BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Ganyong
Pada tahun 1905 tanaman ganyong telah tumbuh dengan baik di Indonesia. Tanaman ganyong telah tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan sentra produksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Bali. Tanaman ini telah tersebar ke Asia, Australia, Polinesia, dan Afrika.Tanaman ganyong dibudidayakan secara teratur di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku, tanaman ini belum dibudidayakan dan masih merupakan tumbuhan liar di pekarangan dan pinggir-pinggir hutan. Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingeberales Famili : Cannaceae Genus : Canna Spesies : Canna edulis Ker. Tanaman ganyong berumbi besar dengan diameter 5 - 8,75 cm dan panjangnya 10 - 15 cm, bahkan bisa mencapai 60 cm, bagian tengahnya tebal dan dikelilingi berkas – berkas sisik yang berwarna ungu atau coklat dengan akar serabut tebal (Koswara, 2009). Selain itu, menurut Muzaifa dkk (2014) Ganyong (Canna edulis) merupakan salah satu umbi yang juga banyak ditemukan di Indonesia dan kaya akan karbohidrat namun belum dikembangkan secara optimal. Tanaman ganyong termasuk famili Cannaceae, genus Canna dari kelompok umbiumbian potensial, mudah tumbuh di segala cuaca dan jenis tanah serta toleran terhadap kekeringan. Hanya beberapa daerah yang sudah membudidayakan ganyong secara teratur antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jambi, Lampung, dan Jawa Barat. Khususnya di
Provinsi Aceh budidaya ganyong mulai dilakukan oleh segelintir masyarakat Jawa Transmigrasi di Kabupaten Aceh Tengah namun jumlah lahan dan pengolahannya masih sangat terbatas. Hasil atau produksi per hektar dari tanaman ini sangat tergantung pada perawatan tanaman, jenis tanah, dan faktor produksi yang lainnya. Di Jawa 1 ha areal pertanaman ini menghasilkan 30 ton. Waktu tanam ganyong sebaiknya dilakukan menjelang datangnya musim hujan, yaitu antara bulan Oktober sampai Desember (Koswara, 2009). Penelitian Muzaifa, dkk (2014) menyebutkan bahwa satu hektar lahan dapat ditanam sekitar 10 ribu tunas ganyong, dapat menghasilkan 50 ton umbi ganyong. Pada kondisi lahan yang lebih subur dengan pemupukan nitrogen yang tinggi, hasilnya dapat mencapai 80 ton/ha sedangkan pada lahan biasa produksinya 40 ton/ha. Pada Gambar 2.1 dapat dilihat kenampakan varietas ganyong putih.
Gambar 2.1 Umbi Ganyong (Canna edulis Ker) (Koswara, 2009) Di Indonesia dikenal dua kultivar atau varietas ganyong, yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun dan pelepahnya yang berwarna merah atau ungu, sedang yang warna batang, daun dan pelepahnya hijau dan sisik umbinya kecoklatan disebut dengan ganyong putih. Ganyong putih biasanya diambil patinya. Bentuk umbi ganyong beraneka ragam, begitu juga komposisi kimia dan kandungan gizinya. Perbedaan komposisi ini dipengaruhi oleh umur, varietas dan tempat
tumbuh tanaman (Koswara, 2009). Ganyong merah memiliki kadar gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan ganyong putih (Yulfia dkk, 2012). Selain itu kadar pati pada ganyong merah lebih sedikit dibandingkan kadar pati pada ganyong putih, sehingga pemanfaatan dalam pengolahan menjadi tepung dan pati lebih lebih banyak menggunakan ganyong putih, sedangkan ganyong merah
lebih
lazim
dimakan
segar
dengan
pengolahan
direbus
(Ratnaningsih dkk, 2010 dalam Fathullah, 2013). Secara morfologi ganyong putih dan ganyong merah dapat mudah di identifikasi melalui tanaman dan umbinya. Telah banyak informasi terkait kedua jenis tanaman ini sehingga memudahkan dalam membedakan antara ganyong merah dan ganyong putih. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BBBiogen) pada tahun 2004 mencatat ada 48 aksesi ganyong (Canna edulis) di Indonesia yang masih dilakukan eksplorasi, konservasi, karakterisasi, evaluasi dan pengembangan database dalam rangka pelestarain tanaman lokal. Suhartini dan Hadiatmi (2010) melakukan penelitian mengenai Keragaman Karakter Morfologi Tanaman Ganyong pada 27 aksesi ganyong merah dan 23 aksesi ganyong putih di Indonesia. Secara umum bila dilihat dari bagian luar tanaman terdapat perbedaan, namun tidak begitu signifikan. Berikut adalah perbedaan morofologi dari ganyong putih dan ganyong merah yang ada di Indonesia pada Tabel 2.1 yang dapat dicermati dan dijadikan acuan dalam mengidentifikasi ganyong sebagai sampel penelitian:
Tabel 2.1 Perbedaan Morfologi Ganyong Merah dan Ganyong Putih
No
1.
2.
3.
4.
5. 7.
6.
