BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Evaluasi Menurut Fawwaz Elkarmi, Nazih Abu Shikhah, dkk (A Novel Methodology for Project Assessment and Evaluation . Scientific Research, 2011, p262)[1] evaluasi adalah membandingkan dampak aktual dari proyek terhadap hasil yang direncanaakn dan memiliki 2 alasan utama : − Pembelajaran dan pengembangan, − Akuntabilitas ( menyajikan efektifitas dari suatu proyek). Evaluasi
dapat
memberikan
manfaat
dalam
meningkatkan
dan
memperbaiki proyek atau untuk membuat penghakiman mengenai masa depan proyek. Menurut Fawwas Elkami,dkk
evaluasi dapat dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu : 1. Evaluasi pengembangan Pada evaluasi jenis ini, evaluator memainkan peran dalam perancangan dan pengembangan proyek. informasi tersebut membantu dalam memberikan umpan balik kepada anggota tim dan manajemen untuk meningkatkan desain proyek. 2. Evaluasi formatif Evaluasi jenis ini umumnya dilakukan untuk memperbaiki tujuan. 3. Evaluasi sumatif
19
20
Evaluasi jenis ini dilakukan setelah proyek selesai. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari suatu proyek. Berdasarkan jenis-jenis evaluasi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan evaluasi yang dilakukan dalam thesis ini adalah evaluasi pengembangan, dimana proses evaluasi dilakukan sebelum proyek berjalan untuk menghasilkan perbaikan kualitas manajemen layanan teknologi informasi (TI) melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas layanan. Edward Deming (1982) menjelaskan “quality chain reaction”, ketika terjadinya suatu peningkatan terhadap suatu produk dan kualitas layanan, penurunan biaya akan terjadi dikarenakan pengurangan dari pekerjaan yang berulang dan pengurangan terhadap penundaan. Karena biaya berkurang dan perbaikan dari produktifitas maka menyebabkan peningkatan produkfitas yang lebih tinggi sehingga memungkinkan perusahaan mendapatkan keuntungan yang besar terhadap pasar dengan memberikan harga yang lebih rendah namun dengan kualitas lebih tinggi.
21
2.2 Pengumpulan Data Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang digunakan sebagai petunjuk untuk bertindak (Anonim, 2000). Berdasarkan data, kita dapat mempelajari fakta-fakta yang ada dan kemudian mengambil tindakan yang tepat berdasarkan pada fakta tersebut. Di dalam ITSM data-data yang digunakan dapat berupa data defects, waktu, biaya, efisiensi, ataupun kinerja. Data-data dikumpulkan dengan tujuan seperti berikut (Anonim, 2000): -
Untuk mendapatkan fakta-fakta yang dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk memilih suatu masalah yang akan dijadikan sebagai project.
-
Untuk dijadikan sebagai bahan acuan yang akan menunjukkan kemajuan suatu proses. Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi-informasi
yang dibutuhkan dalam Penilitian. Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer: -
Data primer ini di dapat dari hasil observasi dan wawancara terhadap proses kerja incident management dan problem management pada PT.Indomobil Sukses Internasional Tbk.
-
Data sekunder merupakan informasi yang dikumpulkan bukan untuk kepentingan studi yang sedang dilakukan saat ini tetapi untuk beberapa
22
tujuan lain. Data sekunder dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber, yaitu : •
Data internal yaitu data yang berasal dari dalam organisasi dimana riset sedang dilakukan. Misalnya, data penjualan dan biaya yang dikomplikasi dalam siklus akuntansi yang normal merupakan data sekunder internal yang akan diberikan pada banyak masalah riset, seperti evaluasi startegi pemasaran atau penilaian posisi kompetitif perusahaan dalam industri.
•
Data eksternal yaitu data yang berasal dari luar organisasi dimana riset sedang dilakukan. Sumber eksternal dapat dibagi menjadi sumber-sumber yang secara teratur menerbitkan data-data statistik dan menyediakannya secara gratis kepada para pengguna, dan organisasi-organisasi komersial yang menjual jasanya kepada berbagai pengguna.
