BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1 Pengertian Kualitas Definisi kualitas secara internasional (BS EN ISO 9000:2000) adalah tingkat yang menunjukkan serangkaian karakteristik yang melekat dan memenuhi ukuran tertentu (Dale, 2003:4).Sedangkan menurut American Society for Quality Control, kualitas adalah totalitas bentuk karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang tampak begitu jelas maupun tersembunyi (Render dan Herizer, 1997:92). Pengertian kualitas lebih luas (Bina Produktivitas Tenaga Kerja, 1998:24-25) adalah: a. Derajat yang sempurna (degree of exelence): mengandung arti komperatif terhadap tingkat produk tertentu. b. Tingkat kualitas (quality level): mengandung arti kualitas untuk mengevaluasi teknikal. c. Kesesuaian untuk digunakan (fitness for purpose user satisfaction): kemampuan produk atau jasa tesebut dalam memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam kenyataannya kualitas adalah konsep yang cukup sulit untuk dipahami dan disepakati.Kata kualitas mempunyai beragam interpretasi, tidak dapat didefinisikan secara tunggal dan sangat tergantung pada konteksnya. Beberapa definisi kualitas berdasarkan konteksnya perlu diberikan atas dasar: organisasi, kejadian, produk, pelayanan, proses, orang, hasil, kegiatan, dan komunikasi (Dale, 2003:4). Secara garis besar ada dua argumentasi yang efektif atas arti pentingnya kualitas bagi perusahaan (Goodman et al, 2000:47): ‘First, quality and service improvements can be directly linked to enhanced revenue within one’s own company; and secondly, higher quality allows companies to obtain higher margins’. Menurut Philip B. Crosby (Suardi, 2003) mengemukakan bahwa kualitas
merupakan kesesuaian terhadap persyaratan, kesesuaian antara produk dan hal-hal yang dideskripsikan mengenai produk tersebut. W. Edwards Deming (Suardi, 2003) mengatakan bahwa kualitas merupakan pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terus-menerus, atau suatu solusi yang tepat bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja dari perusahaan tersebut dalam produksi, distribusi, dan pelayanan. Menurut Josep M. Juran (Suardi, 2003) mengatakan bahwa kualitas berarti kesesuaian dengan penggunaan, tiap-tiap produk digunakan sesuai dengan fungsi dari produk tersebut. Menurut K. Ishikawa (Suardi, 2003) berpendapat bahwa kualitas berarti kepuasan pelanggan, dalam hal ini produk dan pelayanan yang berkualitas adalah jika konsumen merasakan kepuasan setelah mereka menggunakan produk dan pelayanan tersebut.Hal ini juga menyangkut persepsi konsumen setelah mereka menggunakan produk atau layanan tersebut. Dale (2003:12-30), menyimpulkan bahwa beberapa hasil survey yang terfokus pada persepsi arti pentingnya kualitas produk dan jasa, diantaranya persepsi public atas kualitas produk dan jasa yang semakin luas, meningkatnya pandangan dan peran manajemen puncak, kualitas tidak dapat dinegosiasikan (quality is not negotiable), kualitas meliputi semua hal (quality is all-pervasive), kualitas meningkatkan produktivitas, kualitas mempengaruhi kinerja yang lebih baik pada pasar, kualitas berarti meningkatkan kinerja bisnis, biaya non kualitas yang tinggi, konsumen adalah raja, kualitas adalah pandangan hidup (way of life). Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono, 1995 : 51) mendefinisikan kualitas sebagai: “Suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Mengamati kedua definisi tersebut terlihat bahwa walaupun ada perbedaan, namun ada juga kesamaan.Kesamaan tersebut terletak pada konsepsi kualitas sebagai kondisi yang dapat memenuhi apa yang seharusnya. Triguno (1997 : 76) mengatakan bahwa kualitas adalah suatu standart yang harus dicapai oleh seseorang atau sekelompok atau lembaga atau organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses hasil kerja atau produk berupa barang
dan jasa. Dalam hal ini dapat disimpulkan, berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan atau persyaratan pelanggan. Pengertian kualitas menurut J. Supranto (2001) adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik.Keunggulan dari suatu produk jasa sangat tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut apakah sudah sesuai dengan keinginan dan harapan dari pelanggan. 2.1.2 Dimensi Kualitas Ada delapan dimensi kualitas menurut Philip Kotler (2000:329-333) adalah sebagai berikut: a. Kinerja (performance): karakteristik operasi suatu produk utama. b. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features). c. Kehandalan (reliability): probabilitas suatu produk tidak berfungsi atau gagal. d. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications). e. Daya Tahan (durability). f. Kemampuan melayani (serviceability). g. Estetika (estethic): bagaimana suatu produk dipandang, dirasakan, dan didengarkan. h. Ketepatan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality). Render dan Herizer (2004:93-96) mengatakan bahwa kualitas terutama mempengaruhi perusahaan dalam empat hal, yaitu: a. Biaya dan pangsa pasar: kualitas yang ditingkatkan dapat mengarah kepada peningkatan pangsa pasar dan penghematan biaya, keduanya juga dapat mempengaruhi profitabilitas.
Hasil yang diperoleh dari pasar
Perbaikan Kualitas
•
Perbaikan reputasi
•
Peningkatan volume
•
Peningkatan harga Peningkatan laba
Biaya yang dapat ditekan • Peningkatan produktivitas • Penurunan biaya pengerjaan ulang dan sisa material • Penurunan biaya garansi
Sumber: Render dan Herizer (2001:94)
b. Reputasi perusahaan: reputasi perusahaan mengikuti reputasi kualitas yang dihasilkan. Kualitas akan muncul bersamaan dengan persepsi mengenai produk baru perusahaan, praktek-praktek penanganan pegawai, dan hubungannya dengan pemasok. c. Pertanggungjawaban produk: organisasi memiliki tanggung jawab yang besar atas segala akibat pemakaian barang maupun jasa. d. Implikasi internasional: dalam era teknologi, kualitas merupakan perhatian operasional dan internasional. Agar perusahaan dan Negara dapat bersaing secara efektif dan perekenomian global, produknya harus memenuhi kualitas dan harga yang diinginkan. 2.1.3 Pengertian Pelayanan Pelayanan merupakan terjemahan dari istilah service dalam bahasa inggris yang menurut Kotler yang dikutip oleh Tjiptono, yaitu berarti “setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu” (Tjiptono, 2004:6).Kemudian Sutopo dan Sugiyanti mengemukakan bahwa pelayanan mempunyai arti sebagai “membantu menyiapkan (atau mengurus) apa yang diperlukan seseorang” (Sutopo dan Sugiyanti, 1998:25). Sebagai suatu produk, pelayanan (service) mempunyai sifat yang khas, yang menyebabkan berbeda dengan produk lain. Menurut martiani pelayanan mempunyai lima sifat dasar sebagai berikut: a. Tidak berwujud (intangible)
b. Tidak dapat dipisah-pisahkan (inseperability) c. Berubah-ubah / beragam (variability) d. Tidak tahan lama (perishability) e. Tidak ada kepemilikan (unownership) Fred Luthans dalam bukunya Moenir (1995:16), menjelaskan bahwa pelayanan adalah sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang menyangkut segala usaha yang dilakukan orang lain dalam rangka mencapai tujuannya. Kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan dari keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan.Berdasarkan hal tersebut, Zeithamil (1996:177) mengatakan bahwa pelayanan adalah penyampaian secara excellent atau superior dibandingkan dengan harapan konsumen. Menurut Dennis Walker dalam bukunya yang berjudul ‘Mendahulukan Pelanggan’ yang telah diterjemahkan oleh Anton Adiwiyato (1997: 13), mengatakan bahwa pengertian pelayanan adalah suatu yang sangat subjektif dan sulit didefinisikan. Ini karena pelayanan sebagai subjek yang melakukan transaksi dapat bereaksi secara berbeda terhadap sesuatu yang kelihatannya seperti pelayanan yang sama. Menurut Ivancevich, Lorenzi, Skinner, dan Crosby (2000: 448) mengatakan bahwa pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata dalam artian tidak dapat diraba yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan. Menurut Soetopo (1999) dalam (Dr. Paimin Napitupulu M.Si), berpendapat bahwa pelayanan adalah sebagai suatu usaha untuk membantu mengurus apa yang diperlukan orang lain. Dengan kata lain, pelayanan merupakan serangkaian kegiatan atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain secara lebih memuaskan berupa produk jasa. Dengan beberapa ciri, seperti tidak berwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, dan pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam mengkonsumsi jasa tersebut. 2.1.4 Jenis-jenis Pelayanan Membicarakan tentang pelayanan tidak bisa dilepaskan dengan manusia, karena pelayanan mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan hidup manusia, baik itu sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.Keanekaragaman dan perbedaan kebutuhan hidup manusia menyebabkan adanya bermacam-macam jenis pelayanan pula, dalam
upaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia tersebut. Dilihat dari bidang kegiatan ekonomi, Fitzsimmons yang dikutip oleh Saefullah (1997: 7-8)., membedakan lima jenis pelayanan, yaitu: a. Business service, menyangkut pelayanan dalam kegiatan-kegiatan konsultasi, keuangan dan perbankan; b. Trade service, kegiatan pelayanan dalam penjualan, perlengkapan, dan perbaikan; c. Infrastructure service, meliputi kegiatan pelayanan dalam komunikasi dan transportasi; d. Social and personal service, pelayanan yang diberikan antara lain dalam kegiatan rumah makan dan pemeliharaan kesehatan; dan e. Public administration, pelayanan dari pemerintah membantu kestabilan dan pertumbuhan ekonomi. 2.1.5 Pengertian Kualitas Pelayanan Menurut Wyckof yang dikutip Tjiptono, kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.Apabila jasa atau pelayanan yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan.Jika jasa atau pelayanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal.Sebaliknya jika jasa atau pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan buruk (Tjiptono, 2004: 59). Menurut Gasperz yang dikutip oleh Lukman, mengatakan sejumlah pengertian dari kualitas pelayanan sebagai berikut: “Pada dasarnya kualitas pelayanan mengacu pada: a. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu. b. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari segala kekurangan atau kerusakan”. (Lukman, 2000: 7).
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lukman dan Sugiyanto, yang menyatakan bahwa kualitas pelayanan berhasil dibangun, apabila pelayanan yang diberikan kepada pelanggan mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani.Pengakuan terhadap keprimaan sebuah pelayanan, bukan datang dari aparatur yang memberikan pelayanan, melainkan datang dari pengguna jasa layanan (Lukman, 2001: 12). Tjiptono juga menyebutkan bahwa: “Citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan.Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas pelayanan.Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa atau pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu pelayanan” (Tjiptono, 2004: 61). Parasuraman dan Berry (Zeithaml et al, 1990) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai kesenjangan antara ekspektasi atau keinginan pengguna jasa dengan apa yang dirasakan oleh mereka. Jadi proses penentuan suatu kualitas pelayanan yang diberikan merupakan penilaian dari penerima jasa berdasarkan sudut pandang dan persepsi pelanggan atas jasa pelayanan yang didapatkan. Persepsi penilaian pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan merupakan penilaian menyeluruh dari suatu penilaian pelayanan yang diberikan sehingga dapat dikatakan bahwa suatu pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang berdasarkan pada kepuasan pelanggan. Jika suatu kepuasan tercipta maka persepsi suatu pelayanan yang berkualitas akan tumbuh. Hubungan antara produsen dan konsumen menjangkau jauh melebihi dari waktu pembelian ke pelayanan purna jual, kekal abadi melampaui masa kepemilikan produk. Perusahaan menganggap konsumen sebagai raja yang harus dilayani dengan baik, mengingat dari konsumen tersebut akan memberikan keuntungan kepada perusahaan agar dapat terus hidup. 2.1.6 Dimensi Kualitas Pelayanan Pada dasarnya, kualitas pelayanan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan
pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan
pelanggan. Terdapat faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu jasa yang diharapkan dan jasa yang dipersepsikan. Parasuraman menyimpulkan terdapat 5 (lima)
dimensi SERVQUAL (dimensi kualitas pelayanan), yaitu: a. Tangible, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sasaran komunikasi. b. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. c. Responsiveness, yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi secara jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas akan menyebabkan persepsi negative dalam kualitas pelayanan. d. Reliability, kemampuan organisasi untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi. e. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain: komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompeten (competence), dan sopan santun (courtesy). Menurut Zaithaml wujud dari perilaku pengguna jasa yang puas sebagai berikut: 1. Loyality (kesetiaan) 2. Paymore (membayar lebih) 3. External response (respon luar) 4. Internal response (respon dalam) 2.2 Brand
2.2.1 Pengertian Brand Merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti: logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang dan jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu. Dengan demikian suatu merek berperan dalam membedakan suatu barang dan jasa dengan pesaingnya (Aaker, 2006: 27). American Marketing Association (AMA) mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek membedakan penjual, produsen atau produk dari penjual, produsen atau produk lain (Kotler, 2006: 460). Menurut Wheeler (2006: 5) pengertian brand adalah “ A brand is the nucleus of sales and marketing activities, generating increased awareness and loyalty, when managed strategically “ Definisi merek menurut Keller (2008: 5) adalah sebuah merek merupakan lebih dari sekedar produk, karena mempunyai sebuah dimensi yang menjadi diferensiasi dengan produk lain yang sejenis. Diferensiasi tersebut harus rasional dan terlihat secara nyata dengan performa suatu produk dari sebuah merek atau lebih simbolis, emosional dan tidak kasat mata yang mewakili sebuah merek. Berdasarkan definisi di atas, satu merek berfungsi untuk mengidentifikasikan penjual atau perusahaan yang menghasilkan produk tertentu yang membedakannya dengan penjual atau perusahaan lain yang memiliki nilai yang berbeda yang pada setiap mereknya. Merek/brand dapat berbentuk logo, nama, trademark, atau gabungan dari keseluruhannya. Aaker (1996) juga mengatakan merek dapat dikatakan sebagai sebuah janji seorang penjual atau perusahaan untuk konsisten memberikan nilai, manfaat, fitur dan kinerja tertentu bagi pembelinya.Janji tersebut harus janji yang benar dan harus ditepati kepada pembelinya sehingga merek yang menjanjikan tersebut dapat memberikan semua hal yang dijanjikan, dan juga memberikan nilai lebih dari janji tersebut.Hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan juga menjaga image dari suatu merek. Edelman, Silverstein, dan Chapluis (1993) menyatakan bahwa suatu brand melebihi dari sekedar nama dalam produk. Mendesain brand dengan baik menyesuaikan dengan sistem bisnis, insight dari konsumen maka dampak yang diberikan akan signifikan dalam
jangka waktu yang panjang. Susanto dan Wijanarko (2004) menyatakan bahwa, merek sebagai nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk atau jasa akan menimbulkan arti psikologis atau asosiasi. Hal ini yang membedakan produk dan merek.Produk adalah sesuatu yang dibuat di pabrik. Menurut Keller (2008) membangun merek yang kuat dengan ekuitas besar memberikan manfaat yang sangat banyak pada perusahaan pemegang merek tersebut. Peranan merek dalam membawa karakter suatu produk memberikan dimensi lain tentang pencitraan suatu produk. 2.2.2
Fungsi Merek Keller menyatakan bahwa merek mempunyai dua peran utama, yakni fungsi
brand bagi konsumen dan fungsi bagi produsen seperti yang digambarkan dalam tabel 2.1 dibawah ini: Tabel 2.1 Fungsi Brandbagi Konsumen
Consumers a. Identification of source of product b. Assignment of responsibility to product maker c. Risk reducer d. Search cost reducer e. Promise, bond, or pact with maker of product f. Symbolic device g. Signal of quality
Sumber: Keller: 7, Strategic Brand Management, 2008.
