BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan bagi diri, masyarakat, bangsa dan Negara (Depdiknas, 2004). Jenjang pendidikan adalah tahapan
pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2004). Jenjang pendidikan berdasarkan Depdiknas (2004) adalah sebagai berikut: a. Pendidikan dasar Pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun. Diselenggarakan selama enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah lanjutan tingkat pertama atau satuan pendidikan yang sederajat. b. Pendidikan menengah Pendidikan menengah adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah pendidikan dasar. Bentuk satuan pendidikan yang terdiri atas: Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuruan, Sekolah Menengah Keagamaan, Sekolah Menengah Kedinasan, dan Sekolah Menengah Luar Biasa. c. Pendidikan tinggi Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya, karena dengan tingkat
6
1
pendidikan lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Fikawati et al., 2012). 2. Pendapatan Menurut Rivai (2005) pendapatan merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti pengaruh jasa mereka dari intitusi tempat bekerja. Sedangkan Suyanto (2000) mendefinisikan pendapatan adalah sejumlah dana yang diperoleh dari pemanfaatan faktor produksi yang dimiliki. Sumber pendapatan tersebut meliputi empat hal yaitu: a. Sewa kekayaan yang digunakan oleh orang lain, misalnya menyewakan rumah, tanah. b. Upah atau gaji karena bekerja kepada orang lain ataupun menjadi pegawai negeri. c. Bunga karena menanamkan modal di bank ataupun perusahaan, misalnya mendepositokan uang di bank dan membeli saham. d. Hasil dari usaha wiraswasta, misalnya berdagang, beternak, mendirikan perusahaan, ataupun bertani. Pendapatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) adalah hasil kerja (usaha), dapat disimpulkan bahwa pendapatan bersih seseorang merupakan keseluruhan jumlah penghasilan yang diterima oleh seseorang sebagai balas jasa atas hasil usahanya. Menurut Badan Pusat Statistik (2009), pendapatan adalah seluruh penghasilan yang diterima baik sektor formal maupun non formal yang terhitung dalam jangka waktu tertentu. BPS merinci pendapatan dalam dua kategori sebagai berikut: a. Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya rutin dan diterima biasanya sebagai balasan atashasil kerja, sumbernya berasal dari tiga sumber. 1) Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja lembur dan kerja kadang-kadang.
2
2) Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi, penjualan dari kerajinan rumah. 3) Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah dan keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik. b. Pendapatan yang berupa barang yaitu: pembayaran upah dan gaji yang ditentukan dalam beras, pengobatan, transportasi, perumahan dan kreasi. Berdasarkan
penggolongannya,
BPS
(2009)
membedakan
pendapatan
penduduk menjadi empat golongan. 1) Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp. 3.500.000 per bulan 2) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp. 2.500.000 s/d Rp. 3.500.000 per bulan 3) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000 per bulan 4) Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata kurang dari Rp. 1.500.000 per bulan. Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap tingkat ekonomi seseorang. Apabila seseorang mempunyai pendapatan yang tinggi, dapat dikatakan bahwa tingkat ekonominya juga tinggi. Disamping memiliki penghasilan pokok setiap keluarga biasanya memiliki penghasilan lain yang meliputi penghasilan tambahan dan penghasilan insidentil (BPS, 2009). Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh. Dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan
3
tersebut untuk membeli daging, buah, sayuran dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Fikawati et al., 2010). 3. Asupan gizi Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi tubuh setiap hari. Umumnya asupan makanan di pelajari untuk di hubungkan dengan keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau individu. Informasi ini dapat digunakan untuk perencanaan pendidikan gizi khususnya untuk menyusun menu atau intervensi untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM), mulai dari keadaan kesehatan dan gizi serta produktivitasnya. Mengetahui asupan makanan suatu kelompok masyarakat atau individu merupakan salah satu cara untuk menduga keadaan gizi kelompok masyarakat atau individu bersangkutan (Sumarno,1997). Perubahan kebutuhan gizi ibu hamil tergantung dari kondisi kesehatan ibu. Kusmiyati (2009) mengungkapkan dasar pengaturan gizi ibu hamil adalah adanya penyesuaian faali selama kehamilan, yaitu sebagai berikut: a. Peningkatan basal metabolisme dan kebutuhan kalori. Metabolisme basal pada masa 4 bulan pertama mengalami peningkatanan kemudian menurun 2025% pada 20 minggu terakhir. b. Perubahan fungsi alat pencernaan karena perubahan hormonal, peningkatan HCG, estrogen, progesteron menimbulkan berbagai perubahan seperti mual muntah, motilitas lambung sehingga penyerapan makanan lebih lama, peningkatan absorbsi nutrien, dan motilitas usus sehingga timbul masalah obstipasi. c. Peningkatan fungsi ginjal sehingga banyak cairan yang dieksresi pada pertengahan kehamilan dan sedikit cairan dieksresi pada bulan-bulan terakhir kehamilan. d. Peningkatan volume dan plasma darah hingga 50%, jumlah erytrosit 20-30% sehingga terjadi penurunan hemodilusi dan konsentrasi hemoglobin. Ibu hamil harus mendapatkan gizi yang adekuat baik jumlah maupun susunan menu serta mendapat akses pendidikan kesehatan tentang gizi. Malnutrisi kehamilan akan menyebabkan volume darah menjadi berkurang, aliran darah ke
