BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Buah Naga Buah naga termasuk kelompok tanaman kaktus atau famili Cacteceae dan subfamili Hylocereanea, genus Hylocereus. Genus ini pun terdiri atas sekitar 16 spesies. Dua diantaranya memiliki buah yang komersial, yaitu H. undatus (berdaging putih) dan H. costaricensis (daging merah). Klasifikasi buah naga ialah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua) Ordo : Cactales Famili : Cactaceae Subfamili : Hylocereanea Genus : Hylocereus Spesies : - Hylocereus undatus (buah naga daging putih) - Hylocereus costaricensis (buah naga daging merah) - Hylocereus costaricensis (buah naga daging super merah) - Selenicereus megalanthus (buah naga kulit kuning daging putih) (Benyaliwibowo, 2008).
Gambar 2.1 Buah Naga Putih Tanaman kaktus pemanjat penghasil buah naga ditemukan pertama kali ditempat tumbuhnya yang asli di lingkungan hutan belantara. Tempat
5
asalnya adalah Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan bagian utara. Di Meksiko, buah naga disebut pita haya. Sedangkan di Amerika Selatan disebut pitaya roja (pitaya merah). Di tiap-tiap negara, buah ini memiliki nama yang berbeda-beda. Buah naga di Cina disebut feuy long kwa; dalam bahasa Mandarin disebut lung kuo; di Vietnam selain disebut thang loy, juga disebut clever dragon; di Thailand dinamakan kaew mangkorn; di Taiwan dinamakan shien mie kuo; di Israel disebut pitahaya; di Hawaii disebut melano; di Australia disebut rhino fruit. Nama lainnya adalah pir strawberry, buah kaktus, pitaya, atau kaktus orkid. Secara internasional,
buah
naga
dikenal
dengan
nama
dragon
fruit
(Winarsih, 2007). Buah naga atau Dragon fruit (Hylocereus undatus (Haw.) Britt. & Rose; famili Cactaceae) saat ini banyak dikembangkan di Indonesia. Buah ini berbeda dengan famili Cactaceae lainnya, yakni memiliki rasa yang manis dan segar. Kekhasan lain dari tanaman ini adalah pada tiap nodus batang terdapat duri. Bunga mekar pada malam hari dan layu pada pagi hari (night blooming). Salah satu jenis buah naga yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah buah naga daging putih (Hylocereus undatus). Buah naga yang digunakan untuk menurunkan kolesterol dan gula darah ini memiliki kandungan protein 0,48-0,5 %, karbohidrat 4,33-4,98, lemak 0,17-0,18, dan vitamin seperti karoten, thiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat (Morton, 1987 dalam Umayah 2007). Terdapat beberapa komponen antioksidan pada buah naga putih, yakni komponen fenolik yang sebagian besar terdapat pada gallic acid (GA) (Kim dkk., 2011) dan asam ferulat dengan sedikit kandungan hydroxycinnamic acid (Mahattanatawee dkk., 2006). Selain asam fenolik, buah naga juga mengandung senyawa flavonoid (senyawa polifenol) seperti phloretin-2-O-glucoside dan myricetin-3-O-galactopyranoside (Kim dkk., 2011). Disamping sifat antioksidannya, buah naga juga memiliki aktivitas antipoliferatif (Kim dkk., 2011; Wu dkk.,, 2006). Komponen fitokimia pada buah naga dapat menjadi kemopreventif kanker,
6
antipoliferasi, anti mikroba, dan sebagai anti inflamasi yang bekerja pada sel hidup (Nagasaka dkk., 2007; Parr and Bolwell, 2000, dalam Liaotrakoon, 2013). Sekilas rasa buah naga seperti buah kiwi, kombinasi antara manis, asam, dan segar. Buah naga bisa disantap sebagai buah meja, diolah menjadi puding, isi pai, campuran salad atau es buah. Dibalik rasanya yang manis dan menyegarkan, buah naga kaya akan manfaat seperti menurunkan kolesterol dan penyeimbang gula darah, pengikat zat karsinogen penyebab kanker dan memperlancar proses pencernaan (Winarsih, 2007). Secara keseluruhan, buah ini baik untuk kesehatan dan dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi sehari-hari. Tabel 2.1 Perbandingan Kandungan Nilai Gizi pada Tiga Jenis Buah Naga/ 100g Daging Buah Kandungan
