BAB II LANDASAN TEORI
A. Audit 1. Pengertian Audit Mulyadi dan Kanaka (2007:2) mendefinisikan audit secara umum sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. A Statement of Basic Auditing Concepts (ASOBAC) yang dikutip dalam Abdul Halim (2003:1) mendefinisikan audit sebagai berikut: ”Audit adalah suatu proses sistematik untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti- bukti secara obyektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.” Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A. A. (2003:1): “Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu satuan usaha yang dilaksanakan oleh seorang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.” 6
7
Menurut Agus, S. (2004:3): “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatancatatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.” Dan menurut Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi (2003:5) mendefinisikan: “Auditing sebagai suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” Definisi tersebut dapat diuraikan menjadi elemen yang harus diperhatikan dalam melaksanakan audit, yaitu: 1. proses yang sistematis, 2. menghimpun dan mengevaluasi bukti secara obyektif, 3. asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi, 4. menentukan tingkat kesesuaian (degree of correspondence), 5. kriteria yang ditentukan, 6. menyampaikan hasil- hasilnya, dan 7. para pemakai yang berkepentingan. Peraturan BPK RI (2007) menyatakan sebagai berikut: “Pemeriksaan atau auditing adalah proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.
8
2. Jenis Audit Setiap pelaksanaan audit dimulai dengan penetapan tujuan dan penentuan jenis audit yang akan dilaksanakan serta standar yang harus diikuti oleh auditor. Sebagaimana diuraikan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (BPK RI, 2007), jenis audit/ pemeriksaan digolongkan menjadi tiga kategori yaitu: a. Pemeriksaan Keuangan Pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan yang bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable reason) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia. b. Pemeriksaan Kinerja Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara obyektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu program dan
memudahkan
pengambilan
keputusan
bagi
pihak
yang
9
bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengambil tindakan koreksi serta meningkatkan pertanggungjawaban publik. c. Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Pemeriksaan ini bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang
diperiksa.
Pemeriksaan
ini
dapat
bersifat
eksaminasi
(examination), review (review) atau prosedur yang disepakati (agreedupon procedures). Pemeriksaan ini antara lain meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Berdasar pelaksananya, Abdul Halim (2003:5-10) membedakan audit menjadi tiga jenis. 1) Audit Eksternal Audit eksternal merupakan suatu kontrol sosial yang memberikan jasa untuk memenuhi kebutuhan informasi untuk pihak luar yang dilakukan oleh pihak yang independen yaitu akuntan publik yang telah diakui oleh yang berwenang untuk melaksanakan tugas tersebut. Auditor tersebut pada umumnya dibayar oleh manajemen entitas yang diperiksa. 2) Audit Internal Audit internal adalah suatu kontrol organisasi yang mengukur dan mengevaluasi efektivitas organisasi. Informasi yang dihasilkan, ditujukan untuk manajemen organisasi itu sendiri. Auditornya digaji oleh organisasi tersebut.
10
3) Audit Sektor Publik Audit sektor publik adalah suatu kontrol atas organisasi pemerintah yang memberikan jasanya kepada masyarakat, seperti Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Audit dapat mencakup audit laporan keuangan, audit kepatuhan maupun audit operasional. Auditornya adalah auditor pemerintah dan dibayar oleh pemerintah. 3. Auditor atau Profesi Pemeriksa Menurut Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Auditor dan Angka Kreditnya, auditor adalah PNS yang diberikan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pemeriksaan pada instansi pemerintah. Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (BPK RI, 2007) dicantumkan bahwa, di lingkungan BPK, yang dimaksud dengan pemeriksa
adalah
orang
yang
melaksanakan
tugas
pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam SPKN dicantumkan bahwa pemeriksa BPK
secara
professional
bertanggung
jawab
merencanakan
dan
melaksanakan pemeriksaan dengan memahami prinsip-prinsip pelayanan publik serta menjunjung tinggi integritas, obyektivitas, dan independensi. Mulyadi dan Kanaka (2002:26-28) menggolongkan auditor menjadi tiga tipe berdasarkan letak atau posisi lembaga audit dan fungsi yang dijalankannya yaitu:
11
a) Auditor Independen Auditor independen secara profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dibidang audit atas laporan keuangan yang dibuat kliennya. b) Auditor Pemerintah Auditor pemerintah secara profesional bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Auditor BPK masuk dalam kategori ini. c) Auditor Intern Auditor ini bekerja dalam perusahaan negara maupun swasta yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi serta menentukan keandalan informasai yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. 4. Standar-standar Audit Menurut Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007 Pasal 1, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat SPKN, adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan
12
pemeriksaan dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Standar umum berkaitan dengan persyaratan kemampuan/keahlian pemeriksa, independensi organisasi pemeriksa dan pemeriksa secara individual, pelaksanaan kemahiran profesional secara cermat dan seksama dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pengendalian mutu hasil pemeriksaan. Secara lebih jelas, standar umum pemeriksaan BPK yang tertuang dalam SPKN sebagai berikut. 1. Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. 2. Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, eksternal, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. 3. Dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan,
pemeriksa
wajib
menggunakan
kemahiran
profesionalnya secara cermat dan seksama. 4. Setiap
organisasi
pemeriksa
yang
melaksanakan
pemeriksaan
berdasarkan Standar Pemeriksaan harus memiliki sistem pengendalian mutu yang memadai, dan sistem pengendalian mutu tersebut harus direviu oleh pihak lain yang kompeten (pengendalian mutu ekstern).
