6
BAB II LANDASAN TEORI
A. 1.
Tinjauan Pustaka Sel Surya Sistem photovoltaik yang telah diteliti dan paling terkenal adalah sistem photovoltaik generasi ketiga yang dikembangkan oleh Michael Gratzel pada 1991 dimana sistem ini dinamakan sel surya pewarna tersensitisasi (Dye Sensitized Solar Cells) (O’regan dan Gratzel, 1991). Perkembangan sistem konversi energi surya menjadi energi listrik berlangsung melalui sistem yang disebut sel photovoltaik. Sel surya merupakan suatu mekanisme yang bekerja berdasarkan efek photovoltaik dimana foton dari radiasi diserap kemudian dikonversi menjadi energi listrik. Efek photovoltaik sendiri adalah suatu peristiwa terciptanya muatan listrik di dalam bahan sebagai akibat penyerapan (absorbsi) cahaya dari bahan tersebut (Schmidt dan Gratzel, 2006). Parameter yang mengkonversi radiasi sinar matahari menjadi energi listrik antara lain intensitas radiasi, yaitu jumlah daya matahari yang mengenai permukaan per luasan dan karakteristik spektrum cahaya matahari (Green dan Martin, 1982). Adapun spektrum radiasi matahari dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Spektrum Radiasi Matahari (Green dan Martin, 1982)
7
Dari Gambar 2.1, dapat ditunjukkan bahwa spektrum sinar ultraviolet berada pada rentang panjang gelombang 200 nm – 400 nm, spektrum sinar tampak (visible) berada pada rentang panjang gelombang 400 nm – 700 nm, dan spektrum sinar inframerah yang merupakan komponen terbesar spektrum sinar matahari, melebar hingga panjang gelombang 2500 nm. Menurut D. Dwidjoseputro (1989): Papib (2010) sinar matahari terdiri atas berbagai sinar yang berlainan gelombangnya. Sinarsinar tampak oleh mata bergelombang 400 nm – 700 nm. Diurutkan dari yang bergelombang panjang maka sinar-sinar tersebut adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nilai, dan ungu. Sinar-sinar yang bergelombang lebih pendek daripada sinar ungu adalah sinar ultraviolet, sinar X, sinar gamma, dan sinar kosmik. Skala spektrum cahaya tampak dapat ditunjukkan pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Skala Spektrum Cahaya Tampak Panjang Gelombang (nm)
Warna yang diserap
Warna Komplementer (warna yang terlihat)
400-435
Ungu
Hijau kekuningan
435-480
Biru
Kuning
480-490
Biru kehijauan
Jingga
490-500
Hijau kebiruan
Merah
500-560
Hijau
Ungu kemerahan
560-580
Hijau kekuningan
Ungu
580-595
Kuning
Biru
595-610
Jingga
Biru Kehijauan
610-800
Merah
Hijau Kebiruan
(Smestad dan Gratzel, 1998)
2.
Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) Dye Sensitized Solar Cells ini pertama kali ditemukan oleh Michael Gratzel dan Brian O’Regan pada tahun 1991 di Ecole Polytechnique Federale de Lausanne, Swiss. Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) telah menjadi salah satu topik penelitian yang dilakukan intensif oleh peneliti di seluruh dunia. DSSC merupakan terobosan pertama dalam teknologi sel surya sejak sel surya silikon. Berbeda dengan sel surya
8
konvensional, DSSC adalah sel surya fotoelektrokimia menggunakan elektrolit sebagai medium transport muatan (Smestad dan Gratzel, 1998). Sel surya nanokristal TiO2 tersensitisasi dye dikembangkan sebagai konsep alternatif bagi piranti fotovoltaik konvensional berbasis silikon. Efisiensi konversi sistem sel surya tersensitasi dye telah mencapai 10-11%. Namun, sel surya ini memiliki kelemahan yaitu stabilitasnya rendah karena penggunaan elektrolit cair yang mudah mengalami degradasi atau kebocoran (Chiba et al., 2006). Sel surya TiO2 tersensitasi dye terdiri dari lapisan nanokristal TiO2 berpori sebagai fotoanoda, dye sebagai fotosensitizer, elektrolit redoks dan elektroda lawan (katoda) yang diberi lapisan katalis (Schmidt dan Gratzel, 2006). Struktur sel surya ini berbentuk struktur sandwich, dimana dua elektroda yaitu elektroda TiO2 tersensitisasi dye dan elektroda lawan mengapit elektrolit. Berbeda dengan sel surya silikon, pada sel surya tersentisisasi dye, foton diserap oleh dye yang melekat pada permukaan partikel TiO2. Dalam hal ini dye bertindak sebagai donor elektron yang dibangkitkan ketika menyerap cahaya, mirip fungsi klorofil pada proses fotosintesis. Sedangkan lapisan TiO2 bertindak sebagai akseptor elektron yang ditransfer dari dye teroksidasi. Elektrolit redoks berupa pasangan iodide/triodide (I-/I3-) bertindak sebagai mediator redoks sehingga menghasilkan proses siklus di dalam sel (Smestad dan Gratzel, 1998).
3.
Material Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) Material penyusun Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) antara alain elektroda kerja yang terdiri dari substrat kaca Indium Tin Oxide (ITO), Titanium Dioxide (TiO2), dye alami maupun sintesis, elektroda pembanding (elektroda karbon) yang terdiri dari substrat dan karbon / grafit, dan elektrolit diantara kedua elektroda.
a. Substrat Oksida Substrat yang digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparant Conductive Oxide) yang merupakan kaca transparan konduktif. Lapisan substrat oksida berfungsi sebagai kolektor arus dan bahan substrat itu sendiri sebagai lapisan
9
penyegel antara sel dalam DSSC dan udara luar. Material yang umumnya digunakan yaitu Fluorine doped tin oxide (SnF atau FTO) dan Indium Tin Oxide (ITO) sehingga dalam proses pelapisan material TiO2 pada substrat diperlukan proses sintering pada temperatur 400-500oC (Gao et al., 2000).
b. Elektroda Kerja Titanium dioksida (TiO2) merupakan bahan semikonduktor yang bersifat inert, stabil terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia. Lapisan TiO2 memiliki bandgap yang tinggi (>3eV) dan memiliki transmisi optik yang baik. Selain itu TiO 2 berpotensial pada aplikasi divais elektronik seperti DSSC dan sensor gas. TiO2 yang ada di alam pada umumnya mempunyai tiga fasa yaitu rutile, anatase dan brookite. Dalam aplikasinya pada fotokatalis, hanya dua fasa TiO2 yang sering digunakan yaitu: anatase dan rutile karena bersifat stabil dibandingkan brookite yang pada suhu 750oC mampu berubah menjadi rutile. Rutile mempunyai sifat yang paling stabil dibandingkan dari yang lain, karena mampu berubah pada suhu tinggi. Anatase bersifat metastabil karena mampu berubah menjadi rutile pada suhu 915oC. Titania pada fasa anatase umumnya stabil pada ukuran partikel kurang dari 11 nm, fasa brookite pada ukuran partikel 11-35 nm, dan fasa rutile diatas 35 nm. Dalam aplikasinya pada fotokatalis, umumnya digunakan TiO2 pada fasa anatase karena mempunyai kemampuan fotokatalitik yang tinggi. Selain itu, untuk meningkatkan kinerja sistem, struktur nanokristal dan juga luas permukaan yang tinggi dari TiO2 adalah faktor yang penting untuk menaikan jumlah dye yang terabsorp yang implikasinya akan menaikan jumlah cahaya yang terabsorpsi (Gratzel, 2003).