Hylocereus polyrhizus 82,5 – 83,0 0,16 – 0,23 0,21-0,61 0,7 - 0,9 0,54 – 0,68 6,3 – 8,8 30,2 – 36,1 0,55 – 0,65 0,005 – 0,012 0,28 – 0,043 0,28 – 0,045 0,297 – 0,430
Air (g) Protein (g) Lemak (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Karoten (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam askorbat 8,0 – 9,0 (mg)
Hylocereus undatus 89,4 0,5 0,1 0,3 0,5 6,0 19,0 0,4 ? 0 0 0,2
Selenicereus megalanthus 85,4 0,4 0,1 0,5 0,4 10,0 16,0 0,3 ? 0 0 0,2
55,0
4,0
Sumber : 1. Morton (1987) 2. Crane (2005) 3. Mahattanatawee, dkk., (2006)
Pitaya (H.undatus) merupakan buah non-klimakterik dan sensitif terhadap kerusakan dingin. Buah dapat dipanen setelah 30 hari, tetapi lebih baik untuk menunda panen menjadi sekitar 50 hari, agar buah yang dihasilkan lebih manis. Ukuran buah terus tumbuh hingga buah dipanen, dengan tidak ada perubahan nyata dalam kandungan gula. Dilaporkan
7
bahwa buah yang dipanen 50 hari setelah berbunga memiliki berat 50% lebih berat (rata-rata 17 oz) dari pada panen sebelumnya (30 hari, rata-rata 12 oz) (Chang dan Yen 1997). Buah dapat disimpan dalam kantung plastik berlubang untuk 25-30 hari pada 40 ° F, tetapi mereka akan berlangsung kurang dari 10 hari pada suhu kamar (Zee dkk., 2004). Ciri- ciri buah naga siap dipanen adalah sebagai berikut: a. Permukaan kulit buahnya tampak lebih mengilap dibanding buah naga yang seblum masak b. Jumbai/ sisik yang terdapat pada buah telah berubah warna dari hujau menjadi kemerahan c. Umur panen buah naga antara 35-45 hari sejak buah mekar (Samadi, 2013). 2. Sari Buah Menurut SNI 01-3719-1995, minuan sari buah (fruit uice) adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Menurut Muchtadi, dkk (1979), Sari buah ada larutan inti dari daging buah yang diencerkan sehingga mempunyai cita rasa yang sama dengan buah aslinya. Keuntungan yang dapat diperoleh dari konsumsi minuman sari buah atau jus yaitu kemudahan dalam menghabiskannya. Selain itu, konsistensi yang cair dari jus, memungkinkan zat – zat terlarutnya mudah diserap oleh tubuh. Dengan dibuat jus, dinding sel selulosa dari buah akan hancur dan larut sehingga lebih mudah untuk dicerna oleh lambung dan saluran pencernaan (Wirakusumah, 2013). Kualitas sari buah setara dengan kualitas buahnya. Beberapa penentu kualitas adalah kekentalan, kekeruhan, dan kadar padatan terlarutnya. Pada prinsipnya dikenal 2 (dua) macam sari buah, yaitu sari buah encer , yakni cairan buah yang diperoleh dari pengepresan daging buah, dan dilanjutkan dengan penambahan air dan gula pasir. Sari buah pekat (sirup) yaitu cairan yang dihasilkan dari pengepresan daging buah dan dilanjutkan dengan proses pemekatan, baik dengan cara pendidihan
8
biasa maupun dengan cara lain seperti penguapan dengan hampa udara, dan lain – lain. Sirup ini tidak dapat langsung diminum, tetapi harus diencerkan terlebih dahulu dengan air (Juansah, dkk., 2009). Syarat mutu sari buah menurut SNI 01-3719-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Syarat Mutu Sari Buah No
Uraian
1.
Keadaan
2.
Aroma Rasa Bilangan formol
3.
Bahan tambahan makanan
Normal Normal min 1,5
Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 0,3 Maks 5,0 Maks 5,0 Maks 40/250* Maks 0,2 Maks 0,2
a. Angka lempeng total
Koloni/ gram
Maks 2x102
b. c. d. e.
APM/ml APM/ml Koloni/25 ml
Maks 20 <3 Negatif
Koloni/ml
0
Koloni/ml Koloni/ml Koloni/ml
Negatif Maks 50 Maks50
b. Pewarna buatan c. Pengawet Cemaran logam a. b. c. d. e. 5. 6.
