BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sekilas Sejarah Tentang Globalisasi
Globalisme telah lama muncul sebagai suatu sistem kepercayaan bagi masyarakat dunia terutama dunia Barat. Globalisme ditularkan oleh dunia Barat baik melalui caranya yang halus maupun kasar dengan caracara imperialisme – colonialisme -nya. Ini diperkuat ketika tujuannya memiliki alih-alih yang dikenal sebagai 3G, yaitu: Gold, Gospel dan Glory. Sebagai sebuah upaya memperluas ekspansi wilayah juga sebagai cita-cita dimana dunia menjadi satu di bawah tiga panji tersebut. Hal ini juga disadari sebagai suatu yang alami dalam dunia Timur pun mengingat hakikat manusia dengan semangat humanismenya meruntuhkan perbedaan ras, bangsa juga bahasa sebagai hal yang sentrifugal yaitu mengacu pada satu dunia yang damai. Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional.
Padahal
interaksi
dan
globalisasi
dalam
hubungan
antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Petunjuk lainnya dapat terlihat pada perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Di mana jarak tak lagi menjadi halangan untuk manusia melakukan proses pembaurannya sebagai mahluk sosial. Tom G. Palmer menulis bahwa fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Ia sama tuanya dengan sejarah yang tercatat. Sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, “bagi orang yang bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah seluruh dunia.” Kalimat ini menandakan bahwa perdagangan internasional
dan globalisasi telah lama disetarakan dengan peradaban itu sendiri, seperti juga Homer, dalam bukunya IX Odyssey menggambarkan bahwa kaum Cyclops adalah bangsa yang liar karena tidak berdagang atau berhubungan satu dengan yang lainnya.
1.1
Globalisasi Dalam Budaya Populer
Globalisasi telah masuk pada kebudayaan populer melalui bantuan dari penampang-penampang budaya seperti khususnya media informasi, seperti; komputer, majalah, internet, radio dan televisi. Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di bidang informasi, telekomunikasi satelit maupun jaringan serat optik yang kini lebih populer daripada transmisi sinyal udara. Dari sini segala macam percampuran budaya dapat terwujud dengan mudahnya, transformasi itu pun serta merta merubah pandangan tentang jaman yang terkooptasi akan kondisi letak geografis maupun faktor bahasa, ras dan bangsa yang membedakannya. Meskipun demikian muncul kekhawatiran dari para pengamat kebudayaan seperti gegar budaya melalui isu homogenitas, keberagaman, identitas dan kebebasan yang sering terpampang – appearance pada penampang-penampang budaya yang disebutkan di atas. Termasuk kalangan anti Globalisasi yang menolak dengan tegas konsepsi Globalisasi sebagai
sebuah
keharusan
sebuah
jaman
–
masyarakatnya
untuk
mematuhinya. Untuk menggambarkan tentang ketidakseimbangan dan ketidakadilan, yang menurut mereka muncul dari mekanisme hubungan perdagangan dan globalisasi yang terjadi sekarang, Tom G. Palmer memulai dengan tiga pertanyaan awal, yakni: 1. Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam pertukaran sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin terintegrasi. 2. Haruskah kita menyambut dan merangkul
atau
sebaliknya
menakuti
dan
menolak
interaksi
dan
percampuran budaya manusia, ras, komunitas, dan pandangan dunia yang dibawa oleh perdagangan bebas? 3. Benarkah globalisasi sedang membawa budaya dunia menuju homogenitas.
Palmer juga mengindikasikan bahwa globalisasilah yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang lainnya. Teh misalnya, suatu tanaman yang berasal dari China, namun berkembang dan menjadi sebuah budaya di India akibat diperkenalkan oleh pedagang Inggris. Bagi Palmer, mereka yang membela keotentikan budaya biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas territorial. Terkadang pula menjadi lucu, seolah para pemuja keotentikan budaya
ingin
memelihara
keterbelakangan
dan
kebodohan, dengan
mengatasnamakan ? menjaga keaslian? Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batasbatas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. Sama halnya dengan pandangan John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Kecurigaan lainnya yang dikembangkan oleh kaum anti Globalisasi itu mengacu pada Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan - atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas.
1.2
Kaitan dan Pengaruh Globalisasi Dalam Kehidupan Keseharian
Kaitan dan pengaruh Globalisasi dalam kehidupan keseharian dapat ditemui melalui dampak keburukan globalisasi ekonomi, yang diantaranya dapat dijelaskan seperti berikut ini: •
Menghambat pertumbuhan sektor industri
Salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tinggi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu, ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional semakin meningkat. •
Memperburuk neraca pembayaran
Globalisasi
cenderung
menaikkan
barang-barang
impor.
Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globalisasi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Dengan demikian, tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran. •
Sektor keuangan semakin tidak stabil
Salah satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal) portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah baik dan nilai uang akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot. Dengan demikian. ketidakstabilan di sektor
keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. •
Memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dalam jangka pendek pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Sedangkan dalam jangka panjang pertumbuhan yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja pun akan semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, maka distribusi pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk. Beralih pada hal lainnya yang menjadi pengaruh langsung dari Globalisasi
seperti
kekhawatiran
konsumerisme ekonomi politik.
masyarakat
yang
terjebak
dalam
Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya
uang untuk shopping. Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan tak mencukupi yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan merupakan kepuasan pemeluk 'agama baru' ini.
2.2
2.1
Sang Maha Televisi
Di Tengah Keriuhan Representasi Citraan Komoditas
Televisi telah hadir selama kurang lebih mencapai umur seabad. Kata televisi untuk kali pertamanya digunakan pada tahun 1900 oleh para ilmuwan sains dan pada tahun 1928-an ketika televisi mulai dipasarkan kepada publik secara terbatas.4 Semenjak itu televisi berkembang menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari bagian kehidupan manusia dan sampai sekarang televisi masih menjadi primadona dari gubuk-gubuk kecil pinggiran kota. Seperti yang diungkapkan oleh Garin Nugroho dan Yasraf Amir Piliang 4
http://www.tvhistory.tv
menyoal tentang relasi antara kehidupan dan televisi; “Ada makna politik di dunia realitas, tetapi ada ’makna’ politik di dunia televisi, yang keduanya saling berkaitan. Televisi bukanlah sebuah ruang kosong yang hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda (signifiers) yang membawa bersamanya sederet penanda atau makna (signifieds), menyangkut gaya hidup, karakter manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosialpolitik masyarakat-bangsa ini.”5 Sedangkan pendapat lainnya yang menyertakan asumsi tentang pengaruh negatif televisi terutama yang di-drive oleh konsumerisme. Dalam konsep B.F. Skinner seorang filsuf era pencerahan yang melahirkan rumusan
brilian
Neobehaviorisme
yang
menyatakan
mengenai
kata
"penguasaan", budak dan pemilik budak berada dalam hubungan timbal balik. Dalam makna sehari-hari si tuan-lah yang menguasai budaknya, bahwa tidak ada penguasaaan balik dari yang lemah misalnya dengan ancaman pemogokan dari yang lemah. Skinner menyatakan dalam sebuah lelucon, cerita tentang seekor tikus yang memberitahu tikus lain bagaimana cerdiknya ia mengkondisikan (menguasai) orang yang melakukan eksperimen terhadapnya, kapan saja sang tikus menekan tombol tertentu, sang eksperimenter akan memberinya makan. Manusia dapat dikondisikan berperilaku dalam semua pola yang dikehendakinya, tetapi manusia bereaksi dalam pola yang berbeda dan baku terhadap kondisi yang bertentangan dengan tuntutan insaninya. Dia bisa dikondisikan sebagai budak, karena dia bereaksi agresif atau sebaliknya, atau juga ia dapat dikondisikan untuk merasa sebagai bagian dari mesin dan karenanya ia bisa saja bereaksi dengan keengganan, keagresifan, atau ketidaksenangan. Ia percaya bahwa manusia ditempa oleh, dan rentan terhadap, pengaruh sosial. Di era sibernatika, individu menjadi semakin rentan terhadap manipulasi. Profesinya, konsumsinya, dan waktu luangnya dimanipulasi oleh iklan, ideologi, dan apa yang oleh Skinner dinamakan
5
Lihat: Televisi dan Hiperpolitik Oleh: Garin Nugroho dan Yasraf Amir Piliang, Kompas, Minggu,
17 Agustus 2003