4
uterus dan plasenta berkurang dan transfer nutrien melalui plasenta berkurang sehingga janin pertumbuhan janin menjadi terganggu. Peningkatan berat badan sangat menentukan kelangsungan hasil akhir kehamilan. Bila ibu hamil sangat kurus makan akan melahirkan bayi dengan BBLR atau prematur. Sebab-sebab terjadinya penurunan atau peningkatan berat badan pada ibu hamil yaitu edema, hipertensi kehamilan, dan makan yang banyak/berlebihan (Salmah, 2006). Menurut Kusmiyati (2009), kenaikan berat badan selama hamil adalah sebagai berikut: a. Pada trimester I kenaikan berat badan ibu lebih kurang 1 kg yang hampir seluruhnya merupaka kenaikan berat badan ibu. b. Pada trimester II sekitar 3 kg atau 0,3 kg/minggu. Sebesar 60% dari kenaikan berat badan ini disebabkan pertumbuhan jaringan ibu. c. Pada Trimester III sekitar 6 kg atau 0,3-0,5 kg/minggu. Sebesar 60% dari kenaikan berat badan ini karena pertumbuhan jaringan janin. Kebutuhan asupan gizi selama kehamilan menurut Almatsier (2009) adalah sebagai berikut: a. Energi Seorang wanita selama kehamilan memiliki kebutuhan energi yang meningkat. Energi ini digunakan untuk pertumbuhan janin, pembentukan plasenta, pembuluh darah, dan jaringan yang baru (Almatsier, 2009). Selain itu, tambahan kalori dibutuhkan sebagai cadangan lemak serta untuk proses metabolisme jaringan baru (Mitayani, 2010). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004 menganjurkan penambahan sebesar 300 kkal/hari untuk ibu hamil trimester ketiga. Dengan demikian dalam satu hari asupan energi ibu hamil trimester ketiga dapat mencapai 2300 kkal/hari. Kebutuhan energi yang tinggi paling banyak diperoleh dari bahan makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Setelah
itu bahan
makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian, dan gula murni (Almatsier, 2009). b. Protein Jumlah protein yang harus tersedia sampai akhir kehamilan adalah sebanyak 925 gr yang tertimbun dalam jaringan ibu, plasenta, serta janin.
5
Widyakarya Pangan dan Gizi VIII 2004 menganjurkan penambahan sebanyak 17 gram untuk kehamilan pada trimester ketiga atau sekitar 1,3 g/kg/hr. Dengan demikian, dalam satu hari asupan protein dapat mencapai 67-100 gr. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam hal jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, dan kerang. Selain sumber hewani, ada juga yang berasal dari nabati seperti tempe, tahu, serta kacang-kacangan (Almatsier, 2009). c. Vitamin dan Mineral Bagi pertumbuhan janin yang baik dibutuhkan berbagai vitamin dan mineral seperti vitamin C, asam folat, zat besi, kalsium, dan zink. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi 2004 untuk tambahan gizi ibu hamil pada trimester ketiga adalah vitamin A +300 RE, vitamin C +10 mg, tiamin +0,3 mg, riboflavin +0,3 mg, niasin +4 mg, asam folat +200 μg, vitamin B12 +0,2 μg, kalsium +150 mg, magnesium +40 mg, zat besi +13 mg, zink +10,2 mg,serta iodium +50 μg (Almatsier, 2009). d. Zat Besi Selama hamil, zat besi banyak dibutuhkan untuk mensuplai pertumbuhan janin dan plasenta serta meningkatkan jumlah sel darah merah ibu. Arisman (2004) menyatakan total besi yang diperlukan selama hamil adalah 1040 mg. Dari jumlah ini, 200 mg Fe tertahan oleh tubuh ketika melahirkan dan 840mg sisanya hilang. Sebanyak 300 mg ditransfer ke janin dengan rincian 50-75 mg untuk pembentukan plasenta, 450 mg untuk menambah jumlah sel darah merah, dan 200 mg lenyap ketika melahirkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004 menganjurkan penambahan sebanyak 13 mg untuk kehamilan pada trimester ketiga. Dengan demikian, angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi ibu hamil trimester ketiga adalah 39 mg/hari (Almatsier, 2009). e. Asam Folat Almatsier (2009) menyebutkan bahwa asam folat dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sum-sum tulang belakang dan untuk pendewasaannya. Sekitar 24-60% wanita baik di negara berkembang maupun yang telah maju mengalami kekurangan asam folat
6
karena kandungan asam folat di dalam makanan mereka sehari-hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka disaat hamil. Widyakarya Pangan dan Gizi 2004 menganjurkan penambahan sebanyak 200μg untuk ibu hamil, yang dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi suplemen. Suplementasi sebaiknya diberikan sekitar 28 hari setelah ovulasi atau pada 28 hari pertama kehamilan. Besarnya suplementasi adalah 280, 660, dan 470 μg per hari, masing-masing pada trimester I, II, dan III (Arisman, 2004). f. Kalsium Ibu
hamil
dan
bayi
membutuhkan
kalsium
untuk menunjang
perrtumbuhan tulang dan gigi serta persendian janin. Selain itu kalsium juga digunakan untuk membantu pembuluh darah berkontrkasi dan berdilatasi. Jika kebutuhan kalsium tidak tercukupi dari makanan, kalsium yang dibutuhkan bayi akan diambil dari tulang ibu yang mengakibatkan tulang ibu menjadi keropos atau osteoporosis (Almatsier, 2009). Widya Karya Pangan dan Gizi 2004 menganjurkan penambahan sebesar 150mg kalsium untuk ibu hamil trimester ketiga. Dengan demikian kebutuhan kalsium yang harus dipenuhi oleh ibu hamil adalah 950 mg/hari. Makanan yang menjadi sumber kalsium diantaranya ikan teri, udang, sayuran hijau, dan berbagai produk olahan susu seperti keju dan yoghurt. Kekurangan kalsium selama hamil akan menyebabkan tekanan darah ibu menjadi meningkat. 4. Pemeriksaan Kehamilan (AnteNatal Care = ANC) a. Pengertian Kunjungan Ante Natal Care adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal (ANC), petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya masalah atau komplikasi (Saifuddin, 2006).