2.3 Service Menurut Cartlidge (2007,p6) Service merupakan cara memberikan manfaat kepada pelanggan dengan memfasilitasi hasil-hasil yang ingin dicapai pelanggan tanpa kepemilikan biaya spesifik dan resiko - resiko. Manfaat yang ingin dicapai pelanggan adalah alasan mengapa mereka membeli atau menggunakan layanan tersebut. Nilai pelayanan kepada pelanggan secara langsung tergantung pada seberapa baik layanan memfasilitasi hasil tersebut.
23
2.4 IT Service Management (ITSM) Menurut Cartlidge (2007, p6) Service Management adalah seperangkat kemampuan tertentu organisasi untuk memberikan manfaat kepada pelanggan dalam bentuk layanan. Kemampuan organisasi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses, metode, fungsi, peran dan kegiatan. Menurut Ivanka Menken (2009, p7) IT Service Management adalah manajemen dari semua proses yang bekerja sama untuk memastikan kualitas layanan, sesuai dengan tingkat layanan yang telah disepakati dengan pelanggan. Seperti inisiasi, desain, organisasi, pengendalian, pengadaan, dukungan dan peningkatan layanan TI yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Persaingan di antara perusahaan-perusahaan pada saat ini telah menjadi sangat berorientasi terhadap IT, sehingga menyebabkan perusahaan harus memiliki berbagai standar kualitas untuk meningkatan proses bisnis. ITSM (IT Service Management) merupakan sumber panduan praktis untuk dijadikan sebagai standar kualitas agar terciptanya perbaikan proses pada perusahaan. Terdapat 4 perspektif dalam ITSM yaitu : − Partners / Suppliers Memperhatikan pentingnya hubungan dengan rekanan dan pemasok, dan bagaimana mereka berkontribusi terhadap ITSM. − People Berhubungan dengan keahlian dan pengetahuan dari orang-orang yang terlibat dalam proses ITSM seperti staf IT,
24
konsumen, dll. Apakah mereka sudah memiliki keahlian dan pengetahuan yang tepat untuk menjalankan peran mereka ? − Product / Technology Menitik beratkan pada layanan IT, perangkat keras & perangkat lunak, anggaran dan aplikasi-aplikasi yang digunakan. − Process Berhubungann dengan bagaimana layanan diberikan kepada konsumen dalam alur proses ITSM. Untuk menjamin kualitas dari ITSM, maka keempat atribut tersebut harus diperhatikan dan dijalankan sebagai bagian dari Continual Improvement organisasi. Menurut Joanne Wester (2010,p42) staf technical support dalam manajemen layanan TI dapat dikategorikan kedalam 4 level berdasarkan ruang lingkup pekerjaan dari masing-masing level, seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.4.1 Technical Support Tiering
Support Tier Scope Tier 0 ‐ Self Service
Self Service Web Portal untuk pengguna Input ke Tier 1 / 2 Knowledge base (FAQ/How To) Komunikasi insiden, menyediakan informasi dan update kepada pengguna Download dan instalasi layanan (software, file konfigurasi, dll) Kontak pertama pengguna
Tier 1 ‐ 1st Line Support Menyediakan pemecahan masalah awal dan diagnosis, bertanggung / Initial jawab terhadap isu ‐ isu dasar Support Level Mengembalikan fungsionalitas pengguna secepat mungkin
Menangani kesalahan pengguna, mengatasi permasalahan password, konfigurasi hardware / software Menyediakan petunjuk dengan pertanyaan How To Menangani atau mengeskalasi Mengidentifikasi permasalahan potensial, menyelesaikan dan melakukan eskalasi jika diperlukan
25
Support Tier Scope Tier 1 ‐ 1st Memelihara dokumentasi Line Support / Pengukuran dan benchmarking untuk pengembangan yang berkelanjutan Initial Support Manajemen antrian, Mengendalikan beban pekerjaan Level Agent Management Memfasilitasi request ke level berikutnya Penyediaan / pembatalan request layanan Tier 2 ‐ 2nd Menerima insiden yang memerlukan keahliah teknis tambahan dari Tier 0 Line Support / 1 / Technical Mengidentifikasi permasalahan dan trend melalui manajemen masalah, Support Melakukan beberapa analisa akar permasalahan Point of contact bagi sistem admin Menyediakan diagnosis tingkat lanjut dan memiliki keahlian teknis untuk menangani insiden
Tier 3 ‐ 3rd Line Support