Penjelasan dari fungsi-fungsi brand tersebut adalah sebagai berikut: Pertama,
sebagai
media
untuk
mengidentifikasi
asal
keberadaan
produk
(identification of source of product).Brand membantu konsumen dalam memberikan informasi tentang asal suatu produk, seperti korporasi asal pembuat produk, kualitas, persepsi mengenai produk serta hal lain yang menyangkut produk tersebut.
Kedua, sebagai bentuk pertanggungjawaban oleh produsen bagi konsumen (assignment of responsibility to product maker).Penggunaan suatu produk oleh konsumen yang dilakukan dalam jangka panjang adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh setiap produsen produk.Brand merupakan salah satu media penting untuk dapat mewujudkan hal tersebut.Melalui brand, pihak produsen mempunyai tanggung jawab untuk dapat memberikan performa yang konsisten dalam pemenuhan kebutuhan konsumen. Ketiga, dengan adanya brand, maka akan mengurangi risiko (risk reducer). Dalam menentukan keputusan pembelian produk, konsumen mempunyai risiko sebagai berikut: a. Functional risk. Produk yang dipilih tidak dapat memberikan performa seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. b. Physical risk. Produk yang ada dapat mengganggu kepada fisik atau kesehatan pengguna. c. Financial risk. Produk yang ada tidak sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan konsumen. d. Social risk. Hasil penggunaan dari produk dapat memberikan rasa malu bagi konsumen kepada pihak lain. e. Phychological risk. Produk dapat mempengaruhi kondisi mental konsumen. f. Time risk. Kegagalan dari performa suatu produk menghasilkan suatu opportunity cost dalam menemukan produk lain untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Keempat, meminimalisasi biaya dalam proses pengambilan keputusan pembelian (search cost reducer). Tidak dapat dipungkiri bahwa konsumen saat ini dipenuhi oleh berbagai macam pilihan brand dalam satu kategori jenis produk yang sama. Brand dapat membantu konsumen dalam mengurangi biaya pencarian terhadap alternatif pilihan yang ada. Kelima, sebagai bentuk komitmen oleh produsen pembuat produk kepadapengguna melalui produk yang dihasilkan (promise, bond, or pact with maker of product). Sebuah brand memberikan suatu janji kepada konsumen, dan konsumen akan melihat apakah janji tersebut dapat digunakan dengan baik. Jika konsumen dapat menerima janji yang disampaikan oleh suatu brand maka akan terjadi sebuah ikatan yang kuat (bond). Keenam, brand dapat digunakan sebagai alat simbol pembeda (symbolic
device).Konsumen dapat memilih suatu brand yang sesuai dengan karakterisik yang mereka kehendaki atau dapat disesuaikan dengan personality dari seorang konsumen, sehingga suatu brand dapat dijadikan suatu simbol pembeda dari pilihan kategori produk yang ada sesuai dengan pilihan konsumen. Ketujuh, brand sebagai tanda kualitas (signal of quality). Sebuah brandyang mempunyai kualitas baik dengan otomatis akan mendapat kepercayaan dari konsumen. Hal ini menjadi penting bagi konsumen sehingga dapat memberikan rasa aman akan kualitas dari sebuah brand dan menjadi alasan untuk penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Disamping mempunyai peran bagi konsumen, brand juga mempunyai peran bagi perusahaan pemilik brand tersebut. Tabel 2.2 Fungsi Brandbagi Perusahaan Consumers a.
Identification of source of product
b.
Assignment of responsibility to product maker
c.
Risk reducer
d.
Search cost reducer
e.
Promise, bond or pact with maker of product
f.
Symbolic device
g.
Signal of quality
Sumber: Keller 7, Strategic Brand Management, 2008. Pertama, brand dapat membantu perusahaan tersebut mengetahui siapakonsumen pengguna produk yang dihasilkan, perilaku pembelian, tren yang adadalam pembelian dalam lokasi-lokasi tertentu (identification to simplify handling or tracing). Hal ini penting bagi produsen yang memiliki sebuah brand dalammelakukan strategi pemasaran dan penjualan untuk menempatkan suatu branddalam kegiatan yang sesuai dengan konsumennya Kedua, brand juga dapat melindungi secara hukum terhadap fitur unikyang dimiliki oleh suatu produk (legal protection aspect).Bagian ini bisatermasuk kedalam bagian dari hak paten atau hak cipta.Sebagai salah contohnyaadalah FC Barcelona,
sebagai klub sepak bola mereka melindungi bagaimanabrand-nya digunakan dalam produk lain, pihak yang berhak menggunakan brand,serta sumber legal untuk mendapatkan produk tersebut, yang semuanya diaturdalam penggunaan lisensi dari brand FC Barcelona. Ketiga, brand dapat memberikan suatu sinyal bagi konsumen akan kualitas dalam memenuhi kebutuhan konsumen melalui produk ataupun services yang digunakan (signal of quality level to satisfield customers). Sebagai contoh, Volvo dalam mendesain sebuah mobil sangat memperhatikan level keamanan untuk pengendara dan penumpang didalamnya. Hal ini menjadi salah satu kualitas keunggulan Volvo yang tertanam dalam benak konsumen. Keempat, brand dapat menjadi salah satu kenggulan kompetitif dalam persaingan yang ada (source of competitive advantage).Brand yang kuat dalam industri jasa perhotelan seperti Ritz Carlton adalah contoh brand yang mempunyai kekuatan serta diferensiasi yang kuat tentang bagaimana suatu jasa perhotelan yang menghargai konsumennya pada level yang sangat tinggi. Hal ini membedakan dengan kompetitornya dan menjadi suatu competitive advantage. Kelima, brand juga dapat menghasilkan pendapatan keuangan bagi perusahaan (source of financial returns).Kita dapat melihat bagaimana peringkat serta nilai brand yang ada dalam evaluasi yang dilakukan oleh Interbrand.Dalam transaksi penilaian suatu perusahaan, nilai brandmasuk dalam kategori intangible asset atau good will. Berthon, Hulbert dan Pitt (1999) menyimpulkan bahwa fungsi identifikasi dari merek adalah untuk membedakan produk yang dapat memenuhi kepuasan konsumen dengan yang tidak. Perbedaan ini berguna bagi konsumen karena akan membantu mengenali suatu produk, mengurangi search cost dan menjamin suatu kualitas tertentu dari produk yang dibelinya. Sedangkan dari segi produsen, perbedaan ini memfasilitasi upaya promosi, segmentasi pasar, introduksi produk baru, brand loyalty, dan pembelian kembali dari produk yang ditawarkan produsen. 2.2.3
Jenis-jenis Brand
a. Manufacturer brand Manufaktur brand atau merek perusahaan adalah merek yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang memproduksi produk atau jasa. Contoh: Ultraflu, Soklin, Philips
dan Tessa. b. Private brand Merek yang dimiliki oleh distributor atau pedagang dari produk atau jasa seperti Zyrex Ubud yang menjual laptop Cloud Everex, Hypermarket Giant yang menjual kapas merek Giant, Carefour yang menjual produk elektronik dengan merek Bluesky dan lain sebagainya. c. Produk Generic Merupakan produk barang atau jasa yang dipasarkan tanpa menggunakan merek atau identitas yang membedakan dengan produk lain baik dari produsen maupun pedagang. 2.3 Proses Komunikasi Dikutip dari buku Tom Duncan berjudul Integrated Marketing Communication (2007; p.126), komunikasi dapat terjadi jika terdapat transfer informasi dari source menuju receiver dengan syarat penerima berita harus memahami pesan yang disampaikan. Proses komunikasi dimulai dari perusahaan sebagai sumber informasi (sender) berusaha untuk menyampaikan pesan (message) tentang produk atau pun jasa. Adapun pesan yang ingin disampaikan telah dirancang dengan sedemikian rupa dan di sampaikan melalui berbagai macam bentuk media komunikasi (media) seperti majalah, televisi, radio dan internet hingga akhirnya pesan tersebut dapat diterima oleh target audience (receiver).Receiver kemudian akan memberikan feedback atau respon kembali ke perusahaan atas informasi yang telah diterima.
