BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Ilmenite Ilmenite adalah pasir atau batu hitam yang mempunyai rumus kimia FeTiO3. Umumnya di dalam pasir ilmenite terdapat impurities berupa besi oksida bervalensi tiga dan silika (Nugroho et al., 2005). Ilmenite merupakan mineral titanium-besi oksida yang bersifat magnetik lemah dan berwarna hitam dan abuabu. Pada tahun 1990, seorang peneliti bernama Gregor mampu memisahkan pasir hitam dari pasir magnetik yang dikenal sebagai ilmenite (FeTiO3) (Ikhwan, 2007). Ilmenite (mineral FeTiO3) merupakan mineral yang menarik dan cukup penting secara ekonomi. Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai cadangan ilmenite (Hendartno, 1999 dan Sumardi, 1999). Mineral ilmenite mengandung titanium dan besi di berbagai negara dan kandungan TiO2 di dalam ilmenite kisaran 35% sampai 65% (Kogal et al., 1994). Secara komposisi, ilmenite terdiri atas 36,80% Fe; 31,57% Ti dan 31,63% O atau 52,66% TiO2 dan 47,33% Fe2O3. Secara teori, ilmenite mengandung 31,6% titanium (setara dengan 52,67% TiO2), 36,8% Fe dan oksigen yang seimbang. Sifat-sifat ilmenite diantaranya adalah memiliki sifat kemagnetan yang lemah, rapuh, berawarna gelap dan tidak tembus cahaya. Ilmenite memiliki densitas 2400 kg/m2 – 2700 kg/m2, titik leleh 1050°C dan struktur kristal heksagonal (Chatterjee, 2007). Ilmenite di Indonesia sangat melimpah sebagai hasil produk samping pengolahan biji timah di pulau Bangka serta mengandung mineral yang lebih kompleks daripada ilmenite Australia (Wahyuningsih et al., 2014). Kegunaan ilmenite yang paling berpotensi adalah untuk TiO2, logam titanium dan produksi besi tetapi hampir 95% dari titanium di seluruh dunia digunakan untuk produksi titania atau TiO2 dan hanya 5% dari bahan baku titanium yang diubah menjadi logam titanium (Park, 2008). TiO2 yang terkandung dalam ilmenite alam sebesar 33% - 65% (Nindemona. 2006). Gambar ilmenite dan struktur kristal ilmenite dapat dilihat pada gambar 1 dan 2. 7
8
Gambar 1. Ilmenite
Gambar 2. Struktur Kristal ilmenite (Wilson et al., 2005) 2. Titanium Dioksida (TiO2) Titanium dioksida atau titanium (IV) oksida merupakan bahan semikonduktor yang bersifat inert, stabil terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia. Titanium dioksida atau titanium (TiO2) diproduksi pertama kali pada tahun 1923. Titanium dioksida (TiO2) merupakan material padat yang mempunyai banyak kegunaan. Kegunaan dari TiO2 diantaranya sebagai pigmen putih dalam kertas, cat, plastik, fiber sintetik, dan kosmetik. Titanium dioksida pada umumnya digunakan sebagai pigment putih, selain itu titania dapat diterapkan dalam katalisis (McColm, I.J., 1983). Bahan baku pembuatan titanium dioksida banyak tersedia di alam (Turney, 1995). Sumber utama titanium (IV) oksida adalah bijih rutile (matrik TiO2) dan ilmenite (FeTiO3) (Sunarya, 2007).
9
Titanium dioksida merupakan polimorph yang terdiri dari anatase, brookite dan rutile (Kim et al., 2005; Dastan et al., 2014; Shahini et al., 2011; Chekina et al., 2013). Anatase dan rutile memiliki struktur kristal tetragonal, sedangkan brookite memiliki struktur kristal ortorhombik (Carp, 2004). Struktur kristal TiO2 dibagi menjadi tiga jenis (Fujishima et al., 1999) yaitu : a.
Rutile, stabil pada suhu tinggi, memiliki bentuk kristal tetragonal, dan terdapat pada batuan beku. Fase anatase dan brookite akan mengalami transformasi ke fasa rutile setelah mencapai ukuran partikel tertentu (Zhang et al., 2000).
b.
Anatase, stabil pada suhu rendah dan memiliki bentuk kristal tetragonal. Pada suhu 0 K, fase anatase lebih stabil jika dibandingkan dengan fase rutile (Muscat et al., 2002).
c.
Brookite, memiliki struktur kristal orthorombik, dan biasanya hanya terdapat pada mineral. Fase brookite memiliki volume sel yang lebih besar dan yang paling padat dari tiga fase dan fase ini sangat jarang digunakan dalam penelitian (Thompson, 2006).
Gambar 3.
Struktur kristal TiO2 Fase (A) Anatase; (B) Rutile; (C) Brookite (Landmann et al., 2012).