7
b. Tujuan Berdasarkan Depkes (2008), tujuan pemeriksaan kehamilan adalah, sebagai berikut: 1) Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin. 2) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan sosial ibu dan bayi. 3) Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal. 4) Mempromosikan dan menjaga kesehatan fisik dan mental ibu dan bayi dengan pendidikan, nutrisi, kebersihan diri, dan proses kelahiran. 5) Mendeteksi dan menatalaksanakan komplikasi medik, bedah, atau obstetrik selama kehamilan. 6) Mengembangkan
persiapan
persalinan
serta
persiapan
menghadapi
komplikasi 7) Membantu menyiapkan ibu menyusui dengan sukses, menjalankan nifas normal dan merawat anak secara fisik, psikologis dan sosial. c. Jadwal pemeriksaan kehamilan Kebijakan program Depkes (2009) pelayanan antenatal menetapkan frekuensi kunjungan antenatal sebaiknya minimal 4 (empat) kali selama kehamilan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Minimal satu kali pada trimester pertama (K1) hingga usia kehamilan 12 minggu 2) Minimal satu kali pada trimester kedua (K2) usia kehamilan 12 – 28 minggu 3) Minimal dua kali pada trimester ketiga (K3 dan K4) 28 - 36 minggu dan setelah 36 minggu sampai lahir. d. Standar Pelayanan Antenatal Care Dalam melaksanakan pelayanan Antenatal Care, ada sepuluh standar pelayanan yang harus dilakukan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang dikenal dengan 10 T (Depkes RI, 2009). Pelayanan atau asuhan standar minimal 10 T adalah sebagai berikut: 1) Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
8
2) Pemeriksaan tekanan darah 3) Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas) 4) Pemeriksaan puncak rahim (tinggi fundus uteri) 5) Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ) 6) Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan. 7) Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan 8) Test laboratorium (rutin dan khusus) 9) Tatalaksana kasus 10) Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB paska persalinan 5. Kurang Energi Kronis pada Ibu Hamil a. Pengertian Kurang Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana seseorang mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun. Dengan ditandai berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan dengan LILA kurang dari 23,5 cm (Depkes,2002). KEK merupakan gambaran status gizi yang terjadi dalam waktu lama, berlangsung ketika anak-anak, dan dapat berlanjut terus pada saat dewasa. Seorang anak perempuan yang menderita KEK dan sering sakit, akan memiliki tubuh yang kurus saat dewasa. Postur tubuh kurus pada perempuan meningkatkan risiko gangguan pada kehamilan dan persalinan (Soetjiningsih, 2009). KEK disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan
untuk
pemenuhan kebutuhan dengan pengeluaran energi. Hal ini terjadi karena kekurangan pangan secara terus-menerus atau secara kronis ditingkat rumah tangga (Maria, 2011). b. Kehamilan 1) Pengertian Kehamilan adalah pembuahan ovum oleh spermatozoa yang kemudian mengalami nidasi pada uterus dan berkembang sampai janin lahir, lamanya hamil normal 37-42 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (Wiknjosastro, 2008).
9
Masa kehamilan adalah suatu masa yang dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin, lamanya hamil normal adalah 280 hari (9 bulan7 hari, atau 40 minggu) dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan dibagi menjadi tiga periode tiga bulanan atau trimester. Trimester pertama adalah periode minggu pertama sampai minggu ke-13. Trimester kedua adalah periode minggu ke-14 sampai ke-26, sedangkan trimester ketiga adalah minggu ke-27 sampai kehamilan cukup bulan (38 sampai 40 minggu) (Bobak et al., 2004). c. KEK pada Ibu Hamil Gizi ibu pada waktu hamil sangat penting untuk pertumbuhan janin yang dikandungnya. Angka kejadian BBLR lebih tinggi di negara-negara yang sedang berkembang dari pada negara-negara yang sudah maju. Hal ini disebabkan oleh keadaan sosial ekonomi yang rendah mempengaruhi asupan gizi ibu (Soetjiningsih, 2009). Pada umumnya, ibu hamil dengan kondisi kesehatan yang baik, dengan sistem reproduksi yang normal, tidak sering menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra-hamil maupun pada saat hamil, dan akan menghasilkan bayi yang lebih besar dan lebih sehat daripada ibu-ibu yang kondisinya tidak seperti itu. Kurang gizi yang kronis pada masa anak-anak dengan/tanpa sakit yang berulang, akan menyebabkan bentuk tubuh “stunting/pendek” pada masa dewasa. Ibu-ibu yang kondisinya seperti ini sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, apalagi bila ibu juga menderita anemia (Soetjiningsih, 2009). d. Dampak KEK Orang yang mengalami KEK cenderung memiliki produktifitas rendah karena tidak dapat bergerak aktif dan kekurangan asupan makanan, mereka memiliki berat badan dan tinggi badan yang kurang dari normal. Ibu hamil atau WUS yang mengalami KEK akan berdampak pada proses melahirkan bayi dan berat badan bayi yang dilahirkannya. Ibu hamil dengan risiko KEK kemungkinan akan mengalami kesulitan persalinan, perdarahan dan memiliki risiko tinggi melahirkan bayi BBLR yang akhirnya dapat menjadi penyebab kematian ibu atau bayi (Depkes RI, 1996).