Persyaratan
ml NaOH 0,1 N/100 ml
a. Pemanis buatan
4.
Satuan
Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg)
Cemaran Arsen (AS) Cemaran mikroba Bakteri coliform Eschericia coli Salmonela Staphylococcus aureus f. Vibrio Sp g. Kapang h. Khamir
9
3. Pasteurisasi Proses termal adalah teknik yang secara luas digunakan untuk meningkatkan eating quality, keamanan produk makanan, dan untuk memperpanjang mutu simpan produk. Proses termal secara konvensional diklasifikasikan berdasarkan pada intensitas panas yang digunakan: pasteurisasi (65-85oC), sterilisasi (110-121oC), dan ultra high temperature (UHT) perlakuan (140-160oC) (Amir dkk, 2013). Makanan dipanaskan karena beberapa alasan dimana alasan yang paling utama ialah untuk menginaktifasi mikroorganisme patogen atau pembusuk. Selain itu juga diperlukan untuk menginaktivasi enzim, menghindari
pencoklatan
buah
karena
polifenol
oksidase
dan
meminimalisir perubahan flavor karena aktivitas lipase dan proteolitik. Porses pemanasan makanan juga menyebabkan perubahan fisik, reaksi kimia dan perubahan nilai nutrisi makanan. Proses termal bervariasi berdasarkan intensitasnya, berkisar dari proses ringan seperti terminasi dan pasteurisasi hingga proses berat seperti sterilisasi. Variasi proses tersebut berpengaruh pada umur simpan dan karakteristik kualitas lain (Brennan, 2006). Pasteurisasi merupakan satu kesatuan kombinasi suhu dan waktu. Pasteurisasi yang baik adalah kombinasi suhu dan waktu yang dapat mendestruksi mikroba patogen secara optimum dengan retensi mutu yang maksimum (Tucker, 2003 dalam Anugrahwati, 2005). Menurut Fellows (1988) dalam Valentas dkk (1997), dalam penentuan perlakuan termal perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut: 1.
Tipe dan retensi panas mikroorganise target, spora atau enzim
2.
pH
3.
kondisi pemanasan
4.
sifat termofisik, bentuk, dan ukuran kontainer
5.
kondisi penyimpanan setelah proses
10
Menurut Kusuma (2007) selama proses pasteurisasi terjadi penurunan kandungan vitamin C pada sari buah jeruk pacitan. Suhu pasteurisasi yang semakin tinggi serta waktu pasteurisasi yang semakin lama menyebabkan kadar vitamin C dalam jeruk rendah. Kadar vitamin C mula – mula dalam jeruk pacitan sebesar 0,7129 mg/ml. Selama proses pasteurisasi dengan waktu 4,5 menit pada suhu 70 ºC terjadi penurunan kadar vitamin C menjadi 0,6538 mg/ml (menurun sebesar 8,29%), pada suhu 80 ºC menjadi 0,6404 (menurun sebesar 10,17%), dan suhu 90 ºC menjadi 0,6271 mg/ml (menurun sebesar 12,04%). 4. Vitamin C Vitamin adalah zat esensial yang diperlukan untuk membantu kelancaran penyerapan zat gizi dan proses metabolisme tubuh. Kekurangan vitamin akan berakibat terganggunya kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan asupan harian dalam jumlah tertentu yang idealnya bisa diperoleh dari makanan. Jumlah kecukupan asupan vitamin per hari untuk perawatan kesehatan ditentukan oleh RDA (Recomended Daily Allowance) (Yuliarti, 2009). Vitamin C (Taylor, 1993) adalah salah satu zat gizi yang berperan sebagai antioksidan dan efektif dalam mengatasi radikal bebas yang dapat merusak sel atau jaringan, termasuk melindungi lensa dari kerusakan oksidatif yang ditimbulkan oleh radiasi. Status vitamin C seseorang sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, asupan vitamin C harian, kemampuan absorpsi dan eskresi, serta adanya penyakit tertentu (Schetman, 1989). Rendahnya asupan serat dapat mempengaruhi asupan vitamin C karena bahan makanan sumber serat dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin C (Narins,1996). Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam air (aqueous antioxidant). Senyawa ini menurut Zakaria, dkk.,. (1996), merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen reaktif dalam plasma dan sel. Dalam keadaan murni, vitamin C berbentuk kristal putih dengan berat molekul 176,13 dan rumus molekul
11
C6H8O6. Vitamin C juga mudah teroksidasi secara reversibel membentuk asam dehidro-L- asam askorbat dan kehilangannya 2 atom hidrogen. Vitamin C memiliki struktur yang mirip dengan struktur monosakarida, tetapi mengandung gugus enadiol (Winarsih, 2007).