Fase rutile terbentuk pada suhu yang tinggi dan mempunyai bandgap energi 3,2 eV, sedangkan anatase terbentuk pada temperatur rendah dengan bandgap energi sebesar 3,2 eV (Brady, 1971). Energi celah pita untuk semikonduktor menunjukkan energi cahaya minimum yang diperlukan untuk
10
menghasilkan elektron pada pita konduksi sehingga menghasilkan konduktivitas listrik dan hole pada pita valensi yang mengalami kekosongan elektron (Fujishima et al., 1999). Kristal anatase lebih stabil dibandingkan dengan kristal rutile secara termodinamika (Dastan et al., 2014). Kristal anatase stabil pada ukuran kristal kurang dari 11 nm, brookite antara 11 dan 35 nm, dan rutile lebih dari 35 nm (Wang et al., 2010). Kristal TiO2 fase anatase mempunyai sifat yang lebih aktif daripada rutile dan merupakan fase kristal TiO2 yang menguntungkan untuk fotokatalisis. Hal ini dikarenakan luas permukaan anatase lebih besar daripada rutile, sehingga sisi aktif per unit anatase lebih besar dibandingkan dengan rutile. Kristal TiO2 dengan jenis anatase dikenal sebagai fase kristal yang paling reaktif terhadap cahaya, yang mengakibatkan eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar dari pada celah energinya (Diebold, 2003). Kereaktifan kristal anatase terhadap cahaya ini disebabkan karena anatase memiliki daerah aktivasi yang lebih luas dibandingkan dengan rutile (Linsebigier et al., 1995). Menurut Mital et al. (2011), dapat dilihat perbandingan sifat struktur kristal pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Sifat Struktur Kristal (Mital, 2011) Sifat
Rutile
Anatase
Brookite
Struktur kristal
Tetragonal
Tetragonal
Ortorombik
a= 4,5936
a= 3,784
c= 2,9587
c= 9,515
Massa Jenis (g/cm-3)
4,13
3,79
3,99
Volume/Molekul (A3)
31,2160
34,061
32,172
1,949 (4)
1,937 (4)
1,980 (2)
1,965 (2)
81,2°
77,7°
90,0°
92,6°
Konstanta kisi (Ao)
Ti-O Panjang Ikatan (Ǻ)
O-Ti-O Sudut Ikatan
a= 9,184 b= 5,447 c= 5,154
1,87-2,04
77,0° - 105°
11
Kristal rutile memiliki struktur yang lebih padat dibandingkan dengan anatase karena memiliki densitas yang lebih tinggi daripada anatase dimana densitas rutile sebesar 4.250 gr/cm3 dan anatase sebesar 3.894 gr/cm3 (Gunlauardi, 2001). TiO2 jenis anatase mempunyai energi celah pita 3,2 eV yang sebanding dengan cahaya UV (λ = 388 nm) sedangkan energi celah pita untuk TiO2 rutile 3,0 eV yang sebanding dengan cahaya UV (λ = 413 nm) (Fujishima et al., 1999). Bentuk mikroskopis dari TiO2 yaitu kristal dan amorf. Bentuk amorf artinya bahan tidak memiliki keteraturan susunan atom sehingga tidak memiliki keteraturan pita konduksi dan pita valensi, akan tetapi TiO2 amorf juga dikenal memiliki kemampuan untuk mendegradasi polutan dalam waktu yang tidak singkat. Hal ini disebabkan TiO2 amorf tidak bersifat semikonduktor, sehingga tidak mempunyai kemampuan fotokatalisis (Gunlazuardi, 2001). Kelebihan dari TiO2 adalah stabilitas kimia yang tinggi bila terkena senyawa asam dan basa, tidak beracun, biaya yang relatif rendah, dan daya pengoksidasi yang tinggi dan stabil (Castellote dan Bengtsson. 2011). Aplikasi TiO2 pada umumnya digunakan dalam produk tabir surya karena kemampuannya mengabsorbsi sinar ultra violet (UV), kemampuannya untuk menyerap sinar UV juga dimanfaatkan untuk aplikasi fotokatalis yang dapat digunakan untuk menyingkirkan polutan dari udara dan air (Li dan Ishigaki, 2004). TiO2 juga dapat diaplikasikan pada DSSC, TiO2 yang digunakan umumnya berfase anatase karena mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan fotoaktif yang tinggi. Selain itu TiO2 dengan struktur nanopori yaitu ukuran pori dalam skala nano akan menaikan kinerja sistem karena struktur nanopori mempunyai karakteristik luas permukaan yang tinggi sehingga akan menaikan jumlah dye yang teradsorp yang implikasinya akan menaikan jumlah cahaya yang terabsorbsi (Zhang dan Banfield, 2000). Aktivitas fotokatalisis TiO2 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang menentukan aktivitas fotokatalis TiO2 adalah morfologi permukaan, luas permukaan, fasa kristal, kristalinitas (Sutrisno et al., 2005) dan ukuran kristal terutama dalam skala nano (Kustiningsi et al., 2009). Material dengan ukuran
12
nano (1-100 nm) memiliki sifat kimia, optik, elektrik dan magnetik yang berbeda dengan material sejenis dengan ukuran besar (bulk). Sifat ini sangat bergantung pada ukuran maupun distribusi ukuran, komponen kimiawi unsur-unsur penyusun material tersebut, keadaan dipermukaan dan interaksi antar atom penyusun material nanostruktur. Keterkaitan sifat parameter-parameter memungkinkan sifat material memiliki sifat stabilitas termal yang sangat tinggi (Nabok, 2000; Enggrit, 2011). Banyak penelitian mengenai fabrikasi DSSC untuk meningkatkan banyaknya dye yang terserap dalam elektroda yang berdasarkan perbedaan struktur nano seperti nanopartikel diantaranya NWs, NRs, nanospheres, nanoflowers, nanofibers, NT (Kanmani et al., 2012).