13
Standar pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara, SPKN memberlakukan tiga pernyataan standar pekerjaan lapangan SPAP yang ditetapkan IAI. a. Pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dan jika digunakan tenaga asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bukti audit yang kompeten harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. Selain standar tersebut di atas, Standar Pemeriksaan juga menetapkan standar pelaksanaan tambahan berikut ini: a. Komunikasi pemeriksa Pemeriksa harus mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, lingkup pengujian, pelaporan yang direncanakan, dan tingkat keyakinan kepada manajemen entitas yang diperiksa dan atau pihak yang meminta pemeriksaan. b. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya Pemeriksa harus mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut atas rekomendasi yang signifikan dan berkaitan dengan tujuan pemeriksaan yang sedang dilaksanakan.
14
c. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse) d. Pengembangan temuan pemeriksaan Pemeriksa
harus
merancang
pemeriksaan
untuk
memberikan
keyakinan yang memadai guna mendeteksi salah saji material yang disebabkan
oleh
ketidakpatuhan
terhadap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan. Jika informasi tertentu menjadi perhatian pemeriksa, diantaranya informasi tersebut memberikan bukti yang berkaitan dengan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh material tetapi tidak langsung berpengaruh
terhadap
kewajaran
penyajian
laporan
keuangan,
pemeriksa harus menerapkan prosedur pemeriksaan tambahan untuk memastikan
bahwa
penyimpangan
dari
ketentuan
peraturan
perundang-undangan telah atau akan terjadi. Pemeriksa harus waspada pada kemungkinan adanya situasi dan/atau peristiwa yang merupakan indikasi kecurangan dan/atau ketidakpatutan dan apabila timbul indikasi tersebut serta berpengaruh signifikan terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan, pemeriksa harus menerapkan prosedur pemeriksaan tambahan untuk memastikan bahwa kecurangan dan/atau ketidakpatutan telah terjadi dan menentukan dampaknya terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan.
15
e. Pengembangan temuan pemeriksaan Pemeriksa
harus
pemeriksaan
merencanakan
untuk
dan
mengembangkan
melaksanakan
prosedur
unsur-unsur
temuan
pemeriksaan”. f. Dokumentasi pemeriksaan Pemeriksa harus mempersiapkan dan memelihara dokumentasi pemeriksaan dalam bentuk kertas kerja pemeriksaan. Dokumentasi pemeriksaan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan harus berisi informasi yang cukup untuk memungkinkan
pemeriksa
yang
berpengalaman,
tetapi
tidak
mempunyai hubungan dengan pemeriksaan tersebut dapat memastikan bahwa dokumentasi pemeriksaan tersebut dapat menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan pemeriksa. Dokumentasi pemeriksaan
harus
mendukung opini, temuan,
simpulan dan
rekomendasi pemeriksaan.