c. Pewarna (Dye) Organik Alam Telah banyak peneliti yang telah mengembangkan DSSC dengan mencoba berbagai jenis dye alami dari ekstrak tumbuhan. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitizer, salah satunya berupa ekstrak klorofil (Amao et al., 2004) atau antosianin (Wongcharee et al., 2007). Antosianin merupakan pigmen warna atau molekul yang bisa menyerap cahaya dan memberikan warna
10
merah, biru, dan ungu pada bahan-bahan organik seperti buah, bunga, dan daun (Prasanta et al., 2011). Senyawa antosianin yang paling banyak ditemukan adalah pelorgonidin
(orange),
cyanidin
(orange-merah),
peonidin
(orange-merah),
delphinidin (biru-merah), petunidin (biru-merah), dan malvidin (biru-merah) (Fernando dan Senadeera, 2008). Antosianin
memiliki
struktur
kimia
yang
terdiri
dari
kation
tujuh
hydroxyflavilium, molekul ini berfungsi dalam penyerapan cahaya dan membentuk warna seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2. Antosianin yang terbentuk secara alami mempunyai group hydroxyl (HO-) pada posisi 3 dan selalu terhubung dengan molekul glukosa yang dibutuhkan untuk kesetimbangan termal dan posisi 5 terdapat satu atau lebih group hydroxyl atau methoxy (CH3O-) pada cincin B. Ragam warna yang diperlihatkan oleh antosianin tergantung pada nomor dan posisi dari gugusan yang ada (Fernando dan Senadeera, 2008).
Gambar 2.2. Struktur kimia dasar dari antosianin(Fernando dan Senadeera, 2008).
Gambar 2.2 menunjukkan struktur molekul antosianin dengan susunan ikatan rangkap terkonjugasinya yang panjang. Pada sianidin R1 terdapat atom oksigen dan hidrogen membentuk gugus hidroksil dan R2 hanya terdapat atom oksigen, delfinidin R1 membentuk gugus hidroksil dan R2 juga membentuk gugus hidroksil, dan seterusnya sampai dengan malvidin R1 membentuk gugus metoksi (OCH3) dan
11
R2 juga membentuk gugus metoksi (OCH3) yang memberikan elektron. Untuk struktur molekul antosianin dapat dilihat keelektronegatifannya yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan atom / sebuah gugus fungsi untuk menarik elektron (atau rapatan elektron) menuju dirinya sendiri pada ikatan kovalen. Harga keelektronegatifan diukur menggunakan skala pauling yang besarnya antara 0,7 sampai 4. Unsur dengan keelektronegatifan besar, cenderung menerima elektron dan akan membentuk ion negatif. Sedangkan unsur dengan keelektronegatifan kecil, cenderung melepaskan elektron dan akan membentuk ion positif (Jolly and William, 1991). Pada struktur molekul antosianin jenis cyanidin-3-glucoside, R1 terdapat atom oksigen dan hidrogen membentuk gugus hidroksil dan R2 hanya terdapat atom hidrogen. Sebagai contoh nilai keelektronegatifan atom H sebesar 2,20 dan atom O sebesar 3,4. Atom H dengan nilai keelektronegatifan yang kecil akan melepaskan elektron dan membentuk ion positif. Atom Hidrogen sebagai acuan karena membentuk ikatan kovalen dengan semua unsur, jumlah atom yang diikat bergantung pada elektron valensinya. Sebagai contoh pada proses kopigmentasi logam Fe dengan molekul cyanidin-3-glucoside, atom H akan menyumbangkan 4 elektron bebas kepada ion logam pusat Fe dan menghasilkan ikatan kovalen koordinasi oleh karena orbital d pada atom Fe belum terisi penuh.
d. Deskripsi Daun Lidah Mertua Lidah mertua (Sansevieria trufasciata) adalah tanaman hias daun yang memiliki ciri-ciri daun menjulur ke atas, keras dan kaku. Warna daun ini biasanya hijau dan pinggiran daun berwarna kuning. Habitat aslinya justru di daerah tropis kering (iklim gurun yang panas dan pegunungan tandus). Sansevieria memang termasuk tanaman hias yang sering disimpan di dalam rumah karena tanaman ini dapat tumbuh dalam kondisi dengan sedikit air dan cahaya matahari. Sansevieria (lidah mertua) dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, jenis yang tumbuh memanjang ke atas dengan ukuran 50-75 cm dan jenis berdaun pendek melingkar dalam bentuk roset dengan ukuran 8 cm dan lebar 3-6 cm. Sansevieria memiliki rimpang, berdaun tebal dan memiliki kandungan air sekulen, serta ujung daunnya
12
runcing atau berduri. Mampu menyimpan air dalam jumlah yang banyak pada seluruh bagian tubuh. Tanaman lidah mertua mengandung zat aktif pregnane glikosid, abamagenin, kardenolin, saponin, dan polifenol (Hiday, 2015). Daun Lidah mertua diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Ordo
: Liliales
Famili
: Agavaceae
Genus
: Sansevieria
Spesies
: Sansevieria trifasciata
e. Deskripsi Daun Pandan Pandan adalah tanaman yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan sering ditanaman di pekarangan rumah atau kebun. Tanaman ini jenis monokotil dari famili Pandanaceae, tumbuh subur di daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Pandan adalah tanaman berupa perdu yang rendah, tingginya sekitar 2 m. Batangnya menjalar, berbentuk bulat dengan bekas duduk daun, bercabang, dan di bagian pangkal batang akan muncul berupa akar. Akar tanaman ini besar dan mempunyai akar tunggang yang menopang tanaman bila sudah cukup besar. Daunnya memanjang seperti daun palem dan tersusun secara roset yang rapat. Daun pandan merupakan daun tunggal, duduk memeluk batang, bentuknya sempit dan memanjang, seperti pita, ujungnya meruncing dengan tepi berduri kecil-kecil tajam. Tulang daun pandan sejajar, panjang daun kira-kira 40 – 80 cm dengan lebar 3 – 5 cm dan berwarna hijau kekuningan. Daun pandan merupakan bagian penting bagi kuliner dan biasanya sering digunakan sebagai pewarna dan pewangi makanan. Daun pandan mengandung alkaloid, saponin, flavoida, tannin, polifenol, dan zat warna (Anonim, 2013). Daun Pandan diklasifikasikan sebagai berikut :
13
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Pandanales
Famili
: Pandanaceae
Genus
: Pandanus
Spesies
: Pandanus amryllifolius
f. Deskripsi Daun Jati Cina Jati cina atau Cassia angustifoliaadalah genus besar tanaman berbunga dalam keluarga Fabaceae, subfamili Caesalpinioideae. Beragam genus ini adalah asli dari seluruh daerah tropis, dengan sejumlah kecil spesies mencapai ke daerah beriklim sedang. Tanaman daun jati cina merupakan tanaman yang liar yang tumbuh hingga mencapai 2 – 3 meter. Tanaman jati cina ini adalah tanaman semak yang memiliki batang daun 4 – 5 batang dan tiap batangnya terdiri dari 4 – 5 lembar daun kecil. Daun jati cina memiliki komponen 2 warna, yakni pada bagian atas daun berwarna hijau keabuan dan bagian bawah berwarna hijau kekuningan dan memiliki bunga yang indah berwarna kuning berbentuk gugusan yang tumbuh dan berkembang biak melalui biji.(Wikipedia, 2016). Daun jati cina diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Cassia
Spesies
: Cassia angustifolia
g. Deskripsi Bunga Rosella Nama ilmiah dari bunga rosella adalah Hibiscus sabdarifa L. yang merupakan famili dari Malvaceae.Tanaman ini dapat tumbuh di daerah tropis maupun sub tropis yang merupakan habitat asli di daerah terbentang dari India
14
hingga Malaysia. Rosella merupakan tanaman tahunan yang bisamencapai ketinggian 0,5 – 3 m. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangannya menjari, panjang daun 6 – 15 cm dan lebarnya 5 – 8 cm. Setiap bunga memiliki 8 – 11 helai dan berbulu, panjangnya 0,5 – 1,5 cm, pangkalnya saling berdekatan dan berwarna merah (Maryani dan Kristiana, 2005). Rosella digunakan secara luas dalam obat-obatan tradisional. Zat aktif yang paling berperan dalam kelopak bunga rosella meliputi gossypetin, antosianin, dan glucosidehibiscin. Antosianin merupakan pigmen alami yang memberi warna merah pada seduhan bunga rosella, dan bersifat antioksidan. Kadar antioksidan yang tinggi pada kelopak rosella dapat menghambat radikal bebas. Bunga rosella di bidang pangan kini dikembangkan sebagai bahan baku makanan seperti salad, selai, dan lain-lain. Selain itu kelopak bunga rosella juga dimanfaatkan sebagai penghasil zat warna alami yang sering diaplikasikan dalam industri makanan dan dikembangkan sebagai dye sensitizer dalam bidang energi alternatif (Wongcharee et al., 2007). Bunga Rosella diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Kelas
: Dycotyledone
Ordo
: Malvales
Famili
: Malvaceae
Genus
: Hibiscus
Spesies
: Hibiscus sabdarifa L.
