BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Store Environment Store environment merupakan unsur penting dalam suatu gerai fashion, mengingat bahwa 70% dari pembelian ternyata merupakan impulse buying atau pembelian yang tidak direncanakan (Dunne dan Lusch, 2005, p.457). Melalui elemen – elemen yang ada di dalam store environment, produsen fashion dapat menciptakan stimuli – stimuli yang akan memicu atau menggerakkan pelanggan untuk membeli lebih banyak barang di luar yang mereka rencanakan. Store environment yang dirancang dengan baik dan sesuai dengan target market yang ditetapkan akan apat menciptakan emosi – emosi atau suasana hati yang kondusif untuk berbelanja. Teori mengenai store environment dan elemen – elemen di dalamnya yang akan digunakan dalam penelitian ini khususnya mengacu pada teori oleh Dunne dan Lusch (2005).
2.2 Store Planning Menurut Dunne dan Lusch (2005, p.456) store planning adalah sebuah skematis yang menunjukkan dimana barang – barang dan pusat pelayanan berada, bagaimana sirkulasi pelanggan di dalam gerai dan seberapa banyak ruang yang dialokasikan untuk setiap jenis barang. Yang hampir sama pentingnya dengan menempatkan
5
6 barang – barang di tempat yang tepat adalah mengurangi stack – out, yaitu barang – barang yang dipajang di rak utama. Meskipun memajang banyak barang di depan rak utama dapat meningkatkan penjualan untuk jenis barang tertentu, tetapi di pihak lain malah akan mengurangi tingkat penjualan keseluruhan. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan dalam merancang floor plan, yaitu mengalokasikan ruang, mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan.
2.2.1
Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201) ada lima tipe dasar dari ruangan yang dibutuhkan untuk sebuah gerai, yaitu : 1. Back Room Ruang belakang digunakan untuk proses pada saat barang datang dan untuk menyimpan kelebihan barang. Dengan adanya perkembangan system pengiriman barang, para produsen fashion semakin mengurangi alokasi ruang untuk ruang belakang menjadi sekitar 5 - 20 % dari seluruh luas ruang yang tersedia. 2. Office Rroom and Other Functional Spaces Ruang ini hanya ruang untuk istirahat para pegawai. 3. Aisles, Service Areas and Other Nonselling Areas Aisles yang ada harus cukup lebar untuk mengakomodasi orang banyak sehingga mereka tidak harus berdesak – desakan.
7 4. Space For Fitting Adalah ruangan privacy untuk pelanggan mencoba sebuah produk yang dia rasa menarik untuk dicoba, seperti contohnya : pakaian. 5. Wall Merchandise Space Adalah ruang untuk memajang barang di dinding. Dinding sebuah gerai fashion dapat dijadikan tempat untuk memajang barang – barang yang dijual atau memajang latar belakang visual untuk barang – barang tersebut.
2.2.2
Circulation Pola sirkulasi yang digunakan sebuah gerai tidak hanya memastikan efisiensi dari perputaran pelanggan di dalam gerai dan memicu mereka untuk melihat lebih banyak barang, tetapi juga akan menentukan karakter dari gerai itu sendiri. Menurut Ma’ruf (2005, p.208) ada empat macam tipe sirkulasi, yaitu : 1. Free Flow Ini adalah tipe sirkulasi yang paling sederhana, dimana rak dan barang ditempatkan dengan pola yang agak bebas sehingga pelanggan bebas bergerak mengelilingi seluruh isi gerai. Pola ini cocok untuk gerai kecil, dimana pada umumnya barang – barang yang tersedia tipenya sama. Menurut Ma’ruf (2005, p.208) tipe ini memberi kesan bersahabat dan mendorong pelanggan untuk lebih bersantai dalam memilih barang.
8
Gambar 2.1 Free Flow
2. Grid Tipe tradisional ini menempatkan rak dan barang berjajar lurus di seluruh gerai. Tipe sirkulasi ini cocok digunakan di supermarket atau toko obat. Tipe ini menimbulkan kesan efisien, lebih banyak menampung barang yang dipamerkan, mempermudah pelanggan untuk berhemat waktu belanja dan control lebih mudah (Ma’ruf, 2005, p.208).