B. Sensitivitas Pemahaman atas Kode Etik Profesi 1. Pengertian Sensitivitas Pemahaman atas Kode Etik Profesi Sensitivitas etika auditor didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakui sifat dasar etika pada situasi profesional auditor (Hunt dan Vitell, 1986 dalam Nurma Aziza, 2008). Dalam menjalankan profesi akuntannya, auditor diharapkan lebih sensitif dalam memahami masalah etika profesi. Auditor harus melaksanakan standar etika dan mendukung tujuan dari norma profesional yang merupakan salah satu aspek komitmen
16
profesional (Aranya, 1982; Lanchman dan Aranya, 1986 dalam Nurma Aziza, 2008). Komitmen yang tinggi tersebut direfleksikan dalam tingkat sensitivitas yang tinggi pula untuk masalah yang berkaitan dengan etika profesional. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sensitivitas pemahaman atas kode etik profesi adalah kemampuan untuk memahami kode etik profesi dan mengakui sifat dasar etika profesi yang tertuang dalam kode etik profesi tersebut dalam situasi profesional auditor. 2. Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Menurut Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007 Pasal 1, Kode Etik BPK adalah norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap Anggota BPK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya. Kode Etik BPK secara keseluruhan pembagiannya adalah: a) Nilai-nilai Dasar b) Kode Etik Bagi Anggota BPK c) Kode Etik Bagi Pemeriksa Nilai-nilai dasar yang tertulis dalam Kode Etik BPK menjelaskan bahwa setiap anggota BPK dan pemeriksa wajib: a) Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, b) Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan,
17
c) menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalitas, d) Menjunjung tinggi martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas BPK. Kode Etik Bagi Anggota BPK secara keseluruhan menjelaskan kewajiban dan larangan bagi anggota BPK yang harus dipatuhi untuk mempertahankan independensi, integritas serta prifesionalitasnya dalam menjalankan tugas pemeriksaan keuangan negara. Kode Etik Bagi Pemeriksa BPK terdiri dari enam hal yaitu: 1. Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib: a. Bersikap netral dan tidak memihak, b. Menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam melaksanakan kewajiban profesionalnya, c. Menghindari hal-hal yang dapat mempengaruhi independensi, d. Mempertimbangkan informasi, pandangan dan tanggapan dari pihak yang diperiksa dalam menyusun opini atau laporan pemeriksaan, e. Bersikap tenang dan mampu mengendalikan diri. 2. Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang: a. Merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, badan-badan
lain
yang
mengelola
perusahaan swasta nasional atau asing;
keuangan
negara,
dan
18
b. Menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat menyebabkan orang lain meragukan independensinya; c. Tunduk pada intimidasi atau tekanan orang lain; d. Membocorkan informasi yang diperolehnya dari auditee; e. Dipengaruhi oleh prasangka, interpretasi atau kepentingan tertentu, baik kepentingan pribadi Pemeriksa sendiri maupun pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan hasil pemeriksaan. 3. Untuk
menjamin
integritas
dalam
menjalankan
tugas
dan
wewenangnya, Pemeriksa wajib: a. Bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan; b. Bersikap tegas untuk mengemukakan dan/ atau melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan dan keyakinannya perlu dilakukan; c. Bersikap jujur dan terus terang tanpa harus mengorbankan rahasia pihak yang diperiksa; 4. Untuk
menjamin
integritas
dalam
menjalankan
tugas
dan
wewenangnya, Pemeriksa dilarang: a. Menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas dan wewenangnya; b. Menyalahgunakan
wewenangnya
sebagai
Pemeriksa
guna
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. 5. Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib:
19
a. Menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian dan kecermatan; b. Menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan, rahasia pihak yang diperiksa dan hanya mengemukakannya kepada pejabat yang berwenang; c. Menghindari pemanfaatan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain; d. Menghindari perbuatan di luar tugas dan kewenangannya; e. Mempunyai komitmen tinggi untuk bekerja sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara; f. Memutakhirkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan; g. Menghormati dan mempercayai serta saling membantu diantara Pemeriksa sehingga dapat bekerjasama dengan baik dalam pelaksanaan tugas; h. Saling berkomunikasi dan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalam menjalankan tugas pemeriksaan; i. Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif dan ekonomis. 6. Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang: a. Menerima tugas yang bukan merupakan kompetensinya;
20
b. Mengungkapkan
informasi
yang
terdapat
dalam
proses
pemeriksaan kepada pihak lain, baik lisan maupun tertulis, kecuali untuk kepentingan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Mengungkapkan laporan hasil pemeriksaan atau substansi hasil pemeriksaan kepada media massa kecuali atas ijin atau perintah Ketua atau Wakil Ketua atau Anggota BPK; d. Mendiskusikan pekerjaannya dengan auditee diluar kantor BPK atau kantor audite. 3. Upaya Pencegahan Pelanggaran Kode Etik Profesi Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindaklanjuti dan dinilai oleh dewan kehormatan atau komisi yang terbentuk khusus untuk itu, karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis. Seringkali
kode
etik
juga
berisikan
tentang
ketentuan-ketentuan
profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik. Ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat. Beberapa alasan tersebut adalah (Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007): 1. Kode etik merupakan
suatu cara
untuk
memperbaiki
iklim
organisasional sehingga individu-individu dapat berperilaku secara etis.