Gambar 2.2 Struktur Vitamin C Adapun karakteristik dan manfaat vitamin C adalah: a.
Larut di dalam air (asam askorbat-L) atau larut di dalam lemak (Vitamin C ester seperti ascorbyl palmitate).
b.
Meningkatkan produksi kolagen.
c.
Penting untuk berfungsinya neurotransmitters, termasuk dopamine, serotonin, dan acetylcholine.
d.
Berakumulasi di dalam sel darah putih untuk mempertahankan respons imunitas yang kuat (Perricone, 2007:117). Reaksi degradasi asam L-askorbat dalam larutan encer bergantng
pada beberapa faktor seperti pH, suhu, dan adanya oksigen atau logam. Lasam askorbat dapat stabil dalam sampel biologis seperti asam triklorasetat atau asam metafosfor (Rucker dkk, 2001). Degradasi L-asam askorbat dapat melalui dua jalur, yaitu jalur aerobik dan anaerobik. Alur degradasi aerobik berhubungan dengan adanya oksigen (pada headspace atau terlarut). Jalur anaerobik disebabkan oleh suhu penyimpanan, hanya dengan suhu penyimpanan yang lebih rendah yang dapat meminimalkan kecepatan degradasi. Ketika terdapat oksigen, degradasi secara anaerobik lebih minim dibanding degradasi secara aerobik. Pada kinetika degradasi asam askorbat di industri bubur strawberry, parameter kinetika yang didapat ialah pada suhu 60-97ºC (Sun, 2006).
12
Berkurangnya kandungan asam askorbat berhubungan dengan jumlah oksigen pada headspace yang terlarut pada produk, suhu, dan lama penyimpanan. Adanya oksigen terlarut, dekomposisi asam askorbat sebagian besar akan terjadi secara aerobik, namun ketika oksigen terlarut habis, maka dekomposisi berlanjut dengan alur anaerobik yang banyak dipengaruhi oleh suhu. Jalur anaerobik pada degradasi asam askorbat membentuk asam diketogulonat secara maksimum, pada pH 3 – 4. Berkurangnya kandungan asam askorbat juga berkorelasi dengan peningkatan proses pencoklatan jus. Selain itu, kerusakan enzimatis asam askorbat juga dapat disebabkan oleh enzim askorbat oksidase yang mengkatalis oksidasi asam askorbat menjadi asam dehido-L-askorbat. Askorbat oksidase menunjukkan aktivitas maksimum pada suhu 40 ºC dan tidak aktif pada suhu 65 ºC (Ball, 2006). L-asam askorbat stabil dalam suasana asam, tetapi mudah rusak oleh oksidasi, alkali, dan panas, khususnya apabila bercampur dengan zat besi dan tembaga. (Devi, 2010).
Gambar 2.3 Oksidasi Asam L-askorbat Ada beberapa metode yang dikembangkan untuk penentuan kadar vitamin C diantaranya adalah metode spektrofotometri UV-Vis dan metode iodimetri. Metode spektrofotometri dapat digunakan untuk penetapan kadar campuran dengan spektrum yang tumpang tindih tanpa pemisahan terlebih dahulu. Karena perangkat lunaknya mudah digunakan untuk instrumentasi analisis dan mikrokomputer, spektrofotometri banyak digunakan di berbagai bidang analisis kimia terutama farmasi. Sedangkan
13
metode iodimetri merupakan metode yang sederhana dan mudah diterpkan dalam suatu penelitian (Munson, 1991). Metode tritrimetri masih banyak digunakan dalam analisis farmasi karena memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya karena robustness-nya, mampu nencapai presisi dan akurasi yang tinggi, pengerjaannya murah, dan tidak memerlukan peralatan khusus, serta metodenya absolut dan tidak tergantung pada kalibrasi suatu instrumen (Watson, 2007). Bila dibandingkan
dengan
metode
spektrofotometri
visual,
metode