Gambar 2.2 Grid
9 3. Loop Tipe sirkulasi loop ini dikenal dapat meningkatkan produktivitas sebuah gerai. Pada pola ini aisle utama dimulai dari pintu masuk kemudian memutar mengelilingi seluruh gerai, bisa dalam bentuk lingkaran, persegi atau segitiga, dan kemudian mengembalikan pelanggan ke pintu masuk semula. Pola ini produktif karena pola ini dapat menggerakkan pelanggan untuk melihat barang sebanyak mungkin di seluruh gerai.
Gambar 2.3 Loop
4. Spine Pola ini merupakan variasi dari tipe free-flow, grid, dan loop dimana keuntungan dari masing – masing pola tersebut digabungkan menjadi satu.
10
Gambar 2.4 Spine
2.3 Store Design Store design adalah elemen yang bertanggung jawab untuk menciptakan store image yang berbeda dan tidak terlupakan. Store design dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu exterior design, interior design, lighting design, dan sounds and smell (Dunne dan Lusch, 2005, p.473). Keempat bagian tersebut harus dapat bekerjasama dalam menciptakan ambiance gerai yang diinginkan. Ambiance dapat diartikan sebagai proyeksi diri suasana gerai yang ditangkap oleh panca indera pelanggan.
2.3.1
Exterior Design Yang termasuk dalam desain eksterior sebuah gerai disini yaitu storefront design, signage, dan entrance yang semuanya penting untuk menarik perhatian orang yang lewat dan mendorong mereka untuk masuk ke dalam gerai (Dunne dan Lusch, 2005, p.474). Storefront design atau desain luar gerai harus dapat tampak jelas, mudah dikenali dan mudah diingat. Desain
11 luar gerai harus dengan jelas mengidentifikasikan nama dan gambaran umum tentang gerai tersebut serta memberi petunjuk mengenai barang yang tersedia di dalamnya. Secara umum, yang termasuk di dalam storefront design adalah signage di luar gerai dan arsitektur dari bagian luar gerai itu sendiri. Dalam beberapa kasus, storefront juga mencakup jendela display yang ada di depan gerai. Jendela display harus mampu menarik perhatian orang yang lewat di depan gerai dan mendorong mereka untuk masuk ke dalam gerai. Maka dari itu jendela display harus dibuat semenarik mungkin dan diganti secara berkala serta harus mencerminkan barang – barang yang ditawarkan di dalam gerai.
2.3.2
Interior Design Desain interior dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu finishing yang digunakan untuk seluruh permukaan (baik untuk lantai, dinding maupun plafon) dan bentuk arsitektur di dalam gerai itu sendiri (Dunne dan Lusch, 2005, p.476). Banyak sekali hal kecil – kecil yang harus dibutuhkan untuk menciptakan image bagi sebuah gerai dan diperlukan pemilihan bahan – bahan material yang mendukung untuk terciptanya image tersebut.
2.3.3
Lighting Design Lighting atau penerangan seringkali luput dari perhatian, padahal pemahaman mengenai penerangan dapat meningkatkan penjualan dan
12 image. Pada perkembangannya, lighting tidak hanya sederhana memilih jenis dan warna lampu, tetapi dibutuhkan pengetahuan yang lebih dalam mengenai dampak dari lampu tersebut terhadap warna dan tekstur (Dunne dan Lusch, 2005, p.477).
2.3.4
Sounds and Smell Indera penciuman dipercaya sebagai indera yang paling berhubungan dengan memori dan emosi. Hal ini dapat digunakan untuk menciptakan suatu mood di dalam gerai bagi pelanggannya. Pemilihan musik yang tepat untuk diputar di dalam gerai juga berpengaruh untuk menciptakan mood bagi pelanggan dan menciptakan perilaku berbelanja yang berbeda. Tempo dan tipe dari musik mempengaruhi berapa lama pelanggan menghabiskan waktu di sebuah gerai dan dalam melakukan pembelian (Dunne dan Lusch, 2005, p.477).
2.4 Merchandising Produsen fashion harus memahami komponen – komponen dasar dalam cara penyajian barang – barang dan bagaimana pengaruh potensialnya dalam mendukung image yang mau diciptakan untuk sebuah gerai dan juga pengaruhnya terhadap tingkat penjualan. Merchandising juga menyangkut price image karena hal ini erat hubungannya dengan dampak dari pemilihan barang – barang dengan kualitas yang sesuai dengan image yang mau ditampilkan dan pemilihan metode penyajian dari barang – barang tersebut sehingga memperkuat image tersebut (Kunz, 2005, p.10).