21
2. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya. 3. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya. 4. Kode
etik
dapat
juga
dipandang
sebagai
upaya
menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai pendiri organisasi, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya organisasi dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut. Seperti kode etik itu berasal dari dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari kontrol ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan diatas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Masing-masing pelaksanaan profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya. Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih
22
memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan oleh seorang profesi.
C. Profesionalisme 1. Pengertian Profesionalisme Profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang yang professional (Longman, 1987). Kusnandar (2007:46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian seseorang”. Sementara
itu
Danim
(2002:23)
mendefinisikan
bahwa,
profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuan
profesionalnya
dan
terus-menerus
mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2002:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”. Sedangkan Poerwopoespito & Utomo (2000:266), mengatakan bahwa profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham
23
profesionalisme selalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. Kaitan
profesionalisme dengan audit bahwa pertimbangan
profesional (professional
judgment) digunakan dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan (BPK RI, 2007). Dari
penjelasan-penjelasan
tersebut
di
atas,
definisi
profesionalisme dalam penelitian ini adalah kualitas dan kemampuan auditor yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan yang luas dan pelatihan khusus untuk digunakan dalam audit, yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil audit. 2. Dimensi Profesionalisme Hall. R (Muhammad, Rifqi. 2008:3). Mengembangkan konsep profesionalisme dari level individu meliputi lima dimensi, yaitu: a. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material. b. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh
24
masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut. c. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain. d. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. e. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya. Sementara itu Maister (1998:25) mengisyaratkan profesionalisme pada level individu meliputi 4 (empat) dimensi yaitu: 1) Kebanggaan pada pekerjaan, 2) Komitmen pada kualitas, 3) Dedikasi pada kepentingan klien, 4) Keinginan tulus untuk membantu.
25
3. Ciri-Ciri Profesionalisme Biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciri-ciri profesionalisme, biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciri-ciri profesionalisme: a) Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi. b) Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan. c) Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi
perkembangan
lingkungan
yang
terbentang
di
hadapannya. d) Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
D. Produktivitas Kerja Audit 1. Pengertian Produktivitas Kerja Audit Produktivitas kerja menjadi salah satu fokus perhatian pada hampir semua institusi di Indonesia. Produktivitas menjadi gambaran yang
26
penting atas kinerja suatu institusi, yang terdiri atas berbagai aspek faktual yang muncul. Aspek faktual seperti pemborosan sumber daya (inefisiensi) dan ketidaktercapaian target baik secara individual maupun kelompok menjadi gambaran institusi yang produktivitasnya rendah. Pandangan Whitemore yang dikutip Muchdarsyah dalam Tjutju Yuniarsih (2008:157) menyatakan bahwa produktivitas dipandang sebagai suatu ukuran atas penggunaan sumber daya organisasi yang dinyatakan sebagai rasio antara output yang dicapai dengan sumber daya yang digunakan. Produktivitas suatu institusi erat kaitannya dengan pegawai yang merupakan faktor produksi yang dinamis dilengkapi dengan kemampuan berpikir dan motivasi kerja. Apabila pihak manajemen mampu meningkatkan motivasi
pegawai
maka produktivitas
kerja dapat
meningkat. Dewasa ini, masalah rendahnya produktivitas kerja menjadi fokus perhatian hampir semua institusi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari aspek faktual yang muncul, misalnya: terjadinya pemborosan sumberdaya (inefisiensi) dan ketidaktercapaian target, baik secara kelompok maupun individual. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Produktivitas Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja (Afandi Kusuma, 2009) antara lain sebagai berikut: 1) Kemampuan, yaitu kecakapan yang dimiliki berdasarkan pengetahuan.