spektrofotometri kurang viabel dikarenakan lebih mahal dan memakan lebih banyak waktu dibanding metode iodimetri (Saputro, 2005 dalam Rahmawati dan Bundjali, 2012). Menurut Azrin (2009), L-asam askorbat dapat ditentukan dengan reaksi basis asam atau reaksi oksidasi – reduksi. L-asam askorbat merupakan asam lemah dan agen pereduksi yang baik. Iodin adalah agen oksidator yang lemah, maka iodin tidak akan mengoksidasi zat lain selain L-asam askorbat. Sebagai agen pereduksi yang kuat, L-asam askorbat akan mereduksi I2 menjadi I- dengan sangat mudah. Pada reaksi ini, molekul Lasam askorbat merupakan oksigen (dalam bentuk gugus OH). Setiap iodin atom pada molekul I2 menerima elektron dan menjadi bermuatan negatif membentuk ion iodida. Maka molekul L-asam askorbat teroksidasi dan molekul iodin tereduksi. Kelebihan iodin (I2) bereaksi dengan ion iodida (I-) membentuk ion triiodida (I3) yang memberikan warna biru kuat jika bereaksi dengan pati. C6H8O6 + I2 → C6H6O6 + 2I- + 2H+ I2 + I- → I3I3- + pati → kompleks pati (I3-) complex Oleh karenanya, pati ditambahkan pada permulaan titrasi untuk menentukan titik akhir titrasi. Warna yang terbentuk adalah biru kehitaman dikarenakan penggabungan ion dalam struktur pati dan digunakan sebagai penanda jumlah L-asam askorbat akhir pada reaksi redoks. Namun, metode titrasi tidak cocok dalam penentuan L-asam
14
askorbat pada sampel yang berwarna karena sulit menentukan warna biru kehitaman pada titik akhir titrasi setelah pati ditambahkan (Azrin, 2009). 5. Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2010). Dalam ilmu pangan, antioksidan didefinisikan sebagai suatu zat dalam makanan yang ketika berada dalam konsentrasi rendah dibandingkan dengan substrat teroksidasi secara signifikan mengurangi atau mencegah efek buruk dari spesies oksigen dan nitrogen reaktif (ROS/RNS) pada fungsi fisiologis normal manusia (Karadag dkk., 2009). Antioksidan alami umumnya berbentuk cairan pekat dan sensitif terhadap pemanasan. Antioksidan dapat rusak karena suhu tinggi dan mudah teroksidasi (Miryanti dkk., 2011). Menurut sumbernya, antioksidan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu antioksidan sintetik dan alami. Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang dibuat melalui sintesis secara kimia, contohnya: ter-butyl hidroquinone (tBHQ), butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), dan propil galat (PG). Konsentrasi rendah dari antioksidan tBHQ dan BHA telah lama digunakan untuk mencegah oksidasi dari produk makanan sehingga dapat menstabilkan produk tersebut (nutrisi, rasa, maupun warna). Dalam konsentrasi yang tinggi, tBHQ dapat menyebabkan kanker. Penyebabnya adalah metabolit dari oksidasi tBHQ, yaitu 2-tertbutyl-1,4-benzoquinone (tBBQ) dan ROS (Gharavi, Haggarty, dan El-Kadi, 2007). Sedangkan antioksidan alami merupakan antioksidan yang diproduksi langsung oleh tanaman maupun tubuh, contohnya: senyawa polifenol flavonoid, tanin, katalase, dan glutation peroksidase bekerja dengan mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2, sedangkan superoksida dismutase bekerja dengan
15
cara mengkatalis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2 (Winarsi, 2007). Berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan digolongkan menjadi 3
kelompok,
yaitu
antioksidan
primer,
sekunder,
dan
tersier
(Winarsi, 2007). a.
Antioksidan Primer Menurut McCord
(1979), Aebi (1984), dan Urisini dkk.,.
(1995), antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH-Px). Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dapat dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga chain-breakingantioxidant. b.
Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis. Antioksdan dalam kelompok ini juga disebut sistem pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanan ini terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Senyawa antioksidan non-enzimatis bekerja dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Menurut Suwono (2001) dan Lampe (1999), antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, -karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin.
16
c.