Gambar 2.1 Proses Komunikasi
Sumber: Tom Duncan, Integrated Marketing Communication, (2007; p.78) Feedback ini menjadi dasar perusahaan sebagai alat ukur pencapaian tujuan komunikasi, dan juga dapat menjadi pendorong target audience untuk melakukan action terhadap pesan tersebut.Action ini dapat berupa membeli atau tidak membeli produk atau jasayang ditawarkan, atau hanya sekedar menciptakan awareness di benak target audience (Duncan, 2007; p.78). Dalam proses komunikasi, informasi yang disampaikan sering tidak diterima dengan benar, hal ini berakibat pada perbedaan persepsi antara source dan receiver. Gangguan ini sering disebut dengan noise.Noise terjadi karena adanya kesalahan dalam materi informasi yang disampaikan ataupun penempatan media yang kurang tepat. Adanya konflik informasi menyebabkan informasi yang diterima receiver menjadi bias sehingga tidakakan berjalan dengan efektif. 2.4 Brand Communication Definisi brand communication menurut Susilo “Brand communication is where you interact two ways in exchanging information between the brand and your audience”. Ketika kita menginformasikan suatu merek akan tercipta pengalaman atau brand experience yang secara utuh merefleksikan bagaimana konsumen bereaksi terhadap brand yang sedang dikomunikasikan. Brand communication dimulai ketika konsumen mulai membentuk keinginan
untuk membelinya, pada saat membeli dan mengkonsumsinya dan pada saat evaluasi dilakukannya setelah proses konsumsi dilakukan. Setelah komunikasi yang baik dilakukan dengan terfokus pada implementasi terpadu dari setiap alat bantu komunikasi promosi yang ada yang tergabung dalam komponen bauran promosi (Clow and Baack, 2007). Jenis media yang digunakan dalam brand communication ada dua yaitu above the line (ATL) dan below the line (BTL).Kotler dan Keller (2006) menyebutkan bahwa pada dasarnya media dalam strategi ATL adalah jenis media yang tidak memiliki kontak secara personal dengan audiens yang dituju atau lebih menyeluruh keseluruhan jumlah audiens yang lebih besar, misalnya televisi dan outdoor advertising. Media dalam strategi BTL sebaliknya merupakan jenis media yang memiliki karakteristik yang berhubungan langsung secara personal dengan audiens yang dituju lebih bersifat spesifik, misalnya event promotion, brosur, point of purchase promotion (Susilo, 2007). Untuk
dapat
mengkomunikasikan brand
kepada konsumen, perusahaan
menggunakan komunikasi internal dan eksternal yaitu antara lain dengan sales promotion, events, public relations, direct marketing (pengiriman katalog, surat, telp, fax, atau email), corporate sponsorship yaitu penawaran produk atau jasa dengan bekerja sama dengan perusahaan lain sebagai sponsor, dan advertising yaitu cara-cara untuk memperkenalkan produk atau jasa melalui segala macam iklan (Schultz dan Barnes, 1999, p.45). Schultz (1998) berpendapat bahwa merek adalah kunci dalam pemasaran.Merek adalah inti pusat atau hubungan yang konsumen inginkan, butuhkan dan pertimbangkan untuk menjadi sebuah nilai.Dan nilai itu memiliki hubungan pelanggan atau konsumen berkelanjutan. Tujuan dari komunikasi merek telah mengekspos pada konsumen, dimana efeknya dapat memaksimalkan dalam hal peningkatan kesadaran dan mengingat merek itu sehingga pelanggan akan membeli merek yang memiliki recall tertinggi dan untuk memuaskan pelanggan ke tingkat yang optimal. Setiap paparan komunikasi merek mempengaruhi respon dari konsumen itu sendiri, yang dapat diukur dengan menganalisis variabelnya seperti brand awareness dalam hal mengingat pengakuan, keberuntungan, kekuatan dan keunikan asosiasi merek dalam ingatan konsumen. Dimensi ini
mempengaruhi karakteristik lain dari merek harmoni dan hubungan antara asosiasi merek dalam ingatan konsumen untuk membangun citra yang positif (Panda, 2004, p.9). Komunikasi merek adalah elemen integrative utama dalam mengelola hubungan merek dengan pelanggan, karyawan, pemasok, anggota saluran, media, regulator pemerintah dan masyarakat.Komunikasi merek harus bertujuan untuk meningkatkan loyalitas merek dengan membuat konsumen lebih melekat pada merek tersebut untuk memperkuat hubungan merek konsumen dari waktu ke waktu (Pearson, 1996; Duncan and Moriarty, 1998). Komunikasi merek adalah faktor yang paling penting bagi suksesnya meluncurkan layanan baru. Kuncinya adalah ‘tangibilize’ konsep layanan, terutama mereka yang baru terjun ke dunia bisnis (Terrill, 1992, p.25). Didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan konsumen dari merek tersebut apakah baik atau buruk (Low and Lamb, 2000, p.352). Sikap merek merangkum arti bahwa konsumen melekat merek, yang pada gilirannya berpengaruh perilaku pembelian mereka (Low and Lamb, 2000). Sikap merek positif seperti kepercayaan merek dan loyalitas sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang dan keberlanjutan merek (Hoek et al, 2000). Dengan demikian, pemasar cerdik mengeluarkan usaha yang cukup untuk menciptakan dan memelihara sikap positif terhadap merek mereka dan ini biasanya dicapai melalui komunikasi merek.Komunikasi merek telah secara konsisten ditemukan untuk memainkan peran penting dalam menciptakan sikap merek yang positif (Kempf and Smith, 1998). Kemampuan nama merek untuk membangkitkan perasaan seperti kepercayaan, keyakinan dan sejenisnya (Turley and Moore, 1995). Menunjukkan bahwa nama-nama merek tidak boleh diabaikan sebagai jalan yang sah dan berguna dalam penciptaan sikap merek (Grace and O’Cass, 2005, p.107). 2.4.1 Komponen Brand Communication Berdasarkan jurnal berjudul Examining the effects of services brand communications on brand evaluation (2005; p.106-116), jurnal berjudul The Impact Of Service Brand Communication to Consumer Evolution of Five Star Hotel Industries in Jakarta (2009; p.19-21) dan jurnal berjudul The Effect of Service Brand Communication on Consumer
Response (2011; p. 43-46). Komunikasi pemasaran yang terdiri dari penjualan promosi, public relation, iklan dan penjualan langsung terdiri dari komponen penting dari strategi pemasaran. Komponen brand communication antara lain: 1. Controlled communication Pengendalian komunikasi iklan memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi.Dalam produk baru dan layanan pasar, dengan menyampaikan informasi ke konsumen yang kurang informasi, iklan adalah elemen kunci dalam menghasilkan permintaan produk atau layanan. Advertising merupakan salah satu pendekatan utama perusahaan mempekerjakan untuk mengelola permintaan resiko dalam meningkatkan kesadaran tentang produk mereka dan layanan. Dalam layanan pemasaran, controlled communications seperti iklan yang berpendapat penting untuk menjadi sebuah alat yang digunakan untuk berkomunikasi layanan. Misalnya layanan iklan mengadopsi sebuah pendekatan rasional
atau
informasi
telah
terbukti
mengurangi
ketidakpastian
dan