h. Deskripsi Kembang Sumba Kembang sumba (Bixa orellana) adalah perdu tegak atau pohon kecil dengan tinggi 2 – 8 m. Tumbuhan ini berasal dari Amerika tropis. Daunnya tunggal, bertangkai panjang, dan besar. Helaian daunnya berbentuk bulat telur, ujungnya runcing, dengan pangkal yang rata dan kadang berbentuk jantung. Tepi daunnya rata, dengan pertulangan daun menyirip, ukuran daunnya 8 – 20 cm x 5 – 12 cm,
15
berwarna hijau berbintik merah. Perbungaan tumbuhan ini majemuk, dengan warna merah muda atau putih dengan diameter 4 – 6 cm. Buahnya seperti rambutan, tertutup rambut seperti sikat, berwarna hijau sewaktu masih muda, dan merah tua apabila sudah masak. Buahnya pipih, panjang 2 – 4 cm, dan berisi banyak biji kecil berwarna merah tua. Zat kimia yang terkandung dalam batang dan daun kesumba diantaranya: tanin, kalsium oksalat, saponin, dan lemak. Selain itu juga, pada akar, daun, dan bijinya mengandung zat warna biksin, orelin, glukosida, zat samak, dan damar. Pada bagian daun tumbuhan ini terdapat senyawa kimia diantaranya flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri. Pada bagian biji diambil bagian nonpolarnya yaitu senyawa bixin yang berwarna kuning, misalnya untuk pewarna margarine, akan tetapi sebenarnya untuk pewarnaan tekstil dan batik dapat menggunakan bagian yang biasanya dibuang pada tumbuhan galinggem tersebut yaitu bagian kulit buah (Wikipedia, 2015). Kembang sumba diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Kelas
: Dycotyledone
Ordo
: Malvales
Famili
: Bixaceae
Genus
: Bixa
Spesies
: Bixa orellana
i. Deskripsi Buah Naga Buah naga adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga Hylocereus dan Selenicereus. Buah ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan namun sekarang juga dibudidayakan di negara-negara Asia seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan Malaysia. Morfologi tanaman buah naga terdiri dari akar, batang, duri, bunga, dan buah. Akar buah naga hanyalah akar serabut yang berkembang dalam tanah pada batang atas sebagai akar gantung. Pada bagian duri, akan tumbuh bunga yang bentuknya mirip bunga Wijayakusuma. Bunga yang
16
tidak rontok berkembang menjadi buah. Bunganya mekar pada awal senja jika kuncup bunga sudah berukuran sekitar 30 cm. Buah naga bentuknya bulat agak lonjong seukuran dengan buah alpukat. Kulit buahnya berwarna merah menyala untuk buah naga putih dan merah, berwarna merah gelap untuk buah naga hitam, dan berwarna kuning untuk buah naga kuning. Di sekujur kulit dipenuhi dengan jumbai-jumbai yang dianalogikan dengan sisik naga. Oleh sebab itu, buah ini disebut buah naga. Batangnya berbentuk segitiga, durinya sangat pendek dan tidak mencolok, sehingga sering dianggap kaktus tak berduri. Buah naga dapat berkembang dengan kondisi tanah dan ketinggian lokasi apapun, namun tumbuhan ini sangat membutuhkan unsur hara, sehingga apabila tanah mengandung pupuk yang bagus, maka pertumbuhannya akan baik. Buah naga merah memiliki banyak manfaat seperti: terapi penyembuhan kanker, membantu menjaga kesehatan kulit, menurunkan kadar kolesterol, merawat kesehatan mata, dan kesehatan jantung (Wikipedia, 2016).
j. Deskripsi Kulit Joho Joho (Terminalia bellirica) adalah nama sejenis pohon dengan tinggi mencapai 30 – 50 m. Batang tegak, berkayu, permukaan kasar, percabangan simpodial, dan berwarna hijau keputih-putihan. Daun majemuk, berwarna hijau, lonjong tersebar, berukuran panjang 9 –17 cm, lebar 5 – 8 cm, tepi rata, ujung tumpul, pangkal runcing, pertulangan daun menyirip, permukaan daun halus, bertangkai bulat dengan panjang 1 – 4 cm, tersusun melingkar secara teratur di sepanjang percabangan. Bunga majemuk, berwarna putih kekuningan, bertangkai bulat dan silindris, panjang 2 cm, dan berjumlah banyak. Buah kotak, agak bulat elips, dengan panjang 3,5 cm, berbulu lebat, berwarna hijau, dan biasanya berjumlah 1 – 3 buah per tandan yang terdiri dari 2 lapisan (lapisan luar keras dan bagian dalam empuk). Biji keras, bulat, dan berwarna hitam. Akar tunggang dan berwarna cokelat muda. Joho dapat ditemukan di hutan campuran, dan kebanyakan sering dijumpai di hutan jati.Pepagan dan daun-daun joho dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit, sebagai pewarna hitam, dan juga untuk membuat tinta. Pepagan menghasilkan zat
17
pewarna kuning kecokelatan sampai warna zaitun, dan mengandung 11 – 23% tannin (Zuhud et al., 2013). Kulit joho diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Myrtales
Famili
: Combretaceae
Genus
: Terminalia
Spesies
: Terminalia bellirica
k. Deskripsi Kayu Secang Kayu secang atau yang bernama latin Caesalpinia sappan L. merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang dimanfaatkan kulit kayu dan batang kayunya sebagai bahan rempah. Buah secangnya merupakan salah satu jenis polongpolongan. Kayu secang sendiri merupakan jenis tanaman yang tumbuh subur pada dearah asia tenggara, termasuk Indonesia. Ukuran pohon secang bisa mencapai 6 meter dan memiliki batang yang berbentuk silinder berwarna kecokelatan. Kulit dari kayu secang dapat mengeluarkan zat warna merah alami. Oleh karena itu, kayu secang sering sekali digunakan sebagai bahan dasar untuk pewarna, terutama warna merah. Hal ini disebabkan karena kayu secang memiliki senyawa Brazilin, yang dapat menghasilkan warna merah alami. Manfaat kayu secang juga memiliki kandungan polifenol yang tinggi. Polifenol sendiri merupakan salah satu zat yang merupakan manfaat antioksidan dan penangkal radikal bebas (Chyana, 2015). Kayu secang diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
18
Genus
: Caesalpinia
Spesies
: Caesalpinia sappan L.