13 Ada dua tipe dasar dari cara penyajian atau mempresentasikan barang – barang yang ditawarkan di dalam gerai, yaitu : 1. On-Shelf Merchandising Adalah penyajian barang – barang di meja pajangan, rak di dalam gerai (Dunne dan Lusch, 2005, p.467). Yang dimaksudkan disini adalah barang – barang yang disentuh, dicoba, diperiksa, dilihat, dimengerti, dan yang akan dibeli nantinya oleh pelanggan. On-Shelf Merchandising tidak hanya harus menyajikan barang – barang dengan menarik tetapi juga menyajikan dengan cara yang mudah untuk dimengerti dan diakses oleh pelanggan. Penataan barang – barang tersebut harus masuk akal sehingga pelanggan tidak mengalami kesulitan untuk mengembalikan ke tempat semula. Penataan barang sebaiknya juga jangan berlebihan sehingga membuat pelanggan takut untuk menyentuh. 2. Visual Merchandising Tujuan dari visual merchandising adalah menciptakan suatu perasaan yang kondusif bagi pelanggan untuk membuat mereka membeli suatu barang. Visual merchandising tidak harus barang yang dapat dibeli, tetapi bisa juga barang pajangan menarik yang mempunyai kaitan dengan barang – barang yang dijual di gerai tersebut dan dapat membangkitkan mood yang dapat memicu pelanggan untuk membeli suatu barang. Produsen harus berhati – hati dalam menggunakan visualisasi karena hal ini juga berkaitan dengan store image yang ditimbulkan oleh visualisasi tersebut apakah gerai tersebut menawarkan pengalaman
14 berbelanja yang menyenangkan atau malah tidak karuan; atau mahal atau murah. (Wikipedia.com, 2008).
2.5 Visual Communication Salah satu masalah yang dihadapi oleh produsen fashion adalah bagaimana mengontrol biaya pekerja dengan tetap mempertahankan komunikasi dengan pelanggan dan menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi. Solusinya adalah visual communication berupa tanda – tanda, gambar atau media lainnya yang dapat digunakan sebagai pengganti salesperson yang dapat memberi informasi dan memberikan pengarahan yang dibutuhkan oleh pelanggan untuk berbelanja di gerai tersebut, mengevaluasi barang – barang yang ditawarkan dan melakukan pembelian. Instalasi dari visual communication merupakan biaya yang hanya satu kali dan dapat diandalkan fungsinya daripada salesperson yang kadangkala terlambat, mengalami suasana hati yang buruk atau memperlakukan pelanggan dengan salah. Tetapi kekurangannya yaitu kurangnya sentuhan personal yang dapat membuat pelanggan merasa nyaman. Jadi, kombinasi yang baik dari personal service dengan visual communication dapat menciptakan selling environment yang efektif (Wikipedia, 2008). Menurut Dunne dan Lusch (2005, p.483) yang termasuk di dalam visual communication diantaranya adalah : 1. Name, Logo dan Produsen Identity Hal pertama yang paling terlihat dari visual communications adalah identitas produsen yang tersusun dari nama gerai, logo dan elemen visual yang
15 mendukung. Nama harus berbeda dan mendeskripsikan bahwa gerai tersebut mempunyai penawaran yang unik. Sekali nama telah ditentukan, selanjutnya dirancanglah sebuah logo yang harus dibuat menarik dan tidak terlupakan. Seringkali lagi juga diikuti slogan dari produsen tersebut. Logo yang paling utama diletakkan di depan gerai untuk menarik pelanggan. 2. Institutional Signage Tingkatan pertama dari visual communication yang dijumpai pelanggan di dalam gerai adalah institutional signage yang menggambarkan misi, kebijakan pelayanan di dalam gerai atau pesan – pesan lain yang mau disampaikan atas nama institusi produsen.
3. Directional, Departmental, and Category Signage Directional, Departmental, and Category Signage biasanya besar dan diletakkan di tempat yang tinggi sehingga dapat dilihat dari seluruh gerai. Tanda – tanda ini memberi arahan kepada pelanggan dalam mengelilingi gerai dan menunjukkan bagian mana yang mereka cari. Directional signage dan department signage tidak digunakan oleh semua jenis gerai. Gerai yang kecil cukup hanya dengan menggunakan category signage yaitu petunjuk yang ukurannya relatif lebih kecil dan biasanya ditempatkan di bagian atas gondola.
16 4. Point of Sale Signage Point of Sale Signage ukurannya relatif kecil dan ditempatkan sangat dekat dengan barang yang dimaksud dan hal ini bertujuan untuk memberi detil penjelasan tentang barang yang dimaksud tersebut.