10
e. Penentuan status KEK Tanda dan gejala adalah berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA kurang dari 23,5cm (Supariasa, 2002). 1) Kategori KEK Kategori KEK adalah apabila LILA kurang dari 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA (Supariasa, 2002). Menurut Depkes RI (1994) didalam buku Supariasa (2002) pengukuran LILA pada kelompok wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko KEK. Wanita Usia Subur adalah wanita usia 15-45 tahun. LILA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko KEK (Supariasa, 2002). 2) Tujuan Tujuan pengukuran LILA adalah mencakup masalah WUS baik pada ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum dan peran petugas lintas sektoral (Supariasa, 2002). Adapun tujuan tersebut adalah: a) Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi Berat Lahir Rendah. b) Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK. c) Mengembangkan gagasan baru dikalangan masyarakat dengan tujuan meningkatakan kesejahteraan ibu dan anak. d) Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK. e) Meningkatkan peran dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK. 3) Cara Mengukur LILA Pengukuran LILA dilakukan melalui urutan–urutan yang telah ditetapkan. Ada 7 urutan pengukuran LILA (Supariasa, 2002) yaitu: a) Tetapkan posisi bahu dan siku. b) Letakkan pita antara bahu dan siku. c) Tentukan titik tengah lengan.
11
d) Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan. e) Pita jangan terlalu dekat. f) Pita jangan terlalu longgar g) Cara pembacaan skala yang benar Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran LILA adalah pengukuran dilakukan dibagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri (kecuali orang kidal kita ukur lengan kanan). Lengan harus posisi bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau kencang dan alat ukur dalam keadaan baik (Supariasa, 2002). 6. Anemia pada Ibu Hamil. a. Definisi Menurut Arisman (2004), anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal perorangan. Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Supariasa, 2002). b. Anemia pada kehamilan. Ibu hamil dikatakan anemia bila kadar hemoglobin atau darah merahnya kurang dari 11,00 gr%. Menurut Word Health Organisation (WHO) anemia pada ibu hamil adalah kondisi ibu dengan kadar Hb < 11 gr%. Anemia pada ibu hamil di Indonesia sangat bervariasi, yaitu: Tidak anemia: Hb ≥11 gr%, Anemia ringan: Hb 9-10,9 gr%, Anemia sedang: Hb 7-8,9 gr%, Anemia berat: Hb < 7 gr%. Pemeriksaan darah dilakukan tiap trimester dan minimal dua kali selama hamil yaitu pada trimester I dan trimester III (Depkes, 2009). Anemia dalam kehamilan dapat mengakibatkan dampak yang membahayakan bagi ibu dan janin. Anemia pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya pendarahan post partum. Bila anemia terjadi sejak awal kehamilan dapat menyebabkan terjadinya persalinan prematur (Proverawati dan Asfuah, 2009).
12
c. Penyebab Anemia Defisiensi Besi Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil dan menyusui (perubahan fisiologi), dan kehilangan banyak darah. Anemia disebabkan oleh ketiga faktor itu terjadi secara cepat saat cadangan Fe tidak mencukupi peningkatan kebutuhan Fe. Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu kelompok risiko tinggi terpapar anemia karena mereka tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup terhadap kebutuhan dan kehilangan Fe (Fatmah, 2007). d. Pengaruh anemia terhadap kehamilan dan persalinan Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulitpenyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah: keguguran (abortus), kelahiran prematur, persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim saat berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu saat persalinan (Wiknjosastro, 2008). Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa kehamilan: berat badan kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa intranatal dapat menyebabkan tenaga untuk meneran lemah, perdarahan intranatal, syok, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus: prematur, Apgar skor rendah, gawat janin. Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat menyebabkan terjadinya partus prematur, perdarahan antepartum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis dan mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer, 2009). Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya penurunan Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume darah meningkat 50% dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit yang menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini akan lebih kecil
13
pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan untuk penyediaan cadangan saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama kehamilan rahim, plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Smith et al., 2013 ). 7. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) a. Pengertian Berat Badan Lahir Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai saat memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan berat dari tulang, otot, lemak, dan cairan tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak (Bobak et al., 2004). Pada umumnya bayi dilahirkan setelah dikandung selama 37–42 minggu masa kehamilan. Berat bayi lahir yang normal rata-rata adalah antara ≥2500– 4000 gram, dan bila di bawah atau kurang dari 2500 gram (sampai 2499 gram) dikatakan berat badan lahir rendah (BBLR). Berat badan bayi lahir adalah berat bayi saat lahir yang ditimbang segera setelah lahir. Pengukuran berat badan bayi lahir dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan yang relatif murah, mudah dan tidak memerlukan banyak waktu. Berat badan bayi lahir dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu berat badan lahir rendah dan Berat Badan Lahir Normal (BBLN) (Wiknjosastro, 2008). Klasifikasi bayi menurut umur kehamilan dibagi dalam 3 kelompok yaitu bayi kurang bulan adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu (259 hari), bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan dari usia 37 minggu sampai dengan 42 minggu (259-293 hari), dan bayi lebih bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih (Wiknjosastro, 2008). b. Pengertian BBLR Menurut Depkes RI (2008) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Dahulu bayi ini dikatakan prematur kemudian disepakati disebut low birth weigth infant atau Bayi Berat Lahir Rendah. Karena bayi tersebut tidak selamanya prematur atau
