BAB II LANDASAN TEORI II.A. RESILIENSI II.A.1. Pengertian Resiliensi Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’ yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terpuruk (Putrantie, 2008). Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih (recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif .
Universitas Sumatera Utara
Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya
menghadapi,
mencegah,
meminimalkan
dan
bahkan
menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terburuk, dimana resiliensi merupakan proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan pengalamanpengalaman yang di alami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif. II.A.2. Karakteristik Resiliensi Karakteristik resiliensi menurut Wolin dan Wolin (1999, dalam Rezki Rahayu, 2008) adalah sebagai berikut : 1. Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam
Universitas Sumatera Utara
berbagai situasi. Insight adalah kemapuan yang paling mempengaruhi resiliensi. 2. Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emocional maupun fisik dari sumber masalah dalah hidup seseorang. Kemandiran melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. 3. Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat. 4. Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang sedang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaaktif, bukan kreatif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. 5. Kreativitas Kreativitas
melibatkan
kemampuan
memikirkan
berbagai pilihan,
konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat
Universitas Sumatera Utara
keputusan yang benar. 6. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. 7. Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik resiliensi merupakan kemampuan mental bertanya pada diri sendiri, kemandirian yang dimiliki individu, hubungan yang saling mendukung, inisiatif pada individu, kemampuan kreatif yang dimiliki individu, kemampuan humor yang individu dalam menjalani kehidupan serta orientasi nilai yang dimiliki. II.A.3. Faktor dan Sumber Resiliensi Grotberg (2000) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi seseorang. Faktor-faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang
Universitas Sumatera Utara
berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi). Grotberg
(2000)
mengemukakan
faktor-faktor
resiliensi
yang di
identifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. Setiap sumber dari masing-masing faktor memberikan kontribusi pada berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi seseorang. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang resilien. 1. I Have Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan, yaitu inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri remaja tersebut. Sumbersumber dari faktor I Have yang harus dikembangkan oleh remaja untuk menjadi individu yang resilien adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan Individu yang resilien memperoleh dukungan berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah
yang menyenangkan, ataupun
hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut.. b. Struktur dan Peraturan di Rumah Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan hukuman. c. Dorongan Untuk Mandiri Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
d. Role Models Individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang harus remaja lakukan seperti mencari informasi terhadap sesuatu dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya dengan tujuan membuat remaja tersebut bangkit dan kembali menjadi sosok yang mandiri dari sebelumnya. e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan Kesejahteraan Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri remaja. 2. I Am Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa sumber yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah : a. Bangga Terhadap Diri Sendiri Individu yang resilien tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau
merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai
Universitas Sumatera Utara
masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. b. Disayang dan Disukai Orang Lain Individu yang resilien pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi. d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama Individu yang resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan Menerima Konsekuensinya Individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. 3. I Can I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa sumber dalam faktor ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya adalah : a. Mampu
Mengungkapkan
Pikiran
dan
Perasaan
dalam
Berkomunikasi Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu
mengekspresikan
pikiran dan perasaan mereka dengan baik. b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai Individu yang resilien mencari hubungan yang dapat di percaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna
Universitas Sumatera Utara
mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. c. Mampu Mengelola Perasaan Individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain. d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain Individu yang resilien mampu mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. e. Mampu Memecahkan Masalah Individu yang resilien memiliki kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan. Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita, 2005). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki faktor yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut
meliputi perasaan, tingkah laku, dan
kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga faktor tersebut masing-masing memiliki sumber yang memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi.
