BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Verba Aksi Verba aksi adalah kata kerja yang menyatakan perbuatan atau tindakan, atau yang menyatakan perbuatan, tindakan, gerak, keadaan dan terjadinya sesuatu (Keraf, 1991:72). Hal senada juga disebutkan oleh Sudaryanto (1991:6). Ia mengatakan bahwa verba adalah kata yang menyatakan perbuatan, dapat dinyatakan dengan modus perintah, dan bervalensi dengan aspek keberlangsungan yang dinyatakan dengan kata ‘lagi’ (sedang). Harimurti Kridalaksana (1993: 226) menambahkan bahwa verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat dalam kalimat. Istilah verba aksi juga digunakan Halliday (1994:109) dalam bukunya Introduction to Functional Grammar dengan penyebutan material proses (proses material). Proses material adalah proses ‘melakukan’ sesuatu. Dalam hal ini ada sebuah aksi yang dilakukan terhadap seseorang atau sesuatu, seperti verba aksi menarik pada kalimat mereka menarik tanganku dan verba aksi menolong pada kalimat aku menolong mereka.
2.2 Pandangan tentang Penerjemahan Penerjemahan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia saat ini. Penerjemahan yang merupakan bagian ilmu linguistik terapan semakin meperjelas peranan bahasa dalam kehidupan sosial, terutama dalam ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan budaya. Catford (1965) mengemukakan bahwa dalam dunia modern penerjemahan semakin berperan penting dan telah menjadi subjek yang menarik bagi ahli bahasa, penerjemah profesional, guru bahasa, insinyur elektronik dan juga ahli matematika. Menurutnya, penerjemahan harus dilihat dari sudut pandang linguistik sehingga
Universitas Sumatera Utara
analisis dan deskripsi dari proses penerjemahan dapat menyajikan kategori bahasa karena penerjemahan berhubungan dengan sistem bahasa itu sendiri. Newmark (1988: 5) mengatakan bahwa penerjemahan merupakan proses mengganti makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan si penulis. Dalam hal ini Newmark menekankan pada pesan yang sepadan sebagaimana yang dimaksudkan oleh si penulis BSu. Hal senada juga dikemukakan oleh Bassnett (1980) bahwa penerjemahan tidak hanya mentransfer teks dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi penerjemahan haruslah dilihat sebagai sebuah proses negosiasi antara teks dan antar budaya, dimana proses negosiasi tersebut dimediasi oleh si penerjemah. Disini dipaparkan apa saja yang dipahami secara umum sebagai penerjemahan yang mencakup penggantian teks BSu ke BSa yang bertujuan untuk memastikan kesamaan makna dari dua teks dan sekaligus menjaga kealamiahan kedua bahasa tersebut. Catford (1965: 20) mendefinisikan penerjemahan sebagai "pengganti bahan tekstual dalam BSu dengan materi tekstual yang sepadan dalam BSa". Terinspirasi dari konsep penerjemahan Newmark dan Catford tersebut, Machali (2009: 26) berkesimpulan bahwa penerjemahan adalah upaya mengganti teks BSu dengan teks BSa yang ekuivalen. Jadi, seorang penerjemah berkewajiban untuk menghasilkan kembali makna dari teks BSu ke dalam teks BSa. Ini berarti bahwa tujuan penerjemah adalah untuk menciptakan sebuah komunikasi baru dalam bentuk alami dari BSa. Oleh karena itu, penerjemah
harus
menyadari
konteks
penerjemahan
sosiolinguistik
dan
mampu
menjembatani ruang antara si penulis BSu dan pembaca. Laurence Venuti (1995) menegaskan konsep Norman Shapiro bahwa penerjemahan adalah upaya untuk menghasilkan teks yang paling transparan yang terlihat seperti panel kaca dalam BSa. Dia mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah penerjemahan yang tidak terlihat sebagai hasil dari penerjemahan. Senada dengan pendapat para ahli di atas, Nida dan Taber (1969:12) mengatakan bahwa translating consists in reproducing in the receptor language the closest
Universitas Sumatera Utara
natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style. (penerjemahan adalah memproduksi teks dalam BSa yang sepadan dan alami serta paling dekat dengan pesan BSu, pertama dalam makna dan kedua dalam gaya). Dari beberapa teori penerjemahan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan adalah proses penggantian teks yang berbeda dari teks sumber kedalam teks yang dapat dipahami dan dibaca oleh pembaca BSa.
2.3 Jenis-Jenis Terjemahan Larson (1984: 3-23) mengemukakan dua jenis terjemahan, yaitu: 1. Terjemahan Berbasis Bentuk (Formed-Based Translation) Terjemahan ini merupakan jenis terjemahan yang mempertahankan bentuk BSu. Jenis terjemahan ini banyak membantu dalam proses penelitian terhadap BSu tetapi tidak membantu pembaca BSa untuk memahami makna BSu. 2. Terjemahan Berbasis Makna (Meaning-Based Translation) Terjemahan ini mengutamakan makna yang disampaikan secara alami kepada pembaca BSa karena hasil terjemahan yang diperoleh tidak seperti layaknya sebuah hasil terjemahan baik dari segi bentuk maupun dari segi budaya BSu. Larson berpendapat bahwa penerjemahan adalah proses memahami leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks struktural dari teks BSu, menganalisisnya untuk memahami maknanya, dan kemudian mengkonstruksi kembali makna yang sama dengan cara dan leksikon struktur gramatikal yang tepat dalam konteks budaya BSa. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil terjemahan yang sepadan, si penerjemah harus menggunakan bentuk tata bahasa dan leksikal yang berbeda. Dengan demikian, 'penerjemahan berbasis makna' dianggap sebagai jenis terjemahan yang baik karena mengkomunikasikan makna dalam BSu yang bentuknya terasa alami dalam BSa, sementara 'penerjemahan berbasis
Universitas Sumatera Utara
bentuk' dianggap sebagai penerjemahan tak bermakna karena nilai komunikasinya sedikit bahkan terkadang tak berarti dalam BSa.