meningkatkan kemungkinan niat membelinya di masa depan. 2. Uncontrolled communication Di lingkungan di mana telah terjadi pengurangan kepercayaan konsumen dari kedua organisasi dan iklan, serta penurunan di televisi iklan, wom (word of mouth) menawarkan cara untuk mendapatkan keuntungan kompetitif yang signifikan. Pada intinya, wom merupakan proses pengaruh, pribadi dimana komunikasi interpersonal antara pengirim dan penerima dapat mengubah perilaku penerima atau sikap menurut Soutar dan Mazzarol. 3. Brand name Sementara penelitian masa lalu telah sebagian besar telah terkonsentrasi di wilayah komunikasi tradisional seperti periklanan, promosi, publisitas, dan wom.Penelitian lebih kontemporer memberitahu kita bahwa brand name memberi informasi penting untuk konsumen. Nama merek adalah persepsi konsumen pada peran nama merek sebagai proses pengambilan keputusan untuk memilih layanan yang paling disukai. Definisi umum dari brand name adalah komponen sebuah merek yang dapat diucapkan
atau dikatakan.Dapat berisi kata-kata, angka atau huruf. Sebuah brand name yang dipilih dengan baik dapat menghasilkan sejumlah keuntungan tertentu termasuk menyarankan manfaat produk berkontribusi untuk merek identitas, menyederhanakan berbelanja, menyiratkan kualitas, perasaan membangkitkan kepercayaan, keyakinan, keamanan, kekuatanm daya tahan, kecepatan, dan ekslusifitas status. Dari kesimpulan diatas menunjukkan bahwa Controlled communications dan Brand name memiliki efek pada kepuasan pelanggan, sikap merek dan niat menggunakan kembali merek (brand reuse intentions). WOM ditunjukkan untuk memiliki pengaruh yang signifikan hanya pada merek menggunakan kembali niat.Selain itu, perbandingan dibuat di seluruh ritel berbeda jenis layanan (misalnya toko, dan bank) menunjukkan perbedaan dalam hubungan antara variabel-variabel yang diperiksa. 2.4.2
Indikator Brand Communication
1. Controlled Communications 2. Uncontrolled Communications 3. Brand Name 2.5 Brand Trust Kepercayaan terbangun karena adanya harapan bahwa pihak lain akan bertindak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika seseorang telah mempercayai pihak lain maka mereka yakin bahwa harapan akan terpenuhi dan tak akan ada lagi kekecewaan menurut (Ryan, 2002) sedangkan Lau dan Lee (1999) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap merek adalah kemauan konsumen mempercayai merek dengan segala resikonya karena adanya harapan yang dijanjikan oleh merek dalam memberikan hasil yang positif bagi mereka. Ferrinadewi (2008) berpendapat bahwa terdapat tiga aktivitas yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen yang dirumuskan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Achieving Result
Mendapatkandan Mempertahankan Kepercayaan Acting with Integrity
Demonstrate Concern
Level of Trust
Sumber: Merek dan Psikologi Konsumen, Ferrinadewi Achieving result, harapan konsumen tidak lain adalah janji konsumen yang harus dipenuhi bila ingin mendapatkan kepercayaan konsumen. Acting with integrity, bertindak dengan integritas berarti adanya konsistensi antara ucapan dan tindakan dalam setiap situasi. Adanya integritas merupakan faktor kunci bagi salah satu pihak untuk percaya akan ketulusan dan pihak lain. Demonstrate concern, kemampuan perusahaan untuk menunjukkan perhatiannya kepada konsumen dalam bentuk menunjukkan sikap pengertian konsumen jika menghadapi masalah dengan produk, akan menumbuhkan kepercayaan dengan merek. Akhirnya yang tidak boleh dilupakan perusahaan adalah kenyataan bahwa kepercayaan bersumber dari harapan konsumen akan terpenuhinya janji merek. Ketika harapan mereka tidak terpenuhi maka kepercayaan akan berkurang bahkan hilang. Ketika kepercayaan konsumen hilang maka akan sulit bagi perusahaan untuk menumbuhkan kembali. Menurut pendapat para ahli, dikatakan bahwa merek memiliki respon yang potensial untuk menciptakan pengaruh dan kepercayaan dari konsumen.Oleh karena itu perlu diketahui secara jelas apakah yang dimaksud dengan brand trust dalam penelitian ini.Bagi perusahaan, kepercayaan konsumen terhadap suatu merek merupakan suatu target yang penting untuk dicapai.Kelangsungan hidup baik perusahaan atau produk hasil dari perusahaan tersebut sangat bergantung pada kepercayaan konsumen. Menurut Hosmer (1995), definisi trust adalah: “Trust is not only been recognized as a very important human behavior but also been broadly discussed both in the fields of phychology, sociology, and economics and in the topics of management and marketing practices”. Menurut Morgan dan Hunt (2002: 23), definisi brand trust adalah: “Brand trust is willingness of the average consumer to rely on the ability of the brand to perform it’s stated function”. Sedangkan menurut Dooney dan Canyon (2001: 37) mendefinisikan brand trust adalah: “It involve a calculative process based on the ability of an object or parts (brand)
to continue to meet its obligation and on an estimation of the cost versus rewards of straying in the relationship”. Morman, Zaltmen, dan Desphande (2001), Dooney dan Canyon (2001) keduanya menekankan bahwa pernyataan “percaya” hanya relevan terjadi pada situasi yang tidak pasti (misalkan dimana terdapat perbedaan besar dan kecil pada suatu merek). Secara keseluruhan Arjub Chanduri dan Moris B Hallbrook (20019: 65) menilai kepercayaan terhadap merek sebagai bentuk proses keterlibatan yang telah diduga sepenuhnya dan didasari secara mendalam. Menurut John C. Mowen dan Michael Minnar (2000: 437) mengatakan bahwa bentuk kepercayaan konsumen terhadap suatu merek pada sebagian besar terjadi apabila merek produk tersebut mampu memenuhi self concept, needs, dan value. Self concept merupakan bentuk perasaan dan pekiraan secara keseluruhan dari individu terhadap sebuah objek yang mencerminkan dirinya. Komponen self concept terdiri dari: 1. Actual self Bagaimana seseorang atau individu sebenarnya memahami dirinya. 2. Ideal self Bagaimana seseorang atau individu akan dapat memahami tentang dirinya. 3. Social self Bagaimana seseorang atau individu percaya bahwa orang lain memahami dirinya. 4. Ideal social self Bagaimana seseorang atau individu menginginkan orang lain memahami dirinya. 5. Expected self Menjelaskan bagaimana seseorang akan bersikap atau bertindak. 6. Situational self Bagaimana sikap atau kepribadian seseorang pada situasi tertentu. 7. Extended self Konsep
kepribadian
seseorang
atau
individu
yang
termasuk
mampu
mempengaruhi image kepribadian yang dimiliki individu tersebut. 8. Possible self Bagaimana seseorang atau individu ingin menjadi, akan menjadi, dan takut untuk