3. Pemanggangan Ilmenite dengan Sodium Sulfide Proses pemanggangan ilmenite dapat mengubah struktur pada ilmenite. Proses ini dilakukan untuk mendekomposisi ilmenite secara termal. Modifikasi struktur ilmenite dapat terjadi karena adanya interaksi antara atmosfer dan perlakuaan pemanggangan. Difusi ion O2- ke dalam seluruh lapisan partikel akan menguraikan ilmenite (FeTiO3) menjadi TiO2 dan Fe2O3 (hematite) (persamaan 1). Dilakukan penambahan garam alkali seperti Na2S dan Na2CO3 yang dapat membantu meningkatkan dekomposisi dari ilmenite (Wahyuningsih et al., 2013; Hasan et al., 2007; Wilson et al., 2005). Penambahan garam alkali Na2S pada proses pemanggangan dapat mencegah pembentukan produk pseudobrookit (FeTiO5) yang sukar larut dalam larutan asam (HCl, H2SO4) (Wahyuningsih et al., 2013) dan mampu membentuk Na2SO4, NaFeS2, NaFeO2 yang lebih mudah larut di dalam larutan asam (Wahyuningsih et al., 2014). Vasquez et al. (2008) melakukan pemanggangan terhadap ilmenite pada suhu 700°C, 800°C, 900°C dan 1050°C dimana pada suhu 700°C terbentuk hematite dan rutile. Pemanggangan ilmenite dengan Na2S dilakukan pula oleh Hasan (2007) pada suhu 800°C. Reaksi yang terjadi pada saat proses pemanggangan adalah: 2FeTiO3(s) + ½O2(g)⇌Fe2O3(s) + 2TiO2(s)
(1)
13
4. Pelarutan Ilmenite Leaching atau ekstraksi padat cair merupakan proses pemisahan zat yang dapat melarut (solut) dari suatu campurannya dengan padatan yang tidak dapat larut (inert) dengan menggunakan pelarut cair. Leaching merupakan suatu proses pencucian material dengan menggunakan asam kuat yaitu asam sulfat (Zulfalina dan Manaf, 2004) maupun asam klorida (Rayhana dan Manaf, 2012). Leaching merupakan proses ekstraksi padat/cair untuk memisahkan suatu senyawa kimia yang diinginkan dari senyawa kimia lain atau pengotor dari padatan ke dalam cairan (Natziger dan Gupta, 1987). Menurut Zhang (2011), metode yang digunakan untuk meningkatkan kemurnian titanium dioksida diantaranya adalah proses leaching dengan sulfat atau proses Becher, proses leaching klorida. Proses leaching pada umumnya memerlukan suhu yang tinggi karena daya larut akan naik seiring dengan naiknya suhu (Sediawan, 1998). Proses leaching ilmenite dilakukan dengan metode hydrometallurgy. Hydrometallurgy adalah suatu proses pengolahan logam dari bijinya menggunakan pelarut kimia untuk melarutkan partikel tertentu. Proses ini terdiri dari leaching, pemurnian dan recovery logam (Kamberovic, 2009). Pemurnian ilmenite mempunyai keuntungan yang lebih karena menghasilkan pigmen TiO2 dan hasil samping proses yang berupa Fe2O3 dapat menjadi pigmen warna merah. Proses pelarutan dengan menggunakan asam dilakukan karena dapat dengan mudah melarutkan zat dalam ilmenite. Asam yang dapat digunakan untuk pelarutan ilmenite adalah HCl (proses klorida) (Rayhana dan Manaf, 2012) dan menggunakan H2SO4 (proses sulfat) (Zulfalina dan Manaf, 2004). Beberapa peneliti telah menggunakan konsentrasi asam yang lebih rendah dalam upaya yang dapat meningkatkan penggunaan kembali limbah asam (Sasikumar et al., 2004; Liang et al., 2005). a. Proses Sulfat Pada tahun 1918, proses sulfat ini dikembangkan oleh Jebsen di Norway (Simon dan Alex, 2007). Biji ilmenite dilarutkan dalam larutan asam sulfat dan kemudian nantinya akan membentuk larutan titanium sulfat. Larutan titanium sulfat dimurnikan lebih lanjut dan dilakukan hidrolisis untuk menghasilkan TiO 2