14
kurang bulan tetapi dapat cukup bulan maupun lebih bulan (Bobak et al., 2004). BBLR dikelompokkan menjadi tiga. 1) Low birthweight (Bayi Berat Lahir Rendah) dengan BB lahir< 2500 gram. 2) Very low birthweight (Bayi berat lahir sangat rendah) dengan BB lahir < 1500 gram. 3) Extremely low birthweght (Bayi berat lahir amat sangat rendah) dengan BB lahir < 1000 gram. BBLR dibedakan menjadi dua jenis. 1) Prematuritas murni adalah neonatus dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan berat badan untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan. 2) Dismaturitas atau kecil untuk masa kehamilan adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan sesungguhnya untuk masa kehamilan. Hal ini karena janin mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilan (KMK) (Wiknjosastro, 2008). c. Faktor yang mempengaruhi BBLR. Berat badan lahir merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor dan melalui suatu proses yang berlangsung selama berada dalam kandungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat badan lahir adalah: a) faktor Ibu, yaitu meliputi umur ibu, jarak kelahiran, paritas, kadar hemoglobin, status gizi ibu hamil, pemeriksaan kehamilan, dan penyakit pada saat kehamilan; b) faktor eksternal, yaitu meliputi kondisi lingkungan, dan tingkat sosial ekonomi ibu hamil; c) faktor penggunaan sarana kesehatan yang berhubungan kuantitas dan kualitas pemeriksaan antenatal (Bobak et al., 2004). 1) Faktor Ibu a) Usia Ibu hamil. Perempuan memiliki usia reproduktif optimal antara 20-30 tahun, diluar rentang usia tersebut akan meningkatkan resiko kehamilan dan persalinannya (Depkes RI, 2008). Umur ibu erat kaitannya dengan berat badan lahir bayi. Kehamilan di bawah umur 20 tahun merupakan
15
kehamilan berisiko tinggi, lebih tinggi di bandingkan dengan kehamilan pada wanita yang cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal. Pada usia remaja kebutuhan nutrisi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri, namun ketika hamil nutrisi juga dibutuhkan untuk janin dan plasenta, hal ini akan dapat mempengaruhi berat badan bayi saat dilahirkan. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut
belum
dapat
merespon
kehamilannya
dengan
baik
(Wiknjosastro, 2008). Meski kehamilan usia muda sangat berisiko tetapi kehamilan di atas usia 35 tahun juga tidak dianjurkan. Mengingat mulai usia ini sering muncul penyakit, seperti hipertensi yang akan menyebabkan preeklamsia dan eklamsia. Pada preeklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen dan terjadi gawat janin yang akan berdampak pada berat bayi lahir (Mochtar, 2004). Ibu dengan katagori umur berisiko (<20 tahun dan >35 tahun) mempunyai peluang lebih besar untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang umurnya tidak berisiko (Bobak et al., 2004). b) Jarak kelahiran (Paritas) Paritas adalah jumlah anak yang dikandung dan dilahirkan oleh ibu. Pada ibu dengan paritas yang tinggi (jumlah anak >4), vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atropi pada desidua akibat persalinan yang lampau sehingga aliran darah ke plasenta tidak cukup, hal ini akan dapat mengganggu fungsinya yang akan berdampak pada pertumbuhan janin (Wiknjosastro,
2008). Jumlah anak yang dilahirkan ibu akan
mempengaruhi kesehatan ibu dan merupakan faktor risiko terjadinya
16
BBLR, tumbuh kembang yang lebih lambat, pendidikan anak yang lebih rendah dan gizi buruk (Depkes RI, 2008). Menurut anjuran yang dikeluarkan oleh badan koordinasi keluarga berencana (BKKBN) jarak kelahiran yang ideal adalah 2 tahun atau lebih, karena jarak kelahiran yang pendek akan menyebabkan ibu belum cukup untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Jarak kehamilan yang pendek cenderung akan menguras gizi ibu selama kehamilan dan hilangnya darah saat melahirkan, juga selama laktasi yang dapat mengurangi gizi ibu melalui pemberian ASI. Ibu hamil yang menderita status gizi kurang sampai buruk sering melahirkan bayi berat badan lahir rendah (Saifuddin, 2006). Sistiarni, (2008) juga menyatakan jarak kelahiran <2 tahun memilki peluang untuk melahirkan BBLR 5,11 kali dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak dengan jarak > 2 tahun. c) Anemia saat hamil Ibu hamil banyak yang mengalami anemia gizi besi. Kadar Hb ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan. Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobinnya dibawah 11 gr/dl. Hal ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan BBLR (Depkes, 2009). Keadaan ini disebabkan kurangnya suplai oksigen dan nutrisi pada plasenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap pertumbuhan janin. Hasil penelitian Hilli (2009) menyatakan adanya hubungan yang linier antara anemia ibu hamil dengan berat badan bayi lahir. Berat badan bayi lahir rendah ditemukan pada ibu hamil dengan anemia berat, sementara Berat Badan Lahir Normal ditemukan pada ibu hamil dengan anemia ringan dan anemia sedang meskipun lebih rendah dibandingkan dari ibu hamil tidak anemia. d) Status Gizi ibu hamil Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Selain itu
17
gizi ibu hamil menentukan berat bayi yang dilahirkan, maka pemantauan gizi ibu hamil sangatlah penting dilakukan. Gizi yang kurang menyebabkan pertumbuhan janin terganggu baik secara langsung maupun oleh nutrisi yang kurang ataupun tidak langsung yaitu melalui fungsi plasenta yang terganggu (Hilli, 2009). Wanita yang kurus dan kehilangan berat badan ataupun mempunyai pertambahan