2.4 Teknik Penerjemahan Teknik penerjemahan adalah pendekatan penerjemah secara spesifik yang berlaku dalam penerjemahan ekspresi individu dalam teks BSu, seperti kata-kata, tata bahasa konstruksi, idiom dan lain lain. Berbeda dengan metode atau ideologi penerjemahan yang merupakan pendekatan global diterapkan pada teks sebagai keseluruhan, teknik penerjemahan yang digunakan untuk kalimat dan unit yang lebih kecil dari bahasa dalam sebuah teks (Newmark, 1988:81). Teknik penerjemahan diterapkan untuk melaksanakan metode yang diberikan pada perumusan kesepadanan untuk tujuan mentransfer unsur makna dari teks sumber ke teks sasaran. Molina dan Albir (2002: 502) menggunakan istilah 'teknik penerjemahan' dan memastikan teknik yang digunakan bersifat fungsional dan dinamis dalam hal: (1) Teks genre (surat keluhan, kontrak, brosur wisata, dll), (2) Jenis Penerjemahan (teknis, sastra, dll), (3) Modus penerjemahan (penerjemahan tertulis, penerjemahan penglihatan, berturut-turut menafsirkan, dll); (4) Tujuan dan karakteristik penerjemahan, dan (5) Metode yang dipilih (interpretatif-komunikatif, dll). Teknik penerjemahan tersebut digunakan sebagai sarana untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana hasil penerjemahan yang ekuivalen. Teknik penerjemahan dicirikan oleh lima karakteristik dasar, yaitu:
(1)
mempengaruhi hasil penerjemahan, (2) diklasifikasikan dibandingkan dengan aslinya; (3) mempengaruhi unit mikro teks, (4) secara alam diskursif dan kontekstual dan (5) fungsional. Molina dan Albir mengusulkan 18 teknik penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan:
Universitas Sumatera Utara
1. Adaptasi (adaptation) Teknik ini digunakan ketika penerjemah menggantikan unsur budaya BSu dengan unsur budaya dalam BSa, yang mempunyai sifat yang sama atau serupa dan unsur budaya tersebut akrab bagi pembaca Bsa. Contoh: BSu
: How are you, mother? (Bahasa Inggris)
BSa
: Bagaimana kabar ibu? (Bahasa Indonesia)
2. Amplifikasi (amplification) Teknik ini digunakan ketika penerjemah mau mengeksplisitkan atau memparafrasa suatu informasi yang implisit dalam BSu. Informasi dalam parafrasa bersifat menerangkan. Contoh: BSu
: White House (Bahasa Inggris)
BSa
: Gedung Putih, Istana Kepresidenan AS (Bahasa Indonesia)
3. Peminjaman (borrowing) Teknik ini digunakan ketika penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari BSu. Peminjaman ini dapat bersifat murni (pure borrowing) atau peminjaman yang sudah dinaturalisasi (naturalized borrowing). Contoh: BSu
: exrete (Bahasa Inggris)
BSa
: mengekresikan (Bahasa Indonesia)
4. Kalke (calque) Teknik ini digunakan untuk menterjemahkan kata/prasa secara harfiah (literal) baik leksikal atau struktural. Contoh: BSu
: general secretary (Bahasa Inggris)
Universitas Sumatera Utara
BSa
: sekretaris jenderal (Bahasa Indonesia)
5. Kompensasi (compensation) Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan segmen informasi BSa atau gaya efek di tempat lain karena tidak dapat tercermin di tempat yang sama pada BSa. Contoh: BSu
: This is however not appropriate to tell (Bahasa Inggris)
BSa
: Akan tetapi, ini tidak layak untuk diceritakan (Bahasa Indonesia)
6. Deskripsi (description) Teknik ini digunakan untuk mengganti istilah atau ungkapan dengan menggambarkan bentuk atau/dan fungsi. Contoh: BSu
: Halloween party (Bahasa Inggris)
BSa
: Pesta malam hari tanggal 31 Oktober yang dipercayai orang-orang dapat melihat hantu (Bahasa Indonesia)
7. Kreasi Diskursif (discursive creation) Teknik ini digunakan untuk membangun kesepadanan sementara yang keluar dari konteks yang benar-benar tak terduga, dan maknanya tidak berhubungan dengan BSu. Contoh: BSu
: head to (Bahasa Inggris)
BSa
: melekat (Bahasa Indonesia)
8. Kesepadanan Lazim (established equivalent) Teknik ini digunakan untuk istilah yang sudah dikenal (sesuai kamus atau penggunaan) dalam BSu dan BSa.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: BSu
: No gain without pain (Bahasa Inggris)
BSa
: Tidak ada hasil tanpa kerja keras (Bahasa Indonesia)
9. Generalisasi (generalization) Teknik ini digunakan untuk istilah yang lebih umum atau netral. Teknik ini kebalikan dari teknik partikularisasi. Contoh: BSu
: He meets his uncle (Bahasa Inggris)
BSa
: Dia bertemu dengan bapak tuanya (Bahasa Indonesia)
10. Amplifikasi Linguistik (linguistic amplification) Teknik ini digunakan untuk menambah elemen linguistik. Hal ini sering digunakan dalam menafsirkan dubbing, misalnya, untuk menerjemahkan ekspresi Inggris yang tidak mungkin ke bahasa lain. Hal ini bertentangan dengan linguistik kompresi. Contoh: BSu