Bagian Tanaman/ Morofologi Tanaman
Ganyong Merah (Mardos)
Ganyong Putih (Verdes)
Sumber
Lingga dkk Berwarna hijau, Batang, Berwarna merah (1986) dalam dan sisik umbi pelepah, daun atau ungu Histifarina berwarna coklat (2011) Lebih kecil, pendek , Batang menghasilkan lebih besar, sulit biji dan bisa Morfologi menghasilkan Sulistyaningsih diperbanyak Tanaman biji, dan hasil dkk (2013) menjadi anakan umbi basah lebih tanaman, hasil besar umbi basah lebih kecil Agak lebih tahan Kurang tahan Ketahanan pada terhadap sinar terhadap sinar Sulistyaningsih sinar matahari matahari dan matahari tetapi dkk (2013) dan kekeringan kondisi tahan kekeringan kekeringan, Balai Besar Penelitian dan Kuning dan Merah keunguan Pengembangan oranye Bioteknologi Warna Bunga dan Sumberdaya Genetik Pertanian (2010) Sulistyaningsih Kadar Pati Lebih rendah Lebih tingi dkk (2013) Yulfia dkk Kadar Gula Lebih tinggi Lebih rendah (2012)
Kenampakan Batang
Sulistyaningsih dkk (2013)
Umbi ganyong sangat baik digunakan sebagai sumber karbohidrat untuk penyediaan energi. Hal ini dapat dilihat dari komposisi kimia umbi ganyong. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, setiap 100 g tepung ganyong mengandung 95,0 kkal kalori, 1 g protein, 0,1 g lemak, 22,6 g karbohidrat, 21 g kalsium, 70 g fosfor, 1,9 mg zat besi, 0,1 mg vit B1, dan 75 g air. Dalam pati ganyong terdapat 80% karbohidrat dan 18% air (BB-Biogen, 2010). Tanaman ganyong (Canna edulis) sebagai umbi-umbian lokal yang belum dimanfaatkan secara optimal ternyata memiliki keunggulan dalam hal jumlah bagian umbi yang dapat dimakan sebanyak 68% dengan kandungan serat dan mineral yang lebih tinggi dibanding umbi-umbian lain. Ganyong dapat diolah menjadi produk antara dalam bentuk tepung dan pati ganyong. Tepung akan meningkatkan nilai ekonomisnya menjadi 10 kali lipat dari harga umbi segar (Pangesthi, 2009). 2. Koro Glinding Tanaman koro glinding (Phaseolus lunatus), merupakan tanaman yang merambat rendah dan mempunyai biji yang berbentuk kecil. Tanaman ini berasal dari Brasil dan pada saat ini telah banyak tumbuh dikawasan tropis lainnya termasuk Afrika dan Asia Tenggara. Sebagai tanaman kacangkacangan, koro glinding memiliki peranan yang sangat potensial karena tumbuh secara produktif di daerah yang memiliki tanah kurang subur (Bernhardt, 1976). Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi. Sedangkan Departemen Kehutanan (1985) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang sudah tidak dapat berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, topografi dengan kemiringan lebih dari 15 persen, dan/atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet erosion), dan erosi parit (gully erosion). Pada saat ini kondisi sumber daya lahan dan lingkungan
pertanian di Indonesia telah mengalami kerusakan yang signifikan, dan dari tahun ke tahun luasnya semakin bertambah. Pada awal tahun 2000, data luas lahan kritis di Indonesia tercatat 23,25 juta ha, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 77,8 juta ha (Anwar, 2007).
Gambar 2.2 Koro Glinding (Phaseolus lunatus) (Kanetro dan Hastuti, 2003) Pada Gambar 2.2 dapat dilihat kenampakan koro glinding. Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman spermatophyta yang disebut tanaman dikotil, karena dapat menghasilkan biji dari hasil perkawinan antara benang sari dan sel telur, klasifikasi lengkapnya adalah: Kingdom : Plantae Sub-kingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida – Dicotyledons Sub- Kelas : Rosidae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Phaseolus Spesies : Phaseolus lunatus Koro glinding merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat tumbuh di tanah yang kurang subur dan kering. Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman yang memiliki peran penting dalam mengatasi lahan kritis, karena dapat tumbuh secara produktif di daerah yang memiliki tanah kurang subur. Pemanfaatan tanaman ini sebagian besar untuk makanan ternak, namun sebagian masyarakat telah memanfaatkannya untuk tempe seperti koro benguk (Kanetro dan Hastuti, 2003).
Morfologi tanaman koro glinding di Indonesia tidak banyak diteliti, namun persebarannya yang cukup luas di dunia membuat referensi terkait morfologi tanaman koro glinding masih dapat ditemukan di beberapa negara tropis dunia seperti Meksiko. Menurut Castillo dkk (2014) setidaknya ada 12 kultivar yang tumbu di Meksiko dengan berbagai macam warna biji yang bisa ditemukan. Pada Gambar 2.3 dapat terlihat 28 bentuk dan warna dari koro glinding yang tumbuh di daerah Meksiko. Menurut Rahmah (2010) Secara morfologi tanaman ini mempunyai biji agak berbentuk bulan, panjang polong oblong yang agak melengkung berkisar antara 5 hingga 15 cm dengan lebar 2-3 cm. Sebagian besar kultivar biasanya mengandung 2-4 biji, walaupun ada yang berisi hingga 6 biji. Polong kultivar tertentu gemuk; yang lain agak ramping. Biji besar pipih dan oblong pada tipe tanaman tertentu memiliki panjang hingga 3 cm. Tipe biji yang lain juga pipih, tetapi agak bundar dan panjangnya sekitar 1 cm; permukaan biji kedua tipe ini rata.
Gambar 2.3 Kenampakan koro glinding di Meksiko (Castillo dkk, 2014) Kultivar yang umum ditanam memilki warna kulit biji hijau muda atau putih; yang lain dapat berwarna merah, ungu, coklat, atau hitam. Dua kotiledon daun biji besar merupakan bagian terbesar dari volume biji. Biji tipe liar memiliki kandungan glukosida sianogenik tinggi dan harus direndam sebelum atau selama pemasakan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997 dalam Rahmah, 2010).