14
(Liang et al., 2005). Penggunaan asam sulfat dapat memutuskan ikatan FeTiO3 membentuk FeSO4 (Zulfalina dan Manaf, 2004). Pada proses sulfat, berikut merupakan prediksi reaksi-reaksinya : FeTiO3 + 2H2SO4 FeSO4 + TiOSO4 + 2H2O
(2)
Precipitation :
TiOSO4+ 2H2O TiO2.H2O + H2SO4
(3)
Calcination
TiO2.H2O TiO2 + H2O
(4)
Digestion
:
:
b. Proses Klorida Proses klorida menjadi proses utama yang dilakukan dalam memenuhi pasar dunia (Saksikumar et.al., 2004). Proses klorida lebih menguntungkan karena menghasilkan produk dengan kualitas tinggi, ramah lingkungan karena limbah yang dihasilkan relatif lebih sedikit (Chatteerjee, 2007). Reaksi yang terjadi pada proses klorida (Mahmoud et al., 2004) yaitu : FeTiO3(s) + 4HCl(aq) FeCl2(aq) + TiOCl2(aq) + 2H2O(aq) TiOCl2(aq) + H2O(aq) TiO2(s) + 2HCl(aq)
(5) (6)
Pada proses ini, dibutuhkan bahan baku dengan kandungan ilmenite yang tinggi misalnya dapat menggunakan bahan baku, rutile (95% TiO2) atau bisa juga dengan menggunakan ilmenite (55-70% TiO2) (Taufanny, 2008). c. Proses Kroll Proses ini menggunakan bahan baku rutile (TiO2). Akan tetapi, proses kroll ini masih sulit dan dibutuhkan total biaya yang besar (Taufanny, 2008). 5. Hidrolisis dan Kondensasi TiOSO4 Hasil Pelarutan Ilmenite Metode sol-gel merupakan pengolahan bahan kimia yang dilakukan pada suhu rendah untuk menghasilkan oksida anorganik dalam bentuk tunggal maupun multi komponen oksida sebagai kristal atau amorf. Pada hidrolisis, group alkoksi (-OR) digantikan melalui serangan nukleofilik atom oksigen dari molekul air dibawah pelepasan alkohol dan pembentukan hidroksi logam (Neiderberger, 2009). Proses kondensasi dapat terjadi ketika senyawa hasil hidrolisis saling berinteraksi dan melepaskan molekul air. Setiawati et al. (2006) melakukan
15
sintesis TiO2 dari Ti(OiPr)4 yang mengikuti reaksi hidrolisis dan kondensasi ditunjukan pada Gambar 4. Hidrolisis :
Kondensasi :
Gambar 4. Reaksi Hidrolisis dan Kondensasi Sintesis TiO2 Djatisulistya (2014) melakukan sintesis TiO2 dari filtrat hasil leaching ilmenite dengan penambahan H2O : 2-propanol (1:9) sebagai pelarutnya. Pada kondisi ini propanol dapat membentuk kompleks dengan titanium membentuk TiO(OiPr)2. Reaksi hidrolisis dan kondensasi yang terjadi ditunjukan oleh reaksi (7) dan (8). TiOCl2 + H2O(l) TiO(OiPr)2
TiO(OiPr)2 + 2HCl(aq) TiO2 + H2O(l)
(7) (8)
6. Hidrolisis Titanyl Sulfate dengan Penambahan Surfaktan Surfaktan merupakan template atau agen pembentuk struktur pori yang baik. Stengl et al. (2010) telah menggunakan surfaktan kationik, anionik mau nonionik dalam pembentukan struktur pori. Triblok kopolimer pluronik merupakan surfaktan non-ionik yang digunakan sebagai soft template. Surfaktan non-ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Pluronik F-127 terdiri dari blok PEO dan blok PPO dengan susunan struktur
16
triblok kopolimer PEO-PPO-PEO. Unit PEO (polyethylene oxide) merupakan bagian hidrofilik dan PPO (polipropilen oxide) merupakan bagian hidrofobik. Pluronik dapat berinteraksi dengan permukaan hidrofobik dan hidrofilik karena memiliki sifatampifilik (Batrakova, 2008).