Mengeskalasi isu yang memerlukan keahlian teknis lebih lanjut kepada 3rd Line Support Memonitor dan mengupdate dokumentasi / knowledge bas Pengukuran dan benchmarking untuk pengembangan yang berkelanjutan Menyediakan layanan untuk request yang diterima dari Tier 0 /1 Penyediaan / pembatalan request layanan Mendukung Tier 1/2 dengan keahlian produk dalam penanganan insiden Bekerja dengan manajemen masalah dengan pengembangan solusi, dan perbaikan bug Pekerjaan proyek Pengembangan teknis Perbaikan Bug Pengukuran dan benchmarking untuk pengembangan yang berkelanjutan Menyediakan layanan untuk request yang diterima dari Tier 0 /1/2 Penyediaan / pembatalan request layanan
2.5 Six Sigma (Jack Probst dan Gary Case, 2009,P7) Six Sigma merupakan teknik kualitas yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh Bill Smith di Motorola pada tahun 1986 untuk mengidentifikasi dan menghilangkan cacat pada proses
26
produksi. Seiring waktu, teknik tersebut telah berkembang dari sebelumnya hanya fokus pada proses produksi menjadi fokus pada proses bisnis juga. Six Sigma merupakan metodologi untuk mengidentifikasi, mengurangi dan menghilangkan proses yang berkinerja buruk dan berpotensi menciptakan kesalahan yang berdampak pada pelanggan. Tujuan dari Six Sigma adalah untuk mengurangi jumlah proses yang menghasilkan cacat baik dalam proses produksi atau proses bisnis. Menurut Qianmei Feng (2007, p2) Six Sigma baik digunakan untuk perbaikan kualitasn dan proses, karena Six Sigma menyediakan pendekatan yang sistematis dan bukan hanya seperangkat dari peralatan. Six Sigma dapat menghasilkan perbaikan proses secara keseluruhan dan mudah dimengerti bagaiman untuk menghubungkan dan urutan peralatan yang dapat digunakan. Menurut Jack Probst dan Gary Case (2009, p7) Cacat adalah pengalaman pelanggan terhadap proses, layanan atau produk yang berada diluar harapan atau kebutuhan pelanggan. (2009, p9) Six Sigma memiliki 2 bentuk sub metodologi untuk meningkatkan kualitas proses, yaitu : -
DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses yang berjalan. Metodologi ini dapat digunakan setelah proses diimplementasi untuk fokus pada masalah secara spesifik, mengidentifikasi sumber kesalahan, dan mengatasinya.
-
DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, Verify) DMADV digunakan dalam Design for Six Sigma (DSS). DSS beroperasi dalam prinsip bahwa proses, produk atau layanan dapat dirancang dengan memikirkan kualitas.
27
Dalam penelitian ini metodologi yang akan digunakan adalah DMAIC (Define, Measure, Analyze , Improve, Control) mengingat bahwa tujuan dari penulisan thesis ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap manajemen kualitas layanan teknologi informasi yang berjalan. Metodologi DMAIC terdiri dari beberapa subproses yang saling terkait, yaitu : -
Define Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap masalah dan ruang lingkup masalah yang dirasakan user / pelanggan dan bisnis serta berapa lama masalah telah ada. Oleh karena itu mengidentifikasi user / pelanggan, tujuan proyek, dan waktu untuk menyelesaikannya.
-
Measure Pada tahap ini dilakukan pengukuran terhadap kinerja atau proses yang berjalan. Mengidentifikasi data apa yang tersedia dan dari sumber apa. Mengembangkan rencana untuk mengumpulkannya. Mengumpulkan data dan menyimpulkannya, menjelaskan masalah. Tahap ini umumnya melibatkan pemanfaatan tool grafis.
-
Analyze Pada tahap ini dilakukan analisa kinerja untuk mengatasi masalah. Melalui analisis baik secara statistik dan kualitatif, memulai untuk merumuskan dan menguji hipotesis mengenai penyebab utama dari masalah yang ada.
-
Improve Pada tahap ini dilakukan pengangana masalah melalui pemilihan solusi. Berdasarkan pada penyebab utama yang telah
28
diidentifikasi pada tahap sebelumnya, melakukan perbaikan / improvement terhadap penyebab utama tersebut. -
Control Pada tahap ini dilakukan pengendalian terhadap proses atau produk yang telah ditingkatkan untuk memastikan target yang telah ditentukan dapat tercapai. Setelah solusi dapat mengatasi masalah, pengembangan harus distandarisasi dan berkelanjutan dari waktu ke waktu. Prosedur standar operasi mungkin memerlukan revisi, dan rencana pengendalian harus ditentukan untuk memonitor kinerja yang berjalan.