berat
badan
sangat
rendah
selama
hamil,
akan
menggunakan protein tubuhnya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan juga untuk janinnya. Ibu yang memiliki berat badan rendah dan cadangan nutrisi juga sedikit akan menyebabkan terjadinya kompetisi antara janin dan ibu untuk mendapatkan nutrisi dan hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan janin yang akan berdampak pada berat lahir bayi (Hilli, 2009). e) Riwayat penyakit pada ibu Penyakit yang diderita ibu berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinannya. Penyakit pada saat kehamilan yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir diantaranya adalah Diabetes melitus (DM), cacar air, dan penyakit infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). Penyakit DM adalah suatu penyakit dimana badan tidak sanggup menggunakan gula sebagaimana mestinya, penyebabnya adalah pankreas tidak cukup memproduksi insulin/tidak dapat menggunakan insulin yang ada. Bahaya yang timbul akibat DM diantaranya adalah bagi ibu hamil bisa mengalami keguguran, persalinan prematur, bayi lahir mati, bayi mati setelah lahir (kematian perinatal) karena bayi yang dilahirkan terlalu besar lebih dari 4000 gram dan kelainan bawaan pada bayi (Bobak et al., 2004). Penyakit infeksi TORCH adalah suatu istilah jenis penyakit infeksi yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi ibu hamil yaitu dapat menganggu janin yang dikandungnya. Bayi yang dikandung tersebut akan terkena katarak, gangguan pendengaran, Hypoplasia (gangguan pertumbuhan organ tubuh seperti jantung, paru-paru, dan limpa). Bisa juga mengakibatkan berat
18
bayi tidak normal, keterbelakangan mental, hepatitis, radang selaput otak, radang iris mata, dan beberapa jenis penyakit lainnya (Bobak et al., 2004). Ibu yang mengalami penyakit memiliki risiko melahirkan BBLR 3 kali dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami penyakit selama hamil seperti: hipertensi, hipotensi, preeklammsi, eklamsi, kekurangan energi protein, TBC (Tuberculosis), jantung, dan anemia (Sistiarani, 2008). 2) Faktor Eksternal a) Sanitasi Lingkungan yang meliputi kebersihan dan kesehatan lingkungan serta ketinggian tempat tinggal. Kebersihan lingkungan yang kurang akan dapat berdampak pada kesehatan ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit. Lingkungan yang kurang bersih dapat menyebabkan penyakit infeksi misalnya herpes, diare yang dapat menganggu petumbuhan janin yang dikandungnya (Bobak et al., 2004). Kehamilan pada daerah dataran tinggi akan dapat terjadi gangguan
transportasi
oksigen
dan
menyebabkan
kapilerisasi
sitotrofoblas sebagai respon terhadap hipoksia. Hipoksia pada plasenta menyebabkan
perubahan
pembentukan
vili
berupa
percabangan
angiogenesis berlebihan, sehingga plasenta akan mengalami kegagalan sirkulasi uteroplasenta yang berpengaruh terhadap terganggunya pertumbuhan janin (Bobak et al., 2004). b) Sosial ekonomi Sosial ekonomi seseorang dapat dinilai dari tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga. Keterbatasan Pendidikan dan pendapatan akan berpengaruh terhadap keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan gizi dan mendapatkan pelayanan antenatal yang adekuat (Depkes RI, 2008). Wanita dalam keluarga dan masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan
19
kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya. Pendidikan ibu juga akan berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam pemeriksaan antenatal, lebih dari 90 % wanita yang berpendidikan minimal Sekolah Dasar telah melakukan pemeriksaan antenatal di petugas kesehatan. Beban kerja ibu hamil adalah kondisi yang ditandai dengan pekerjaan yang banyak dan berat, kegiatan ini meliputi: pekerjaan rumah tangga, pertanian, mengurus anak, menimba air dan mencari kayu bakar. Kegiatan ini menyebabkan pengeluaran energi tinggi sehingga berpengaruh terhadap berat badan ibu selama hamil yang berkontribusi untuk melahirkan BBLR (Fitranti, 2007). c) Asupan Gizi Ibu Hamil Berat lahir juga berhubungan dengan pemenuhan nutrisi selama kehamilan, salah satunya adalah kebutuhan zat gizi makro. Kebutuhan gizi meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan
janin bersama dengan perubahan jaringan
serta
metabolisme tubuh ibu. Pertumbuhan dan perkembangan janin semakin cepat pada kehamilan trimester ketiga sehingga diperlukan asupan energi dan protein yang cukup. Tingkat kecukupan gizi selama hamil berpengaruh terhadap berat badan lahir (Arkkola, 2009). Pemenuhan gizi pada ibu hamil adalah: cukup kalori, protein, vitamin, mineral dan cairan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi ibu, janin dan plasenta. Makanan padat kalori untuk dapat membentuk jaringan tubuh. Cukup kalori dan zat gizi untuk memenuhi penambahan berat badan selama hamil. Perencanaan perawatan gizi memungkinkan ibu hamil memperoleh dan mempertahankan status gizi optimal sehingga dapat menjalani kehamilan dengan aman dan berhasil melahirkan bayi dengan kondisi fisik yang baik, dan memiliki cadangan energi untuk menyusui dan merawat bayi (Khairina, 2013). d) Pemeriksaan Kehamilan Pemeriksaan Kehamilan adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh tenaga profesional meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yaitu minimal 4 kali
20
pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester satu, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan kehamilan kejadian anemia pada ibu dapat dideteksi sedini mungkin, sehingga diharapkan ibu dapat merawat dirinya selama hamil dan mempersiapkan persalinannya (Depkes, 2009). Pemeriksaan
kehamilan,
bertujuan
untuk
mengenal
dan
mengidentifikasi masalah yang timbul selama kehamilan, sehingga kesehatan ibu selama hamil dapat terpelihara dan yang terpenting ibu dan bayi dalam kandungan
baik dan sehat sampai saat persalinan.