27
2) Sikap, yaitu sesuatu yang menyangkut perangai tenaga kerja yang banyak dihubungkan dengan moral dan semangat kerja. 3) Situasi dan keadaan lingkungan, menyangkut fasilitas dan keadaan dimana semua pegawai dapat bekerja dengan tenang serta sistem kompensasi yang ada. Lingkungan kerja yang menyenangkan akan menambah kemampuan tenaga kerja. 4) Motivasi Ravianto dalam Tjutju Yuniarsih (2008:159) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas meliputi pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, gaji, kesehatan, teknologi, manajemen dan kesempatan berprestasi. Masalah produktivitas kerja dalam suatu organisasi merupakan faktor yang penting, terutama bila dihubungkan dengan masalah penggunaan sumber daya input. Menurut Muchdarsyah (Yuniarsih dan Suwatno, 2009:159) mengemukakan bahwa: Secara umum produktivitas suatu organisasi dipengaruhi oleh manusia, modal, metode (proses), produksi, umpan balik, lingkungan internal organisasi, dan lingkungan eksternal (baik lokal, regional, nasional maupun internasional). Pendapat lain yang dikemukakan oleh Anoraga (dalam Yuniarsih dan Suwatno, 2009:159) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah sebagai berikut: 1. Pekerjaan yang menarik, 2. Upah yang baik, 3. Keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan,
28
4. Penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan, 5. Lingkungan dan suasana kerja yang baik, 6. Promosi dan perkembangan diri merasa sejalan dengan perkembangan organisasi, 7. Merasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi, 8. Pengertian dan simpati atas persoalan-persoalan pribadi, 9. Kesetiaan pimpinan pada diri si pekerja, dan 10. Disiplin kerja yang keras. Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, baik yang berhubungan dengan tenaga kerja maupun yang berhubungan dengan lingkungan organisasi dan kebijaksanaan pemerintah secara keseluruhan. Tjutju Yuniarsih dan Suwatno (2009:159) mengungkapkan faktorfaktor yang mempengaruhi produktivitas dan mengelompokannya menjadi dua, yaitu: a. Faktor Internal 1) Komitmen kuat terhadap visi dan misi institusional; 2) Struktur dan desain pekerjaan; 3) Motivasi, disiplin, dan etos kerja yang mendukung ketercapaian target; 4) Dukungan sumber daya yang bisa digunakan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas; 5) Kebijakan organisasi yang bias merangsang (trigger) kreativitas dan inovasi;
29
6) Perlakuan menyenangkan yang bisa diberikan pimpinan dan/atau rekan kerja; 7) Praktik manajemen yang diterapkan oleh pimpinan; 8) Lingkungan kerja yang ergonomis; 9) Kesesuaian antara tugas yang diemban dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, minat, keahlian, dan keterampilan yang dikuasai; 10) Komunikasi inter dan antar individu dalam membangun kerjasama. b. Faktor Eksternal 1) Peraturan perundangan, kebijakan pemerintah, dan situasi politis; 2) Kemitraan (networking) yang dikembangkan; 3) Kultur dan mindset lingkungan di sekitar organisasi; 4) Dukungan masyarakat dan stakeholders secara keseluruhan; 5) Tingkat persaingan; 6) Dampak globalisasi. Selanjutnya keterkaitan antara faktor manusia dan lingkungan internal organisasi terhadap produktivitas, dapat dilihat pada gambar di halaman berikutnya: FAKTOR INTERNAL A. INDIVIDU 1.
Komitmen;
2.
Loyalitas;
3.
Minat, motivasi, etos kerja;
4.
Disiplin;
5.
Latar belakang;
6.
Kerampilan, kemampuan;
7.
Kepribadian (Personality)
30
B. ORGANISASI 1.
Visi, misi, dan tujuan;
2.
Sistem dan praktik manajemen;
3.
Sumber daya (kuantitas dan kualitasnya);
4.
ICT
5.
Kepemimpinan;
6.
Komunikasi;
7.
Kebijakan organisasi;
8.
Struktur dan desain pekerjaan;
9.
Budaya kerja;
10. K3.
PRODUKTIVITAS KERJA 1. Efektivitas; 2. Efisiensi; 3. Inovasi kerja
FAKTOR EKSTERNAL 1.
Kultur lingkungan;
2.
Kebijakan pemerintaN;
3.
Pengaruh politis;
4.
Dampak globalisasi;
5.
Umpan balik masyarakat;
6.