5. Lifestyle Graphics Visual communication tidak hanya berupa kata – kata, tetapi juga bisa menggunakan gambar – gambar yang dapat mempresentasikan lifestyle image dari masing – masing jenis barang di dalam sebuah gerai.
2.6 Konsumen Konsumen adalah seseorang yang memberli suatu produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan tujuan pembeliannya, Kotler (2006, p.179) mengklasifikasikan konsumen menjadi dua kelompok, yaitu konsumen akhir dan konsumen organisasional. Konsumen akhir terdiri atas individu yang tujuan pembelian suatu produk atau jasa adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk di konsumsi. Konsumen individu ini membentuk pasar konsumen (consumer market). Sedangkan konsumen organisasional terdiri atas organisasi, pemakai industri, pedagang, dan lembaga non profit yang tujuan pembeliannya adalah untuk keperluan bisnis. Oleh karena itu, konsumen organisasional membentuk pasar bisnis (business market). Dalam kajian ini yang dimaksud dengan konsumen adalah konsumen akhir yaitu konsumen yang menggunakan produk itu sendiri.
17
2.6.1 Tahap - Tahap Perilaku Konsumen Dalam Proses Pembelian Menurut Belch (2007, p.108-110) pola paling sederhana dari keputusan pelanggan untuk membeli suatu barang dimunculkan oleh motivasi yang digunakan menjadi needs, wants, dan demands. Berikut penjelasan mengenai needs, wants, dan demands. •
Needs Merupakan keperluan dasar manusia yang muncul untuk keperluan status social.
•
Wants Pada tingkatan ini, potensi untuk membeli muncul karena orang mendapatkan dorongan untuk memuaskan needs. Dengan usaha – usaha marketing yang dilakukannya, para produsen fashion berusaha untuk mengarahkan needs menjadi wants.
•
Demands Tingkatan dimana wants tadi disertai dengan kemampuan membeli.
Di dalam proses keputusan membeli juga terdapat factor buyer characteristic (factor budaya, sosial, psikologi, dan pribadi) dan evaluation criteria yang akan membawa pelanggan kepada keputusan terakhir dalam membeli atau tidak membeli suatu barang. Pada perkembangannya, para produsen fashion menciptakan wants yang selanjutnya menuju demands dengan mempengaruhi perilaku pelanggan melalui store environment yang diciptakan (Belch, 2007, p.109). Store
18 environment diciptakan untuk menghasilkan suatu efek emosional yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan pembelian. Perilaku konsumen sebagai suatu proses pengambilan keputusan pembelian terdiri dari berbagai tahapan sebagai berikut : mengenali kebutuhan, mencari informasi, evaluasi alternative, keputusan membeli dan perilaku pasca membeli (Kotler, 2006, p.181)
Pengenalan Kebutuhan
Pencarian informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Pasca beli
Gambar 2.5 Tahapan Perilaku Konsumen Dalam Keputusan Proses Pembelian (Kotler, 2006, p.181)
1. Pengenalan kebutuhan : proses diawali saat konsumen menyadari adanya suatu kebutuhan yang diperlukannya. Kesadaran akan adanya kebutuhan ini juga dapat didorong oleh adanya pengaruh internal atau eksternal konsumen. 2. Pencarian informasi : menyadari adanya kebutuhan yang perlu dipenuhi, konsumen mulai terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak mengenai kebutuhan tersebut. Proses pencarian informasi dilakukan dengan cara mencari berbagai sumber informasi. Sumber - sumber informasi dapat dikelompokkan menjadi tiga : sumber pribadi yang terdiri dari keluarga, teman, tetangga, atau kenalan; sumber komersil
19 terdiri dari iklan, pameran, dan tenaga penjual; serta sumber pengalaman yang terdiri dari pengalaman konsumen dengan produk tertentu. 3. Evaluasi alternatif : berdasarkan berbagai informasi yang ada, konsumen mulai mengevaluasi alternative pilihan yang dapat ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukannya. Pada tahap ini konsumen mulai memiliki preferensi terhadap satu produk atau jasa tertentu. 4. Keputusan membeli : keputusan pembelian merupakan proses actual pembelian kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen setelah melalui tahap - tahap sebelumnya. 5. Perilaku pasca membeli : setelah melalui tahap pembelian, konsumen akan mulai melakukan penilaian terhadap kepuasan atau ketidakpuasan atas produk yang telah dibelinya. Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen pada suatu produk akan mempengaruhi tingkah laku atau tindakan konsumen berikutnya. Konsumen yang merasa puas akan cenderung untuk memilih lagi produk yang sama di masa akan datang. Sedangkan konsumen yang tidak puas akan meninggalkan atau mengembalikan produk - produk tersebut. Tahap - tahap perilaku konsumen menurut Mowen & Minor (2003, consumerbehavior.net chapter 9), tidak jauh berbeda dengan yang telah disebutkan diatas sebelumnya, antara lain terdiri dari tahap - tahap : problem recognition, search, alternative evaluation, choice, and postacquisition evaluation.