Pemeriksaan kehamilan dilakukan agar kita dapat segera mengetahui apabila terjadi gangguan/kelainan pada ibu hamil dan janin yang dikandung, sehingga dapat segera ditolong tenaga kesehatan (Depkes, 2009). Kualitas pemeriksaan antenatal yang kurang baik lebih berisiko melahirkan BBLR 5,85 kali dibandingkan dengan ibu hamil yang kualitas pemeriksaan kehamilannya baik (Sistiarani, 2008). d. Cara pengukuran berat badan bayi baru lahir Berat badan bayi baru lahir yang ditimbang sesuai cara penimbangan bayi baru lahir menurut Bobak et al. (2005) yaitu: 1) periksa timbangan bayi dalam kondisi baik atau tidak rusak; 2) sebelum ditimbang, jarum menunjukkan ketelitian angka nol (0); 3) bayi ditimbang dengan posisi ditidurkan tanpa kain atau pakaian bayi; 4) catat berat badan bayi baru lahir pada angka yang telah ditunjukkan jarum timbangan dengan teliti. 8. Teori Thrifty Phenotype Organisme memiliki kelenturan (plastisitas) selama perkembangan awal, sehingga dapat dibentuk oleh lingkungan. Paparan lingkungan yang buruk (misalnya, kekurangan gizi) pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan di dalam uterus memiliki efek jangka panjang terhadap terjadinya penyakit kronis diusia dewasa dengan cara pemrograman struktur atau fungsi organ, jaringan, atau sistem tubuh. Adaptasi struktur, fisiologis, dan metabolis diawal kehidupan membantu kelangsungan hidup janin dengan cara memilih jalur pertumbuhan yang tepat dimasa mendatang (Hales dan Barker, 2001).
21
Ketika terdapat lingkungan yang tidak menguntungkan diawal kehidupan (misalnya, kurang nutrisi), maka fetus terpaksa berkompromi, yaitu beradaptasi pada keadaan yang tidak menguntungkan dan memilih jalur yang sesuai (tetapi salah), yaitu mengurangi perkembangan organ yang relatif non-esensial seperti ginjal (massa nefron) dan pankreas (massa sel beta), demi berkembangnya organ yang lebih esensial seperti otak, dan menyebabkan efek yang salah terhadap kesehatan diusia dewasa. Keadaan nutrisi, kesehatan, dan perkembangan yang buruk pada gadis dan wanita muda menyebabkan perubahan fisiologis dan metabolisme yang permanen jangka panjang lintas generasi, menyebabkan fetus harus berkompromi dan memilih jalur yang salah untuk kelangsungan hidupnya, sehingga menyebabkan terjadinya penyakit dan kematian karena penyakit kardiovaskuler diusia dewasa (Hales dan Barker, 2001). Malnutrisi pada Ibu Infeksi Gangguan Plasenta
Kehamilan
Obat-obatan Stress
Perubahan ekspresi gen janin
Perubahan metabolisme janin Mengurangi berat badan lahir Perubahan lingkungan postnatal Sindrom metabolisme
Gambar 2.1 Teori Thrifty Phenotype (Hales dan Barker, 2001). B. Penelitian Relevan 1. Khairina (2013) meneliti tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cipayung Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Variabel yang diteliti yaitu karakteristik ibu (umur, pendidikan, pendapatan keluarga, status gizi) dan riwayat kesehatan ibu (hipertensi, penyakit infeksi, perokok, pemeriksaan kehamilan dan paritas) dihubungkan dengan BBLR.
22
Metode: cross sectional, sampel adalah bayi 0-11 bulan. Hasil: variabel yang signifikan adalah; (1) Pendidikan; (2) Status gizi; (3) Riwayat hipertensi; (4) Penyakit infeksi; dan (5) Ibu perokok. 2. Pratiwi (2012) meneliti
Pengaruh KEK dan anemia saat kehamilan terhadap
BBLR dan Nilai APGAR di Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember. Variabel yang diteliti adalah: karakteristik responden (usia dan paritas), KEK pada ibu saat kehamilan, anemia pada ibu, berat lahir bayi dan nilai APGAR bayi. Metode: cross sectional, Sampel yang digunakan adalah seluruh populasi ibu hamil usia 36-38 minggu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status KEK tidak berpengaruh secara signifikan terhadap BBLR. Hal ini disebabkan oleh karena tidak hanya status KEK saja yang dapat mempengaruhi BBLR akan tetapi masih banyak faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap BBLR. Berdasarkan hasil penelitian status anemia pada trimester 3 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap BBLR (p=0,199). 3. Nurhadi (2006) meneliti faktor risiko ibu dan layanan kehamilan terhadap kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Pekalongan. Variabel yang diteliti: tingkat pendidikan, pekerjaan/lama kerja, tinggi badan, paritas, jarak persalinan, masa gestasi, pengalaman minum jamu, pantang makanan, lingkar lengan atas dan layanan antenatal. Metode: studi kasus kontrol. Sampel yang digunakan adalah ibu yang dirawat di BP RSUD Kraton Pekalongan yang melahirkan bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gr denga usia kehamilan 38-42 minggu dan tercatat dalam medical record, yang terpilih sebagai kasus untuk diteliti. Hasil: faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah KEK dan layanan kehamilan kurang, sedangkan faktor risiko yang tidak berpengaruh adalah lama kerja (>7jam), usia<20 tahun, jarak kehamilan terakhir dengan persalinan sebelumnya, pantang makan makanan tertentu, tingkat pendidikan, tinggi badan, paritas, dan pengalaman minum jamu. 4. Nazari et al. (2013) meneliti hubungan karakteristik ibu hamil dengan BBLR dan Berat bayi lahir normal di Iran. Variabel sosial demografi, riwayat kehamilan, data antropometrik dan kadar Hb. Menggunakan metode kasus kontrol dengan jumlah sampel 134 ibu dengan bayi BBLR dan 134 dengan bayi normal.