Universitas Sumatera Utara
II.B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL II.B.1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersil ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) menjabarkan bahwa eksploitasi seksual komersil adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian serius karena dampaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Remaja putri yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginaliasi, tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat. Eksploitasi seksual komersil adalah penggunaan seseorang untuk tujuantujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban (ECPAT, 2006). Eksploitasi seksual komersil merupakan sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak yang beranjak dewasa. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap korban, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Remaja yang menjadi korban eksploitasi tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial yang terjadi pada remaja putri merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan
Universitas Sumatera Utara
terhadap remaja tersebut, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern (ECPAT, 2008). Melalui eksploitasi seksual yang menimpa remaja putri, remaja tersebut tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi juga sebuah komunitas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi (ECPAT, 2006). ECPAT Internasional (2008) membagi eksploitasi seksual komersil menjadi lima bentuk, yaitu : 1. Prostitusi, tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang
remaja
putri
untuk
melakukan
tindakan
seksual
demi
mendapatkan uang atau imbalan lain. 2. Pornografi, pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan remaja putri di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh remaja tersebut demi tujuan-tujuan seksual. 3. Perdagangan remaja putri untuk tujuan seksual, prose perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dn penerimaan remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual. 4. Wisata seks, eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan para remaja putri. 5. Pernikahan dengan remaja berusia dibawah 18 tahun, memungkinkan remaja tersebut menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sebab tujuan menikahi remaja tersebut untuk menjadikannya sebagai objek seks dan menghasilan uang atau imbalan lainnya (ECPAT, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarakan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa eksploitasi seksual komersil adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap hakhak anak. Perbuatan itu terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa, pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak atau orang ketiga yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. II.B.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersil Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban eksploitasi seksual komersil. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi remaja yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan. Selain karena faktor kemiskinan yang membelenggu, menurut Jones et al (dalam Suyanto, 2010) ada faktor lain yang seperti kurangnya perhatian dari orang tua, beberapa kepercayaan tradisional serta kehidupan urban yang konsumtif. Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja. Walaupu karakteristik setiap daerah tidak persis sama, namun secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT (2008) menjabarkan faktor-faktor tersebut, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor pendorong 1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor pertanian 2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industrian di perkotaan 3. Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi 4. Adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk mendukung keluarga 5. Pergeseran dari perekonomian subsisten menjadi ekonomi berbasis pembayaran tunai 6. Peningkatan komsumerisme 7. Disintegrasi keluarga 8. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan b. Faktor penarik 1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut remaja putri sebagai korban eksploitasi seksual 2. Pernikahan yang diatur dimana pengantin yang masih remaja terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah 3. Permintaan dari pekerja migran 4. Promosi internasionl mengenai industri seks remaja putri melalui teknologi informasi.
Universitas Sumatera Utara
Faktor lainnya yang mempengaruhi remaja terjerumus menjadi korban eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat, berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Sementra faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju bagus, dan sebagainya. Yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul serta pengaruh budaya dibeberapa daerah di Indonesia (ECPAT, 2008). Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja putri adalah disebabkan faktor ekonomi, faktor pergaulan bebas serta budaya. II.B.3. Dampak Eksploitasi Seksual Komersil Di berbagai komunitas, disadari bahwa eksploitasi seksual komersil adalah sebuah masalah yang sulit untuk dihilangkan begitu saja, paling tidak ada akibat yang kemungkinan besar akan menimpa remaja-remaja korban eksploitasi seksual komersil jika dibiarkan larut dalam kondisi dan pekerjaan tersebut yang sesungguhnya tidak pernah mereka sadari resiko dan bahayanya (Suyanto, 2010). Eksploitasi seksual komersil dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak seseorang untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk hidup produktif (ECPAT, 2006). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampakdampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual, emosional, dan sosial serta kesejahteraan remaja korban eksploitasi seksual.