Koro glinding merupakan salah satu jenis leguminosa yang mengandung senyawa protein, karbohidrat kompleks, serat, vitamin dan mineral, namun rendah akan kandungan lemak, dan sodium. Menurut Guerrero et al (2012) legum mengandung protein hingga 200 – 400 g/kg, nilai ini lebih tinggi dari jenis serealia yang hanya mengandung protein sebesar 70140 g/kg. Leguminosa juga diidentifikasi sebagai produk pangan yang rendah akan nilai indeks glikemik. Pangan dengan nilai indeks glikemik yang rendah sangat berperan penting dalam menu makan penderita diabetes mellitus dan pencegahan penyakit kardiovaskular. Dengan mengkonsumsi leguminosa maka pola makan dapat terkontrol karena legum dapat meningkatkan kekenyangan tanpa berkontribusi meningkatkan glukosa dalam darah (Kadam et al, 2012). Pada Tabel 2.2 diketahui kandungan gizi koro glinding tidak jauh berbeda dengan koro pedang maupun koro benguk. Koro glinding lebih kaya akan karbohidrat. Tabel 2.2 Kandungan Gizi Beberapa Jenis Koro Kandungan Koro Glinding Koro Pedang Gizi (Phaseolus (Canavalia (%) lunatus) ensiformis) Kadar air 2,1 – 8,7 11 – 15,5 Protein 22,1 – 25 23,8 – 27,6 Lemak 1,2 – 1,6 2,3 – 3,9 Karbohidrat 70,3 – 72,3 45,2 – 56,9 Serat Kasar 3,5 – 11 4,9 – 8,0 Mineral 2,2 – 5,1 2,27 – 4,2
Koro Benguk (Mucuna pruriens) 10 23,4 5,7 51,5 6,4 3,0
Sumber:Kay (1979) dan Salunkhe & Kadam (1989) dalam Widianarko (2003)
Penanaman tanaman koro glinding tidak hanya di Indonesia tetapi juga tumbuh di beberapa Negara tropis, salah satunya di Meksiko. Dalam penelitian Guerrero et al (2012) dinyatakan bahwa koro glinding (Phaseolus lunatus) mengandung protein tinggi sebesar 210-260 g/kg dengan kandungan karbohidrat sebesar 550-640 g/kg, dan rendah akan kandungan lemak sebesar 10-23 g/kg, koro glinding juga mengandung serat sebesar 32-68 g/kg, dengan kandungan mineral yang dimiliki yaitu K, Zn, Ca dan Fe, namun rendah kandungan Na, koro glinding merupakan jenis koro-koroan yang dapat
dikembangkan menjadi hidrolisat protein yang berperan sebagai zat antihipertensi. 3. Tepung Komposit
Tepung komposit merupakan salah satu bahan dasar pembuatan kue pengganti tepung terigu. Bahan baku utama yang digunakan dapat berasal dari tepung beras dan bahan tambahan lain seperti maizena, tepung ketan, tapioka, dan tepung kentang dan tepung umbi-umbian lainnya. Tepung komposit mempunyai kelebihan antara lain, memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya satu jenis tepung saja, serta kualitas fisik dan organoleptik yang lebih baik. Tepung komposit sebagai sumber pangan alternatif dalam rangka penganekaraman pangan dan alternatif bagi yang alergi tepung terigu (Hasnelly, 2011). Menurut Widowati (2009) dalam Astuti dkk (2014) tepung komposit adalah tepung yang berasal dari beberapa jenis bahan baku yaitu umbiumbian, kacang-kacangan, atau sereal dengan atau tanpa tepung terigu atau gandum dan digunakan sebagai bahan baku olahan pangan seperti produk bakery dan ekstrusi. Pencampuran beberapa tepung tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas tepung yang lebih baik dari segi karakteristik fisik dan kimianya ketika diolah menjadi produk pangan. Tepung komposit merupakan teknologi pengolahan pangan yang merujuk pada proses pencampuran dua tepung untuk mendapatkan kualitas produk pangan yang lebih baik, dan lebih ekonomis. Pencampuran antara leguminosa dengan serealia dapat meningkatkan kualitas produk dari nilai gizi yang terkandung. Hal ini dikarenakan leguminosa mengandung asam amino lisin yang tinggi namun rendah akan senyawa sulfur pada asam amino, sedangkan golongan serealia memiliki kondisi sebaliknya yaitu tinggi akan asam amino yang mengandung senyawa sulfur yaitu metionin. Oleh karena itu mengkombinasikan keduanya akan membuat keseimbangan kandungan asam amino esensial pada produk makanan yang dibutuhkan tubuh serta membantu mengatasi permasalahan kekurangan nutrisi protein pada masyarakat dibeberapa negara di dunia (Kadam et al, 2012).