l. Deskripsi Ketan Hitam Ketan hitam, merupakan versi ketan dari beras hitam. Warna beras ketan hitam disebabkan oleh sel-sel pada kulit ari yang mengandung antosianin. Bagian terbesar beras didominasi oleh pati (sekitar 80-85%). Pati beras tersusun dari dua polimer karbohidrat, yaitu amilosa (pati dengan struktur tidak bercabang) dan amilopektin (pati dengan struktur bercabang dan cenderung bersifat lengket). Perbandingan komposisi kedua golongan pati ini sangat menentukan warna (transparan atau tidaknya) (Eskin dalam Tensiska et al., 2007). Struktur anatomi biji padi dapat ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3. Struktur anatomi biji padi (Anonymous, 2009)
Biji padi (kariopsis) sehari-hari dikenal sebagai beras. Butir beras terdiri dari endosperm, aleuron, dan embrio. Kemudian tagmen dan lapisan terluar disebut perikarp (Makarim dan Suhartatik, 2009).Kulit padi yang merupakan bagian terluar dari biji padi terdiri atas kombinasi aleuron dan perikarp. Pigmen yang memberikan warna pada beras terdapat pada bagian palea (sekam), lemma, perikarp, tegmen, dan lapisan aleuron. Warna beras diatur secara genetik, dan dapat berbeda akibat perbedaan gen yang mengatur warna aleuron, endospermia, dan komposisi pati pada endospermia. Pada beras hitam maupun ketan hitam, aleuron dan endospermia
19
memproduksi antosianin dengan intensitas tinggi sehingga warna beras menjadi ungu pekat mendekati hitam (Anonymous, 2009). Soemartono (1980) melaporkan bahwa dalam beras ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) terdapat zat warna antosianin yang dapat digunakan sebagai pewarna alami pada makanan. Antosianin merupakan pigmen berwarna merah, ungu dan biru yang biasa terdapat pada tanaman tingkat tinggi. Beras ketan hitam kaya akan antosianin terutama sianidin-3-glukosida dan peonidin-3-glukosida (Buraidah et al., 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sangkitikomol et al., kandungan antosianin pada beras ketan hitam lebih tinggi dibandingkan beras hitam dan beras merah (Sangkitikomol et al., 2010). Beras diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Kelas
: Monocotyledons
Ordo
: Cyperales
Famili
: Poaceae
Genus
: Oryza Sativa
Spesies
: Oryza sativa glutinosa
m. Besi (III) Sulfat Besi (III) sulfat (atau ferri sulfat) ialah senyawa kimia dengan rumus Fe2(SO4)3, sulfat dari besi trivalen. Biasanya kuning, ini adalah garam kristal rhombic dan larut dalam air pada suhu kamar. Ferri sulfat digunakan sebagai pigmen, dan dalam bak pengawet untuk aluminium dan baja. Secara medis ferri sulfat digunakan sebagai astrigren dan penahan darah (styptic) (Ansarikimia, 2014). Adapun sifat-sifatnya adalah sebagai berikut: 1. Rumus molekul: Fe2(SO4)3 2. Berat molekul: 399,88 gr/mol (anhidrat); 489,96 gr/mol (pentahidrat); 562,00 gr/mol (enneahidrat) 3. Penampilan: Kristal putih abu-abu
20
4. Densitas: 3,097 gr/cm3 (anhidrat); 1,898 gr/cm3 (pentahidrat) 5. Titik leleh: 480oC (anhidrat); 175oC (nonhidrat) 6. Kelarutan dalam air: sedikit larut 7. Kelarutan dalam pelarut lain: sedikit larut dalam alkohol, dalam alkohol dan etil asetat dapat diabaikan, dalam asam sulfat, ammonia tidak larut. 8. Indeks refraksi(nD): 1,814 (anhidrat); 1,552 (enneahidrat). Pemilihan kompleks besi didasarkan pada, logam besi terletak pada logam transisi dimana konfigurasi elektronnya d6 sama seperti logam ruthenium dan osmium (telah banyak digunakan sebagai pewarna sel surya), logam besi lebih mudah didapat karena kelimpahan di alam lebih banyak dibandingkan logam yang lain, bersifat ferromagnetik, memiliki kuantum yang relatif tinggi untuk menghasilkan sensitisasi pada nanokristalin TiO2, harganya lebih murah dan bisa diperoleh di Indonesia dengan mudah dibanding logam lain yang pernah diteliti sebelumnya sebagai kompleks untuk sel surya, larut dalam pelarut polar, panjang gelombangnya pada daerah UV-vis yaitu 551 nm (Sokolowska, 1996).
n. Elektrolit Elektrolit yang digunakan pada DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam pelarut. Larutan elektrolit pada sistem DSSC berungsi untuk menggantikan kehilangan elektron pada pita HOMO (High Occupied Molecular Orbital) ke pita LUMO (LowerUnoccupied Molecular Orbital) karena penyerapan cahaya tampak oleh dye. Elektrolit juga dapat menerima elektron pada sisi elektroda lawan karena adanya katalis. Karakteristik ideal dari pasangan redoks untuk elektrolit DSSC yaitu: potensial redoksnya secara termodinamika berlangsung sesuai dengan potensial dari dye untuk tegangan sel yang maksimal, memiliki kestabilan yang tinggi baik dalam bentuk terreduksi dan teroksidasi dan inert terhadap komponen lain pada DSSC. Elektrolit yang digunakan dapat berfase cair maupun padat, tergantung pada pelarutnya. Biasanya perubahan energi yang ditimbulkan oleh elektrolit berfase cair lebih baik daripada elektrolit berfase padat.
