BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kualitas Pendidikan Kualitas mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa
barang
maupun
jasa;
baik
yang
tangible
maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian kualitas, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan
dan
hasil
pendidikan.
Dalam
“proses
pendidikan” yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif (Suryasubroto, 2004). Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan mensinergikan
berbagai semua
input
komponen
tersebut dalam
atau
interaksi
(proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks
kurikuler
maupun
ekstra-kurikuler,
baik
dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks “hasil pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, 9
akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis
(misalnya
ulangan
umum,
Ebta
atau
Ebtanas) (Depdiknas, 2004). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah
dapat
dipegang keakraban,
berupa
(intangible) saling
kondisi
yang
seperti
suasana
menghormati,
tidak
dapat
disiplin,
kebersihan,
dan
pendidikan
yang
sebagainya. Antara
proses
dan
hasil
bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk
setiap
tahun
atau
kurun
waktu
lainnya.
Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah „ terutama akademik
yang
menyangkut
atau
aspek
“kognitif”
kemampuan
dapat
dilakukan
benchmarking (menggunakan titik acuan standar misalnya: NEM
oleh
PKG atau
MGMP).
,
Evaluasi
terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah
10
baik
yang
maupun
sudah yang
ada lain
patokannya (kegiatan
(benchmarking) ekstra-kurikuler)
dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya (Mulyono, 2010). Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya. Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut; Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua
sumber
daya
sesuai
dengan
kebutuhan
setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan
keuangan harus
memperkuat
sekolah
ditujukan untuk:
dalam
menentukan
(i) dan
mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat (Engkoswara, 2009). Pertanggung-jawaban
(accountability);
sekolah
dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan
antara
keberhasilan
komitmen
dan
terhadap
standar
harapan/tuntutan
orang
tua/masyarakat. Pertanggungjawaban (accountability) ini
bertujuan
untuk
meyakinkan
bahwa
dana
masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan
11
yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan
menyajikan
informasi
dikerjakan. memberikan
Untuk
dan
jika
mungkin
mengenai itu
laporan
apa
setiap
untuk
yang
sudah
sekolah
harus
pertanggung-jawaban
dan
mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu (Rohiat, 2010). Kurikulum; yang
telah
berdasarkan
ditentukan
secara
kurikulum
standar
nasional,
sekolah
bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar
materi (content) dan proses
penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu (Suryasubrata, 2004); 1) Pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa. 2) Bagaimana
mengembangkan
keterampilan
pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang
12
ada. 3) Pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah. Untuk melihat pencapaian kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif,
afektif
psikologi
dan
lainnya.
psikomotor
Proses
ini
maupun
akan
aspek
memberikan
masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai siswa dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performa sekolah sehubungan
dengan
proses
peningkatan
mutu
pendidikan. Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekruitmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
guru
dan
staf
lainnya).
Sementara
itu
pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan kurikulum
guru termasuk
dalam staf
pengimplementasian kependidikan
lainnya
dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks menunjang
ini
pengembangan
peningkatan
mutu
profesional dan
harus
penghargaan
terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen
13
peningkatan
mutu
berbasis
kewenangan
kepada
sekolah
sekolah
memberikan
untuk
mengkontrol
sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat. Konsekuensi
logis
dari
itu,
sekolah
harus
diperkenankan untuk (Mulyasa, 2004): 1) Mengembangkan
perencanaan
pendidikan
dan
prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah. 2) Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu. 3) Menyajikan
laporan
terhadap
hasil
dan
performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai
konsumen
dari
layanan
pendidikan
(pertanggung jawaban kepada stakeholders). Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman
bahwa
tanggung
jawab
peningkatan
kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara
14
tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut. Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro,
tetapi
hanya
berperan
sebagai
penentu
kebijakan makro, prioritas pembangunan, danstandar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian
mutu.
Konsep
ini
sebenarnya
lebih
memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah
dan
masyarakat
pendukungnya
untuk
merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus menyempurnakan
dirinya.
Semua
upaya
dalam
pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah
ini
harus
berakhir
kepada
peningkatan mutu siswa (lulusan). Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong
masing-masing
sekolah
agar
dapat
menentukan visi dan misi nya untuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya. Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk
15
institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut (Hadis, 2010): 1. Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistematis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan. 2. Melakukan evaluasi diri (self assesment) untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam
mengembangkan
kurikulum berkaitan
dan
dan
hasil-hasil
dengan
mencapai
yang
aspek-aspek
target
dicapai
siswa
intelektual
dan
keterampilan, maupun aspek lainnya. Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan
kebutuhan
sekolah
dan
merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai
dengan
konsep
pembangunan
pendidikan
nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan
sehubungan
dengan
identifikasi
kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengelolaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut. Berangkat
dari
visi,
misi
dan
tujuan
peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan
16
termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang.