Universitas Sumatera Utara
Suyanto (2010) mengungkapkan beberapa dampak eksploitasi seksual komersil pada remaja yaitu, karena remaja-remaja korban eksploitasi seksual komersil itu masih berusia belia dan belum memiliki akses yang cukup terhadap informasi-informasi tentang “reproduksi sehat”, maka sesungguhnya mereka belum menggalami kematangan organ reproduksi. Mereka belum mengetahui resiko dari hubungan seksual yang dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan dini dan penularan penyakit menular seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya dengan mudah akan menimpa remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersi. Tidak mustahil, remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil akan mengandung seorang bayi yang tidak pernah dikehendaki, dan kemuadian memilih untuk melakukan aborsi secara illegal dan jauh dari syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak mungkin akan mengancam nyawa mereka sendiri. Selanjutnya, remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung beban psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang mereka tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral. Seorang remaja korban eksploitasi seksual, sekalipun mungkin suatu saat mereka menyadari resiko pekerjaannya atau berkat keajaiban berhasil melarikan diri dari cengkraman “germonya”, tidak mustahil suatu saat akan kembali sendiri ke bisnis syahwat ini karena masyarakat sekitarnya cenderung menolak dan menjaga jarak dengan mereka. Seorang remaja korban eksploitasi seksual komersil yang bermaksud akan memasuki kehidupan masyarakat biasanya cenderung memang dilecehkan,
Universitas Sumatera Utara
dan bahkan diisolasi karena khawatir dapat menyebarkan pengaruh buruk bagi remaja-remaja putri lain disekitarnya. Dan yang terakhir, dalam berbagai kasus remaja korban eksploitasi seksual komersil, tak jarang harus mengalami berbagai tindak kekerasan seksual;
mulai dari rayuan terselubung, penyekapan,
penganiayaan, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya. Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dampak eksploitasi seksual komersil adalah remaja yang menjadi korbannya tidak hanya mengalami dampak psikologis, namun korban eksploitasi rentan mengalami kehamilan dan penyakit menular seksual, serta rentan mengalami kekerasan seksual. II.C. REMAJA II.C.1. Pengertian Remaja Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980). Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang menjalani masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hurlock mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. II.C.2. Ciri-ciri Remaja Hurlock (1980) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa kanakkanak dan dewasa. Ciri ciri tersebut antara lain : a. Masa remaja sebagai periode yang penting Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan tertentu, baik yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa haruslah meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Pada masa peralihan ini remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya. c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Universitas Sumatera Utara
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak lakilaki maupun anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena sepanjang masa kanak-kanak sebahagian besar masalah yang dihadapi oleh remaja diselesaikan
oleh
orang
tua
dan
guru,
sehingga
remaja
tidak
berpengalaman dalam menghadapi masalah. Selain itu, remaja juga merasa jika mereka sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain. e. Remaja sebagai masa pencarian identitas Pencarían identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standars kelompok lebih penting dari pada bersikap individualitas. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Stereotip populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang tua guna mengatasi pelbagai masalahnya. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Universitas Sumatera Utara
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal citacita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah bahwa masa remaja adalah periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, usia yng bermasalah, mencari identitas, yang usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan. II.C.3. Perkembangan Fisik dan Seksual Remaja Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas. Pubertas ialah suatu periode dimana kematangan fisik dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2007). Menurut Susman & Ragol (dalam Santrock, 2007) pertambahan berat tubuh remaja berlangsung