Kemitraan;
7.
Dukungan stakeholders.
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas Sumber: Tjutju Yuniarsih dan Suwatno (2009:161) Mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi tingkat capaian produktivitas kelembagaan, maka diperlukan penelitian dan pengkajian yang seksama tatkala dijumpai realita bahwa telah terjadi stagnasi ataupun penurunan produktivitas. Dengan adanya komunikasi yang efektif yang dilakukan pegawai yang produktif akan berpengaruh kepada peningkatan produktivitas kerja pegawai. Seperti yang diungkapkan Timple (Sedarmayanti, 2001:80) ciri umum pegawai yang produktif yaitu: (1) Cerdas dan dapat belajar dengan cepat. (2) Kompeten secara professional/teknis selalu memperdalam pengetahuan dalam bidangnya.
31
(3) Kreatif dan inovatif, memperlihatkan kecerdikan dan keanekaragaman. (4) Memahami pekerjaan. (5) Belajar dengan “cerdik”, menggunakan logika, mengorganisasikan pekerjaan dengan efisien, tidak mudah macet dalam pekerjaan, selalu mempertahankan kinerja rancangan, mutu, kehandalan, pemeliharaan keamanan, produktivitas, biaya dan jadwal. (6) Selalu mencari perbaikan, tetapi tahu kapan harus berhenti menyempurnakan. (7) Dianggap bernilai oleh pengawasnya. (8) Memiliki catatan prestasi yang berhasil. (9) Selalu meningkatkan diri. Selain itu, menurut Balai Pengembangan Produkivitas Daerah (Sedarmayanti, 2001:71) mengemukakan bahwa: “Terdapat enam faktor utama yang menentukan produktivitas tenaga kerja, diantaranya adalah sikap kerja, keterampilan, hubungan, manajemen produktivitas, efisiensi tenaga, dan kewiraswastaan”. (a) Sikap kerja, seperti: kesediaan untuk bekerja secara bergiliran (shift work), dapat menerima tambahan tugas dan bekerja dalam suatu tim; (b) Tingkat keterampilan, yang ditentukan oleh pendidikan dan pelatihan; (c) Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi yang tercermin dalam usaha bersama antara pimpinan organisasi dan tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas melalui lingkaran pengawasan mutu (quality control) dan panitia mengenai kerja unggul;
32
(d) Manajemen produktivitas, yaitu: manajemen yang efisien mengenai sumber dan sistem kerja untuk mencapai peningkatan produktivitas; (e) Efisiensi tenaga, seperti perencanaan tenaga kerja dan tambahan tugas; (f) Kewiraswastaan, yang tercermin dalam pengambilan resiko, kreativitas dalam berusaha dan berada pada jalur yang benar dalam berusaha. Sementara itu menurut Sedarmayanti (2001:72-78) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, yaitu: 1. Sikap mental, berupa: a. Motivasi Kerja; b. Disiplin Kerja; c. Etika Kerja. 2. Pendidikan Pada umumnya orang yang pendidikannya lebih tinggi akan mempunyai wawasan yang lebih luas terutama penghayatan akan arti pentingnya produktivitas. Pendidikan disini dapat berarti pendidikan formal maupun nonformal. Tingginya kesadaran akan pentingnya produktivitas akan mendorong pegawai yang bersangkutan melakukan tindakan yang produktif. 3. Keterampilan Pada aspek tertentu apabila pegawai semakin terampil, maka akan lebih mampu bekerja serta menggunakan fasilitas kerja dengan baik. Pegawai akan lebih terampil apabila mempunyai kecakapan (ability) dan pengalaman (experience) yang cukup.