Perencanaan
program
sekolah
ini
harus
mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai
dalam
tahun
tersebut
sebagai
proses
peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan
berbeda
antara
satu
sekolah
dan
sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses
pembelajaran
dan
siapa
yang
akan
menyampaikannya. Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksanakan program.
Oleh
keterbatasan
karena
sumber
itu,
daya
sehubungan
dengan
dimungkinkan
bahwa
program tertentu lebih penting dari program lainnya
17
dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan peralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena
itu
dalam
rangka
pelaksanaan
konsep
manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas
yang
mengacu
kepada
program-program
pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses
pendanaan
harus
bukan
semata-mata
berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan
kebijakan
dan
prioritas
tersebut.
Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung
pencapaian
memungkinkan perencanaan
target
terjadinya sebelum
mutu.
Hal
perubahan
sejumlah
program
ini pada dan
pendanaan disetujui atau ditetapkan (Tim Dosen UPI, 2009). Standar
kualitas
dalam
pendidikan
pada
dasarnya merupakan suatu paduan antara barang atau jasa termasuk sistem manajemennya yang relatif sesuai dengan
kebutuhan
(Engkoswara,
2009).
Sallis
(Engkoswara, 2009) mengemukakan bahwa standar kualitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Standar produk atau jasa yang ditunjukkan dengan (a) sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan (b) sesuai dengan tujuan 2. Standar yang ditunjukkan dengan adanya kepuasan dari masyarakat
18
Sedangkan menurut Baker (Engkoswara, 2009) standar kualitas pendidikan yang bermutu adalah: 1.
Administrator dan jajarannya serta guru-guru adalah para profesional yang handal.
2.
Tersedia kurikulum yang luas bagi seluruh siswa.
3.
Memiliki filosofi yang selalu dikomunikasikan bahwa
seluruh
anak
dapat
belajar
dengan
harapan yang tinggi. 4.
Iklim yang baik untuk belajar, aman, bersih, mempedulikan dan terorganisasi baik
5.
Suatu
sistem
penilaian
berkelanjutan
yang
didukung supervisi. 6.
Keterlibatan masyarakat yang tinggi
7.
Membantu para guru mengembangkan strategi, teknik instruksional dan mendorong kerjasama kelompok.
8.
Menyusun
jadwal
memberikan
secara
pelatihan
terprogram
dalam
untuk
jabatan
dan
seminar untuk seluruh staf 9.
Pengorganisasian SDM untuk melayani seluruh siswa
10. Komunikasi dengan orangtua dan menyediakan waktu yang cukup untuk dialog 11. Menetapkan
dan
mengartikulasikan
tujuan
secara jelas 12. Kerjasama menyediakan
guru
dan
orangtua
untuk
dukungan
pelayanan
dalam
pemecahan permasalahan siswa 13. Memelihara hubungan baik dengan pemerintah
19
Jika berpedoman pada standar mutu pendidikan sebagaimana yang tertera dalam standar nasional pendidikan,
kriteria
minimal
pendidikan
meliputi
(Engkoswara, 2009) 1. Standar kompetensi lulusan 2. Standar
isi
berkaitan
dengan
cakupan
dan
kedalaman materi pelajaran 3. Standar proses berkaitan dengan prosedur dan pengorganisasi pengalaman belajar 4. Standar
pendidik
dan
tenaga
kependidikan,
merupakan rasio antara guru dengan siswa dan guru memiliki kualifikasi yang dinyatakan dengan sertifikasi guru. 5. Standar
sarana
dan
prasarana,
sarana
yang
memadai serta mendukung kegiatan pembelajaran. 6. Standar pengelolaan 7. Standar pembiayaan 8. Standar penilaian pendidikan Upaya untuk meningkatkan kualitas dalam bidang pendidikan menurut Juran (Rohiat, 2010) ada beberapa langkah, yaitu: 1. Membangun
kepedulian
untuk
peningkatan
maupun perbaikan 2. Menentukan tujuan-tujuan untuk peningkatan 3. Mengorganisasi untuk mencapai tujuan tersebut 4. Menyelenggarakan pelatihan 5. Mendorong upaya pemecahan masalah 6. Melaporkan perkembangan 7. Memberikan penghargaan atas pencapaian tujuan 20
8. Mengkomunikasikan
hasil-hasil
dengan
pihak
terkait 9. Evaluasi terhadap kegiatan yang dicapai Dalam
penelitian
ini
standar
kualitas
pendidikan yang digunakan adalah sesuai dengan pendapat standar
Engkoswara yang meliputi 8 aspek yaitu kompetensi lulusan, standar
proses, standar
pendidik, standar
standar pengelolaan, standar penilaian
isi, standar
sarana prasarana,
pembiayaan dan standar
pendidikan.Mengacu
pada