: Shall we? (Bahasa Inggris)
BSa
: Bisa kita memulainya sekarang? (Bahasa Indonesia)
11. Kompresi Linguistik (linguistic compression) Teknik ini digunakan untuk mensintesiskan unsur linguistik di BSa. Hal ini sering digunakan dalam menafsirkan simultan dan sertifikasi sub. Contoh: BSu
: I want you to listen (Bahasa Inggris)
BSa
: Dengarlah (Bahasa Indonesia)
Universitas Sumatera Utara
12. Penerjemahan Harfiah (literal translation) Teknik ini digunakan untuk menerjemahkan kata atau ungkapan kata demi kata. Penerjemahan harfiah ini sesuai dengan kesepadanan formal Nida, ketika bentuk bertepatan dengan fungsi dan makna. Contoh: BSu
: He speaks well. (Bahasa Inggris)
BSa
: Dia berbicara dengan baik. (Bahasa Indonesia)
13. Modulasi (modulation) Teknik ini digunakan untuk mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSa, bisa leksikal atau struktural. Contoh: BSu
: He cuts his finger (Bahasa Inggris)
BSa
: Jarinya terpotong (Bahasa Indonesia)
14. Partikularisasi (particularization) Teknik ini digunakan untuk menggunakan istilah yang lebih tepat atau konkrit yang berlawanan dengan teknik generalisasi. Contoh: BSu
: vehicle (Bahasa Inggris)
BSa
: mobil (Bahasa Indonesia)
15. Reduksi (reduction) Teknik ini dikenal juga dengan teknik pengurangan atau penghilangan sebagian atau keseleruhan dan digunakan untuk menekan item informasi BSu di BSa. Contoh: BSu
: a traditional dance of Malay (Bahasa Inggris)
BSa
: Ronggeng Melayu (Bahasa Indonesia)
Universitas Sumatera Utara
16. Substitusi (substitution) Teknik ini digunakan untuk mengubah unsur linguistik untuk elemen paralinguistik (intonasi, gerakan) atau sebaliknya. Teknik ini biasanya digunakan untuk menafsir. Contoh: BSu
: raising a tumb (gestur orang Inggris)
BSa
: bagus (Bahasa Indonesia)
17. Transposisi (transposition) Teknik ini digunakan untuk mengubah kategori gramatikal, dari kata kerja diterjemahkan menjadi kata sifat, dari kata kerja ke kata benda atau sebaliknya. Contoh: BSu
: He runs quickly (Bahasa Inggris)
BSa
: Larinya sangat kencang (Bahasa Indonesia)
18. Variasi (variation) Teknik ini digunakan untuk mengubah unsur linguistik atau paralinguistik (intonasi, gerakan) yang mempengaruhi aspek variasi linguistik: perubahan nada tekstual, gaya, dialek sosial, dialek geografis, dll, misalnya, untuk memperkenalkan atau mengubah indikator dialek untuk karakter ketika menerjemahkan untuk teater, perubahan nada ketika mengadaptasi novel untuk anak-anak, dan lain lain. Contoh: BSu
: What is the name? (Bahasa Inggris)
BSa
: Apalah arti sebuah nama (Bahasa Indonesia)
2.5 Kesepadanan dalam Penerjemahan Para pakar penerjemah berpendapat bahwa proses penerjemahan harus berorientasi kepada pencarian kesepadanan. Penerjemahan yang berorientasi pada pencarian padanan kata ini disebut dengan Equivalence-Oriented Translation. Konteks kata sangat penting dalam
Universitas Sumatera Utara
membicarakan kesepadanan sehingga seorang penerjemah harus selalu melihat konteks kata untuk menterjemahkan sebuah kata dengan tepat dan mencari padanannya dalam BSa (Simatupang, 2000:50). Hasil penerjemahan dari BSu ke BSa pun harus mencari penerjemahan yang sewajar mungkin. Baker (1992) mengemukakan bahwa kesepadanan meliputi: 1. Kesepadanan tataran kata (equivalence in word level); berorientasi terhadap kajian makna dari kata-kata dalam teks. 2. Kesepadanan di atas kata (equivalence above word level); mengkaji kombinasi kata-kata dan frasa-frasa. 3. Kesepadanan gramatikal (grammatical equivalence); menganalisis dan memahami struktur teks BSu. 4. Kesepadanan tekstual (textual equivalence); menganalisis dan memahami bentuk teks BSu. 5. Kesepadanan pragmatic (pragmatic equivalence); berorientasi pada penerima pesan (target text). Kesepadanan berarti pesan dalam BSu sama dengan pesan dalam BSa, sehingga reaksi pembaca penerjemahan sama dengan reaksi pembaca BSu. Selain penjelasan di atas, pakar penerjemahan yang lain juga menjelaskan kembali mengenai kesepadanan. Menurut Nida dan Taber (1982), kesepadanan dibagi menjadi kesepadanan formal dan dinamis. Kesepadanan formal adalah kesepadanan yang memfokuskan pesan yang sedekat mungkin pada teks BSu, sedangkan kesepadanan yang dinamis didasarkan pada 'prinsip efek ekuivalen atau kesamaan' (yaitu kesamaan pesan yang disampaikan dari BSu sama dengan pesan yang disampaikan dalam BSa. Kesepadanan formal terdiri dari item BSa yang merupakan ekuivalen dalam mencari padanan yang terdekat dari sebuah kata atau frasa BSu.