Menurut World Health Organization (WHO) (2007) asam amino lisin dianjurkan untuk dicukupi sebanyak 30 mg/kg per hari, asam amino lisin diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang harus selalu tercukupi untuk keberlangsungan metabolisme manusia, hal ini dikarenakan asam amino lisin merupakan salah satu asam amino yang mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan asam amino sulfur dibutuhkan oleh tubuh biasanya dalam bentuk asam amino metionin dan sistein, dan karena pentingnya dalam proses pembentukan selsel baru dalam tubuh maka WHO menganjurkan pula mengkonsumsi asam amino sulfur sebanyak 13 mg/kg dalam sehari. Selain itu Ruth and Field (2013) juga menyatakan bahwa asam amino esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh memiliki peranan dalam imunitas tubuh manusia, seperti pada asam amino metionin dan sistein yang mengandung sulfur berfungsi dalam pencegahan reaksi oksidasi (antioksidan) pada sel saluran pencernaan manusia. Namun, pencampuran tepung leguminosa dengan tepung serealia maupun tepung umbi-umbian tidak hanya fokus dalam melengkapi kebutuhan asam amino esensial pada makanan, tetapi kebutuhan makronutrien lainnya juga menjadi perhatian dalam tujuan pembuatan tepung komposit. Seperti pada penelitian Ratnaningsih dkk (2010) yaitu mengenai tepung komposit terigu, ubi jalar, ubi kayu dan jagung yang dapat meningkatkan komponen lemak serta protein pada formula tertentu. Oleh karena itu Noorfarahzilah dkk (2014) menyatakan setidaknya terdapat empat hal yang menguntungkan ketika melakukan pengembangan tepung komposit, yaitu pertama sebagai media promosi tanaman lokal disetiap negara, kedua melalui tepung komposit dapat menyediakan kandungan protein lebih tinggi dalam bahan pangan, selanjutnya adalah pelestarian pangan lokal dan yang terakhir adalah mereduksi ketergantungan suatu negara terhadap produk tepung impor seperti ketergantungan terhadap tepung terigu.
4. Karakteristik Fisik Tepung Karakterisasi sifat fisik tepung perlu di analisis untuk mengetahui karakteristik tepung ketika diproses menjadi makanan, sehingga diketahui perlakuan yang tepat dalam mengolah tepung tersebut. Selain itu melalui analisis sifat fisik tepung dapat diprediksi kualitas produk makanan yang akan dihasilkan. Menurut Chandra dan Samsher (2013) karakteristik fisik tepung juga disebut sebagai sifat fungsional, dan yang biasanya di analisis adalah kelarutan, daya serap air, daya ikat air, elastisitas, emulsi, gelasi, kohesi dan adhesi, informasi karakteristik fisik tepung berguna bagi industri yang ingin melakukan pencampuran tepung terigu dengan tepung non-terigu untuk menciptakan produk tepung yang alami, murah dan dapat diterima konsumen. a. Daya Serap Air
Daya serap air adalah karakteristik fisik yang berhubungan dengan kemampuan tepung dalam menyerap air. Kapasitas penyerapan air pada tepung berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air, granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi dalam air yang disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang terikat secara fisik maupun intermolekuler pada bagian amorfus (Elliason, 2004; Rohmah, 2012). Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan, bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai kondisi optimum (Rohmah, 2012). Daya serap air pada tepung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa diantaranya adalah rasio amilosa-amilopektin (Jading dkk, 2011), granula pati (Heti dan Sri, 2009; Lumba dkk, 2012) dan protein (Ginting dkk, 2013). Protein memiliki daya serap yang lebih tinggi dibandingkan pati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simon (2008) dalam Ginting dkk (2013), penyerapan air oleh protein berkaitan dengan adanya gugus-gugus polar rantai samping seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil dan sulfhidril yang menyebabkan protein bersifat hidrofilik dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air.
b. Swelling Power (Daya Kembang)
Sifat fisik pengembangan tepung disebuat sebagai swelling power. Sifat ini berhubungan dengan kemampuan granula pati tepung untuk mengembang akibat proses pemanasan dan masuknya air ke dalam granula pati. menurut Indrastuti dkk (2012) Swelling terjadi jika pati pada keadaan berlebihan air dan suhu suspensi pati meningkat di atas rentang tertentu, ikatan hidrogen molekul terganggu, molekul air akan terikat dengan gugus hidroksil pada amilosa dan amilopektin, maka granula pati semakin membesar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan ikatan-ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul-molekul amilosa dan amilopektin semakin melemah dengan meningkatnya suhu pemanasan, sehingga mengganggu kekompakan granula pati. Peningkatan suhu menyebabkan molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula pati. Perilaku swelling merupakan sifat utama dari kandungan amilopektin, sementara amilosa bertindak sebagai inhibitor, terutama dengan adanya lemak yang dapat membentuk komplek bersama amilosa. Kekompakan struktur granula juga dipengaruhi oleh kadar amilosa dan berbanding terbalik dengan derajat pembengkakan granula (Lee dkk, 2005; Harmayani dkk, 2011). Menurut Jobling (2004) dalam Harmayani dkk (2011), selama pemanasan, struktur heliks dalam amilopektin melebur dan granula mulai membengkak serta terjadi peningkatan viskositas. Daya pembengkakan tepung dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, dua diantaranya yaitu, rasio amilosa-amilopektin (Haryanti dkk, 2014), dan kandungan protein (Aprianita, 2009; Indrastuti dkk, 2012) c. Oil Holding Capacity (Daya Ikat Minyak)