Universitas Sumatera Utara
bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Selain itu, Rogol, Roemmich & Clark (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa pada puncak pertambahan berat tubuh, berat tubuh remaja putri bertambah rata-rata 18 pon setiap tahunnya di usia sekitar 12 tahun (kurang lebih enam bulan setelah dimulaimya laju pertumbuhan tinggi tubuh). Susman & Rogol (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa disamping meningkatnya tinggi dan berat tubuh pada remaja putri, masa pubertas juga menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu. Proses melebarnya pinggul pada remaja putri berkaitan dengan meningkatnya hormone estrogen, selain itu wajah remaja putri menjadi lebih bulat dan lembut. Urutan perubahan fisik pada remaja putri dimulai dengan membesarnya payudara atau tumbuh rambut dikemaluan. Selanjutnya, pertumbuhan rambut diketiak. Seiring dengan perubahan ini, tubuh remaja putri akan bertambah tinggi, dan pinggulnya berkembang menjadi lebih lebar dibandingkan bahunya (Santrock, 2007). Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri, terjadi diakhir siklus pubertas. Awalnya, siklus menstruasi berlangsung secara tidak teratur dan selama beberapa tahun pertama, hal itu disebabkan remaja putri mungkin tidak mengalami ovulasi di setiap siklus. Remaja putri tidak mengalami perubahan suara seperti yang dialami oleh remaja laki-laki, namun remaja putri memiliki payudara yang lebih penuh di akhir masa pubertasnya (Santrock, 2007). Galambos (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa pubertas juga memperkuat aspek-
Universitas Sumatera Utara
aspek seksual dari sikap dan perilaku. Ketika tubuh dialiri oleh hormon, maka remaja putri mulai berperilaku feminim. Pada masa ini, kehidupan remaja mulai dipenuhi oleh hal-hal yang berbau seksualitas, dimana masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual dan mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Kebanyakan remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seksualitas (Santrock, 2007). Proses tersebut berlangsung cukup lama dan melibatkan proses belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari keterampilan perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan (Santrock, 2007). Seiring dengan perkembangan seksual yang dialami oleh remaja, mereka juga mulai mengembangkan identitas seksualnya yang melibatkan lebih dari sekedar perilaku seksual, identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor fisik, faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagian besar masyarakat cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja (Santrock, 2007). Micheal dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa remaja putri belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta, mereka sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa mereka terbawa oleh gairah sesat. Hyde & DeLameter (dalam Santrock, 2007) menjelaskan jika jatuh cinta menjadi penyebab utama remaja putri menjadi aktif secara seksual. Alasannya lain yang menyebabkan remaja putri aktif secara seksual adalah karena mereka membiarkan ketika didesak oleh laki-laki, yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu cara agar dapat memperolah pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat seksual yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian. Sehubungan dengan perkembangan seksual yang dialami remaja putri, menurut Santelli (dalam Santrock, 2007) kebanyakan remaja yang aktif secara seksual memiliki resiko untuk mengalami masalah-masalah seksual dan masalahmasalah lainnya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 16 tahun. Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa keterlibatan seksual pada remaja putri di masa remaja berkaitan dengan harga diri yang rendah, tingkat depresi yang lebih besar, tingkat aktivitas seksual yang lebih besar, dan nilai yang rendah di sekolah. Selain itu, Huebner & Howell; Swenson & Prelow (dalam Santrock, 2007) menjabarkan bahwa faktor-faktor resiko untuk masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti status sosial ekonomi (SES) dan lingkungan keluarga atau pola pengasuhan. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan fisik dan seksual remaja adalah perubahan yang terjadi pada fisik dan organ-organ reproduksi pada remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang mempengaruhi pola perilaku seksual remaja tersebut. II.C.4. Perkembangan Sosial Remaja II.C.4.a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut, ternyata berpengaruh besar terhadap perubahan dalam perkembangan sosial remaja itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri (Desmita, 2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock, 1980). Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi (sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Menurut Hurlock (1980) tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai berikut : 1. Berperilaku dapat diterima secara sosial Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari masyarakat atau lingkungan sosial tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Memainkan peran di lingkungan sosialnya. Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya. 3. Memiliki Sikap yang positif terhadap kelompok Sosialnya Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri. Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja itu sendiri. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebayanya (Desmita, 2005). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompoknya. Remaja akan merasa senang apabila diterima oleh kelompoknya, dan sebaliknya mereka akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya (Santrock, 2007). Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Kelompok teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat, penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga (Hurlock, 1980). Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan pengaruh teman sebaya pada masa remaja adalah sebagai tempat dimana remaja dapat menguji dirinya sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok teman sebaya
Universitas Sumatera Utara
remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Kelompok teman sebaya memberikan sebuah dunia dimana remaja dapat melakukan sosialisasi dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Hubungan relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Relasi di antara kawan-kawan sebaya di masa kanak-kanak dan masa remaja juga berdampak bagi perkembangan di masa selanjutnya (Santrock, 2007). Pada masa remaja, remaja cenderung konform dengan teman-teman sebayanya, konformitas terjadi apabila individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak oleh orang lain (baik desakan nyata atau hanya bayangan saja). Desakan untuk konform pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama masa remaja (Santrock, 2007). Konformitas terhadap desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif ataupun negatif. Remaja belasa tahun dapat terlibat dalam semua jenis perilaku konformitas yang bersifat negatif, misalnya saja menggunakan bahasa gaul, mencuri, melakukan pengerusakan, serta mempermainkan orang tua dan guru. Meskipun demikian, terdapat banyak bentuk konformitas kawan-kawan sebaya yang tidak bersifat negatif dan lebih merupakan keinginan untuk bergabung dalam dunia yang sama dengan kawan-kawan, seperti gaya berpakaian yang mirip dengan kawan-kawan, dan ingin meluangkan waktu bersama kawan-kawan. Situasi semacam itu mungkin melibatkan aktivitas-aktivitas prososial, seperti kelompok yang mengumpulkan dana untuk tujuan mulia (Santrock, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Clasen & Brown (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan desakan dari kawan-kawan sebaya merupakan suatu tema yang terdapat dalam kehidupan remaja. Kekuatan pengaruh ini dapat teramati dalam hampir semua dimensi perilaku remaja, seperti pilihan dan cara berpakaian, musik, dan gaya bahasa. II.C.4.b. Perkembangan Hubungan Terhadap Lawan Jenis Dari semua perubahan yang terjadi pada masa remaja, baik dalam sikap maupun perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi dalam hubungan dengan lawan jenis (Hurlock, 1980). Dalam waktu yang singkat remaja melakukan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya dari pada sejenisnya (Hurlock, 1980). Perkembangan hubungan terhadap lawan jenis mengikuti pola tertentu. Namun, terdapat perbedaan usia dalam mencapai berbagai tahap dalam perkembangannya, sebagian karena adanya perbedaan kematangan seksual dan sebagian lagi karena adanya perbedaan dalam kesempatan untuk mengembangkan minat (Hurlock, 1980). Ada dua unsur yang berbeda dalam perkembangan hubungan terhadap teman sebaya. Yang pertama adalah perkembangan pola perilaku yang melibatkan kedua jenis kelamin dan kedua adalah perkembangan sikap yang berhubungan dengan relasi antara kedua kelompok jenis kelamin (Hurlock, 1980). Pada masa ini, remaja juga melakukan interaksi dengan lawan jenis mereka, interaksi tersebut merupakan hubungan romantis yang pada awalnya remaja belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan kelekatan atau bahkan kebutuhan seksual. Hubungan romantis pada remaja hanya berfungsi untuk