20
2.6.2 Time Taken to Shop Ada beberapa tipe dari perilaku berbelanja di dalam masyarakat jaman sekarang. Kadangkala, shopping hanyalah merupakan kegiatan fungsional atau kegiatan kompleks untuk sebagian orang. Sedangkan untuk sebagian orang yang lain, shopping merupakan leisure activity. Untuk shopping sebagai sekedar kegiatan fungsional atau kegiatan kompleks, pelanggan menginginkan adanya unsure sesuatu yang baru yang menyenangkan dan menarik. Waktu yang mereka butuhkan pun berbeda. Shopping sebagai sekedar kegiatan fungsional tidak membutuhkan waktu yang lama. Pelanggan tidak ingin berlama – lama berkeliling di dalam gerai, mereka telah memiliki daftar barang yang mereka butuhkan dan akan segera keluar took setelah menemukannya. Shopping sebagai kegiatan kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama daripada shopping sebagai kegiatan fungsional karena menyangkut barang – barang khusus atau pembelian barang – barang yang sifatnya teknikal. Maka dari itu, dibutuhkan informasi yang akurat tentang barang – barang tersebut karena biasanya barang – barang tersebut memiliki resiko yang lebih besar dan seringkali membutuhkan bantuan atau nasihat dari staff gerai. Untuk kategori yang terakhir, leisure shopper berbeda karena mereka tidak memperdulikan waktu yang mereka habiskan di dalam gerai. Mereka lebih tertarik untuk berkeliling menjelajahi seluruh gerai, melihat – lihat dan menemukan sesuatu yang mereka sukai, bukan sesuatu yang benar – benar mereka butuhkan.
21 Disinilah
store
environment
memegang
peranan.
ZARA
berusaha
menciptakan store environment yang kondusif bagi pelanggan yang datang untuk kegiatan kompleks maupun kegiatan leisure. Store environment yang tepat akan mempengaruhi para pelanggan untuk lebih menikmati suasana di dalam gerai dan menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat – lihat dan pada akhirnya menciptakan tingkat penjualan yang lebih tinggi bagi perusahaan.
2.7 Pria Metroseksual Pria metroseksual adalah women-oriented men, secara terminalogis, metroseksual terdiri dari dua kata: ’Metro” artinya kota, yakni tempat tren ini terpusat. Sedangkan ’Seksual’ berkonotasi preferensi jenis kelamin, maksudnya pria yang lebih arsetif menonjolkan sisi feminimnya (Kartajaya dkk, 2004, p.289). Secara lebih jauh, pria metroseksual dideskripsikan sebagai laki – laki yang cinta setengah mati tak hanya terhadap dirinya, tetapi juga gaya hidup kota besar yang dijalaninya (Simpson, 2002, salon.com). Pria metroseksual juga digambarkan sebagai sosok yang normal atau straight, sensitif dan terdidik, hanya saja mereka lebih mengedepankan sisi feminim yang mereka miliki (Jones, 2003).
22
2.7.1 Ciri - Ciri Pria Metroseksual Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kertajaya dkk.(2004, p.8-9), yaitu : 1. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar dimana hal ini tentu saja berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan dan gaya hidup yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi keberadaan mereka. 2. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup yang dijalani. 3. Memiliki gaya hidup urban dan hedonis. 4. Secara intensif mengikuti perkembangan fashion di majalah - majalah mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fashion terakhir yang mudah diikuti. 5. Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh. 6. Mereka bisa saja heterosexual, bisexual atau homosexual. 7. Lebih senang pleasure shopping daripada purpose shopping. 8. Lebih banyak berbicara daripada rata – rata pria dan mereka mempunyai kemampuan komunikasi dan interpersonal yang sangat baik. 9. Mereka bermanja – manja dengan gaya yang agak feminim. 10. Mereka banyak dikelilingi teman wanita tetapi tidak melakukan hubungan intim.