PPO
PEO H2 C
OH C H2
H2 C O
PEO H2 C
O CH
C H2
H O
CH3
100
100
70
Gambar 5. Triblok Kopolimer Pluronik F-127 Adanya proses termal menyebabkan terbentuknya misel. Pada saat temperatur larutan dinaikan, blok PPO semakin kehilangan hydration sphere sehingga timbul interaksi yang kuat antara blok PPO dan blok PEO akan tetap mempertahankan interaksinya dengan air. Penambahan surfaktan menyebabkan surfaktan
merakit
diri
membentuk
misel
sperikal
atau
silinder
yang
mempertahankan bagian hidrofiliknya untuk berinteraksi dengan air dan melindungi bagian hidrofobik berada di dalam inti misel (Alexandris, 1994). Hal itu terjadi ketika larutan berada diatas konsentrasi kritis misel (CMC). Choi et al. (2004) melakukan sintesis material pori TiO2 dengan struktur heksagonal sedangkan Liu et al. (2005) melakukan sintesis material pori nanokristalin anatase lapisan tipis menggunakan triblok kopolimer sebagai template dan Ti(OBun)4 sebagai prekursor anorganik. 7. Pembentukan TiO2 Nanorods dengan Teknik Hidrotermal Nanopartikel semikonduktor merupakan material yang digunakan sebagai fotoanoda yang efisien. Semikonduktor berstruktur nano ini memiliki celah pita yang lebar. Penggunaan material berukuran nano akan meningkatkan luas permukaan dan memberikan porositas yang relatif tinggi pada material sehingga sangat memungkinkan penyerapan
dye secara maksimal dan
17
mengakibatkan meningkatkan penyerapan cahaya sehingga diperoleh efisiensi konversi energi yang cukup tinggi. Pembentukan material nanorods dapat dilakukan dengan teknik hidrotermal. Hidrotermal merupakan suatu proses yang terjadi dalam suatu pelarut pada suhu di atas titik didih pelarut dan pada tekanan diatas 1 atm. Sintesis menggunakan hidrotermal dilakukan dibawah suhu 300°C (Hayashi dan Hakuta. 2010). Teknik ini memanfaatkan peningkatan suhu dan tekanan dari karakteristik air sehingga dapat mengubah karakteristik suatu produk. Teknik hidrotermal mempunyai banyak kelebihan seperti hemat energi, efisiensi fabrikasinya
serta
produk
dengan
kristalinitas
yang
biaya, mudah
tinggi
dan
tetap
mempertahankan ukurannya pada skala di bawah 10 nm tanpa terjadi agregasi (Yuwono et al., 2011). Prekursor yang sering digunakan dalam mensistesis senyawa anorganik adalah larutan garam, untuk sintesis menggunakan basa dapat terjadi pengendapan logam hidroksida. Perlakuan lainnya dalam proses hidrotermal adalah pengendalian pH larutan, reduksi dan oksidasi. Pada perlakukan hidrotermal, ukuran butir, morfologi partikel, fasa kristalin dan sifat permukaan bisa di kontrol dengan pengaturan variabel proses seperti pH, temperatur reaksi dan tekanan, dan waktu aging. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan menggunakan proses hidrotermal ini. Vijayalakshmi et al. (2012) melakukan sintesis TiO2 nanopartikel dari TTIP dalam NaOH pada suhu kalsinasi 450°C sehingga menghasilkan TiO2 nanopartikel lebih amorph dengan ukuran ± 17 nm. Sementara Liu et al. (2014) telah membuat TiO2 nanopartikel dari asam asetat, tetra butil titanat, dan butanol. Hasil menunjukan bahwa TiO2 nanopartikel berbentuk bulat dengan ukuran 0.318 nm. Pada penelitian Wang et al. (1999), perlakuan hidrotermal yang dilakukan pada suhu cukup rendah (180°C) mampu menghasilkan 10 nm butir anatase dengan kestabilan termal yang baik.
18
8. Karakterisasi Material a. X-Ray Difraction (XRD) Sinar X merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek sebesar 0,7 sampai 2,0 A yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektrón berenergi tinggi kemudian electron-elektron ini mengalami pengurangan kecepatan dengan cepat dan energinya diubah menjadi energi foton sehingga energinya besar (lebih besar daripada energi sinar UV-Vis) dan tidak mengalami pembelokan pada medan magnet (Jenkins, 1988). Pengujian X-Ray Difraction (XRD) memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk konfirmasi jenis fasa dari material nano dan mengetahui besar rata-rata ukuran kristalit yang dihasilkan. Struktur kristal, fasa dan ukuran kristalit dari nanopartikel TiO2 dapat ditentukan dari pola difraksi X-ray (XRD) hasil pengujian (Supachai et al., 2004 dan Zhang et al., 2010). Sedangkan untuk menentukan rata-rata ukuran kristalit dapat dilakukan dengan persamaan Scherrer (Yuwono, 2010; Wang, 1999; Karami, 2010). Prinsip kerja dari XRD berdasarkan pola difraksi yang disebabkan oleh adanya hubungan fasa tertentu dengan dua gelombang atau lebih sehingga paduan gelombang tersebut saling menguatkan atau melemahkan. Atom-atom yang ada dalam zat padat dapat menghamburkan sinar-X. Ketika sinar-X jatuh pada kristal maka akan terjadi hamburan ke segala arah. Hamburan sinar-X ini bersifat koheren sehingga saling menguatkan atau saling melemahkan. Difraksi sinar-X akan terjadi pada sudut tertentu sehingga suatu zat akan mempunyai pola difraksi tertentu (Gambar 6).
Gambar 6. Difraksi Sinar-X suatu Kristal
19
Cahaya yang melewati permukaan kristal akan dihamburkan dan diteruskan ke lapisan berikutnya. Sinar yang dihamburkan akan berinterferensi secara konstruktif (menguatkan) dan destruktif (melemahkan). Hamburan sinar yang berinterferensi inilah yang digunakan untuk analisis. Berkas sinar X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar X yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi.