Antioksidan tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNArepair dan metioninsulfoksida reduktase, Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single atau double strand, baik gugus non-basa maupun basa (Demple&Harrison, 1994; Friedberg, dkk., 1995; dalam Winarsi, 2007). Uji DPPH (1,1-difenil-pikrilhidrazil) dilakukan untuk mengukur
aktivitas antioksidan utama dari setiap sampel pada penelitian ini. DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar, dan sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Prinsip uji DPPH adalah penghilangan warna untuk mengukur kapasitas antioksidan yang langsung menjangkau radikal DPPH dengan pemantauan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer. Radikal DPPH dengan nitrogen organik terpusat adalah radikal bebas stabil dengan warna ungu gelap yang ketika direduksi menjadi bentuk nonradikal oleh antioksidan menjadi warna kuning (Yu, 2008)
Gambar 2.4 Reaksi antioksidan dengan radikal DPPH 6. Kinetika Degradasi Termal Pengolahan makanan dan penyimpanan dapat menyebabkan perubahan pada kualitas makanan seperti perubahan warna, tekstur, flavor, dan nilai nutrisi. Perubahan kualitas secara kuantitatif dapat dimodelkan dengan persamaan kinetika sederhana yang dapat diaplikasikan untuk
17
proses pemanasan makanan (sterilisasi dan pasteurisasi) dan dehidrasi. Perubahan kualitas biasanya diikuti dengan kinetika orde 1 sebagai fungsi suhu, kandungan air, aktivitas air, dan komposisi gas. Kinetika orde 1 perubahan kualitas sama dengan kinetika inaktivasi mikroba dan enzim (Karel, 1983 dan Taoukis dkk, 1997 dalam Maroulis dan Saravacos, 2003). Perubahan kualitas pada bahan pangan akibat adanya kerusakan kimia, biokimia, mikrobia, dan fisika dapat dipecahkan dengan kinetika. Pemodelan kinetika menunjukkan bahwa perubahan dapat diubah menjadi model matematika termaasuk karakteristik kinetika pada beberapa parameter seperti energi aktivasi dan konstanta laju reaksi. Menurut Haefner (2005), terdapat tiga tujuan utama pada sistem pemodelan yakni pemahaan, prediksi, dan kontrol (Boekel, 2008). Menurut Kusnandar dkk (2010), laju inaktivasi mikroba mengikuti pola laju reaksi orde 1. Nilai D menyatakan ketahanan mikroba terhadap proses pemanasan yang didefinisikan dengan waktu (dalam menit) ang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri pada suhu tertentu. Semakin besar nilai D menunjukkan semakin tinggi ketahanan panas mikroba tersebut pada suhu pemanasan yang sama. Dalam hal ini, nilai D dan Z berubah pengertian untuk menghitung kinetika degradasi termal selain mikroba, misalnya aktvitas antioksidan. Nilai D0 menunjukkan nilai D pada suhu standar. Pengaruh suhu terhadap nilai D dinyatakan dengan nilai Z yaitu perbedaan suhu yang dapat mengubah niai D sebanyak 90%. Semakin kecil nilai Z menunjukkan semakin sensitif niai D oleh perubahan suhu pemanasan. Nilai D dan nilai Z dapat dihitung dengan persamaan berikut:
D= Z=
𝑡 log(
𝐶0 ) 𝐶𝑡
𝑇2−𝑇1 log(
𝐷𝑇 ) 𝐷0
18
D = waktu (menit) pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menurunkan kadar vitamin C maupun aktivitas antioksidan sebesar 90% atau siklus log. t = waktu pemanasan Ct atau C0 = konsentrasi pada waktu ke-0 (awal) atau setelah waktu pemanasan tertentu Z = perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 90% atau satu siklus log. T = suhu pemanasan tertentu (oC atau oF) DT atau D0 = nilai D pada suhu tertentu (DT) atau suhu awal (D0)
19
B. Kerangka Berpikir Buah naga putih merupakan buah yang sedang diminati di Indonesia dan memiliki kandungan vitamin C dan antioksidan.
Buah dan sayuran merupakan produk pangan yang murah dan dapat dijadikan sebagai sumber vitamin C dan antioksidan Rentan mengalami kerusakan akibat adanya aktivitas enzim dan aktivitas mikroba
Sari buah naga putih
Alternatif konsumsi buah naga putih.
pasteurisasi
Menurunkan kandungan vitamin C dan Antioksidan
Kinetika degradasi kadar vitamin C dan aktivitas antioksidan (nilai D, nilai z, nilai k, dan nilai Ea) Gambar 2.5 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah dengan adanya variasi suhu pasteurisasi dan waktu pasteurisasi akan mempengaruhi vitamin C dan aktivitas antioksidan dari buah naga putih (Hylocereus undatus).
20
1
5