Kapasitas penyerapan minyak menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat minyak. Kapasitas penyerapan minyak pada tepung berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein, akan semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Campuran minyak dan pati akan mempengaruhi sifat fisik pati karena
minyak dan lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa yang menghambat pembengkakan granula sehing-ga pati sulit tergelatinisasi (Fennema, 1985 dalam Rohmah, 2012). Menurut Appiah dkk (2011) kemampuan produk makanan dalam mengikat minyak sangat berguna dan dikehendaki untuk jenis minyak imbibisi yang ditambahkan dari luar. Makanan dengan daya serap minyak yang tinggi dapat diaplikasikan dalam pembuatan sosis. Tepung dengan daya serap minyak yang tinggi juga dapat meningkatkan flavor pada makanan, menciptakan mouthfeel yang disukai konsumen, dan dapat dijadikan komponen bahan pangan yang bersifat retainer flavor. d. Water Holding Capacity (Daya Ikat Air)
Water Holding Capacity adalah parameter fisik penting dari suatu bahan pangan yang menggambarkan interaksi protein dengan air di dalam bahan pangan tersebut, WHC juga dapat diartikan sebagai kemampuan matriks protein untuk menyerap air, menahan air, mlakukan pengikatan air, hidrodinamika, kapilaritas dan kemampuan memerangkap air dalam bahan pangan melawan gaya gravitasi (Tryanham dkk, 2007). Selain itu menurut Nafi dkk (2014) WHC dapat dijelaskan sebagai interaksi protein dengan air serta komponen bahan lainnya yang ada di dalam bahan pangan tersebut, WHC juga bisa dikatakan sebagai kemampuan daya ikat air pada bahan yang mana air tersebut berasal dari luar bahan. Kemampuan bahan dalam mengikat air dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kandungan protein pada bahan (Jideani, 2011), jenis asam amino hidrofilik atau hidrofobik penyusun protein pada bahan pangan (Triyono, 2010), kandungan air pada bahan (Diniyah dkk, 2015), dan serat pada bahan pangan (Menon dkk, 2014). 5. Pangan Fungsional
Menurut Marsono (2008) ada berbagai kriteria untuk menyatakan suatu produk pangan adalah makanan fungsional. Kriteria tersebut meliputi: (1) harus merupakan produk makanan (bukan kapsul, tablet atau serbuk) yang berasal dari bahan (ingridien) yang terdapat secara alami, (2) dapat dan
selayaknya dikonsumsi sebagai bagian dari pangan sehari-hari dan (3) mempunyai fungsi tertentu pada waktu dicerna, serta memberikan peran tertentu dalam proses metabolisme di dalam tubuh. Kriteria ketiga inilah yang membedakan makanan fungsional dengan makanan lain. Peran yang diharapkan dari makanan kesehatan antara lain: a. Memperkuat mekanisme pertahanan tubuh. b. Mencegah timbulnya penyakit tertentu. c. Membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit. d. Menjaga kondisi fisik dan mental serta. e. Memperlambat proses penuaan. Sifat fungsional dalam makanan fungsional disebabkan oleh adanya komponen bioaktif yang terdapat dalam bahan nabati (misalnya serat pangan, inulin, fruktooligosakarida (FOS) dan antioksidan) ataupun bahan hewani (Eicosapentaenoic acid (EPA), Docosahexaenoic acid (DHA)). Pangan fungsional tidak memiliki perbedaan dengan produk pangan konvensional yang ada di masyarakat dan pengkonsumsiannya juga tidak berbeda. Hal yang membedakan adalah pangan fungsional memiliki manfaat fisiologi bagi kesehatan manusia terutama berkontribusi dalam mereduksi resiko penyakit-penyakit kronis (Winarno, 2004). Ketika proses memasak makanan menggunakan pengetahuan sains, kemudian dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia dengan mensuplai zat-zat yang dibutuhkan tubuh seperti vitamin, lemak, protein dan karbohidrat maka produk pangan tersebut dapat disebut sebagai pangan fungsional (Cencic dan Chingwaru, 2012). Produk tepung komposit yang memiliki fokus terhadap pengembangan nilai fungsionalnya bagi kesehatan manusia masih terbatas. Namun, terdapat pula beberapa penelitian yang telah mengkaji sifat fungsional tepung komposit, seperti pada penelitian Astuti dkk (2014) yang melakukan pencampuran tepung kacang merah, kacang kedelai, dan jagung untuk mendapatkan kandungan serat pangan yang lebih tinggi pada tepung untuk bahan baku pembuatan cake dibandingkan bila menggunakan tepung terigu. Selain itu, terdapat pula penelitian Adeniji (2015) mengenai tepung komposit
fungsional berbahan baku tepung pisang raja, tepung pisang dan tepung terigu untuk pembuatan roti, dari percampuran ketiga tepung tersebut didapatkan produk tepung tinggi pati resisten, serat pangan dan tepung dengan indeks glikemik yang rendah. Berdasarkan hal tersebut maka pengkajian tepung komposit saat ini secara perlahan telah berkembang menuju produk yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan karakteristik fisik tetapi memperhatikan nilai fungsional yang ada pada produk tepung tersebut. Menurut Ndife dan Abbo (2009) dalam Ndife dkk (2011) saat ini konsumen telah peduli terhadap masalah kesehatan dalam pengkonsumsian makanan atau dikenal dengan istilah mengkonsumsi pangan fungsional. Pangan fungsional adalah makanan yang mengandung komponen senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Oleh karena itu menurut Dewettinck dkk (2008) dalam Ndife dkk (2011) saat ini banyak ditemukan produk pangan fungsional seperti roti yang berbahan dasar tepung terigu dengan tambahan senyawa fungsional dari bahan baku tepung lainnya. 6. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas dapat terhambat. Antioksidan juga dapat diartikan sebagai bahan atau senyawa yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi pada substrat atau bahan yang dapat teroksidasi, walaupun memiliki jumlah yang sedikit dalam makanan atau tubuh jika dibandingkan dengan substrat yang akan teroksidasi. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa oksigen reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut dengan stres oksidatif (Mar’atirrosyidah dan Estiasih, 2015).