Universitas Sumatera Utara
Kesepadanan
dinamis
didefinisikan
sebagai
prinsip
penerjemahan
untuk
menerjemahkan arti aslinya sedemikian rupa sehingga kata-kata pada teks BSa menunjukkan dampak yang sama pada pembaca. Nida (1982) menyatakan bahwa dalam kesepadanan dinamis, informasi atau pesan yang akan disampaikan akan jauh lebih benar dan berterima. Memperkuat penjelasan di atas mengenai konsep kesepadanan, Syihabuddin (2002:107) mengemukakan bahwa kesepadanan merupakan tujuan produk dari proses penerjemahan karena penerjemahan merupakan proses pencarian kesepadanan. Dalam proses pencarian kesepadanan, penerjemah berupaya untuk mencari padanan yang paling wajar antara BSu dengan BSa. Kemudian Koller dalam Munday (2001:47) juga mengemukakan lima jenis kesepadanan, yaitu: 1. Denotative Equivalence; proses penerjemahannya berfokus pada extralinguistic content. 2. Connotative Equivalence; penerjemahannya berfokus pada pemilihan leksikal yang berdekatan sinonimnya. 3. Text Normative Equivalence; penerjemahannya berfokus pada jenis teks yang memiliki penyajian yang berbeda. 4. Pragmatic Equivalence; proses penerjemahannya berfokus pada penerima dari teks (target readers) atau penerima pesan. 5. Formal Equivalence; berfokus pada bentuk dan estetika teks, permainan kata dan ciri individu dari teks sumber.
2.6 Prosedur Kesepadanan Selain itu, kesepadanan juga merujuk pada salah satu prosedur penerjemahan yang didukung dengan penerapan pendapat yang dikemukakan oleh Newmark (1988). Newmark mengemukakan
bahwa
dilakukannya
prosedur
penerjemahan
untuk
menghasilkan
penerjemahan yang sebaik mungkin mendekati ke makna yang diharapkan dan makna yang
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya dari BSu ke dalam BSa. Dalam mencari makna yang paling dekat, penerjemah harus mengungkapkan kesamaan fungsi makna dari BSu ke BSa tetapi tidak hanya berfokus pada kosa kata. Dalam hal ini kesepadanan dipandang sebagai prosedur penerjemahan istilah kata, frasa dan bidang kajian yang lain (Syihabuddin, 2002). Menemukan padanan yang akurat merupakan cara untuk mencapai ketepatan (correctness). Catford (dalam Syihabuddin 2002:108) mengemukakan bahwa kesepadanan itu merupakan ciri situasional yang relevan antara BSu dan BSa. Dengan kata lain, dalam mencari kesepadanan itu perlu memperhatikan proses penerjemahan, karena hal ini merupakan tindak komunikatif dalam hal penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima (penerjemah dan pembaca) dari BSu ke BSa. Dan hal yang paling penting adalah terdapatnya kesepadanan makna antara BSu dan BSa. Tidak ada kesepadanan yang sempurna dalam penerjemahan karena kesepadanan itu ditentukan oleh skopos (konsep dari bidang studi terjemahan yang terdiri dari gagasan bahwa penerjemahan dan juru bahasa harus terutama memperhitungkan fungsi teks sumber dan sasaran). Selain yang telah dijelaskan di atas, Venuti (1995) juga mengemukakan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mencari padanan yang tepat yaitu menerapkan istilah foreignization (pengasingan) dan domestication (domestikasi). Foreignization adalah proses penerjemahan dalam mencari kesepadanan dengan menggunakan kata pinjaman untuk mempertahankan suasana dan pesan yang dapat diterima, tidak jauh dari BSu. Dalam foreignization, penerjemahan yang baik, benar dan berterima adalah sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan budaya sumber itu hadir dalam penerjemahan tersebut. Sedangkan domestication, penerjemahan yang beradaptasi dengan kebudayaan pembaca BSa. Pembaca berharap penerjemahan yang sesuai dengan budaya masyarakat BSa. Walaupun penerjemah mengutarakan bahwa kesepadanan yang dicapai bukanlah kesamaan, akan tetapi ukuran kesepadanan harus diperhatikan. Menurut Machali (2009:141)
Universitas Sumatera Utara
dalam mengukur kesepadanan, kita gunakan ukuran menyeluruh; perubahan yang bersifat lokal yakni menyangkut kalimat, frasa, kata dalam fungsinya apakah teks itu untuk menyampaikan informasi atau mengajak, kesepadanannya harus dilihat dari segi fungsi teks tersebut. Secara singkat dapat ditegaskan bahwa sejauh fungsi teks sasaran tidak bergeser dari fungsi asalnya, maka teks sasaran tersebut ekuivalen dengan aslinya. Menentukan padanan yang tepat merupakan cara untuk mencapai ketepatan dan ketepatan itu bisa dicapai apabila pembaca teks sasaran mampu memahami pesan dalam BSa dengan baik. Kesimpulannya yaitu penerjemah harus mengetahui siapa pembaca teks sasaran.