Gambar 7. Pemantulan berkas sinar-X monokromatis oleh dua bidang kisi dalam kristal, dengan sudut sebesar θ dan jarak antara bidang kisi sebesar dhkl (Ewing, 1960) Hukum Bragg merumuskan tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar X yang dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Rancangan skematik spektrometer sinar X yang berdasar pada analisis Bragg diperlihatkan pada Gambar 7. Seberkas sinar X yang terarah jatuh pada kristal dengan sudut θ dan sebuah detektor diletakkan untuk mencatat sinar dengan sudut hambur θ. Sinar X yang sampai ke detektor memenuhi persyaratan hukum Bragg. Ketika θ diubahubah, detektor akan mencatat puncak-puncak intensitas bersesuaian dengan orde yang diharapkan. Jika jarak d antara bidang Bragg yang bersebelahan dalam kristal diketahui, panjang gelombang l bisa dihitung.
20
Hubungan antara jarak kisi kristal (d) dengan sudut yang dibentuk oleh sinar X (θ) ditunjukkan pada persamaan berikut : (9)
n = 2 sinθ dengan : d = jarak interplanar atau interatom λ = panjang gelombang logam standar θ = kisi difraksi sinar-X
Kekuatan dari cahaya yang terdifraksi tergantung pada kuantitas dari material kristalin yang sesuai dalam sampel sehingga sangat dimungkinkan untuk mendapatkan analisa kuantitatif dari sejumlah relatif konstituen dari campuran senyawa
padatan
(Ewing,
1960).
Identifikasi
suatu
mineral
dengan
memperhatikan nilai 2θ, d dan intensitasnya yang diperoleh dari Joint Commite Powder Difffraction Standard (JCPDS). b. X-Ray Fluoresence (XRF) Dasar analisis X-Ray Fluoresence (XRF) adalah pencacahan sinar-X yang dipancarkan oleh suatu unsur akibat pengisian kembali kekosongan elektron pada kulit yang lebih dekat inti karena terjadinya eksitasi elektron oleh elektron yang terletak pada kulit lebih luar. Ketika sinar-X yang berasal dari radioisotop sumber eksitasi menabrak elektron dan akan mengeluarkan elektron kulit dalam, maka akan terjadi kekosongan pada kulit itu. Perbedaan energi dari dua kulit itu akan tampil sebagai sinar-X yang dipancarkan oleh atom. Analisis X-Ray Fluoresence bertujuan untuk mengetahui dan mengukur kandungan unsurunsur yang terdapat dalam suatu senyawa atau mineral. (Skoog et al., 1998). Spektrometer XRF didasarkan pada lepasnya elektron bagian dalam dari atom akibat dikenai sumber radiasi dan pengukuran intensitas pendar sinar-X yang dipancarkan oleh atom unsur dalam sampel. Metode ini tidak merusak bahan yang dianalisis baik dari segi fisik maupun kimiawi sehingga sampel dapat digunakan untuk analisis berikutnya. Mekanisme kerja XRF secara umum adalah sinar-X dari sumber pengeksitasi akan mengenai cuplikan dan menyebabkan interaksi antara sinar-X yang karakteristik untuk setiap unsur. Sinar-X tersebut
21
selanjutnya mengenai detector Si(Li) yang akan menimbulkan pulsa listrik yang lemah, pulsa tersebut kemudian diperkuat dengan preamplifier dan amplifier lalu disalurkan pada penganalisis saluran ganda atau Multi Chanel Analyzer (MCA). Tenaga sinar-X karakteristik yang muncul tersebut dapat dilihat dan disesuaikan dengan tabel tenaga sehingga dapat diketahui unsur yang ada di dalam cuplikan yang dianalisis (Iswani, 1983). Spektrometer XRF tersusun dari tiga komponen utama yaitu sumber radioisotop, detektor dan unit pemrosesan data. Sumber radioisotop adalah isotopisotop tertentu yang dapat digunakan untuk mengeksitasi cuplikan sehingga menghasilkan sinar-X yang karakteristik. Radioisotop yang dapat digunakan adalah Fe, Co, Cd dan Am. Sumber radioisotop ini dibungkus sedemikian rupa dengan timbal agar penyebaran radiasinya terhadap lingkungan dapat dicegah. Spektrometer XRF yang menggunakan detektor Si(Li) biasanya dimasukkan dalam nitrogen cair. Hal ini dilakukan untuk mengatasi arus bocor bolak-balik yang disebabkan oleh efek termal, sehingga detektor Si(Li) harus dioperasikan pada suhu sangat rendah yaitu dengan menggunakan nitrogen cair (77K) sebagai pendingin. Apabila tidak dilakukan pendinginan maka arus akan bocor dan akan merusak daya pisah detektor. Selain itu pendingin dengan nitrogen cair juga diperlukan untuk menjaga agar ion-ion Li tidak merembes keluar dari kristal dan menyebabkan hilangnya daerah intrinsik (Iswani, 1983). Teknik analisis dengan XRF lebih banyak digunakan karena cepat, lebih teliti, tidak merusak bahan, dapat digunakan pada cuplikan berbentuk padat, bubuk, cair maupun pasta. Metode analisis XRF ini adalah metode kalibrasi standar yang pada prinsipnya garis spektra unsur di dalam cuplikan diinterpolasikan ke dalam kurva kalibrasi standar yang dibuat antara intensitas garis spektra unsure yang sama terhadap konsentrasi (standar) (Iswani, 1988). Persamaan garis kurva standar yang digunakan adalah: Y = aX + b Keterangan : Y= X = Konsentrasi unsur