21
Hal ini disebabkan karena kontak antar permukaan elektrolit dengan pewarna pada elektrolit berfase cair lebih tinggi (Gratzel, 2003).
o. Elektroda Lawan Peran dari elekroda lawan ada dua: pertama, transfer elektron dari sirkuit eksternal kembali ke sistem redoks (Narayan, 2012) dan kedua, mengkatalisis reaksi reduksi muatan mediator teroksidasi (Ting dan Chao, 2010). Elektroda platinum (Pt) telah menjadi bahan pilihan karena merupakan katalis yang sangat baik untuk reduksi triiodide, tetapi tidak diterapkan dalam jumlah besar karena biaya fabrikasi tinggi sehingga mendorong komunitas riset untuk mencari bahan alternatif (Calandra et al., 2010). Namun hal inilah yang harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dengan menggunakan elekroda lawan dari Platina. Platina berfungsi mengurangi hambatan atau resistan pada substrat kaca FTO. Pada proses pendeposisian platina, banyak metode yang digunakan antara lain elektrokimia, sputtering, spin coating, atau pyrolysis. Terkendala platina merupakan material yang cukup mahal, grafit dan karbon juga bisa digunakan sebagai elekroda lawan. Karbon (C) merupakan alternatif menarik yang menawarkan biaya lebih rendah, konduktivitas yang cukup, tahan panas, tahan terhadap korosi dan menunjukkan aktivitas elektrokatalitik untuk reduksi triiodide (Ting dan Chao, 2010). Tetapi grafit dan karbon merupakan katalis yang kurang baik dalam mengurangi resistan atau hambatan pada substrat kaca FTO.
4. Prinsip Kerja Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) Elektroda kerja pada DSSC merupakan kaca yang sudah dilapisi oleh TiO2 yang telah terabsorbsi oleh dye, yang mana TiO2 berfungsi sebagai collector elektron sehingga dapat disebut sebagai semikonduktor tipe-n. struktur nano pada TiO2 memungkinkan dye yang terabsorbsi lebih banyak sehingga menghasilkan proses absorbsi cahaya yang lebih efisien. Pada elektron pembanding dilapisi katalis berupa karbon untuk mempercepat reaksi redoks pada elektrolit. Pasangan redoks yang umumnya dipakai yaitu I-/I3- (iodide/triiodide) (Smestad dan Gratzel, 1998).
22
Pada DSSC dye berfungsi sebagai donor elektron yang menyebabkan timbulnya hole saat molekul dye terkena sinar matahari. Sehingga dye dapat dikatakan sebagai semikonduktor tipe-p. Ketika molekul dye terkena sinar matahari, elektron dye tereksitasi dan masuk ke daerah tereduksi yaitu lapisan titanium dioksida. Prinsip kerja pada DSSC secara skematik ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Prinsip Kerja DSSC berbasis Dye rutheniumN3 (Calandra et al., 2010)
Proses yang terjadi di dalam DSSC dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Ketika foton dari sinar matahari menimpa elektroda kerja pada DSSC, energi foton tersebut diserap oleh larutan dye yang melekat pada permukaan partikel TiO2, sehingga elektron dari dye mendapatkan energi untuk dapat tereksitasi (D*) D + cahaya
D*
(2.1)
2. Elektron yang tereksitasi dari molekul dye tersebut akan diinjeksikan ke pita konduksi TiO2 dimana TiO2 bertindak sebagai akseptor / kolektor elektron. Molekul dye yang ditinggalkan kemudian dalam keadaan teroksidasi (D+). D* + TiO2
e-(TiO2) + D+
(2.2)
3. Selanjutnya elektron akan ditransfer melewati rangkaian luar menuju elektroda pembanding (elektroda karbon).
23
4. Elektrolit redoks biasanya berupa pasangan iodide dan triiodide (I-/I3-) yang bertindak sebagai mediator elektron sehingga dapat menghasilkan proses siklus dalam sel. Triiodide dari elektrolit yang terbentuk akan menangkap elektron yang berasal dari rangkaian luar dengan bantuan molekul karbon sebagai katalis. 5. Elektron yang tereksitasi masuk kembali ke dalam sel dan bereaksi dengan elektrolit menuju dye teroksidasi. Elektrolit menyediakan elektron pengganti untuk molekul dye teroksidasi. Sehinggga dye kembali ke keadaan awal dengan persamaan reaksi (Smestad dan Gratzel, 1998) : D+ + e-(elektrolit)
elektrolit + D
(2.3)
Tegangan yang dihasilkan oleh sel surya TiO2 tersensitisasi dye berasal dari perbedaan tingkat energi konduksi elektroda semikonduktor TiO2 dengan potensial elektrokimia pasangan elektrolit redoks (I-/I3-). Sedangkan arus yang dihasilkan dari sel surya ini terkait langsung dengan jumlah foton yang terlibat dalam proses konversi dan bergantung pada intensitas penyinaran serta kinerja dye yang digunakan (Li et al., 2006).
5.
Karakterisasi Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) Karakterisasi dalam penelitian meliputi karakterisasi arus-tegangan (I-V) DSSC, karakterisasi sifat optik (spektrum absorbansi), karakterisasi sifat kimiawi (ikatan molekular dye), dan karakterisasi kelistrikan (konduktivitas)dye. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan di sub bab berikut :
a.
Karakterisasi arus-tegangan (I-V) DSSC Kinerja sel surya berbasis Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) dapat dilihat berdasarkan efisiensi konversi energi listrik. Kemampuan dari perangkat sel surya untuk menghasilkan arus dan tegangan digunakan untuk mengetahui daya listrik yang dapat dihasilkan oleh sistem ketika disinari cahaya dan dibandingkan dengan tanpa disinari oleh cahaya Efisiensi dapat diketahui melalui kurva arus-tegangan (IV) yang dihasilkan oleh sel surya tersebut. Gambar 2.5 menunjukkan kurva I-V sel surya (Soga, 2006)
24
Gambar 2.5 Kurva I-VDye Sensitized Solar Cell (DSSC) (Soga, 2006)
Ketika sel dalam kondisi short circuit, akan dihasilkanarus maksimum atau arus short circuit (Isc). Pada kondisi rangkaian terbuka atau open circuit maka arus yang dihasilkan adalah nol, sehingga akan menghasilkan tegangan yang maksimum atau tegangan open circuit (Voc). Pmaks merupakan suatu titik dimana daya maksimum yang dihasilkan oleh suatu sel surya. Fill Factor(FF) merupakan suatu ukuran kuantitatif kualitas suatu sel surya, serta merupakan ukuran luar persegi kurva I-V, Fill Factor dapat diperoleh menggunakan Persamaan 2.4. (Cari et al., 2013) : (2.4) Dengan menggunakan Fill Factor, maka daya maksimum yang dihasilkan sel surya dapat diperoleh melalui Persamaan 2.5. (2.5) Sehingga didapatkan efisiensi ( ) yang dihasilkan sel surya melalui Persamaan 2.6. =
( )
(2.6)
25
Efisiensi dari sel surya adalah faktor yang menjadi ukuran kualitas performa suatu sel surya. Semakin besar efisiensinya maka semakin tinggi pula performa suatu sel surya (Cari et al., 2013). Efisiensi dari sel surya tergantung pada temperatur dari sel dan yang lebih penting kualitas illuminasi. Misalnya intensitas cahaya dan intensitas spektrum yang terdistribusi. Oleh karena itu, standar kondisi pengukuran harus dikembangkan sejalan dengan pengujian sel surya di laboratorium (Fredicha et al., 2013). b. Karakterisasi Sifat Optik Material Dalam interaksi materi dengan cahaya (radiasi elektromagnetik), cahaya kemungkinan diteruskan, diserap, atau dihamburkan. Spektrofotometri dirancang untuk mengukur konsentrasi yang ada dalam suatu sampel. Dimana zat yang ada dalam sampel disinari dengan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu. Ketika cahaya mengenai sampel sebagianakan diserap, sebagian akan dihamburkan, dan sebagian lagi akan diteruskan. Pada spektrofotometri, cahaya datang atau cahaya masuk atau cahaya yang mengenai permukaan zat dan cahaya setelah melewati zat tidak dapat diukur, yang dapat diukur adalah
atau (perbandingan
cahaya datang dengan cahaya setelah melewati materi (sampel)). Proses penyerapan cahaya oleh suatu zat ditunjukkan oleh Gambar2.6.