2.7 Kompetensi Penerjemah Penerjemahan hanya muncul ketika ada karakteristik yang berbeda dari dua bahasa atau lebih. Oleh karena itu, dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah diperlukan untuk menjadi seorang ahli bahasa yang dengan cara apapun mencari atau menciptakan solusi untuk menghilangkan perbedaan dan menjembatani kesenjangan antara BSu dan BSa. Mengenai peran kompetensi penerjemah dalam proses penerjemahan, Hoed (2006: 25) memberikan argumen yang kuat bahwa kompetensi penerjemah memainkan peran yang sangat penting dalam memproduksi penerjemahan yang berkualitas. Seorang penerjemah harus memiliki kecerdasan yang cukup baik mengenai 'budaya BSu dan budaya BSa'. Kecerdasan budaya memberikan gambaran karakteristik BSu dan BSa, dan dengan demikian memfasilitasi identifikasi perbedaan yang menjadi masalah dalam proses penerjemahan. Penerjemah harus berpengetahuan, baik umum maupun khusus. Pengetahuan umum dapat membantu si penerjemah dalam memahami masalah yang berhubungan dengan pekerjaan penerjemahannya, sedangkan pengetahuan khusus, berguna dalam menerapkan strategi ketika berurusan dengan teks teknis, kapan dan bagaimana menerjemahkannya. Penerjemah juga harus memiliki kemahiran, logika kecepatan dan keterampilan retorika dalam menganalisis fenomena yang ada, mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang
Universitas Sumatera Utara
tepat, dan ia juga harus menyadari makna kognitif, struktur sintaksis dan dinamika informasi, dan sekali-sekali harus mengikuti intuisinya atau mendefinisikan masalah daripada memecahkan masalah tersebut (ibid: 180 dalam Baker 1992: 119). Hal ini sangat penting bagi si penerjemah untuk menyadari bahwa tugas seorang penerjemah adalah untuk mencapai kesepadanan makna dalam norma dan gaya yang berbeda dari BSu, dan bukan untuk memperbaiki teks. Ini berarti bahwa si penerjemah harus mengutamakan gaya penulis BSu lebih daripada norma-norma bahasa. Untuk alasan ini, penerjemah bahkan kadang-kadang harus mengganti gaya bahasa untuk memperoleh kesepadanan yang tepat dan akurat yang dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca BSa. Muchtar (2011: 14) menekankan kompetensi penerjemah pada kompetensi bahasa dan aspek material. Pendapatnya konsisten dengan kenyataan bahwa keragaman makna dari unsur-unsur BSu berkaitan dengan aspek materi teks. Bahasa dan aspek materi menunjukkan pijakan dasar analisis dalam penerjemahan. Jadi apa yang dibutuhkan pada tahap ini adalah pengetahuan dari kedua bahasa yang biasanya terdiri dari dua sub-kompetensi atau lebih karena sekali penerjemah melakukan kesalahan dalam tahap analisis, maka hasilnya akan berakibat buruk pada produk penerjemahannya (Stanislava Šeböková, 2010 : 7). Oleh karena itu, dalam tahap analisis kehati-hatian sangat dibutuhkan. Nababan (1999: 79-81) menjelaskan multi-peran penerjemah. Dia berpendapat bahwa penerjemahan adalah pekerjaan sederhana dan murah tapi menyumbangkan kontribusi yang sangat besar dalam membangun
semua
aspek
kehidupan
manusia
karena
berfungsi
sebagai
sarana
penyebarluasan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan peradaban manusia lainnya. Pekerjaan yang sangat berharga dari tokoh penerjemah membuktikan bahwa penerjemah adalah agen pembangun bangsa, dan maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kompetensi penerjemah sebagai agen perubahan peradaban masyarakat. Penerjemah harus memiliki: 1). kompetensi tekstual kritis (pemahaman konsep yang dimaksudkan oleh penulis
Universitas Sumatera Utara
asli), 2). Kecerdasan (kompetensi penilaian yang akurat atas kualitas penerjemah dalam mentransfer pesan dari BSu sehingga tetap alami dan dipahami oleh pembaca BSa). Konsep di atas sejalan dengan Nababan dan Venuti
(1995: 1-2) bahwa kompetensi penerjemahan