(10)
22
Cacah compton dalam analisis XRF akan menghasilkan luas puncak compton. Luas puncak compton ini merupakan puncak yang dihasilkan dari pantulan sumber radioisotop. Tenaga yang dihasilkan biasanya sesuai unsur yang nomor atomnya lebih kecil dari sumber tersebut. Cacah unsur akan menghasilkan luas puncak unsur yaitu puncak yang dihasilkan dari pantulan sinar yang tenaganya spesifik untuk setiap unsur. c. Inductive Coupled Plasma (ICP) Prinsip utama Inductive Coupled Plasma (ICP) dalam penentuan elemen adalah pengatomisasian elemen sehingga memancarkan cahaya panjang gelombang tertentu yang kemudian dapat diukur (Alcock, 1995). ICP dapat digunakan dalam analisis kuantitatif dalam bidang mineral, tanah, udara, sedimen, air, tumbuhan, pertanian, dari unsur yang tidak mudah diidentifikasi oleh Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Inductively Couple Plasma-Optical Emission Spectroscopy (ICP-OES) merupakan salah satu instrumen yang baik untuk analisis unsur dalam berbagai jenis sampel. Prinsip dari ICP-OES didasarkan pada emisi spontan dari foton dalam atom dan ion. Sebagian foton yang telah dipancarkan akan dikumpulkan dalam lensa cekung. Perangkat keras ICP OES yang utama adalah plasma, dengan bantuan gas akan mengatomisasi elemen dari energi ground state ke eksitasi state sambil memancarkan energi cahaya. Alat ini dapat menganalisa sebanyak 70 unsur dengan konsentrasi dibawah 1 mg/L dimana alat ini dapat menganalisa secara kualitatif dan analisa kuantitatif. Sehingga tidak perlu dilakukan analisa kualitatif dengan metode reaksi pengenal untuk setiap unsur. Hal ini disebabkan untuk kadar dibawah 1 mg/L analisa kualitatif dengan menggunakan reaksi pengenal kurang efektif (Hou dan Jones, 2000). d. Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron
23
dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut elektron gun. Sebuah ruang vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan. Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan electron gun terkondensasi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunderatau detektor backscatter. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi Gambar (Kroschwitz, 1990). Pada sistem ini berkas elektron dikonsentrasikan pada spesimen, bayangannya diperbesar dengan lensa objektif dan diproyeksikan pada layar. Cuplikan yang akan dianalisis dalam kolom SEM perlu dipersiapkan dahulu, walaupun telah ada jenis SEM yang tidak memerlukan penyepuhan (coating) cuplikan. Terdapat tiga tahap dalam persiapan cuplikan, antara lain (Gedde, 1995) : 1. Pelet dipotong menggunakan gergaji intan. Seluruh kandungan air, larutan dan semua benda yang dapat menguap apabila divakum, dibersihkan. 2. Cuplikan dikeringkan pada 60°C minimal 1 jam. 3. Cuplikan non logam harus dilapisi dengan emas tipis. Cuplikan logam dapat langsung dimasukkan dalam ruang cuplikan. Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground. Bila lapisan cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas. Pada pembentukan lapisan konduktif, spesimen yang akan dilapisi diletakkan pada tempat sampel di sekeliling anoda. Ruang dalam tabung kaca dibuat mempunyai suhu rendah dengan memasang tutup kaca rapat dan gas yang ada dalam tabung dipompa keluar. Antara katoda dan anoda dipasang tegangan 1,2 kV sehingga terjadi ionisasi udara yang bertekanan rendah. Elektron bergerak menuju anoda dan ion positif dengan energi yang tinggi bergerak menumbuk
24
katoda emas. Hal ini menyebabkan partikel emas menghambur dan mengendap dipermukaan spesimen. Pelapisan ini dilakukan selama 4 menit. Contoh analisa SEM seperti ditunjukkan pada Gambar 8 yang memperlihatkan morfologi permukaan untuk sampel TiO2.
Gambar 8. Hasil SEM dari ZnO berlapis TiO2 (Wahyuningsih et al., 2016).
e. Transmission Electron Microscopy (TEM) Transmission Electron Microscopy (TEM) merupakan mikroskop yang memanfaatkan adanya penemuan elektron. TEM bermanfaat untuk menentukan bentuk atau morfologi dan ukuran partikel dengan sangat teliti karena memiliki resolusi yang tinggi, selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui keteraturan lapisan tipis pada permukaan partikel. Transmission Electron Microscopy (TEM) mempunyai komponen pokok diantaranya electron gun, lensa condenser, sampel, objek lensa, bidang difraksi, lensa proyektor, intermediate image, dan layar fluorescene. Electron yang terpancar dari electron gun dapat dipercepat dengan menggunakan tegangan tinggi (50-1000 kV). Prinsip kerja TEM adalah dengan menempatkan sampel di mikroskop, kemudian sampel dibombardir dengan electron berenergi tinggi. Sedangkan ukuran sampel harus lebih tipis dari ~ 2000 Å (Galuh, 2012).
