loss Free Space Loss (FSL) adalah suatu nilai yang menunjukan rugi-rugi jalur transmisi. Rugi-rugi jalur transmisi ini dikarenakan karena penggunaan media udara sebagai media perantara, jarak jalur transmisi dan penggunaan frekuensi radio. Besar FSL ini dapat dihitung dengan rumus : LFsl = 32,44 + 20 log R + 20 log f Keterangan : R
:
Jarak antara antena pemancar dan penerima (Km)
f
:
Frekuensi pembawa (MHz)
Atau bisa juga : FSL = 20 log (4 • π • f •
( )
)
Keterangan : π
:
3.1415859
23
2.5.14
f
:
Frekuensi (MHz)
R
:
Jarak stasiun bumi ke satelit (m)
c
:
Kecepatan cahaya
Gain to Temperature Noise Ratio (G/T) Gain to Temperature Noise Ratio adalah perbandingan antara gain dengan temperature noise antenna. Semakin gain besar gain antenna maka parameter G/T ini akan semakin besar, demikian pula halnya jika temperature noise antenna semakin rendah, akan semakin besar pula parameter G/T. Parameter ini sangat berpengaruh pada penerimaan sinyal yang berasal dari satelit. G/T =
*+
,-.-
Keterangan : G/T :
Gain per temperature (dB/°K)
Ga
Gain antenna (dB)
:
Tsys : 2.6
Suhu sistem (antenna/LNA/receiver) (°K)
Standar Kompresi MPEG Perkembangan teknologi siaran TV yang mengarah kesiaran TV digital telah menetapkan suatu standar kompresi untuk audio dan video digital yaitu MPEG-2. ISO/IEC dan Motion Picture Experts Group (MPEG) sebagai badan standar video digital yang mempunyai peranan sangat
besar dalam memulai dan mengembangkan
komunikasi
multimedia terutama interoperabilitas anatar jenis aplikasi yang menggunakan standar ini. Perkembangan standar MPEG dapat dijelaskan sebagai berikut:
24
2.6.1
MPEG-1 Standar MPEG-1 atau ISO/IEC 11172 yang merupakan generasi pertama dari keluarga MPEG, dikembangkan pada periode 1988-1991. Setelah selesainya rekomendasi ITU-T H.261 pada pengkodean video dengan target telefoni video dan konferensi video. Standar MPEG-1 dirancang untuk memeberikan solusi pengodean digital audiovisual secara lengkap untuk media penyimpanan digital seperti CD, DAT, drive optik dan cakram Winchester pada kecepatan < 1.5 Mbps.
2.6.2
MPEG-2 Standar MPEG-2 atau ISO/IEC 13818 ini didefinisikan solusi pengodean audiovisual terbaru dengan memefokuskan pada TV digital dan kualitas penyimpanan menengah dan tinggi (termasuk HDTV). MPEG-2 Video merupakan spesifikasi kerjasama MPEG pertama yang dipublikasikan sebagai ISO/IEC 13818 bagian 2 dan pada saat yang sama sebagai rekomendasi ITU-T H.262. Standar MPEG-2 ini pada akhir tahun 1995 ditetapkan sebagai standar pengodean sumber video dan audio untuk standar transmisi DVB-T. Di Amerika Serikat, FCC yang mengesahkan ATSC sebagai standar TV digital negaranya, menggunakan standar ini untuk pengkodean video, sedangkan untuk pengodean audio menggunakan standar kompresi audio digital (AC3). Sedangkan Jepang , yang mengembangkan standar TV Digital sendiri yaitu ISDB-T yang menggunakan standar ini.
25
2.6.3
MPEG-4 Standar MPEG-4 atau ISO/IEC 14496 yang diluncurkan pada tahun 1994, berkaitan dengan konsep dalam presentasi isi dari audiovisual maju yang ditawarkan yaitu model representasi berbasis objek. Model berbasis objek yang pada standar ini dapat digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada pada model berbasis frame yang teah diadobsi oleh standar MPEG-1 dan MPEG-2. Dengan mengadopsi model berbasis objek ini, MPEG-4 mengeluarkan pendekatan baru pada representasi isi multimedia dimana alur audiovisual diambil sebagai suatu komposisi dari objekobjek yang independen dengan pengkodean, fitur dan perilaku sendiri. Asitektur ini memungkinkan tersedianya kemampuan interaksi yang lebih banyak, otomatis atau berdasarkan kebutuhan pengguna. Selain itu standar ini juga mampu beroperasi pada laju bit yang bervareasi dari komunikasi bergerak personal dengan laju bit yang rendah hingga produksi studio dengan kualitas tinggi. Salah satu standar TV digital yang menggunakan standar MPEG-4 adalah DVB-H.
2.6.4
MPEG-7 Standar MPEG-7 atau ISO/IEC 15938, diluncurkan pada tahun 1996 yang merupakan proyek MPEG yang disebut Multimedia Content Description Interface yang ditunjukan untuk menentukan suatu standar cara menggambarkan berbagai jenis informasi audiovisual. Salah satu tujuan standar ini adalah mengirim informasi latar belakang untuk suatu program siaran dengan bantuan struktur data berbasis XML dan HTML. Sebagi ilustrasi misalnya pada suatu aliran transport MPEG-2 maka dapat
26
direpresentasikan dalam bentuk grafis yang aktraktif ke pengguna dan dilengkapi dengan fungsi-fungsi pencarian dengan suatu set-top box modern. Standar ini pertama kali digunakan pada MHP (multimedia home flatform) sauatu standar untuk set-top box dan dalam SAMBITS. 2.6.5
MPEG-21 Standar MPEG-21 atau ISO/IEC 21000, dikembangkan pada tahun 2000
dan
terkadang
disebut
Multimedia
Framework.
Tujuan
pengembangan standar ini adalah menyediakan perangkat atau metode untuk mengkapi semua standar MPEG lainya, termasuk didalamnya aplikasi-aplikasi berbasis client-server, peer to peer, Standar MPEG-21 merupakan salah satu standar yang mengacu pada manajemen dan melindungi hak-hak intelektual digital. 2.6.6
MPEG-A Standar MPEG-A atau ISO/IEC 23000 diluncurkan pada tahun 2004. Standar ini sering disebut Multimedia Application Formats (MAF). Target
definisi
dari
MAF
ini
berdasarkan
super-format
yang
mengkombinasikan tools yang telah didefinisikan sebagai standar-standar MPEG sebagai bagian dari standar ini. Dalam kontek siaran TV digital, standar ini belum begitu memiki andil yang signifikan, tapi mempunyai potensi besar terutama dalam era konvergensi
kelak.
Karena
standar ini mampu
mengkombinasi
perangkat-perangkat yang telah distandarisasikan pada standar-standar sebelumnya. Salah satu standar MAF yang telah selesai pada tahun 2006 adalah Music Player MAF.
27
2.7
Standar Kompresi HD HD
merupakan
singkatan
dari
HIGH
DEFINITION
yang
mempunyai arti resolusi tinggi. Jadi dari pengertian Video HD tersebut berarti perangkat yang didukung dengan HD, berarti video nya lebih dari hanya kualitas video standar, dengan kata lain mempunyai resolusi tinggi, dimana resolusinya adalah 1280 x 720 dan 1920 x 1080 pixels. Dengan resolusi ini, gambar atau video yang dihasilkan akan terlihat sangat jelas sampai ke detail-detailnya. Selain itu proses pergerakan video tampak seperti nyata, dan sangat tajam. Object juga akan dapat diamati secara utuh.
28