"pembiasaan positif". Individu kehilangan peran tanggung jawab aktifnya di dalam proses sosial. Produk, gaya, citraan yang datang dan pergi silih berganti, hanya menciptakan hutan rimba tanda-tanda yang silang-menyilang dan saling kontradiktif, menciptakan jaringan pertandaan tumpang-tindih yang disebut Lacan ‘skizofrenia’. Menurut Deleuze & Guattari, skizofrenia menggoreskan pada tubuhnya doa-doa keterputusan, dan menciptakan bagi dirinya dunia tangkisan-tangkisan, di mana setiap perpindahan tempat (permutasi) dianggap sebagai tanggapan terhadap situasi baru, atau jawaban terhadap pertanyaan iseng. Adalah posisi seperti ini pulalah yang ditempati oleh para konsumer di dalam masyarakat kapitalisme akhir. Setiap waktu mereka mengkonsumsi produk, tanda atau citraan baru. Dalam menjelaskan posisi konsumer tersebut di atas, Dick Hebdige mengemukakan bahwa kini ada konsumer skizofrenik yang terdisintegrasi ke dalam rangkaian kesesaatan-kesesaatan (instant) yang tak mampu mereka cerna, yang terperangkap ke dalam keberadaan di manamana dan seketika citraan dan informasi yang dikomodifikasi, dan hidup selamanya di dalam chronos (ini—lalu—ini—lalu—ini—lalu–), tanpa pernah mampu menemukan jalan menuju tempat suci kairos (kehidupan siklus, mistis dan bermakna). Dalam proses identifikasi diri di hadapan cermin, apa yang dipantulkan bukan lagi rangkaian makna-makna, akan tetapi, pergantian citra diri itu sendiri ”Aku berganti, karenanya Aku ada !”6 Kecenderungan ini melibatkan pengorganisasian saluran keinginan dan kebutuhan melalui kelimpahruahan produksi; menjadikan seluruh hawa nafsu bergejolak dan menjadi korban rasa ketakutan yang tiada akhir terhadap tidak terpenuhinya kepuasan (setiap orang), dan menjadikan objek hawa nafsu sangat bergantung pada produksi nyata objek-objek, yang sebetulnya bersifat eksterior terhadap hawa nafsu itu sendiri. Mesin hawa nafsu berada di dalam mesin sosial dan hanya di sini, sehingga rangkaian 6
Piliang, Yasraf Amir, “HIPERSEMIOTIKA; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna,” Yogyakarta; Jalasutra. 2003. hlm.15
arus (produksi-konsumsi) dengan segala kode-kode yang digalinya di dalam mesin kapitalisme cenderung untuk membebaskan sosok-sosok libido subjek secara universal. Arus hawa nafsu dan libido mengalir tanpa henti dan tanpa interupsi bersama-sama dengan arus produksi kapitalisme - semuanya merupakan mesin-mesin kapitalisme dan sekaligus mesin hawa nafsu. Segala sesuatu berlipat ganda, segala sesuatu berkembang biak tanpa ada hentinya. Bersamaan dengan perkembangbiakan dan pelipatgandaan semuanya itu terjadi pula perkembangbiakan dan pelipatgandaan jouissance - kenikmatan.
2.2
Representasi Citraan Di Tengah Keambiguannya
Memandang televisi sebagai model yang paling cocok untuk menerapkan asosiasi tanda apa saja yang berlaku padanya. C S Peirce, yang biasanya dipandang sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya secara sederhana: Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang, Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya. (dalam Zeman, 1977).7 Dalam televisi kita seperti terjebak dalam alur ruang waktu yang berbeda dengan realitas dunia sebenarnya. Baudrillard mengemukakan bahwa massa menginginkan diferensi melalui konsumsi dan tontonan, “...(massa) disuguhkan makna: mereka hanya menginginkan tontonan.... Pesan-pesan telah disampaikan pada mereka, mereka hanya menginginkan tanda (sign), mereka mengidolakan permainan tanda dan stereotip-stereotip, mereka mengidolakan kandungan isi selama isi itu mengubah dirinya sendiri menjadi rangkaian tontonan-tontonan.” Ini berarti bahwa segala sesuatunya 7
Fiske, John, “Cultural and Communikation Studies”, Jalasutra, Yogyakarta, 2004. hlm. 62-63
yang secara normatif dikatakan baik, bermoral bisa jadi merupakan sebuah bentuk kesenangan saja dari penonton. Diferensi tak mungkin lagi dihasilkan melalui tontonan hanya dengan cara mimesis, atau representasi realitas, mitos, dan ideologi, oleh karena semuanya telah terkuras dalam tontonan itu sendiri (ia kini membosankan!). Diferensi dalam tontonan hanya dapat diproduksi melalui penyangkalan dunia nyata, dengan cara merubah fantasi, ilusi, fiksi, atau nostalgia menjadi tampak nyata (seakan-akan nyata), melalui produksi dan reproduksi simulasi.