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisasi radikal bebas. Secara alami setiap sel yang ada dalam tubuh kita memiliki kemampuan melawan bahaya dampak dari radikal bebas melalui senyawa superoksida dismutase (SOD), glutation peroksida, glutation reduktase, tioredoksin, vitamin E dan vitamin C yang berkontribusi mencegah terjadinya propagasi radikal bebas pada sel tubuh manusia, sedangakan antioksidan non enzimatis contohnya adalah karotenoid, flavonoid, dan polifenol. Mekanisme antioksidan dalam mencegah oksidasi radikal bebas dibedakan menjadi tiga jenis yaitu, reaksi pencegahan oksidasi, reaksi penangkapan radikal bebas dan agen yang berperan dalam memperbaiki sel yang rusak. Antioksidan enzimatik seperti superoksida dismutase (SOD), glutation peroksida, glutation reduktase merupakan antioksidan endogen yang dapat di sintesis oleh tubuh dan berperan sebagai antioksidan preventif atau pencegahan terjadinya reaksi oksidasi. Ketiga antioksidan tersebut disebut juga sebagai antioksidan primer yang mana berperan untuk mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil, yaitu dapat mengubah radikal superoksida menjadi air. Sedangkan sedangkan vitamin E, vitamin C, polifenol dan flavonoid merupakan contoh antioksidan non enzimatis yang bekerja dengan cara menangkap radikal bebas, agar tidak terjadi amplifikasi radikal, atau pembentukan radikal baru dan membuat radikal menjadi stabil setelah ditangkap oleh antioksidan, dan yang terakhir adalah peran antioksidan sebagai zat perbaikan sel yaitu antioksidan tersier yang terdiri atas enzim perbaikan DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Devasagayam et al, 2004). Menurut Winarno (2015) antioksidan berperan besar dalam melindungi tubuh dari bahaya kerusakan sel dan serangan radikal bebas. Secara umum, antioksidan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzim dan antioksidan vitamin. Berdasarkan sumbernya, antioksidan juga dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu antioksidan endogen yang berasal dari hasil metabolisme tubuh dan antioksidan eksogen, yang berasal dari luar tubuh melalui makanan, minuman, udara dan polutan yang masuk kedalam tubuh.
7. Total Fenol
Fenol merupakan metabolit sekunder yang memiliki setidaknya satu cincin aromatis (C6) dan mengandung satu atau lebih gugus hidroksil. Fenol dibagi dalam beberapa grup, dan dibedakan berdasarkan jumlah atom karbon utamanya. Beberapa senyawa yang termasuk dalam golongan senyawa fenolik antara lain fenol sederhana, lignin, antrakuinon, flavonoid, tanin, dan fenol propanoid. Fenol sederhana memiliki kelarutan yang terbatas dalam air dan bersifat asam. Semua jenis senyawa fenolik ditemukan dalam tanaman dalam bentuk ikatan ester dengan glukosa dan karbohidrat lain (glikosida) atau dalam bentuk aglikon bebas. Fungsi senyawa fenol sebagai antioksidan dilihat dari mekanismenya mendonorkan elektron (Mar’atirrosyidah dan Estiasih, 2015). Senyawa fenol atau polifenol mudah sekali ditemukan di alam. Asam fenolat merupakan senyawa sederhana dari senyawa fenol. Didalam tanaman polifenol erat kaitannya dengan ketahanan tanaman tersebut terhadap serangan dari luar, khususnya secara kimiawi. Polifenol pada tanaman Lima beans atau koro glinding memiliki kandungan total fenol tinggi yang selaras dengan aktivitas antioksidan pada koro-koroan tersebut. Hal ini memungkinkan memberikan manfaat bagi manusia. Jenis koro glinding putih memiliki kandungan polifenol terendah, sedangkan golongan kedua adalah jenis koro glinding yang memiliki kandungan fenol tidak terlalu banyak atau tidak sedikit (Medium Level), koro glinding yang memiliki fenol yang tinggi adalah koro glinding coklat, merah muda, dan koro glinding hitam (Costa et al, 2015).
Senyawa golongan fenol diketahui sangat berperan terhadap aktivitas antioksidan, semakin besar kandungan senyawa golongan fenolnya maka semakin besar aktivitas antioksidannya (Kiessoun et al., 2010; Shahwar et al., 2010 dalam Hardiana dkk, 2012). Penentuan kandungan total fenol dengan metode Folin-Ciocalteu dilakukan berdasarkan kemampuan reagen FolinCiocalteu mengoksidasi gugus hidroksil (OH-) dari senyawa golongan fenol seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Mekanisme Folin-Ciocalteu dengan Fenol (Hardiani dkk, 2012). 8. Serat Pangan
Secara sederhana serat pangan memiliki arti komponen karbohidrat yang tahan terhadap sistem pencernaan manusia, tidak dapat terserap oleh saluran pencernaan dan kemudian mengalami proses fermentasi pada pencernaan usus besar manusia. Serat pangan mengandung berbagai macam komponen bioaktif termasuk didalamnya pati resisten, vitamin, mineral, fitokimia dan antioksidan. Akhir dekade ini penelitian berkaitan dengan potensi serta manfaat serat pangan terhadap kesehatan manusia telah banyak dilakukan penelitian dan menjadi perhatian para ahli nutrisi. Mengkonsumsi serat pangan erat kaitannya dalam pencegahan penyakit-penyakit kronik seperti obesitas, diabetes mellitus tipe II, kanker, dan penyakit kardiovaskular. Serat pangan tersusun atas karbohidrat kompleks, non-starch polisakarida, atau tersusun atas struktur karbohidrat yang merefleksikan bentuk Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF). NDF terdiri dari karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sedangkan ADF hanya tersusun atas selulosa dan lignin. Adapun beberapa nama serat pangan yang perlu diketahui yaitu arabinoksilan, inulin, B-glukan, pektin, dan pati resisten. Serat pangan telah terbukti berdampak signifikan pada peningkatan kesehatan manusia jika dikonsumsi secara teratur. Penelitian terkini telah banyak membahas komponen senyawa-senyawa tersebut, dan dikemudian hari masih sangat dibutuhkan penelitian-penelitian mengenai mekanisme yang terjadi didalam tubuh terkait kerja serat pangan dalam meningkatkan kesehatan manusia (Lattimer dan Haub, 2010).