I1
I0 l
Gambar 2.6 Skema hukum Lambet-Beer memperlihatkan penurunan energi radiasi akibat penyerapan cahaya (Atkins dan Paula, 2006)
26
Dari Gambar 2.6, cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi ( ) sedangkan cahaya yang dihamburkan diukur sebagai transmitansi( ). Hukum Lambert-Beer atau Hukum Beer berbunyi: “apabila energi elektromagnetik diabsorbsi oleh suatu bahan maka energi yang akan ditransmisikan kembali akan menurun secara geometri (secara eksponensial) dengan jarak yang telah ditempuh oleh gelombang tersebut”. Berdasarkan hukum Lambert-Beer, untuk menghitung banyaknya hamburan cahaya (Atkins dan Paula, 2006): (2.7) atau (2.8) Dan absorbansi dinyatakan dengan persamaan: (2.9) merupakan intensitas cahaya datang dan I adalah intensitas cahaya setelah melewati sampel. c. Karakterisasi Sifat Kimiawi Material Metode spektroskopi
FTIR
(Fourier Transform Infrared),
yaitu
metode
spektroskopi inframerah yang dilengkapi dengan transformasi Fourier untuk analisis hasil spektrumnya. Metode spektroskopi yang digunakan adalah metode absorbs. Absorpsi inframerah oleh suatu materi dapat terjadi jika dipenuhi dua syarat, yaitu kesesuaian antara frekuensi radiasi inframerah dengan frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan momen dipol selama bervibrasi (Chatwal, 1985). Pada prinsipnya, bila radiasi infra merah dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul-molekulnya dapat menyerap (mengabsorpsi) energi sehingga terjadi transisi antara tingkat vibrasi dasar (ground state) dan tingkat vibrasi tereksitasi (exited state). Pengabsorpsian energi pada berbagai frekuensi dapat dideteksi oleh Spektrofotometer inframerah, yang memplot jumlah radiasi inframerah yang diteruskan melalui suatu cuplikan sebagai panjang gelombang radiasi untuk memberikan informasi tentang gugus fungsional suatu molekul. Vibrasi molekul
27
hanya akan terjadi bila suatu molekul terdiri dari dua atom atau lebih. Suatu ikatan kimia dapat bervibrasi sesuai dengan level energinya sehingga memberikan frekuensi yang spesifik. Macam-macam vibrasi ada 2 yaitu ada vibrasi regangan (stretching) dan vibrasi tekuk (bending). Vibrasi stretching ada 2 tipe yaitu stretching asimetri dan stretching simetri. Perbedaannya, stretching simetris merupakan perubahan panjang ikatan menjadi lebih panjang atau lebih pendek namun tidak menyebabkan perubahan momen dipol (momen dipole 0) sehingga IR tidak aktif (Stuart, 2004).
Gambar 2.7Regangan Simetri dan Regangan Asimetri (Stuart, 2004)
Gambar 2.8Perbedaan tipe dari vibrasi tekuk (bending) (Stuart, 2004)
28
Vibrasi bending merupakan perubahan sudut ikatan yang pasti menyebabkan perubahan momen dipole sehingga IR akitf. Ada 4 tipe vibrasi bending yaitu vibrasi goyangan (rocking), vibrasi guntingan (scissoring), vibrasi pelintiran (twisting), dan vibrasi kibasan (wagging) (Stuart, 2004). Daerah inframerah dibagi menjadi tiga sub daerah, yaitu inframerah dekat (14000-4000 cm-1), inframerah sedang (4000-400 cm-1), dan inframerah jauh (40010 cm-1). Untuk memperoleh interpretasi lebih jelas dibutuhkan tabel korelasi dari inframerah. Pada saat menentukan puncak dari gugus spesifik dalam daerah spektrum inframerah, biasanya vibrasi regangan lebih bermanfaat. Daerahnya dapat dibagi menjadi empat daerah, yaitu 1) Daerah ulur hidrogen (3700-2700 cm-1). Puncak terjadi karena vibrasi ulur dari atom hidrogen dengan atom lainnya. Puncak absorpsi timbul pada daerah 37003100 cm-1 karena vibrasi ulur dari O-H atau N-H. Ikatan hidrogen menyebabkan puncak melebar dan terjadi pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih pendek. Sedangkan vibrasi C-H alifatik timbul pada 3000-2850 cm-1. Perubahan struktur dari ikatan C-H akan menyebabkan puncak bergeser kearah yang maksimum. Ikatan C=H timbul pada 3300 cm-1. Hidrogen pada gugus karbonil aldehid memberikan puncak pada 2745-2710 cm-1. 2) Daerah ikatan rangkap tiga (2700-1850 cm-1). Gugus-gugus yang mengabsorpsi terbatas, seperti untuk vibrasi ulur, ikatan rangkap terjadi pada daerah 2250-2225 cm-1 (Misal : untuk –C=N pada 2120 cm-1, -C-=N- pada 2260 cm-1). 3) Daerah ikatan rangkap dua (1950-1550 cm-1). Vibrasi ulur dari gugus karbonil dapat dikarakteristikan di sini, seperti : aldehid, asam, aminola, karbonat, semuanya mempunyai puncak pada 1700 cm-1. Konjugasi menyebabkan puncak absorpsi menjadi lebih rendah sampai 1700 cm-1. Puncak yang disebabkan oleh vibrasi ulur dari –C=C- dan C=N terletak pada 1690-1600 cm-1. Cincin aromatik menunjukkan puncak dalam daeraah 1650-1450 cm-1, yang dengan derajat subsitusi rendah (low degree of substitution) menunjukkan puncak pada 1600, 1580, 1500, dan 1450 cm-1.