Universitas Sumatera Utara
berekplorasi mengenai seberapa menariknya diri mereka, bagaimana berinteraksi secara romantis, dan bagaimana kesannya dirinya bagi kelompok kawan sebaya (Santrock, 2007). Hubungan romantis yang dijalin pada masa remaja mempunyai banyak tujuan bagi kehidupan remaja itu sendiri, khususnya untuk remaja masa kini (Hurlock, 1980). Karena hubungan romantis yang terjalin tersebut menyajikan berbagai tujuan maka dapatlah dimengerti bila remaja menghendaki bermacammacam orang sebagai pasangan untuk setiap jenis hubungan yang berbeda (Hurlock, 1980). Hubungan romantis yang terjalin pada remaja saat ini sudah mengalami perubahan perilaku seksual yang tampak menonjol, namun perubahan sikap seksual lebih menonjol lagi (Hurlock, 1980). Hal tersebut terlihat dari adanya anggapan normal dikalangan remaja bila hubungan seks sebelum menikah dilakukan atas dasar saling mencintai dan saling terikat (Hurlock, 1980). Remaja masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta dalam hubungan romantis mereka apa pun bentuknya, adalah baik sejauh kedua pasangan remaja saling tertarik (Hurlock, 1980). Furman & Werner (1998, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa setelah remaja memperoleh sejumlah kompetensi dasar dalam berinteraksi dengan pacarnya, maka pemenuhan kebutuhan kelekatan dan kebutuhan seksual menjadi hal yang utama dalam hubungan romantis tersebut. Selain itu, remaja yang menjalin hubungan romantis juga memiliki sikap-sikap tertentu terhadap lawan
Universitas Sumatera Utara
jenisnya ketika berinteraksi. Sikap tersebut sering diwarnai hal-hal yang tidak realistis dan sangat romantis. Remaja putri tidak lagi memandang laki-laki seperti anak laki-laki melainkan sebagai pahlawan (Hurlock, 1980). Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan sosial remaja adalah kemampuan remaja membina hubungan dengan teman-teman sebayanya, baik dengan teman yang berjenis kelamin sama maupun berbeda dan juga dengan orang dewasa lainnya. Perkembangan sosial remaja juga meliputi bagaimana remaja tersebut membangun hubungan romantisnya dengan pacarnya. II.D. Resiliensi Pada Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil Masten,
Best
dan
Garmezy
(dalam
Alvord
dan
Grados,
2005)
mendefinisikan resiliensi sebagai proses, kapasitas atau keberhasilan adaptasi terhadap situasi yang penuh tantangan atau mengancam. Sementara itu, Dyer dan McGuinness (2004) melihat resiliensi sebagai sesuatu yang lebih global, sebagai proses yang dinamis, sangat di pengruhi oleh faktor-faktor protektif, karena itu individu
menjadi
tahan
terhadap
kemalangan
dan
dapat
meneruskan
kehidupannya. Resiliensi merupakan satu perangkat karakteristik yang dimiliki individu yang membuatnya memiliki kekuatan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan dalam keehidupan, kapasitas seseoranbg untuk menghadapi (coping) terhadap stres dan masalah-masalah besar, serta merupakan indikasi dari adanya daya tahan dalam menghadapi situasi yang negatif dan tetap berkembang menjadi individu yag berkualitas positif dan sehat (Sagor, 1996; Foster, 2006 dalam Paddock, 2006;
Universitas Sumatera Utara
Wolin dan Wolin, dalam Alimi, 2005). Luthar (1999 dalam Schoon, 2006) mengatakan bahwa resiliensi merrupakan keberhasilan berperilaku dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang penting walaupun untuk menghadapinya terjadi tekanan (stressor) yang berat dan kemungkinan distress emosional. Thompson (2006) mengatakan jika perlakuan eksploitasi yang dialami oleh remaja putri termasuk perilaku yang menyimpang, baik secara medis, sosial, emosional serta psikologis. Alter-Reid (dalam Thompson, 2006) mengungkapkan sebagian besar remaja putri yang menjadi korban kekerasan, mengalami eksploitasi seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, misalnya orangtua angkat seperti ayah titi, atau remaja putri yang tinggal bersama pacarnya. Remaja yang telah dieksploitasi, akan mengalami rasa takut, rendah diri, menyesal, dan perasaan bersalah karena sudah “dirusak” setelah berhasil keluar dari lingkaran eksploitasi seksual (Thompson, 2006). Reaksi yang diperlihatkan remaja korban eksploitasi seksual komersil juga berbeda, sesuai dengan tipe dari peristiwa eksploitasi seksual yang dialami