menjadi orang lain. Sedangkan needs (kebutuhan) konsumen berdasarkan teori Maslow terdiri dari lima bagian, yaitu: 1. Physiological needs (kebutuhan fisiologis) Merupakan kebutuhan dasar dan merupakan tingkatan utama dari kebutuhan manusia. 2. Safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman) Kebutuhan ini tidak hanya didasarkan atas pertimbangan keamanan fisik, akan tetapi juga rasa aman atas ketertiban, stabilitas, dan pengendalian hidup seseorang dan lingkungan. 3. Social needs (kebutuhan sosial) Kebutuhan ini mencakup kebutuhan akan rasa saying, rasa saling memiliki, keinginan untuk bisa diterima dalam lingkungan pergaulan atau lingkungan sosial. 4. Egoistic needs (kebutuhan sifat ego) Kebutuhan ini dapat berupa orientasi kedalam atau inward orientation dan keluar atau outward orientation atau bahkan keduanya. Orientasi kedalam mengarahkan kepada suatu gambaran kebutuhan individu akan kebebasan, kesuksesan, pengakuan diri, penerimaan diri, dan kepuasan pribadi terhadap pekerjaan dan telah dilaksanakan. Sedangkan orientasi keluar mengarahkan kepada suatu gambaran terhadap kebutuhan reputasi, status.Kesuksesan dan keberhasilan seseorang merupakan gambaran yang merefleksikan dari orientasi keluar ini. 5. Needs for self actualitation Kebutuhan ini mengarah kepada keinginan individu untuk mewujudkan sesuatu hal yang dapat dilakukan untuk dicapai atau mencapai kepuasan yang telah didambakan. Menurut John. C Mowen dan Michael Minar (2001: 226) value (nilai) yang diinginkan oleh konsumen terhadap suatu produk meliputi: 1. Internal value Nilai internal individu meliputi kepuasan pribadi (self fulfillment) perasaan akan kesempurnaan (sense of accomplishment), penghargaan diri (self respect) dan kesenangan (excitement).
2. External value Nilai external individu meliputi perasaan memiliki (regards of sense belonging), perasaan dihargai dengan baik (being well of respecting), dan keamanan (security). 3. Internal orientation value Orientasi hubungan antar pribadi seperti rasa nikmat dan kesenangan.
2.6 Brand Loyalty “Brand loyalty dari sekelompok pelanggan seringkali merupakan inti dari brand equity” (Aaker, 1991). Dengan demikian, inti dari brand loyalty adalah membeli ulang suatu merek yang sama suatu produk secara konsisten. Namun demikian pembelian ulang yang dikatakan loyal menurut pendapat Oliver (1999) yang menyatakan, “Loyalty is a deeply held commitment to rebuy a preffered product or service consistently in the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior”. Maksudnya loyalitas adalah komitmen mendalam untuk melakukan pembelian ulang suatu produk atau jasa yang disukai secara konsisten di waktu yang akan datang. “Brand loyalty sudah lama menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek (Aaker, 1991)”. Hal ini mencerminkan bagaimana seorang pelanggan mungkin akan beralih ke merek lain terutama jika merek tersebut membuat suatu perubahan, baik dalam harga atau dalam unsur-unsur produk. Apabila brand loyalty meningkat, kerentanan kelompok pelanggan dari serangan kompetitif bisa dikurangi. Pengelolaan dan pemanfaatan yang benar dari suatu strategi pemasaran, maka akan membuat brand loyalty menjadi asset strategis bagi perusahaan. “Beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan yaitu reduced marketing costs, costs trade leverage, attracting new customers dan provide time to respond to competitive threats” (Aaker, 1991, p. 270). Menurut Assael (1991), “Brand loyalty represent a favorable attitude toward a brand resulting in consistent purchase of the brand over time”. Loyalitas merek mewakili sikap yang positif terhadap sebuah merek yang mengakibatkan pembelian secara
konsisten terhadap merek tersebut sepanjang waktu. Terdapat dua aspek dari loyalitas merek, yaitu perilaku (behavioral) dan sikap (attitude). Perilaku atau loyalitas pembelian, meliputi pembelian secara berulang dari sebuah merek, sedangkan sikap loyalitas merek meliputi tingkat komitmen akan nilai unik yang diasosiasikan terhadap merek (Chaudhuri dan Holbrook, 2001). Berikut beberapa fungsi dari brand loyalty (Durianto et al, 2001): 1. Dapat mengurangi biaya pemasaran. 2. Mampu meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. 3. Mampu menarik minat pelanggan baru. 4. Memberikan waktu untuk merespons ancaman persaingan. Dalam kaitannya dengan loyalitas merek suatu produk, didapati adanya beberapa tingkatan
loyalitas
merek.Masing-masing
tingkatannya
menunjukkan
tantangan
pemasaran yang harus dihadapi sekaligus asset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan loyalitas merek menurut (Aaker, 1996) tersebut adalah sebagai berikut: 1. Switcher (konsumen yang suka berpindah-pindah) Tingkat pertama atau paling dasar dari piramida brand loyalty adalah switcher.Pelanggan yang masuk pada tingkat switcher memiliki perilaku sering berpindah-pindah merek, yang disebabkan faktor harga. Hal ini mengindikasikan bahwa pelanggan tersebut sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek-merek yang dikonsumsi. Pada tingkatan ini merek apapun yang dikonsumsi oleh pelanggan dianggap memiliki peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian yang dilakukan.Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah membeli suatu produk karena harga yang murah atau karena faktor insentif lainnya.Pelanggan yang sering berganti-ganti merek dapat juga dikarenakan tidak berhasilnya perusahaan penghasil merek produk menerapkan switching barrier. 2. Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan). Tingkat kedua dari piramida brand loyalty adalah habitual buye.Habitual buyer merupakan aktivitas rutin konsumen dalam membeli suatu merek produk, meliputi proses pengambilan keputusan dan kesukaan terhadap merek produk tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian dalam arti dapat memakan waktu yang lama atau
relatif pendek, sedangkan kesukaan adalah setiap konsumen atas produk yang dikonsumsi. Pelanggan yang loyal pada merek tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan pembelian. Hal ini dikarenakan pelanggan sudah memiliki pengalaman yang baik dengan merek yang pernah dikonsumsi.Sebaliknya pelanggan yang tidak loyal pada merek, membutuhkan waktu yang lama untuk membuat suatu keputusan pembelian. Pelanggan masih memerlukan waktu untuk menimbang-nimbang kualitas, produk, harga dan kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang akan diterima apabila mengkonsumsi merek-merek baru. Pelanggan yang berada pada tingkatan habitual buyer dalam piramida brand loyalty dapat dikategorikan sebagai pelanggan yang puas dengan merek produk yang dikonsumsi atau setidaknya pelanggan tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek tersebut. Pada tingkatan ini, pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pelanggan dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan pelanggan selama ini.Oleh sebab itu perusahaan harus dapat meningkatkan kualitas produk atau jasa untuk membuat pelanggan puas dan menjadi terbiasa mengkonsumsi merek yang memiliki kualitas tersebut. 3. Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan). Tingkat ketiga dari piramida brand loyalty adalah satisfied buyer. Pada saat ini, inti dari kegiatan pemasaran adalah meningkatkan kepuasan pelanggan. Perusahaan yang berorientasi pada pelanggan akan berusaha membuat keputusan pelanggan meningkat, agar pelanggan menjadi loyal dan pada akhirnya dapat menguntungkan. Pada hakikatnya customer satisfaction adalah reaksi emosi jangka pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh Lovelock dan Wright (2002), “Customer satisfaction is a short term emotional reaction to a specific product or service performance”. 4. Likes the brand (menyukai merek). Tingkat keempat dari piramida brand loyalty adalah liking of the brand.Liking of the brand yaitu tingkatan kesukaan pelanggan pada suatu merek meliputi keterkaitan dan pengalaman.Adapun yang dimaksud dengan keterkaitan yaitu hanya menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk walaupun harga sejenis lain lebih murah. Sedangkan yang