29
4) Daerah sidik jari (1500-1700 cm-1), dimana sedikit saja perbedaan dalam struktur dan susunan molekul, akan menyebabkan distribusi puncak absorpsi berubah. Dalam daerah ini, untuk memastikan suatu senyawa organik adalah dengan cara membandingkan dengan perbandingannya (Silverstein et al., 2014). Berikut adalah contoh serapan yang khas dari beberapa gugus fungsi, ditunjukkan pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Daerah Gugus Fungsi pada IR Ikatan
Tipe Senyawa
Daerah frekuensi (cm-1) 2850-2970
Intensitas
C-H
Alkana
1340-1470
Kuat
3010-3095
Sedang
675-995
Kuat
3300
Kuat
3010-3100
Sedang
690-900
Kuat
Fenol, monometer alkohol,
3590-3650
Berubah-ubah
alkohol ikatan hidrogen, fenol
3200-3600
Berubah-ubah,
C-H Alkena C-H C-H O-H
Alkuna Cincin Aromatik
Kuat
terkadang melebar monomer asam karboksilat,
3500-3650
Sedang
ikatan hidrogen asam karboksilat
2500-2700
Melebar
N-H
Amina, Amida
3300-3500
Sedang
C=C
Alkena
1610-1680
Berubah-ubah
C=C
Cincin Aromatik
1500-1600
Berubah-ubah
C C
Alkuna
2100-2260
Berubah-ubah
C-N
Amina, Amida
1180-1360
Kuat
C N
Nitril
2210-2280
Kuat
C-O
Alkohol, Eter, Asam
1050-1300
Kuat
1690-1760
Kuat
1500-1570
Kuat
1300-1370
Kuat
Karboksilat, Ester C=O
Aldehid, Keton, Asam Karboksilat, Ester
NO2
Senyawa Nitro
(Principle of Instrumental Analysis, Skoog, Holler, Nieman, 1998)
30
Dari Tabel 2.2 tersusun secara sistematik daerah serapan yang sesuai dengan ikatan yang terdapat dalam senyawa. Berikut penjelasan untuk daerah serapan inframerah. 1. Alkana, Pita utama yang nampak dalam spektra IR alkana disebabkan oleh stretching C-H di daerah 2850-3000 cm-1, scissoring CH2 dan CH3 di daerah 1450-1470 cm-1, rocking CH3 pada kurang lebih 1370-1380 cm-1, pita rocking pada 720-725 cm-1. Pita-pita ini tidak dapat dijadikan patokan karena kebanyakan alkana mengandung gugus-gugus ini. 2. Alkena, vibrasi stretching C-H alkena terjadi pada panjang gelombang yang lebih pendek daripada C-H alkana. Ingat bahwa ikatan karbon-hidrogen alkena mempunyai sifat lebih kuat daripada ikatan karbon-hidrogen alkana. Makin kuat ikatan, makin sukar bervibrasi dan memerlukan energi yang lebih tinggi. Jadi alkena yang mempunyai paling sedikit satu hidrogen menempel pada ikatan rangkap dua biasanya mengabsorpsi di daerah 3050-3150 cm-1. Bentuk stretching C=C alkena terjadi di daerah 1645-1670 cm-1. Pita ini sangat jelas bila hanya satu gugus alkil menempel pada ikatan rangkap dua. Semakin banyak gugus alkil yang menempel, intensitas absorpsi berkurang karena vibrasi terjadi dengan perubahan momen dipol yang lebih kecil. 3. Alkuna dan Nitril, Alkuna ujung memperlihatkan pita stretching C-H yang tajam pada 3300-3320 cm-1 dan bentuk bending C-H yang jelas pada 600-700 cm-1. Stretching C N pada alkuna ujung Nampak pada 2100-2140 cm-1 dengan intensitas sedang. Untuk stretching C C alkuna dalam berupa pita lemah yang terjadi pada 2200-2260 cm-1. 4. Alkil halida, cirri absorpsi alkil halida adalah pita yang disebabkan oleh stretching C-X. posisi untuk pita-pita ini adalah 1000-1350 cm-1 untuk C-F, 750850 cm-1 untuk C-Cl, 500-680 cm-1 untuk C-Br, dan 200-500 cm-1 untuk C-I. Absorpsi-absorpsi ini tidak berguna untuk didiagnosis. 5. Alkohol dan Eter, alkohol dan eter mempunyai cirri absorpsi inframerah karena stretching C-O di daerah 1050-1200 cm-1. Oleh karena pita-pita ini terjadi di daerah spektrum dimana biasanya terdapat banyak pita lain, maka pita-pita
31
tersebut tidak bermanfaat untuk didiagnosis. Akan tetapi, stretching O-H alkohol, yang terjadi di daerah 3200-3600 cm-1 lebih berguna. 6. Aldehid dan Keton, ciri absorpsi inframerah aldehid dan keton adalah vibrasi stretching C=O. Oleh karena gugus karbonil polar sekali, stretching ikatan ini menghasilkan perubahan momen dipol yang cukup besar. Akibatnya stretching karbonil merupakan spektra yang intensitasnya tinggi. Oleh karena terjadi di daerah spektrum yang umumnya tidak ada absorpsi lain, maka stretching karbonil merupakan metode yang dapat diandalkan untuk mendiagnosis adanya gugus fungsional di dalam suatu senyawa. Untuk aldehid jenuh sederhana, pitanya terjadi pada 1725 cm-1 (Silverstein et al., 2014).
d. Karakterisasi Kelistrikan Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) Besarnya resistivitas dari suatu bahan dapat diukur menggunakan metode two point probe dengan menggunakan alat Elkahfi 100 I-V Meter. Pada metode ini terdapat dua probe, yaitu satu probe arus dan satu probe tegangan. Probe pertama berfungsi untuk mengalirkan arus listrik dan probe yang lain untuk mengukur tegangan listrik ketika probe–probe tersebut dikenakan pada sampel. Dari variasi perubahan tegangan yang diberikan, akan diperoleh perubahan arus yang diukur sehingga besarnya resistivitas berdasarkan nilai tegangan dan arusnya. Besarnya resistivitas dapat digunakan untuk mengetahui konduktivitas suatu bahan. Bahan konduktor yang baik mempunyai nilai konduktivitasnya tinggi, sedangkan untuk bahan isolator konduktivitasnya rendah karena tingginya resistivitas. Satu hal yang sangat penting dalam karakteristik arus adalah kemampuan solid material dalam memancarkan arus listrik. Hukum Ohm yang sebanding dengan arus dan tegangan ditunjukkan pada Persamaan 2.10. V=IR
(2.10
Resistivitas listrik (ρ) diekspresikan pada Persamaan 2.11. (2.11)
32
Konduktivitaslistrik (σ) digunakan untukmengklasifikasikan karakteristik listrik suatu material. Secara sederhana konduktivitas listrik merupakan kebalikan dari resistivitas listrik (Persamaan 2.12).Konduktivitas menunjukkan kemampuan material untuk menghasilkan arus listrik. (2.12) Material solid menunjukkan konduktivitas listrik mencapai orde 27.Klasifikasi material solid berdasarkan kemampuan dalam menghasilkan arus listrik dikelompokkan menjadi tiga yaitu konduktor, semikonduktor dan isolator. Logam merupakan konduktor yang baik, memiliki konduktivitas pada orde sekitar 1 1 107 m . Material dengan konduktivitas sangat rendah sekitar 1010 1020 m
merupakan sifat listrik dari isolator. Material dengankonduktivitassedang sekitar 1 106 104 m disebutsemikonduktor(Callister, et al., 2009).
B.
Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh: 1.
Hardeli, dkk (2013) yang berjudul “ Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) Berbasis Nanopori TiO2 Menggunakan Antosianin dari Berbagai Sumber Alami”. Pada penelitian ini digunakan TiO2 Degusa P-25 yang dilapiskan pada kaca konduktif melalui teknik sol-gel dan sebagai zat penyerap foton digunakan dye antosianin dari ekstrak ketan hitam, daun bayam merah, bunga rosella, buah naga super merah, dan ubi jalar ungu. Tegangan, arus listrik dan efisiensi yang dihasilkan oleh sel surya dengan zat warna antosianin untuk masing-masing sumber zat warna adalah beras ketan hitam 937 mV, 468 merah 349,8 mV, 87
A dan 0,405%, daun bayam
A dan 0,304%, bunga rosella 393,2 mV, 109
A dan
0,30%, buah naga 606 mV, 396 A dan 0,24% serta ubi jalar ungu 521 mV, 75 A dan 0,11%. 2.