menunjukkan upaya penerjemah untuk memastikan bacaan yang mudah dengan tetap mengikuti dan mempertahankan sintaksnya dan makna yang tepat untuk teks BSu. Venuti menggunakan istilah "invisibility" untuk menggambarkan situasi dan aktivitas penerjemah pada budaya Anglo-Amerika kontemporer. Menurutnya, situasi mengacu pada efek illusionistis wacana penerjemah dan manipulasi penerjemah itu sendiri. Istilah lain yang digunakan adalah intervensi yang sangat penting dari si penerjemah dalam teks BSu yang didasarkan pada konsep bahwa ‘hasil penerjemahan yang lebih baik tercermin dari penerjemah yang berkualitas bahkan mungkin melebihi dari si penulis teks aslinya. Neubert (dalam Šeböková 2010: 11) menggunakan istilah kompetensi penerjemah yang merujuk pada pengetahuan dan keterampilan yang kompleks yang dibutuhkan oleh penerjemah dalam proses penerjemahan. Dia menyarankan definisi kompetensi hirarki penerjemahan yang terdiri dari: (1) Kompetensi Bahasa; sistem pengetahuan tata bahasa, istilah, konvensi sintaksis dan morfologi, (2) Kompetensi Tekstual; terkait dengan kompetensi linguistik yang merupakan kemampuan dalam mendefinisikan fitur tekstual misalnya teknis, bidang hukum atau sastra, (3) Kompetensi Budaya; penerjemah harus memiliki pengetahuan tentang budaya, karena penerjemah bertindak sebagai mediator antar berbagai latar belakang budaya. (4) Kompetensi Transfer; meliputi strategi dan teknik yang memungkinkan penerjemah menerjemahkan teks dari BSu ke BSa dengan efektif dan efisien. Ini merupakan kompetensi super-ordinanary dari ke empat kompetensi sebelumnya dan ini bersifat sementara, karena "ditentukan oleh sifat teks". Ada beragam konsep mengenai kompetensi penerjemah, namun semua mengacu pada pandangan yang sama bahwa kompetensi penerjemahan adalah sistem yang mendasari
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan, kemampuan dan sikap penerjemah yang memungkinkannya untuk
(1)
menganalisis teks yang tidak hanya sistem BSu dan BSa nya saja tapi juga dimensi kompleks konteks yang mempengaruhi proses penerjemahan, (2) mengidentifikasi masalah dan mengatasinya, dan (3) mentransfer makna yang sesuai yang ada dalam BSa atau kata baru yang dibuat dalam BSa untuk kepentingan pembaca agar makna yang disampaikan tetap terasa alami dalam BSa. Kompetensi penerjemah sangat kompleks tetapi menentukan proses penerjemahan. Kompetensi analisis yang cerdas sang penerjemah sangat dibutuhkan. Kompetensi ini biasanya tercermin pada aplikasi yang sesuai pada teknik, metode dan orientasi ideologi yang mencirikan teks penerjemahan. Jadi, meskipun teori dan istilah yang digunakan berbeda untuk menggambarkan kompetensi penerjemah namun tetap memberikan kontribusi positif yang menyarankan langkah-langkah dan strategi dalam melakukan penerjemahan karena kompetensi penerjemah sangat mempengaruhi kualitas proses dan hasil penerjemahan.
2.8 Parameter Penerjemahan yang Berkualitas Tidak semua hasil penerjemahan dapat berterima di masyarakat. Kebanyakan hasil penerjemahana hanya mengutamakan kuantitas bukan kualitas penerjemahan itu sendiri. Menurut Nababan (1999:132) penerjemahan yang berkualitas harus memenuhi tiga aspek yaitu: 1. Keakuratan Keakuratan merupakan istilah yang digunakan untuk menilai kualitas penerjemahan dengan melakukan pengevaluasian penerjemahan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah teks BSu dan teks BSa sudah sepadan atau belum. Konsep kesepadanan mengarah pada kesamaan isi atau pesan antara BSu dan BSa.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Instrumen penilai keakuratan terjemahan Kategori Terjemahan
Skor
Parameter Kualitatif
Akurat
3
Kurang Akurat
2
Tidak Akurat
1
Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi distorsi makna Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Namun, masih terdapat distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan. Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted).
2. Keberterimaan Keberterimaan berarti sebuah hasil penerjemahan terasa alamiah ketika dibaca. Keberterimaan dapat dicapai apabila suatu penerjemahan yang dialihkan ke BSa sesuai dengan kaidah-kaidah, norma dan budaya yang berlaku. Ini berarti bahwa keberterimaan merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penerjemahan. Walaupun sebuah hasil penerjemahan telah akurat dari segi isi dan pesannya, namun apabila cara pengungkapannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah, norma dan budaya BSa, hasil penerjemahan belum dikategorikan sebagai penerjemahan yang berkualitas. Tabel 2.2 Instrumen penilai keberterimaan terjemahan Kategori Terjemahan
Skor
Parameter Kualitatif
Berterima
3
Kurang Berterima
2
Terjemahan terasa alamiah; istilah teknis yang digunakan lazim digunakan dan akrab bagi pembaca; frasa, klausa dan kalimat yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah; namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal.