dimaksud dengan pengalaman yaitu perasaan senang dan nyaman dengan pengalaman menggunakan produk yang dikonsumsi. Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Akan sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekedar suka pada suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan yang terkait dengan atribut merek.Ukuran dari rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemampuan untuk membayar dengan harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut, karena harga bukan merupakan penentu keputusan pembelian konsumen. Pelanggan yang masuk dalam kategori loyalitas liking of the brand merupakan pelanggan yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut.Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pelanggan bisa saja didasari oleh asosiasi (hubungan) yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya, baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabat ataupun disebabkan oleh perceived value yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.Itulah sebabnya perusahaan harus dapat menciptakan komunikasi pemasaran yang efektif dengan para pelanggannya, agar pelanggan tidak lagi menggunakan logika untuk menentukan keputusan pembeliannya, melainkan dengan emosionalnya. 5. Committed buyer (pembeli yang komit). Tingkat kelima dari piramida brand loyalty adalah committed buyer. Aaker (1991) memberikan definisi commitment yaitu kepercayaan bahwa produk yang dikonsumsi mampu melahirkan komunikasi dan interaksi di antara pelanggan yang ada.Dalam suatu merek yang kuat terhadap pelanggan yang memiliki komitmen dalam jumlah yang besar. Kesetiaan pelanggan akan timbul bila ada kepercayaan dari pelanggan terhadap merek produk yang dikonsumsi sehingga ada komunikasi dan interaksi diantara pelanggan, yaitu dengan membicarakan produk yang dikonsumsi tersebut. Pada tahapan loyalitas committed buyer pelanggan merupakan pelanggan setia. Pelanggan memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek
tersebut menjadi sangat penting bagi pelanggan dipandang dari segi fungsi maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya dari pelanggan. Pada tingkatan ini salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain. 2.7 Leasing Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengenai pengertian leasing ini sebenarnya ada beberapa pendapat diantaranya menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri: Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian tersebut di atas menyatakan:
“Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”. Keputusan Presiden no. 61 tahun 1998 yang dikenal dengan paket Deregulasi desember 1988 mengenai Industry Multy Finance di Indonesia, memberikan kemudahan mendirikan perusahaan baru yang bergerak di bidang pembiayaan. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 1251/KMK/013/1998 tanggal 20 Desember 1998 memuat pengertian-pengertian sewa guna usaha sebagai berikut: 1. Kegiatan sewa guna usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi penyewa guna usaha (lessee) baik dengan maupun tanpa opsi untuk membeli barang tersebut. 2. Pengadaan barang modal dapat dilakukan dengan membeli barang milik penyewa guna usaha (lessee) yang kemudian di sewa guna usahakan kembali. 3. Selama perjanjian sewa guna usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi sewa guna usaha berada pada perusahaan sewa guna usaha (lessor).
Pengertian leasing selanjutnya juga dikemukakan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1169/KMK.01/1991 yaitu: “ Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu’. Pengertian leasing berdasarkan Equipment Leasing Association di London adalah: “Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih atau ditentukan oleh lessee.Hak pemilihan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu”. Selain dari pengertian-pengertian yang telah dijabarkan di atas, masih banyak lagi pendapat-pendapat dan pengertian lain tentang leasing dari berbagai sudut pandang yang berbeda, tetapi pada dasarnya adalah sama. Pengertian leasing ini haruslah terdiri dari unsure-unsur pengertian sebagai berikut: a. Pembiayaan perusahaan b. Penyediaan barang-barang modal c. Jangka waktu tertentu d. Pembayaran secara berkala e. Adanya hak pilih (optie) f. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama g. Adanya pihak lessor h. Adanya pihak lessee 2.7.1 Jenis-jenis Leasing Jenis-jenis sewa guna usaha (leasing) yang sudah dikenal secara umum, termasuk dua jenis sewa guna usaha yang telah ditampung dalam keputusan Menteri Keuangan, adalah sebagai berikut: 1.
Finance Lease atau Capital Lease (sewa guna usaha pembiayaan)
Dalam sewa guna usaha, perusahaan sewa guna usaha (lessor) adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Penyewa guna usaha (lessee) biasanya memilih
barang modal yang dibutuhkan dan atas nama perusahaan sewa guna usaha, sebagai pemilik barang modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan serta
pemeliharaan
barang modal yang menjadi objek transaksi sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha, penyewa guna usaha melakukan pembayaran sewa guna usaha secara berkala dimana jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (residual value), kalau ada, akan mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang dibiayai serta bunganya, yang merupakan pendapatan sewa guna usaha (PSAK No.30,2002; 30.1). 2.
Operating Lease (sewa menyewa biasa)
Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha membeli barang modal dan selanjutnya disewagunausahakan kepada penyewa guna usaha. Berbeda dengan Finance lease, jumlah seluruh pembayaran sewa guna usaha berkala dalam
Operating
lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan karena perusahaan sewa guna usaha mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang disewagunakan, atau melalui beberapa kontrak sewa guna usaha lainnya (PSAK No.30,2002; 30.1). 3.