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yaitu: 1) Standar
kompetensi
kemampuan
lulusan
lulusan yang
adalah
kualifikasi
mencakup
sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. 2) Standar isi, adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi
mata
pelajaran,
dan
silabus
pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 3) Standar proses, adalah standarnasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan. Proses pembelajaran
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
21
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik 4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun
mental,
serta
pendidikan
dalam
jabatan.Standar pendidik dan tenaga kependidikan diuraikan dengan beberapa bagian standar, yakni standar
kualifikasi akademik dan kualifikasi guru
dijabarkan dengan Permendiknas No. 16 Tahun 2007,
Standar
Pengawas
Sekolah/Madrasah
dijabarkan dengan Permendiknas No. 12 Tahun 2007, Standar Kepala Sekolah/Madrasah dijabarkan dengan Permendiknas No. 13 Tahun 2007. 5) Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat
beribadah,
perpustakaan,
laboratorium,
bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi,
serta
sumber
belajar
lain,
yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk
penggunaan
teknologi
informasi
dan
komunikasi. 6) Standar
pengelolaan,
adalah
standar
nasional
pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, agar tercapai efisiensi dan efektivitas
22
penyelenggaraan
pendidikan.
Standar
Pengelolaan dijabarkan dengan Permendiknas No. 19 Tahun 2007. 7) Standar pembiayaan, adalah standar yang mengatur komponen
dan
pendidikan
besarnya
yang
Persyaratan
biaya
berlaku
minimal
operasi
selam
tentang
satuan
satu
biaya
tahun.
investasi:
meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Persyaratan minimal tentang biaya personal: meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses
pembelajaran
secara
teratur
dan
berkelanjutan 8) Standar nasional
penilaian
pendidikan,
pendidikan
yang
adalah
standar
berkaitan
dengan
mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Standar Penilaian dijabarkan dengan Permendiknas No. 20 Tahun 2007. Standar
nasional
pendidikan
ini
berfungsi
sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.Juga bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan
membentuk
watak
serta
kehidupan peradaban
bermartabat.Salah satu standar
bangsa
dan
bangsa
yang
diatas yang paling
penting untuk diperhatikan yaitu standar
pendidik
dan kependidikan. Dimana seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran pada 23
jenjang
pendidikan
pendidikan
anak
peadagogik,
dasar
dan
dini,
usia
kompetensi
menengah
serta
yaitu:
kompetensi
kepribadian,
kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial. Ada empat (4) standar kualitas pendidikan dalam urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: guru (teacher), kurikulum (curriculum), atmosfer akademik (academic
atmosphere),
dan
sumber
keilmuan
(academic resource). Berikut ini uraian dari standar kualitas diatas: 1.
Guru (Teacher) Mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan
komitmen seorang guru.Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan
finansial
dan
penghargaan
profesional.Oleh karena itu, dengan dirumuskannya jenjang profesionalitas yang jelas, maka kualitas guruguru dapat dijaga dengan baik.Tentunya hal ini juga berkaitan dengan penghargaan profesionalitas yang didapat dalam setiap jenjang tersebut. Guru
juga
membangun kelas.Atmosfer
harus
bertanggung
atmosfer
akademik
ini
sebenarnya
jawab
dalam
di
dalam
bertujuan
untuk
membentuk karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan kreatif.Guru perlu menekankan nilai-nilai inti yang berhubungan dengan pengembangan sikap ilmiah dan kreatif dalam setiap tugas yang diberikan kepada 24
siswanya, suatu
dalam
membimbing
persoalan
atau
pertanyaan-pertanyaan mengajar
secara
siswa
juga
dari
efektif,
memecahkan
dalam
siswa. maka
menjawab
Untuk
guru-guru
dapat akan
ditraining secara kontinyu (bukan hanya sekali saja) dan terutama akan dibekali pengetahuan tentang cara mengajar yang baik dan bagaimana cara menilai yang efektif.
Sehingga
mengembangkan
diharapkan cara
guru
tersebut
dapat
mengajarnya
sendiri,
dapat
meningkatkan pengetahuan mereka sendiri dan juga dapat berkolaborasi dengan guru yang lain. 2.