33
4. Manajemen Pengertian manajemen disini dapat berkaitan dengan sistem yang diterapkan oleh pimpinan untuk mengelola ataupun memimpin serta mengendalikan staf/bawahannya. Apabila manajemennya tepat, maka akan menimbulkan semangat yang lebih tinggi, sehingga mendorong pegawai untuk melakukan tindakan yang produktif. 5. Hubungan Industrial Pancasila Dengan penerapan hubungan industrial pancasila, maka akan: a. Menciptakan ketenangan kerja dan memberikan motivasi kerja secara produktif sehingga produktivitas dapat meningkat. b. Menciptakan hubungan kerja yang serasi dan dinamis sehingga menumbuhkan partisipasi aktif dalam usaha meningkatkan produktivitas. c. Menciptakan harkat dan martabat pegawai sehingga mendorong diwujudkannya jiwa yang berdedikasi dalam upaya peningkatan produktivitas. 6. Tingkat penghasilan Apabila tingkat penghasilan memadai, maka dapat menimbulkan konsentrasi kerja dan kemampuan yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas. 7. Gizi dan kesehatan
34
Apabila pegawai dapat dipenuhi kebutuhan gizinya dan berbadab sehat, maka akan lebih kuat bekerja, apalagi bila mempunyai semangat yang tinggi maka akan dapat menimbulkan kesenangan kerjanya. 8. Jaminan Sosial Jaminan sosial yang diberikan oleh suatu organisasi kepada pegawainya dimaksudkan untuk meningkatkan pengabdian dan semangat kerja. Apanila jaminan sosial pegawai tinggi, maka akan dapat menimbulkan kesenangan bekerja, sehingga mendorong pemanfaatan
kemampuan
yang
dimiliki
untuk
meningkatkan
produktivitas kerja. 9. Lingkungan dan iklim kerja Lingkungan dan iklim kerja yang baik agar mendorong pegawai agar senang bekerja dan meningkatkan rasa tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik menuju ke arah peningkatan produktivitas. 10. Sarana Produksi Mutu
sarana
produksi
berpengaruh
terhadap
peningkatan
produktivitas. Apabila sarana produksi yang digunakan tidak baik, kadang-kadang dapat menimbulkan pemborosan bahan yang dipakai. 11. Teknologi Apabila teknologi yang dipakai tepat dan lebih maju tingkatannya, maka akan memungkinkan: a. Tepat waktu dalam penyelesaian proses produksi.
35
b. Jumlah produksi yang dihasilkan lebih banyak dan bermutu. c. Memperkecil terjadinya pemborosan bahan sisa. 12. Kesempatan berprestasi Pegawai yang bekerja tentu mengharapkan peningkatan karier atau pengembangan potensi pribadi yang nantinya akan bermanfaat baik bagi dirinya maupun organisasi. Apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi, maka akan menimbulkan dorongan psikologis untuk meningkatkan dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas kerja. Selain
itu,
Kurniadi
(2002:72)
mengemukakan
bahwa:
Produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar individu (eksternal). 1) Faktor internal, meliputi: a) Pendidikan; b) Motivasi; c) Kepuasan kerjasama; d) Komitmen terhadap pekerjaan. 2) Faktor eksternal, meliputi: a) Fasilitas yang tersedia; b) Keeratan hubungan; c) Iklim kerja; d) Kepemimpinan.
36
Faktor-faktor tersebut dapat saling berpengaruh dan dapat mempengaruhi peningkatan produktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan masalah organisasi dan manajemen dalam peningkatan produktivitas dikemukakan oleh Sinungan (1997:75) bahwa: Ada konsensus yang menyatakan bahwa faktor-faktor penting dalam meningkatkan produktivitas tergantumg pada manajemen: perencanaan yang lebih baik, prosedur kerja yang lebih efektif, komunikasi yang lebih baik, sumber kemanusiaan yang lebih efektif, kebijakan, pembuatan keputusan yang ditingkatkan dan sebagainya. Sedangkan Sedarmayanti (2001:76) mengemukakan bahwa: Manajemen yang berorientasi pada hasil itu lebih tepat bagi pengadaan dan pelaksanaan sistem manajemen produktivitas, sedangkan pelaksanaan yang berorientasi pada hasil akan lebih dinamis dan fleksibel. Komunikasi mereka dan penghargaan berdasarkan hasil, bukannya pada prosedur atau tujuan. Kesemuanya itu menggalakan inovasi dan inisiatif bawahan. Hal tersebut menunjukan bahwa komunikasi dalam suatu organisasi akan berpengaruh terhadap manajemen yang lebih baik. Pendekatan sistem-sistem produktivitas manajemen berlandaskan pada dua konsep dasar, yaitu memusatkan pada output (hasil) dan keterpaduan bagian-bagian dalam organisasi secara keseluruhan. Sistem manajemen produktivitas terdiri dari dua bagian pokok, yaitu pengaturan bawahan dan pengaturan kerja. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
37
Tabel 2.1 Sistem Manajemen Produktivitas Sistem Manajemen Produktivitas Pengaturan bawahan: Penilaian Pengembangan bawahan Komunikasi Delegasi dan pengawasan Gaya Kepemimpinan Gaya Organisasi
Pengaturan kerja: Menentukan tujuan Pemecahan masalah Pembuatan keputusan Perencanaan aksi Pengaturan waktu
Sumber: Sedarmayanti Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. (2001:77) Gambar di atas menunjukan hubungan antara manajemen dengan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas. Dapat disimpulkan bahwa faktor manajemen sangat berperan dalam meningkatkan produktivitas kerja baik secara langsung melalui perbaikan organisasi dan tata prosedur untuk memperkecil pemborosan maupun secara tidak langsung melalui penciptaan jaminan kesempatan bagi pegawai untuk berkembang, penyediaan fasilitas latihan, dan perbaikan penghasilan serta pemberian jaminan sosial.