23 11. Mereka tipe yang sangat mawas diri, menggunakan perasaan intuisinya untuk memutuskan sesuatu. 12. Mereka tidak memperhatikan banyak batasan kelamin.
2.7.2 Hal Yang Penting Bagi Pria Metroseksual Ada banyak hal yang penting bagi pria metroseksual, misalnya saja bagian kaki dan tangan. Untuk melakukan perawatan pada kaki dan tangan saja pria metroseksual melakukan pedicure dan menicure secara teratur (Kartajaya dkk., 2004) seperti halnya kaum wanita. Bagi mereka melakukan hal tersebut tidak akan melunturkan maskulinitas yang mereka miliki Kartajaya dkk., 2004). Untuk gaya hidup yang lain seperti pola interaksi, mereka lebih senang melakukannya dari cafe ke cafe. Sebagai pelengkap gaya hidup yang dijalani maka pemilihan dan penggunaan kendaraan transportasi atau mobil pun terkadang tidak sembarangan. Pria metroseksual biasanya mengusung unsur kemewahan dan ’kebaruan’ dengan mobil pilihannya.
2.7.3 Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual Perilaku konsumtif pria metroseksual dikatakan bersifat overt atau terlihat. Perilaku konsumtif yang sifatnya overt tampak dari begitu jelas dan nyatanya perilaku yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan Kartajaya dkk., 2004). Perilaku ini bisa dilihat dari bagaimana mereka berusaha merawat diri dan mempercantik penampilan mereka agar tampak trendy, klimis dan dandy dengan melakukan aktivitas - aktivitas seperti
24 pergi ke mall, salon, butik, klub fitnes sampai cafe - cafe untuk kebutuhan interaksi yang bebas, khas dan melapangkan akses bagi sifat hedonis yang mereka kedepankan. Menurut Kottler dan Amstrong (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam proses perilaku pembelian. Berdasarkan konteks pria metroseksual maka berikut ini adalah penjabaran, yaitu: 1. Kelas sosial atau divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur dengan para anggotanya yang menganut nilai - nilai, minat dan tingkah laku yang serupa dan diukur sebagai kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan, dan lain - lain. Dalam hal ini pria metroseksual sudah seperti kelas sosial baru dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat modern yang berbasis kapitalis. Oleh karena itu wajar jika mereka memiliki perilaku konsumtif yang berbeda dan khas dibandingkan dengan yang lain. 2. Peran dan status sosial. Kebanyakan pria metroseksual adalah individu - individu dengan posisi yang baik, bagus dan ”berkelas” dalam masyarakat. Peran dan status sosial tersebut secara tidak langsung menuntut mereka untuk memiliki penampilan yang sangat menunjang keberadaan mereka. 3. Pekerjaan. Pria metroseksual kebanyakan adalah eksekutif muda. Masalah penampilan jelas terlihat dari pakaian dengan segala atributnya seperti
25 dasi, sepatu sampai parfum dan sebagainya. Faktor yang relevan dengan sisi penampilan juga ditambah dengan perawatan tubuh mulai dari salon, spa, dan klub fitnes. 4. Situasi ekonomi. Sudah dikatakan oleh Kartajaya dkk (2004) bahwa pria metroseksual biasanya berasal dari kalangan dengan penghasilan ekonomi yang besar. Oleh karena itu, besarnya materi yang dikeluarkan untuk menunjang perilaku konsumtif yang mereka lakukan bukan menjadi masalah. 5. Gaya hidup. Gaya hidup pria metroseksual jelas berbeda dibandingkan pria kebanyakan. Mereka biasa melakukan pleasure shopping dibandingkan purpose shopping di mall - mall, mereka biasa berinteraksi dari cafe ke cafe (social butterflies) yang jelas tidak mungkin hanya menghabiskan biasa yang sedikit dan masih banyak gaya hidup lainnya (Kartajaya dkk, 2004). 6. Gabungan antara motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap dari pria metroseksual itu sendiri. Semua hal ini dipengaruhi iklan, pergaulan, keadaan dan suasana lingkungan kerja, respon klien, konsumsi dunia hiburan dan masih banyak hal lain. Gabungan faktor – faktor ini semakin memperjelas betapa pria metroseksual benar - benar target market yang potensial untuk dibidik.