remaja dan apakah remaja akan
menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain setelah dirinya menjadi korban eksploitasi seksual komersil (Thompson, 2006). Sebagian besar remaja putri korban eksploitasi seksual akan menyalahkan dirinya sendiri, mengalami kebingungan serta memiliki pola pikir yang negatif (Thompson, 2006). Thompson (2006) juga mengungkapkan jika remaja putri korban eksploitasi menganggap eksploitasi yang dialaminya disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri, maka remaja akan memperlihatkan perilaku-perilaku
Universitas Sumatera Utara
yang dapat merugikan diri sendiri, depresi, timbul pikiran-pikiran yang berbahaya, bersikap pasif, menarik diri, merasa malu, jarang berkomunikasi, gelisah dan sulit tidur. Namun, remaja yang cenderung menganggap kejadian yang dialaminya disebabkan karena faktor eksternal, remaja tersebut akan cenderung mengalami gangguan yang berbeda, seperti rasa takut, agresi, memperlihatkan perilaku bermusuhan, perilaku impulsif, serta respon yang kurang baik terhadap rasa takut. Grotberg (2000) menyatakan remaja yang telah dieksploitasi oleh orang dewasa, akan mengembangkan rasa tidak percaya terdahap orang lain, hal itu disebabkan karena remaja merasa dirinya telah disiksa oleh orang dewasa dan mengambil keuntungan dari penderitaan yang mereka alami. Namun, rasa percaya merupakan hal yang paling medasar untuk pembentukan resiliensi remaja (Grotberg, 2000). Menurut Grotberg (2000), hanya sedikit remaja yang tidak memiliki factor-faktor resiliensi, setiap remaja korban eksploitasi sesksual komersil memiliki factor-faktor resiliensi tapi banyak korban eksploitasi itu yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang ada dalam diri mereka dan dihubungkan denngan kesulitan hidup yang mereka alami. Remaja korban eksploitasi seksual harus mengenali fakor-faktor resiliensi yang telah mereka miliki untuk meningkatkan resiliensi pada diri mereka, membentuk diri mereka dan memperkuat diri mereka serta meningkatkan faktorfaktor resiliensi yang lemah atau tidak ada (Grotberg, 2000). Lama waktu untuk melakukan penyesuian diri pada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual
Universitas Sumatera Utara
menentukan bagaimana gambaran resiliensi remaja tersebut berkembang dimasa yang akan datang (Grotberg, 2000). Grotberg (2000) menjelaskan dalam peningkatan resiliensi remaja ada beberapa faktor resiliensi yang dimiliki oleh semua remaja termasuk remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Faktor-faktor resiliensi tersebut dapat dikenali dan dapat dikembangkan bersamaan dengan factor-faktor resiliensi lainnya pada waktu yang sama. Orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam resiliensi remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Dimana remaja yang menjadi korban mampu mengatasi kemalangan mereka dalam hidup melalui pengamatan mereka terhadap bagaimana orangtua mereka mengatasi kesulitan (Webster, 1995, dalam Kosteck, 2005). Orangtua bisa menjadi model perilaku yang sukses dalam mengatasi masalah misalnyanya pada sebuah komitmen, kemampuan memiliki impian dan memiliki tujuan dan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada dalam kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL MENIMPA REMAJA PUTRI YANG SEDANG MENGALAMI PERUBAHAN
FISIK
SOSIAL
SEKSUAL
Eksploitasi Seksual Komersi
Prostitus
Remaja putri yang menjadi korban Remaja mengalami pengalaman traumatis dan mengalami trauma
Wisata Seks
Perdagangan
Pernikahan Dini
Pornografi
Dampak negative : Remaja tetap terpuruk dan mengalami trauma Dampak positif : Remaja putri menjadi kuat dan resilien
Adanya sumber-sumber resiliensi yang dimiliki oleh remaja yaitu : dukungan sosial, kekuatan individu dan kemampuan interpersonal
EMOSIONAL
Faktor pendorong : 1. Kondisi ekonomi 2. Ketidaksetaraan gender 3. Disintegrasi keluarga 4. DLL Faktor penarik : 1. Jaringan criminal yang terorganisi 2. Permintaan dari pekerja migrant 3. DLL
Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)
Universitas Sumatera Utara