Sales-Type Lease (sewa guna usaha penjualan) Sewa guna usaha jenis ini merupakan transaksi pembiayaan sewa guna usaha
secara langsung (Direct Finance Lease) dimana dalam jumlah transaksi termasuk laba yang diperhitungkan oleh pabrikan atau penyalur yang juga merupakan perusahaan sewa guna usaha.Sewa guna usaha jenis ini seringkali merupakan suatu jalan pemsaran bagi produk perusahaan tertentu. (PSAK No.30,2002; 30.1). 4. Leveraged lease Transaksi sewa guna jenis ini melibatkan setidaknya tiga pihak, yakni penyewa guna usaha, perusahaan sewa guna usaha dan kreditur jangka panjang yang membiayai bagian terbesar dari transaksi sewa guna usaha (PSAK No.30,2002; 30.1). 2.7.2 Kriteria Leasing (sewa guna usaha) Berhubung dasar pertimbangan utama yang digunakan adalah asas ekonomi, maka suatu transaksi sewa guna usaha akan dikelompokkan sebagai Capital Lease bagi penyewa guna usaha atau Finance Lease bagi perusahaan sewa guna usaha apabila dipenuhi semua criteria sebagai berikut:
1. Penyewa guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang disewa guna usahakan pada masa sewa guna usaha dengan harga yang telah disetujui bersama pada saat dimulainya perjanjian sewa guna usaha. 2. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha ditambah nilai sisa mencakup pengembalian barang perolehan barang modal yang disewa guna usahakan serta bunganya, sebagai keuntungan perusahaan sewa guna usaha (fill pay out lease). 3. Masa sewa guna usaha minimum lima tahun. 2.7.3 Keuntungan dan Kerugian Leasing Dalam memilih alternatif pembiayaan leasing ada keuntungan dan kerugian yang dirasakan baik oleh pihak lessee maupun pihak lessor. 2.7.3.1 Keuntungan Leasing Leasing didukung oleh keuntungan-keuntungan sebagai berikut yang hal ini dibedakan menjadi keuntungan bagi pihak lessee dan bagi pihak lessor. 1. Keuntungan leasing bagi pihak lessee, yaitu: a. Flexible atau luwes, artinya struktur kontrak dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yaitu besarnya pembayaran atau periode lease dapat diatur sedemikian rupa sesuai kondisi perusahaan. b. Tidak diperlukan jaminan (agunan), karena hak kepemilikan sah atas aktiva yang di lease serta pengaturan pembayaran lease sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan oleh aktiva yang di lease sudah merupakan jaminan bagi lease itu sendiri. Dengan demikian harta yang telah dijaminkan untuk dipinjam tetap dapat menjamin yang sudah ada. c. On atau Off Balance Sheet, artinya barang modal dapat ditampilkan atau tidak ditampilkan dalam neraca perusahaan, jadi seandainya merupakan pembiayaan “off balance sheet”, maka pembayaran angsuran lease dapat dianggap sebagai biaya operasi dan perbandingan hutang dengan modal sendiri tidak terpengaruh sama sekali. d. Capital Saving, yaitu tidak perlu menyediakan dana yang besar, maksimum hanya “down payment” yang biasa jumlahnya tidak terlalu besar, jadi dalam hal ini merupakan suatu penghematan modal bagi pihak lessee yaitu lessee
dapat menggunakan modal yang tersedia untuk keperluan lain karena leasing umumnya membiayai 100% barang modal yang dibutuhkan. e. Keuntungan Cash Flow, artinya besarnya pembayaran lease saat pembayaran dapat disesuaikan dengan kondisi cash flow perusahaan. f. Cepat dalam pelayanan, artinya secara prosedur leasing lebih sederhana dan relatif lebih cepat dalam realisasi pembiayaan bila dibandingkan dengan kredit investasi dari bank. Jadi tanpa prosedur yang rumit itu memberikan kemudahan bagi para pengusaha untuk memperoleh mesin-mesin dan peralatan yang mutakhir meningkatkan dibukanya suatu bidang usaha produksi yang baru untuk memodernisasi perusahaan atau pabrik yang telah dimilikinya. g. Sebagai pelindung terhadap inflasi, artinya terhindar dari risiko penurunan nilai uang yang disebabkan oleh inflasi yaitu lease sampai kapanpun akan tetap membayar dengan satuan moneter yang lalu terhadap sisa kewajibannya. h. Biaya-biaya tambahan selain harga perolehan dapat dianggap sebagai biaya modal dan dapat disusutkan berdasarkan lamanya masa lease. i. Dapat mengatasi kekhawatiran terhadap risiko keusangan serta tidak memadai (obsolescence and inadequacy), artinya dalam keadaan yang serba tidak menentu, lessee tidak perlu mempertimbangkan risiko pada tahap dini yang mungkin terjadi pada aktiva yang di lease. j. Adanya hak opsi bagi lessee pada akhir masa lease.
2. Keuntungan leasing bagi pihak lessor, yaitu: 1) Meningkatkan penjualan, dengan menawarkan produknya melalui leasing kepada pelanggan potensial, pabrik atau penyalur dapat meningkatkan penjualannya dalam jumlah besar. 2) Keringanan pajak, banyak ketentuan pajak yang memberikan keringanan bagi pemilik harta. 3) Kelangsungan hubungan dengan lessee, apabila harta dijual pembeli kerap kali tidak mengadakan transaksi lagi dengan penjualnya. Akan tetapi dalam situasi leasing, lessor dan lessee tetap berhubungan selama periode tertentu dan hubungan bisnis jangka
panjang dapat dibina melalui leasing. 4) Nilai sisa dipertahankan, dalam perjanjian lease hak atas harta yang di lease tidak pernah beralih kepada lessee. Lessor beruntung dari kondisi ekonomi yang membuat nilai residu yang besar pada akhir periode lease.Banyak lessor telah menikmati laba yang besar dari kenaikan nilai residu yang tidak diperkirakan. 2.7.3.2
Kerugian Leasing Selain keuntungan yang telah dijelaskan juga terdapat kerugian bagi pihak lessee
dan lessor di antaranya sebagai berikut: 1. Pembiayaan secara leasing merupakan sumber pembiayaan yang relatif mahal bila dibandingkan dengan kredit investasi dari bank. Hal ini terjadi karena sumber danalessor pada umumnya berasal dari bank atau lembaga keuangan bukan dari bank. 2. Barang modal yang di lease tidak dapat dicantumkan sebagai unsur aktiva lessee untuk tujuan collateral credit dari bank yaitu trade creditor mungkin menilai perusahaan tersebut memiliki posisi keuangan yang lemah. 3. Bagi para pengusaha tertentu kadang-kadang timbul masalah prestise antara memiliki sendiri barang modal. 4. Risiko yang lebih besar pada lessor, artinya adanya tanggung jawab atas tuntutan pihak ketiga jika terjadi kecelakaan atau kerusakan atas barang orang lain. 2.8 Kerangka Pemikiran
Brand Communication (X1) Brand Trust (Y) Service Quality (X2)
Brand Loyalty (Z)
2.9 Hipotesis Menurut Arikunto (2005), hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap masalah penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Atas dasar pertimbangan didalam identifikasi masalah, maka hipotesis yang peneliti kemukakan adalah: •
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication terhadap Brand Trust pada PT. Citra Tirta Mulia Finance Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication terhadap Brand Trust pada PT. Citra Tirta Mulia Finance
•
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality terhadap Brand Trust pada PT. Citra Tirta Mulia Finance Ha :Ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality terhadap Brand Trust pada PT. Citra Tirta Mulia Finance
•
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication dan Service Quality terhadap Brand Trust dan berdampak pada Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication dan Service Quality terhadap Brand Trust dan berdampak pada Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance
•
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication terhadap Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication terhadap Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance
•
Ho :
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality terhadap Brand
Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality terhadap Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance •
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Brand Trust terhadap Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Brand Trust terhadap Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance
•
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication dan Service Quality terhadap Brand Trust dan berdampak pada Brand Loyalty pada PT.
Citra Tirta Mulia Finance Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Brand Communication dan Service Quality terhadap Brand Trust dan berdampak pada Brand Loyalty pada PT. Citra Tirta Mulia Finance