Menurut Ahed et al (2015) serat pangan adalah komponen penting untuk nutrisi manusia, senyawa ini merupakan senyawa kompleks gabungan dari non-starch polisakarida dengan selulosa, asam lemak, gum, hemiselulosa, lignin, pektin, protein dan lilin. Organisasi American Association of Cereal Chemist (AACC) mendefinisikan serat pangan sebagai bagian serat makanan pada bagian tanaman yang dapat dimakan namun, tidak tercerna dan terserap dalam proses pencernaan manusia kemudia melalui proses fermentasi parsial atau seluruhnya pada bagian saluran pencernaan besar manusia. Serat pangan terdiri dari polisakarida, oligosakarida, lignin, dan gabungan senyawa lainnya yang ada di tanaman. Mengkonsumsi serat pangan dapat memberikan manfaat efek fisiologi kesehatan bagi manusia, seperti dapat mengkontrol tekanan darah dan mengatur kadar glukosa dalam darah. Serat pangan juga bertanggung jawab untuk memperlambat perut kosong, sehingga manusia merasakan kenyang lebih lama. Kemudian, mengikat mineral, merubah sirkulasi enteropatik, berkontribusi mensuplai nutrisi
dan
memodifikasi
sekresi
hormon,
khususnya
hormon
enteroglukagon. Pada penelitian Ahed et al (2015) juga disebutkan bahwa total serat pangan koro glinding sekitar 12% dengan komposisi serat pangan tidak larut lebih tinggi dibandingkan serat pangan larutnya. Berdasarkan kelarutannya serat pangan terbagi menjadi dua yaitu serat pangan yang terlarut dan tidak terlarut. Didasarkan pada fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3 fraksi utama, yaitu (a) polisakarida struktural yang terdapat pada dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat; (b) non-polisakarida struktural yang sebagian besar terdiri dari lignin; dan (c) polisakarida non-struktural, yaitu gum dan agar-agar (Kusnandar, 2010 dalam Santoso, 2011). Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : serat pangan larut (soluble dietary fiber), termasuk dalam serat ini adalah pektin dan gum merupakan bagian dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak terdapat pada buah dan sayur, dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber), termasuk dalam serat ini adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang banyak ditemukan pada serealia, kacang-
kacangan dan sayuran. Serat pangan mampu menyerap air dan mengikat glukosa, sehingga mengurangi ketersediaan glukosa. Diet cukup serat juga menyebabkan terjadinya kompleks karbohidrat dan serat sehingga daya cerna karbohidrat berkurang. Keadaan tersebut mampu meredam kenaikan glukosa darah dan menjadikannya tetap terkontrol (Santoso, 2011). 9. Pati Resisten
Pati tahan cerna atau pati resisten ditemukan pertama kali oleh Englyst et al. (1982) dan didefinisikan sebagai fraksi pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan amilase dan perlakuan pulunase secara in vitro. Karena pati banyak dijumpai dalam saluran pencernaan serta sedikit difermentasi oleh mikroflora usus, RS sering diidentifikasi sebagai fraksi pati makanan yang sulit dicerna di dalam usus halus sehingga memiliki fungsi untuk kesehatan. RS memiliki sifat seperti halnya serat makanan, sebagian serat bersifat tidak larut dan sebagian lagi merupakan serat yang larut (Asp, 1992 dalam Herawati, 2011). Pati resisten mengandung cukup banyak amilosa sehingga mempunyai efek yang baik bagi saluran pencernaan dan metabolisme tubuh dalam proses manajemen glisemik dan energi. Secara garis besar, RS mempunyai tiga sistem terkait dengan efek metabolisme dan nilai fungsional dalam tubuh, yaitu sebagai bahan untuk fortifikasi serat, penurun kalori, dan oksidasi lemak. Sebagai bahan untuk fortifikasi serat, RS dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi bahan pangan sumber RS, seperti roti, biskuit, kembang gula, pasta, dan sereal. Kandungan RS di legum 6 – 20%. Mengonsumsi RS juga dapat menurunkan kandungan gula darah. RS akan melepaskan energi pada usus halus dalam bentuk glukosa yang kemudian difermentasi di dalam usus besar. RS menghasilkan energi dengan proses yang cukup lambat sehingga tidak segera dapat diserap dalam bentuk glukosa. RS menurunkan efek glisemik serta sensitif terhadap hormon insulin sehingga dapat menurunkan potensi diabetes tipe 2 (Herawati, 2011). Pati resisten (RS) dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 secara fisik dapat diperoleh secara langsung, seperti