Fuadi Kasyful (2013) yang berjudul “Fabrikasi Dye-Sensitized Solar Cells (DSSC) Menggunakan Dye Ketan Hitam”. Pada penelitian ini dibuat sel surya DSSC, dengan struktur sandwich kaca ITO (Indium Tin Oxide) bersekat, telah
33
difabrikasi dengan metode doctor-blade untuk deposisi TiO2. Sebagai katalis elektroda lawan digunakan karbon dari jelaga lilin, sedangkan dye yang digunakan adalah dye organik antosianin dari ekstrak beras ketan hitam. Percobaan dilakukan untuk variasi perendaman dye 6, 12, 24, dan 36 jam serta material TiO2 komersial dan hasil sintesis sendiri. Hasil percobaan didapatkan karakteristik terbaik sebesar Voc = 0,611 mV, Isc =1,18 mA, FF = 0,4273, Jsc= 0,09635 mA/cm2. Sedangkan pengaruh waktu perendaman optimum terhadap efisiensi adalah 12 jam untuk titanium oksida hasil sintesis sendiri, dan 24 jam untuk komersial. Koefisien absorbansi cahaya dye ketan hitam memiliki puncak 530 nm. 3.
Fanani Fahiem (2010) yang berjudul “Studi Pengaruh Variasi Dye Pada Performansi Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC) Berbasis TiO2”. Antosianin dan klorofil dari tumbuhan Indonesia dimanfaatkan sebagai dye dalam penelitian ini. Ekstrak ketan hitam, temulawak, dan daun pepaya diujikan secara terpisah kemudian dibuat campuran antar ekstrak untuk dilihat peluang peningkatan performansi. Bahan-bahan tersebut diujikan pada TiO2 ̂ sintesis yang sebagai pemanfaatan penelitian semikonduktor metal oksida nanokristal untuk DSSC. Pemilihan bahan konduktif juga dilakukan sebagai pemilihan elektroda lawan yang lebih murah dibandingkan platina pada penelitian ini. Bahan-bahan tersebut dibandingkan dengan bahan-bahan komersial DSSC Performansi tinggi. Pengujian dilakukan pada matahari buatan, 100 mW/cm2 dan dihasilkan performansi terbaik menggunakan dye ekstrak daun pepaya dengan puncak absorbansi pada 432 nm dan 664 nm, Voc = 0,566 V, Jsc = 0,24 mA/cm2, FF = 0,33, dan efisiensi konversi 0,045%. Pengujian dye terbaik dengan bahan-bahan referensi menghasilkan Voc = 0,454 V, Jsc = 0,454 mA/cm2, FF = 0,4 dan efisiensi konversi 0,083%.
C.
Kerangka Berpikir Bahan organik alam seperti daun lidah mertua, daun pandan, daun jati cina, bunga rosella, kembang sumba, buah naga, kulit joho, kayu secang, dan ketan hitam yang mudah diperoleh di lingkungan sekitar dapat dimanfaatkan sebagai dye sensitizer
34
pada DSSC karena mengandung zat warna pigmen seperti klorofil, beta caroten, dan antosianin yang mampu berikatan dengan semikonduktor TiO2. Proses pemanfaatan efek fotoelektrokimia yang berasal dari ekstraksi pewarnaan bahan organik alam diperlukan dalam kinerja sel surya DSSC untuk menyerap foton, menginjeksikan elektron ke keadaan tereksitasi dan sebagai medium transfer pembawa muatan listrik yang akan dikonversi menjadi energi listrik. Pemanfaatan zat warna organik alam sebagai contoh pigmen antosianin yang terdapat pada ekstrak ketan hitam memiliki sejumlah gugus hidroksil. Penelitian yang dilakukan (Lee, 2010)melaporkan bahwa ekstrak ketan hitam mengandung pigmen antosianin sebanyak 80% cyanidin-3-glucoside, dan pigmen lainnya seperti peonidin-3glucoside,
malvidin-3-glucoside,dan
cyanidin-3-ramnoglucoside.Gugus-gugus
hidroksil ini yang akan mengkelat logam dan mampu berkombinasi dengan TiO2. Isolasi dye organik alam dengan metode materasi. Ekstraksi menggunakan pelarut ethanol dengan perbandingan tertentu diharapkan dapat optimal memisahkan pigmen antosianin contohnya pada ekstrak ketan hitam. Ekstrak yang diperoleh masih berupa campuran yang terdapat beberapa senyawa lain sehingga dilakukan proses pemisahan dan pemurnian lebih lanjut menggunakan metode kromatografi kolom. Sifat zat warna alam pada umumnya memiliki stabilitas rendah terhadap radiasi cahaya. Salah satu upaya meningkatkan fotostabilitas zat warna alam dapat dilakukan melalui interaksi dengan logam membentuk senyawa kompleks. Pendopingan logam besi (III) sulfat dalam ekstrak ketan hitam diharapkan dapat memperlebar daerah serapan cahaya zat warna menuju ke daerah spektrum dekat inframerah yang merupakan komponen terbesar spektrum cahaya matahari. Semikonduktor TiO2 merupakan senyawa yang memiliki sifat fotoaktivitas yang tinggi, tetapi hanya aktif pada daerah ultraviolet maka perlu adanya penambahan fotosensitizer. Penambahan senyawa lain seperti senyawaorganik sebagai sensitizer, sehingga TiO2 dapat aktif pada daerah tampak. Pendopingan logam besi (III) sulfat dalam ekstrak ketan hitam diharapkan dapat meningkatkan efisiensi DSSC.
35
Performa DSSC dapat diketahui dengan melakukan pengujian pada kondisi gelap dan kondisi terang untuk mengetahui respon sampel DSSC terhadap cahaya tampak. Salah satu faktor yang mempengaruhi performa DSSC adalah jumlah dye yang terserap oleh lapisan TiO2. Variasi perendaman TiO2dalam dye dilakukan selama 6, 12, 18, dan 24 jam untuk mengetahui tingkat efisiensi yang bervariasi. Variasi pelapisan TiO2 juga dilakukan dalam penelitian ini dengan jumlah pelapisan 1, 2, 3, 4 kali spin coating untuk mengetahui tingkat efisiensi yang bervariasi dari penggunaan sel surya DSSC berbahan ekstrak ketan hitam dan ekstrak ketan hitam yang didoping Fe (III) sulfat. Cacah pelapisan TiO2 yang bervariasi ini diharapkan dapat memberikan transfer elektron yang baik dan memberikan injeksi elektron yang lebih besar pada TiO2 sehingga performa yang dihasilkan DSSC akan meningkat.
D.
Hipotesis Dari perumusan masalah penelitian ini, dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: 1.
Adanya spektrum absorbansi dari dye organik alam dan ekstrak ketan hitam yang didoping Fe (III) Sulfat dengan konsentrasi 10-1 M, 10-2 M dan 10-3 M.
2.
Adanya ikatan molekular yang terbentuk daridye organik alam dan ekstrak ketan hitam yang didoping Fe (III) Sulfat dengan konsentrasi 10-1 M, 10-2 M dan 10-3 M.
3.
Adanya sifat kelistrikan dari dye organik alamdan ekstrak ketan hitam yang didoping Fe (III) Sulfat dengan konsentrasi 10-1 M, 10-2 M dan 10-3 M.
4.
Adanya pengaruh variasi konsentrasi pendopingan Fe (III) sulfat dalam ekstrak ketan hitamterhadap karakteristik parameter besaran sel surya.