23
Hasil: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, aborsi sebelumnya, persalinan prematur sebelumnya, jarak kelahiran, jenis klinik dan tempat tinggal antara 2 kelompok. 5. Da Silva et al. (2013) meneliti tentang usia ibu dan BBLR berdasarkan kondisi demografi negara Brazil. Menggunakan metode time series untuk mengevaluasi berat bayi lahir dengan usia ibu. Hasil peneltian menunjukan bahwa usia <20 tahun dan >35 tahun memiliki risiko tinggi melahirkan bayi BBLR. Pemberian pelayanan kehamilan seharusnya memberikan perhatian khusus bagi ibu hamil yang berada pada rentang usia tersebut, sehingga dapat meminimalkan kejadian BBLR. 6. Yi et al. (2013) meneliti tentang anemia sebelum kehamilan dengan risiko persalinan prematur, BBLR dan Bayi Kecil Masa Kehamilan pada wanita Korea. Menggunakan study kohort retrospektif, dilakukan pada 70.895 wanita Korea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anemia sebelum hamil meningkatkan risiko kelahiran prematur, BBLR dan bayi KMK. Semakin berat tingkat anemia ibu semakin besar risiko mengalami persalinan prematur dan BBLR dengan p= 0.02. 7. Maddah et al. (2005) meneliti tentang hubungan faktor sosial pada kehamilan dan kenaikan berat badan selama kehamilan dengan berat lahir bayi di Rumah Sakit Rasht di Iran. Penelitian ini adalah penelitian study kohort prospektif, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara total kenaikan berat badan ibu hamil, tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dengan berat lahir bayi di daerah perkotaan Rasht, Iran. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu yang rendah dan kenaikan berat badan selama kehamilan yang tidak memadai merupakan prediktor BBLR. 8. Liu et al. (2010) meneliti hubungan pendapatan keluarga dengan BBLR. Menggunakan metode study kohort prospektif dengan sampel diambil dari rekam medis mulai tahun 2004-2006 di Rumah Sakit Kanada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir dikeluarga yang memiliki sosial ekonomi rendah lebih berisiko mengalami berat badan lahir rendah, nilai APGAR skor yang jelek, lahir prematur bahkan lahir mati. 9. Poon et al. (2013) meneliti tentang asupan makanan ibu hamil trimester III dengan karakteristik bayi yang dilahirkan dengan pertumbuhan pada neonatus.
24
Menggunakan study kohort prospektif dengan melakukan survei pada ibu hamil trimester III. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara konsumsi makanan ibu hamil trimester III dengan berat bayi yang dilahirkan maupun pola pertumbuhan neonatus. 10. Qader et al. (2012) meneliti hubungan pemeriksaan kehamilan dengan BBLR. Menggunakan metode cross sectional yang melibatkan 225 bayi di Bagdad. Hasil: pelayanan antenatal yang memadai dianggap ketika wanita hamil telah terdaftar dalam rekam medis, setidaknya tiga kali pemeriksaan antenatal, mendapatkan vaksinasi tetanus, telah mengonsumsi minimal 100 tablet besi dan asam folat, yang tidak terlibat dalam kerja keras, dan memiliki istirahat yang cukup selama kehamilan (minimal 2 jam tidur siang hari dan 8 jam tidur pada malam hari). Dalam penelitian ini, pelayanan antenatal sangat berpengaruh tehadap berat badan lahir bayi, dan perlunya meningkatkan kualitas dan pemanfaatan pelayanan antenatal, pendidikan gizi untuk meningkatkan berat badan selama kehamilan, jarak, menghindari tembakau, dan pencegahan dan pengelolaan yang baik faktor risiko seperti anemia dan hipertensi.. 11. Telatar et al. (2009) meneliti tentang efek anemia selama kehamilan dengan ukuran antropometri bayi baru lahir. Menggunakan metode cross sectional yang melibatkan 1.588 ibu hamil di Turki. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan ukuran panjang badan, berat badan dan lingkar kepala antara bayi yang lahir dari ibu yang anemia dan tidak (p=0.017, p=0.008 and p=0.02). Bayi dari ibu anemia memiliki lingkar kepala yang lebih kecil. Anemia selama kehamilan mempengaruhi ukuran antropometri bayi baru lahir. 12. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian relevan Perbedaan yang paling utama adalah subjek penelitian, subjek pada penelitian ini adalah ibu hamil trimester III dengan usia kehamilan > 36 minggu. Variabel yang akan dihubungkan juga berbeda, variabel bebas yang akan diteliti adalah pendidikan ibu, pendapatan keluarga, asupan gizi, pemeriksaan kehamilan, KEK dan anemia. Tempat penelitian yang digunakan yaitu di Kabupaten Gresik, dan belum pernah dilakukan penelitian sejenis di Kabupaten Gresik.
25
C. Kerangka Berpikir
Pendapatan keluarga
Pendidikan Ibu
Pemeriksaan Kehamilan Penyakit: 1. Hiperemesis 2. Tuberculosis
Asupan gizi
Anemia
Pantangan Makan
Kurang Energi Kronis
Berat Badan Lahir Rendah Gambar 2.1 Kerangka berpikir Keterangan: Diteliti Tidak diteliti
D. Hipotesis 1. Terdapat hubungan pendidikan ibu dengan BBLR. Pendidikan yang rendah meningkatkan risiko BBLR. 2. Terdapat hubungan pendapatan keluarga dengan BBLR. Pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan risiko BBLR. 3. Terdapat hubungan asupan gizi ibu dengan BBLR. Asupan gizi yang kurang meningkatkan risiko BBLR. 4. Terdapat hubungan pemeriksaan kehamilan dengan BBLR. Pemeriksaan kehamilan yang kurang meningkatkan risiko BBLR 5. Terdapat hubungan kurang energi kronis dengan BBLR. Ibu yang mengalami kurang energi kronis meningkatkan risiko BBLR. 6. Terdapat hubungan Anemia dengan BBLR. Ibu yang mengalami anemia meningkatkan risiko BBLR. 7. Terdapat hubungan antara pendidikan ibu, pendapatan keluarga, asupan gizi, pemeriksaan kehamilan, kurang energi kronis dan anemia dengan BBLR. Ibu dengan pendidikan rendah, pendapatan rendah, asupan gizi kurang dan
26
pemeriksaan kehamilan kurang, mengalami kurang energi kronis dan anemia meningkatkan risiko BBLR.