Universitas Sumatera Utara
Tidak Berterima
1
Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak lazim digunakan dan tidak akrab bagi pembaca; frasa, klausa dan kalimat yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia
3. Keterbacaan Tingkat keterbacaan teks dapat dilihat berdasarkan apakah pembaca memahami isi teks penerjemahan kedalam BSa. Gilmore dan Root (dalam Nababan, 1999) berpendapat bahwa ukuran suatu teks yang didasarkan pada faktor-faktor kebahasaan tidak lebih dari sekedar alat bantu bagi seorang penulis dalam menyesuaikan tingkat keterbacaan teks dengan kemampuan para pembaca teks itu. Tabel 2.3 Instrumen penilai keterbacaan terjemahan Kategori Terjemahan
Skor
Parameter Kualitatif
Tingkat Keterbacaan Tinggi Tingkat Keterbacaan Sedang
3
Tingkat Keterbacaan Rendah
1
Kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus dibaca lebih dari satu kali untuk memahami terjemahan. Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca
2
2.9 Penelitian Relevan Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: 1. Silalahi (2009) dengan dalam penelitiannya yang berjudul Dampak Teknik, Metode, dan Ideology Penerjemahan pada Kualitas Penerjemahan Teks Medical Surgical Nursing dalam bahasa Indonesia. Penelitiannya mengadopsi delapan teknik penerjemahan diterapkan dalam menerjemahkan teks Medical-Surgical Nursing yaitu teknik harfiah (literal), peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi, modulasi, penghilangan, dan penambahan. Teknik harfiah, peminjaman murni, peminjaman
Universitas Sumatera Utara
alamiah, dan teknik calque berorientasi pada BSu sedangkan teknik transposisi, modulasi, penghilangan, dan teknik penambahan berorientasi pada BSa. Penerjemah memilih metode penerjemahan literal, setia, dan semantik. Dalam penelitian ini, adanya penggunaan teknik penerjemahan dan pemilihan metode penerjemahan dilandasi oleh ideologi foreignisasi teks sumber. Silalahi juga mengemukakan dalam penelitiannya bahwa teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah, calque, dan juga harfiah memberikan dampak yang sangat positif terhadap keakuratan penerjemahan, sementara kekurang akuratan dan ketidak akuratan yang terjadi pada penerjemahan lebih disebabkan oleh penerapan teknik penghilangan, penambahan, modulasi, dan teknik transposisi. Kekurang berterimaan dan ketidak berterimaan cenderung disebabkan oleh penggunaan kalimat yang tidak gramatikal, dan masalah yang menghambat pemahaman pembaca sasaran cenderung disebabkan oleh penggunaan istilah asing yang tampaknya belum akrab bagi pembaca, kolokasi yang tidak tepat, kata bahasa Indonesia yang belum lazim bagi pembaca dan kesalahan ketik. 2. Bumi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Teknik Penerjemahan Istilah-istilah Kebudayaan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruh dan Terjemahaannya dalam The Dancer menganalisis tentang teknik penerjemahan unsur budaya dalam elemen bingkai semantik. Indah menganalisis 17 verba aksi istilah budaya dengan menggunakan 9 teknik penerjemahan. Indah meyimpulkan bahwa teknik established equivalent mendominasi seluruh teknik dalam penelitiannya (33,33%), diikuti oleh teknik peminjaman (14,81%), teknik kompensasi (14,81%), teknik deskripsi (11.11%), teknik calque (7,40%), teknik generalisasi (7,40%), teknik amplikasi (3,70%), teknik partikularisasi (3,70%), dan teknik transposisi (3.70%). Dari analisisnya, terdapat 22,22% teknik yang berorientasi kepada BSu dan 77,78% berorientasi pada Bsa.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan karena menggunakan teori teknik penerjemahan Molina & Albir namun dalam penelitiannya Bumi tidak menganalisis kesepadanan. 3. Ahmad (2011) dalam penelitiannya berjudul Analisis Terjemahan Istilah-istilah Budaya pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara menganalisis ragam istilah budaya, teknik penerjemahan, dan pergeseran yang terjadi pada penerjemahan istilah-istilah budaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat 67 istilah budaya dengan komposisi kategori ekologi 1 verba aksi (1,49%), makanan 13 verba aksi (19,40%), benda budaya/artefak 2 verba aksi (2,98%), pakaian 4 verba aksi (5,97%), bangunan 6 verba aksi (8,96%), transportasi 1 verba aksi (1,98%), bahasa 4 verba aksi (5,97%), social budaya 13 verba aksi (19,40%), kemasyarakatan 8 verba aksi (11,94%), agama 3 verba aksi (4,48%), dan seni 12 verba aksi (17,91%); 2) teknik penerjemahan yang digunakan adalah deskripsi (37,31%), peminjaman (31,34%), kalke (17,91%), generalisasi (8,96%), literal (2,99%), dan kuplet (1,49%); 3) pergeseran yang ditemukan sebanyak 44 verba aksi yang terdiri atas pergeseran unit 28 verba aksi (63,3%), pergeseran struktur 13 verba aksi (29,55%), dan pergeseran 3 verba aksi (6,82%). Penelitian Ahmad memiliki kesamaan dalam menganalisis teknik terjemahan dengan penelitian ini, namun penelitian ini mengkaitkan teknik penerjemahan dengan kesepadanan terjemahan khususnya keakuratan. 4. Simanihuruk (2013) dalam penelitiannya berjudul Analysis of Translation Techniques and Shifts of Batak Toba Cultural Terms in’ Inside Sumatera: Tourism and Life Style Magazine’ menganalisis teknik penerjemahan dan pergeseran dalam penerjemahan istilah budaya suku Batak Toba dalam 6 artikel terpilih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) kategori budaya organisasi, adat-istiadat dan konsep mendominasi dalam 6 artikel tersebut (55,93%), diikuti oleh budaya materi (25,42%), ekologi (10,17%), dan
Universitas Sumatera Utara