Kurikulum (Curriculum) Kurikulum di sini bukan sekedar kumpulan
aktivitas saja, ia harus koheren antara aktivitas yang satu dengan yang lain. Dalam kurikulum, juga harus diperhatikan bagaimana menjaga agar materi-materi yang diberikan dapat menantang siswa sehingga tidak membuat mereka merasa bosan dengan pengulanganpengulangan materi saja.Tentu saja hal ini bukan berarti mengubah-ubah topik yang ada tetapi lebih kepada
penggunaan
berbagai
alternatif
cara
pembelajaran untuk memperdalam suatu topik atau mengaplikasikan suatu topik pada berbagai masalah riil yang relevan. Kurikulum juga harus memuat secara jelas mengenai
cara
penilaian
(assesment)
kelas.Cara
pembelajaran yang
pembelajaran
(learning) digunakan
yang
dan
cara
di
dalam
dijalankan
harus 25
membuat siswa memahami dengan benar mengenai hal-hal yang mendasar.Pemahaman ini bukan hanya berdasarkan hasil dari pengajaran satu arah dari guru ke siswa, tetapi lebih merupakan pemahaman yang muncul
dari
keaktifan
siswa
dalam
membangun
pengetahuannya sendiri dengan merangkai pengalaman pembelajaran di kelas dan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya. 3.
Atmosfer Akademik (Academic Atmosphere) Atmosfer akademik bertujuan untuk membentuk
karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik
utama
yaitu
sikap
ilmiah
dan
kreatif.Atmosfer ini dibangun dari interaksi antar siswa, dari interaksi antara siswa dengan guru, interaksi dengan orang tua siswa dan juga suasana lingkungan fisik yang diciptakan.Guru memegang peran sentral dalam
membangun
atmosfer
akademik
ini
dalam
kegiatan pengajarannya di kelas dan berlaku untuk semua yang terlibat dalam sistem pendidikan. Pertanyaan
selanjutnya
adalah
bagaimana
membangun sikap ilmiah dan kreatif ini dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-harinya?Untuk ini kita perlu menyadari nilai-nilai inti yang harus ditanamkan ke semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Sikap ilmiah yang dimaksud adalah sikap yang menghargai hasil-hasil intelektual baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun orang lain, disamping kritis dalam menerima 26
hasil-hasil intelektual tersebut. Sedangkan sikap kreatif disini mempunyai maksud sikap untuk terus-menerus mengembangkan kemampuan memecahkan soal dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri. Untuk ditanamkan kekritisan sikap
membangun nilai
Sikap
kejujuran
(honesty),
(skeptics).Sedangkan
kreatif
perlu
Ilmiah
untuk
ditanamkan
perlu
dan
nilai
membangun
nilai
ketekunan
(perseverence), dan nilai keingintahuan (curiosity). Selanjutnya
inti
nilai-nilai
ini
perlu
diterjemahkan dalam berbagai kode etik yang menjadi pedoman
dalam
sehari-hari,
kegiatan
seperti
larangan
dorongan
untuk
bertanya,
penghargaan
penghargaan
atas
operasional keras
mengemukakan atas
kerja
pendidikan mencontek,
pendapat
perbedaan
keras,
dan
pendapat,
dorongan
untuk
memecahkan soal sendiri, keterbukaan untuk dikoreksi dan
seterusnya.
harus
dilakukan
Aktivitas-aktivitas
ini
setiap
terus
hari
dan
selanjutnya dipantau
perkembangan oleh mereka yang diberi kewenangan penuh. 4.
Sumber Keilmuan (Academic Resource) Sumber Keilmuan disini adalah berupa prasarana
dalam kegiatan pengajaran, yaitu buku, alat peraga dan teknologi. Semua hal ini harus dapat dieksploitasi dengan
baik
untuk
mendukung
setiap
proses
pengajaran dan juga dalam membangun atmosfer akademik yang hendak diciptakan. Apalagi pengajaran 27
menganut pendekatan yang kongkrit, maka guru harus dapat menggunakan hal-hal yang umum disekitar kita seperti: mata uang dan jam, sebagai alat peraga.