E. Penelitian Terdahulu Perbandingan penelitian sejenis terdahulu dengan penelitian yang dilakukan ini dapat dirangkumkan dalam tabel sebagai berikut.
Judul Penelitian
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu Analisis Profesionalisme dan Pengaruh Independensi dan Etika Profesi Auditor terhadap Sensitivitas Etika Profesi Kinerja Auditor terhadap Produktivitas Kerja Eksternal Auditor
38
Peneliti
Yanhari (2007)
Ardani Mutia Jati (2009)
Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini adalah profesionalisme dan etika profesi berhubungan positif dan signifikan, baik secara simultan maupun parsial dengan kinerja auditor. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini terletak pada variabel bebasnya yaitu profesionalisme. Peneliti sebelumnya juga melakukan penelitian terhadap auditor di kantor pusat BPK lebih tepatnya pada AKN III. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel terikat yang digunakan yaitu kinerja auditor.
Dengan teknik analisis regresi, menemukan bahwa ada hubungan yang kuat dan positif antara sensitivitas etika profesi terhadap produktivitas kerja.
Perbandingan
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini terletak pada variabel terikatnya yaitu produktivitas kerja dan salah satu variable bebasnya yaitu sensitivitas pemahaman etika profesi. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas yang digunakan yaitu independensi. Selain itu, jika sebelumnya penelitian dilakukan terhadap para auditor BPK pada BPK RI Perwakilan Provinsi Bali, maka pada penelitian ini digunakan obyek penelitian yang berbeda yaitu para auditor pada AKN II di kantor pusat BPK RI di Jakarta.
Sumber : Data dolah (2013)
F. Kerangka Pikir
Pemeriksa BPK memainkan peran sosial yang penting. Negara dan masyarakat menuntut auditor BPK untuk berperilaku secara pantas dalam melaksanakan pemeriksaan. BPK telah menerbitkan Peraturan BPK Nomor 2
39
Tahun 2007 tentang Kode Etik BPK, sebagai norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota dan auditor BPK selama menjalankan tugasnya agar menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi. Produktivitas yang tinggi tersebut,berguna untuk menjaga dan mempertahankan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap BPK. Banyaknya kasus korupsi dan penyimpangan atas kode etik profesi yang terungkap, yang dilakukan aparat pemerintah, menuntut BPK untuk lebih maksimal dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Sehingga hasil pemeriksaan yang dilaporkan dapat menjadi salah satu faktor pendukung jalannya pemerintahan. Untuk itu, perlu diketahui sudahkah auditor BPK memahami Kode Etik dan apakah dalam menjalankan pemeriksaan telah sesuai dengan Kode Etik tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, auditor BPK akan dinilai independensi, profesionalisme dan sensitivitas pemahaman terhadap Kode Etik profesi yang tercermin dalam perilaku dan kinerja yang menginterprestasikan sikap obyektif, pengetahuan yang luas serta nilai-nilai dalam Kode Etik yang dipahami terhadap produktivitasnya. Hal-hal tersebut di atas diharapkan akan mempermudah untuk mencari hubungan antara independensi, profesionalisme dan sensitivitas pemahaman atas kode etik profesi dengan produktivitas kerja yang tinggi sehingga tidak mengurangi kepercayaan negara dan masyarakat terhadap BPK.
40
G. Model Penelitian
Sensitivitas Pemahaman Atas Kode Etik Profesi
H1
(X1)
Produktivitas Kerja Auditor BPK (Y)
H2
Profesionalisme (X2) H3
Gambar 2.2 Model Penelitian