pada biji-bijian atau leguminosa dan biji yang tidak diproses. RS2 secara alami terdapat didalam struktur granula, seperti kentang yang belum dimasak, juga pada tepung pisang dan tepung jagung yang mengandung banyak amilosa. RS3 terbentuk karena proses pengolahan dan pendinginan, seperti pada roti, emping jagung dan kentang yang dimasak atau didinginkan, atau retrogradasi amilosa jagung. RS4 merupakan pati hasil modifikasi secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi maupun pati ikatan silang sehingga tahan dicerna. RS1 secara fisik merupakan pati yang terperangkap di antara matriks, protein atau dinding sel tanaman. RS2 granula pati tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase yang terdapat dalam pankreas. RS3 merupakan pati retrogradasi, non anguler atau pati untuk makanan. RS4 yaitu RS yang memiliki ikatan selain α-1,4- dan α-1,6-D-glukosidik (Shi dkk, 2006 dalam Herawati, 2010). Menurut Marsono (2002) menjelaskan bahwa pati resisten yang mempunyai sifat kental seperti serat pangan dapat mengurangi kecepatan absorbs dalam tubuh dan sulit untuk dicerna. Perlambatan pencernaan dan absorbs karbohidrat ini akan menurunkan respon glukosa dalam darah. Menurut Evans (2015) terdapat tipe pati resisten yang terbentuk karena ikatan antara amilosa dengan lipid atau disebut sebagai tipe pati resisten 5 (RS 5). Pati tersebut tahan akan hidrolisis enzim pencernaan dikarenakan struktur molekul yang kompleks dari ikatan antara amilosa dengan lipid. Tipe RS 5 ini dapat secara alami terkandung dalam bahan pangan dapat juga terbentuk dikarenakan kontrol reaksi yang diberikan dengan menggunakan pati non granular dan lipid. Selain itu menurut Birt dkk (2013) pati resisten tipe 5 adalah ketika adanya interaksi antara pati, dengan lipid, amilosa dan rantai cabang panjang dari amilopektin yang membentuk kompleks heliks tunggal dengan asam lemak dan alkohol lemak. Ketika rantai linear dari pati berada di dalam struktur heliks kompleks dengan asam lemak kompleks dalam sebuah rongga heliks, maka pengikatan pati dan pemecahan pati oleh enzim dapat dicegah. Selain itu, ikatan amilosa dengan lipid dapat pula menyebabkan terjadinya ikatan dengan amilopektin, sehingga membatasi
pembengkakan granula pati dan tidak terjadi hidrolisis pati oleh enzim. Ikatan amilosa-lipid dapat terjadi secara instan dan dapat terbentuk kembali setelah proses pemasakan, tipe RS 5 ini adalah tipe pati resisten yang stabil akan proses pemanasan. 10. Analisis De Garmo (Pemilihan Formula Terbaik) Perlakuan terbaik adalah perlakuan dengan skor nilai tertinggi dari derajat kepentingan produk yang diharapkan oleh konsumen. Proses pengambilan keputusan perlakuan terbaik dapat dilakukan dengan indeks effektivitas. Menurut De Garmo dkk (1984) dalam Ernawati (2011), keuntungan penggunaan indeks effektivitas adalah, pertama dapat dipakai untuk alternatif yang memiliki banyak kriteria. Masing-masing kreteria atau atribut dapat berbeda tingkat kepentingannya (dinyatakan dengan bobot), kemudian mudah divisualisasikan dan cukup sederhana. Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang telah menggunakan metode analisis De Garmo karena dapat meminimalisir subjektivitas dalam penelitian. Beberapa penelitian yang menggunakan analisis De Garmo adalah penelitian Sintasari dkk (2014) mengenai minuman probiotik sari beras merah, yang mana peneliti menggunakan De Garmo unuk menentukan perlakuan terbaik berdasarkan parameter fisik, kimia dan mikrobiologi. Selain itu terdapat pula penelitian Harzau dan Estiasih (2013) mengenai pembuatan cookies uwi putih dengan penambahan pati jagung dan margarin, dari penelitian tersebut diketahui bahwa pengambilan keputusan formula terbaik dilakukan melalui analisis De Garmo pula dengan pemberian skoring pada tiap parameter fisik, kimia dan organoleptik. Berdasarkan hal tersebut, maka penggunaan metode De Garmo dapat direkomendasikan dalam penentuan pemilihan perlakuan terbaik dalam penelitian. Pada dasarnya penggunaan metode ini untuk menghindari penilaian subjektif peneliti sehingga didapatkan data hasil penentuan yang objektif.
B. Kerangka Berpikir Koro Glinding (Phaseolus lunatus)
Umbi Ganyong (Canna edulis)
Leguminosa yang tinggi akan protein dan serat pangan (Widianarko, 2003)
Umbi-umbian dengan kadar karbohidrat dan amilosa yang tinggi (Richana dan Sunarti, 2004)
Termasuk kedalam komoditas rendah indeks glikemik, tinggi mineral (Guerrero et al, 2012)
Kandungan mineral yang tinggi seperti kalsium dan fosfor (Slamet, 2010)
Dapat tumbuh di tanah kurang subur sehingga dapat mengatasi pemanfaatan lahan kritis (Kanetro dan Hastuti, 2003)
Produktivitas tanaman ganyong tinggi, 1 ha menghasilkan 50 ton umbi ganyong (Muzaifa dkk, 2014)
1. Komoditas lokal Indonesia yang mudah ditanam, namun jumlahnya terbatas. 2. Pemanfaatan, eksplorasi, dan penelitian lokal terhadap senyawa fungsional terkait kedua komoditas tersebut masih sangat kurang
1. Pengolahan menjadi tepung akan meningkatkan nilai ekonomis menjadi 10 kali lipat (Pangesthi, 2009). 2. Pencampuran kedua komoditas tersebut dalam produk tepung serta melakukan karakterisasi pada campuran kedua tepung tersebut belum pernah dilakukan.
Tepung komposit ganyong – koro glinding akan menjadi alternatif pangan fungsional dengan kombinasi gizi yang lengkap
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir Penelitian
C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah tepung ganyong dan tepung koro glinding memiliki senyawa fungsional yang cukup tinggi kemudian adanya variasi formulasi pada pembuatan tepung komposit ganyong-koro glinding akan memberikan pengaruh pada karakteristik fisik, kimia dan senyawa fungsional pada tepung komposit tersebut.