budaya social (8,47%); 2) teknik penerjemahan yang paling mendominasi adalah peminjaman murni (34,72%), diikuti oleh penerjemahan harfiah (16,66%), kalke (9,72%), kompensasi (8,33%), deskripsi (6,94%), reduksi (5,55%), adaptasi (4,16%), generalisasi (4,16%), kreasi deskursif (2,77%), partikularisasi (2,77%), amplifikasi (1,38%), modulasi (1,38%), dan transposisi (1,38%); 3) pergeseran unit intra-system mendominasi seluruh pergeseran (50%), diikuti oleh unit shifts (35,18%), structure shifts (11,12%), dan class shifts (3,07%). Penelitian Simanihuruk hampir sama dengan penelitian ini karena keduanya menganalisis teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir, namun penelitian ini mengkaitkan
teknik
penerjemahan
tersebut
dengan
kesepadanan
penerjemahan
khususunya tingkat keakuratan. 5. Prasetyo (2011) dalam jurnalnya berjudul Analisis Transposisi dan Modulasi pada Buku Teori Budaya Terjemahan dari Buku Culture Theory bertujuan untuk mendeskripsikan transposisi dan modulasi dalam buku yang berjudul Teori Budaya dan menggambarkan keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan kalimat yang diterjemahkan mengandung transposisi dan modulasi. Data dari penelitian ini adalah kalimat bahasa Inggris dalam Culture Theory yang diterjemahkan ke dalam buku berjudul Teori Budaya menggunakan transposisi dan modulasi. Para penilai memberikan penilaian pada keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Data awal diambil dari buku Culture Theory dan buku terjemahannya Teori Budaya dengan menggunakan observasi dan teknik note taking. Data kedua dikumpulkan dari kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik transposisi dan modulasi memiliki keunggulan serta kelemahan. Dalam hal keakuratan, transposisi lebih akurat daripada modulasi tetapi modulasi memiliki keterbacaan dan keberterimaan lebih tinggi dari transposisi. Dari 100 data transposisi yang diteliti, ada 86 % dikategorikan akurat, 73 % berterima, dan 91 % terbaca. Di sisi
Universitas Sumatera Utara
lain, dari 80 data modulasi dianalisis, ada 83,75 % dikategorikan akurat, 73,75 % berterima, dan 93,75 % terbaca. Dari analisis ini, penerjemah perlu memiliki kompetensi yang baik dalam menerjemahkan dan buku yang diterjemahkan adalah berkualitas baik. Penerjemah harus mampu mengatur dirinya bebas dari pengaruh struktur kalimat BSu dan untuk mengekspresikan pesan dalam bahasa idomatik Indonesia . Penelitian Prasetyo hampir sama dengan penelitian ini karena keduanya menganalisis teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir, namun Prasetyo hanya memfokuskan pada 2 teknik penerjemahan, yaitu transposisi dan modulasi dan mengkaitkannya dengan tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan sedangkan penelitian ini mengkaitkan keseluruhan teknik penerjemahan dengan ekuivalensi penerjemahan khususnya tingkat keakuratan. 6. Sari, dkk dalam jurnal mereka yang berjudul Translation Techniques and Translation Accuracy of English Translated Text of Tourism Brochure in Tanah Datar Regency bertujuan untuk menemukan jenis-jenis teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dalam brosur pariwisata yang terdapat di kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini berdasarkan konseptual teori tentang teknik penerjemahan dari Molina dan Albir. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan tingkat keakuratan hasil terjemahan tersebut. Data penelitian ini berupa teks terjemahan bahasa Inggris yang terdapat dalam brosur pariwisata di Kabupaten Tanah Datar, yang didapat dari Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Tanah Datar. Berdasarkan analisis data, ditemukan bahwa teknik penerjemahan harfiah (literal translation) merupakan teknik yang paling banyak digunakan oleh penerjemah. Sedangkan dari tingkat keakuratannya, 60% data masuk kedalam kategori kurang akurat. Dari penemuan juga disimpulkan bahwa penerjemah cenderung mempertahankan ciri BSu didalam BSa.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Sari, dkk hampir sama dengan penelitian ini karena keduanya menganalisis teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir dan mengkaitkannya dengan tingkat keakuratan namun sumber data penelitian berbeda dimana Sari, dkk mengambil data dari brosur pariwisata di Kabupaten Tanah Datar, yang didapat dari Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Tanah Datar sedangkan sumber data penelitian ini diambil dari Buku Pelajaran Biologi 2B Bilingual SMA Kelas XI. 7.
Anari dan Bouali (2009) dalam jurnal mereka yang berjudul Naturalness and Accuracy in English Translation of Hāfiz bertujuan untuk menguji tingkat kewajaran dan keakuratan dalam terjemahan bahasa Inggris Hafiz oleh penutur asli bahasa Inggris dan Persia. Mereka berusaha untuk menemukan jawaban atas dua pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apakah ada perbedaan antara terjemahan bahasa Inggris Hafiz oleh penutur asli dari Persia dan pembicara asli bahasa Inggris dalam hal kewajaran dan akurasi?
2) Apakah mungkin untuk mencapai kewajaran dan keakuratan dalam
terjemahan puisi? Untuk menemukan jawaban atas dua pertanyaan tersebut, beberapa sampel dari Hafiz ghazal dipilih dan dikontraskan dengan dua terjemahan berbeda. Terjemahan pertama dilakukan oleh Pazargadi, penerjemah Persia, dan yang kedua oleh Clarke, seorang penerjemah bahasa Inggris. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan contrastive dan oleh karena itu metodologi deskriptif digunakan dalam penelitian ini. Setelah melakukan survei terhadap kedua terjemahan tersebut, para peneliti berkesimpulan bahwa terjemahan Hafiz ghazal oleh penerjemah Iran lebih akurat, sedangkan terjemahan dari penerjemah bahasa Inggris lebih alami/wajar. Penelitian Anari dan Bounali hampir sama dengan penelitian ini karena keduanya menganalisis tingkat keakuratan, bedanya penelitian ini mengkaitkan tingkat keakuratan dengan teknik penerjemahan yang diusulkan oleh Molina dan Albir.
Universitas Sumatera Utara