25
Gambar 9. Proses bombardir elektron terhadap sampel B. Kerangka Pemikiran Ilmenite merupakan mineral titanium-besi oksida yang bersifat magnetik lemah berwarna hitam dan abu-abu dengan rumus kimia FeTiO3. Ilmenite dapat terdekomposisi menjadi komponen-komponen penyusunnya yaitu hematite (Fe2O3) dan TiO2 dengan proses pemanggangan. Penambahan Na2S pada saat pemanggangan akan meningkatkan dekomposisi ilmenite dan mempermudah pelarutan hasil pemanggangan dengan larutan asam. Proses dekomposisi ilmenite diikuti kompleksasi membentuk garam kompleks (Lahiri et al., 2007). Pada saat pemanggangan dalam Na2S terdapat ion Na+ dan S= yang dapat menyebabkan ilmenite mengalami kompleksasi dan membentuk garam, dengan reaksi sebagai berikut : 5TiO2(s)+ 2Na2S(s)+ 4O2(g)⇌Na4Ti5O12(s) + 2SO3(g)
(11)
3Fe2O3(s) + 3Na2S(s)+ 2O2(g)⇌5NaFeO2(s) + NaFeS2(s) + SO3(g)
(12)
Garam kompleks yang terbentuk, diharapkan akan lebih mudah terlarut dalam H2SO4 yang dapat ditunjukkan oleh reaksi berikut : Na4Ti5O12(s)+NaFeO2(s)+NaFeS2(s)+11H2SO4(aq)→3Na2SO4(aq)+5TiOSO4(aq) (13)
+ Fe2(SO4)3(aq)+9H2O(aq)+2H2S(aq) Proses
leaching
ilmenite
dengan
menggunakan
H2SO4,
akan
menghasilkan Ti4+ yang berikatan dengan SO42- dan membentuk titanil sulfat (TiOSO4), dengan reaksi sebagai berikut (Fouda et al., 2010) : FeTiO3(s) + 2H2SO4(aq)→ FeSO4(aq) + TiOSO4(aq) + 2H2O(aq)
(14)
26
Konsentrasi H2SO4 sangat berpengaruh dalam proses pelarutan, semakin tinggi konsentrasi H2SO4 yang digunakan, semakin besar pelarutan Ti dan Fe. Dalam proses pengendapan TiO2, kondisi pelarut yang relatif basa akan meningkatkan reaksi kondensasi TiO2. Ti akan cenderung mengendap pada pH yang lebih rendah dibandingkan dengan Fe. Untuk meningkatkan pemisahan Ti dan Fe juga dilakukan dengan cara lain yaitu melalui kompleksasi ion Fe dengan penambahan KCNS membentuk senyawa kompleks [Fe(CNS)n]3-n sesuai dengan reaksi: TiOSO4(aq) + 2H2O(aq) → TiO(OH)2(s) + 2H2SO4(aq)
(15)
TiO(OH)2(s) → TiO2(s) + H2O(aq)
(16)
Fe3+(aq) + nCNS-(aq) → Fe(CNS)n]3-n(aq)
(17)
Proses pemanggangan dapat mengubah Fe (III) menjadi Fe (II), namun pada proses lanjut preparasi TiO2 dari TiOSO4 dengan penambahan KCNS mengakibatkan Fe (II) berubah menjadi Fe (III) kembali. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh kenaikan pH larutan pada saat proses hidrolisis. Metode lain yang digunakan untuk mendapatkan TiO2 adalah dengan penambahan surfaktan triblok kopolimer (Pluronik F-127). Penambahan surfaktan triblok kopolimer (Pluronik F-127) guna mengatur orientasi struktur kristal. Triblok kopolimer pluronik F-127 berperan sebagai template pembentukan TiO2. Modifikasi TiO2 dapat dilakukan dengan membentuk TiO2 menjadi ukuran nano dengan metode hidrotermal dalam kondisi basa guna mendapatkan luas permukaan yang lebih besar. Modifikasi TiO2 nanorods yang telah dilakukan Wahyuningsih et al. (2016) dengan berbagai variasi konsentrasi NaOH menunjukkan hasil optimum pada konsentrasi NaOH 12 M pada temperatur 120°C. Penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi membuat ikatan Ti-O-Ti dari prekursor TiO2 mengalami pemutusan rantai membentuk struktur lanjutan yang mengandung Ti(OH)4, mengakibatkan pembentukan formasi dari potonganpotongan lamellar. Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan maka kecenderungan produk lamellar yang dihasilkan akan semakin banyak yang selanjutkan akan menggulung membentuk nanorods.
27
C. Hipotesis 1. TiO2 dapat dipisahkan dengan hidrolisis kondensasi dan kompleksasi serta hidrolisis dengan penambahan surfaktan. 2. TiO2 dapat dimodifikasi menjadi TiO2 nanorods dengan metode hidrotermal.