2.2. Pendidikan di Taman Kanak-kanak Lembaga Taman Kanak-kanak (TK), meskipun sebagai lembaga pendidikan formal, sangat berbeda dengan lembaga pendikan SD, SMP, dan seterusnya. Dari
nama
lembaganya,
yakni
“taman”
bukan
“sekolah”. Sebutan “Taman” pada Taman Kanak-kanak mengandung makna “tempat yang aman dan nyaman (safe
and
pelaksanaan
comfortable)
untuk
pendidikan
di
bermain” TK
sehingga
harus
mampu
menciptakan lingkungan bermain yang aman dan nyaman
sebagai
wahana
tumbuh
kembang
anak
(Moeslichatoen, 2009). Taman bentuk
Kanak-kanak
pendidikan
anak
merupakan
salah
satu
usia
pada
jalur
dini
pendidikan non-formal dengan mengutamakan kegiatan bermain sambil belajar. Dalam buku yang diterbitkan oleh
Depdiknas
(2007)
tentang
pedoman
teknis
penyelenggaraan Taman Kanak-kanak dikemukakan bahwa: Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk PAUD
(Pendidikan
pendidikan
Anak
non-formal
Usia yang
Dini)
pada
jalur
menyelenggarakan
program pendidikan sekaligus program kesejahteraan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun. Bermain bersama sangat bermanfaat bagi seseorang 28
anak
dari
bermain
pada
bermain
sendiri,
anak
bersama-sama
karena
bisa
dengan
mendapatkan
berbagai pengetahuan serta anak juga lebih mudah bersosialisasi. mendapatkan
Bermain sesuatu
bersama-sama
yang
tidak
akan
akan mungkin
didapat dari bermain sendiri, seperti tenggang rasa, berpandangan positif, belajar menjadi seorang pemberi, pemurah dan berperasaan terhadap orang lain, tolong menolong serta dapat mengeksprerisikan kemampuan dan kebolehannya. Tujuan kegiatan pendidikan pada Taman Kanakkanak yang diterbitkan oleh Direktorat PADU (2002) yaitu “mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini
sebagai
persiapan
untuk
hidup
dan
dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk siap memasuki pendidikan dasar”. Prinsip-prinsip pendidikan dalam Taman Kanak-kanak 1) Setiap anak itu unik. Mereka tumbuh kembang dari kemampuan,
kebutuhan,
keinginan,
pengalaman
dan latar belakang keluarga yang berbeda. 2) Anak usia 2-6 tahun adalah anak yang senang bermain. Bagi mereka bermain adalah cara mereka belajar. 3) Pendidik yang bertugas dalam kegiatan bermain adalah
pendidik
yang
memiliki
kemauan
dan
kemampuan mendidik, memahami anak, besedia mengembangkan potensi yang dimiliki anak, penuh kasih sayang dan kehangatan serta bersedia bermain dengan anak.
29
Anak yang dapat ditampung di TK adalah usia 4 – 6 tahun dengan lama Pendidikan 1 atau 2 tahun. Dan, pendidikan dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok A bagi anak usia 4 – 5 tahun dan kelompok B untuk anak usia 5 – 6 tahun. Pengelompokan ini bukan merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap anak didik. Dengan kata lain, bahwa setiap anak didik dapat berada selama 1 (satu) tahun pada Kelompok A atau Kelompok B, atau selama 2 (dua) tahun pada Kelompok A dan Kelompok B (Moeslichatoen, 2009). Tujuan Pendidikan TK pada dasarnya adalah (Moeslichatoen, 2009): 1. Membantu
pertumbuhan
dan
perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Pasal 1.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003); 2. Mengembangkan
kepribadian
dan
potensi
diri
sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Penjelasan
Pasal
28
ayat
3
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003); 3. Membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang
diperlukan
menyesuaikan untuk
diri
oleh
anak
dengan
pertumbuhan
didik
dalam
lingkungannya
serta
dan
perkembangan
selanjutnya (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1990).
30
Berdasarkan
Surat
Edaran
Mandikdasmen
Depdiknas Nomor 1839/C.C2/TU/2009, Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar
dan
merupakan
Belajar cara
seraya
terbaik
Bermain”.
untuk
Bermain
mengembangkan
potensi anak didik. Sebelum bersekolah, bermain merupakan
cara
alamiah
untuk
menemukan
lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri. Melalui pendekatan bermain, anak-anak dapat mengembangkan aspek psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni. Pada prinsipnya
bermain
mengandung
makna
yang
menyenangkan, mengasikkan, tanpa ada paksaan dari luar
diri
anak,
mengeksplorasi
dan
lebih
potensi
diri
mementingkan
proses
daripada
akhir.
hasil
Pendekatan bermain sebagai metode pembelajaran di TK hendaknya disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik, yaitu secara berangsurangsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih dominan) menjadi belajar seraya bermain demikian
(unsur anak
belajar
mulai
dominan).
didik
tidak
merasa
Dengan canggung
menghadapi pendekatan pembelajaran pada jenjang pendidikan selanjutnya.
31