Menurut Suhaiza Zailani dalam jurnalnya yang berjudul ‘Investigation on the Six Sigma Critical Success Factor’ (2011, p3) terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dalam penerapan six sigma , yaitu : -
Peran dan komitmen manajemen
-
Perubahan budaya
-
Infrastruktur organisasi
-
Pelatihan
-
Keahlian manajemen proyek
-
Prioritasisasi, pemilihan, pemantauan dan pelacakan proyek
-
Pemahaman metodologi, tool, dan teknik six sigma
29
2.6 IT Infrastructure Library (ITIL) V3 Information Technology Infrastructure Library (ITIL) dikembangkan pada tahun 1980-an oleh pemerintahan Inggris untuk mendokumentasikan kesuksesan suatu organisasi dalam menerapkan pendekatan-pendekatan pada manajemen layanan. Pada tahun 1990-an pemerintahan Inggris telah memiliki koleksi buku dokumentasi Best Practices terhadap serangkaian prosedur manajemen yang dapat diterapkan guna meningkatkan kualitas terhadap manajemen layanan TI. Koleksi buku tersebut disusun dan dijadikan buku yang berjudul IT Infrastructure Library (ITIL). Saat ini ITIL telah diterima di seluruh dunia sebagai sebuah standar de facto dalam manajemen layanan. Framework ITIL telah terbukti dapat digunakan pada seluruh sektor organisasi melalui banyaknya perusahaan manajemen layanan yang mengadopsi ITIL sebagai dasar dalam konsultasi, pendidikan dan dukungan perangkat lunak. ITIL merupakan kerangka kerja umum yang menggambarkan Best Practice dalam manajemen layanan TI. ITIL menyediakan kerangka kerja bagi tata kelola TI, dan berfokus pada pengukuran terus-menerus dan perbaikan kualitas layanan TI yang diberikan. Menurut Cartlidge kualitas layanan bergantung pada manajemen yang baik dari aset TI dalam dunia yang bergantung pada teknologi saat ini. ITIL dikembangkan untuk menyediakan
kerangka dengan praktek terbaik bagi
organisasi TI dalam meningkatkan manajemen layanan TI mereka (Cartlidge, Alison et al. 2007:6). pemanfaatan ITIL meliputi:
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh melalui
30
-
Peningkatan kepuasan pengguna dan pelanggan dengan layanan TI.
-
Meningkatkan
ketersediaan
layanan,
langsung
mengarah
untuk
meningkatkan keuntungan bisnis dan pendapatan. -
Penghematan keuangan melalui pengurangan pengerjaan ulang, waktu yang hilang, peningkatan penggunaan manajemen sumber daya.
-
Meningkatkan waktu terhadap pasar untuk produk dan jasa baru
-
Meningkatkan pengambilan keputusan dan risiko dioptimalkan.(Cartlidge, 2007, p8) Menurut Shari S (2010, p13) terdapat beberapa faktor yang dapat
menghambat implementasi ITIL, yaitu : -
Ketidakpuasan pelanggan terhadap gap antara peningkatan kualitas layanan dan pandangan pelanggan
-
Kegagalan dalam memuaskan pelanggan
-
Biaya ekstra yang terjadi pada proses pendidikan dan pengelolaan
-
Jenjang waktu antara investasi dalam proyek ITIL dan kinerja hasil
-
Konflik antara kepentingan kebutuhann untuk peningkatan kualitas dan pertimbangan biaya
-
Kesulitan dalam implementasi
-
Penolakan karyawan
-
Kurangnya kemampuan integrasi
(Hochstein et al, 2010, p32) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Hochstein et al yang dilakukan pada 15 organisasi di Australia, UK, dan New Zealand terdapat beberapa keuntungan proses ITSM dengan menggunakan
31
pedoman ITIL antara lain : peningkatan fokus pada manajemen layanan TI, infrastruktur yang lebih dapat diprediksi, peningkatan konsultasi dengan grup IT pada organisasi, negosiasi Service Level Agreement yang lebih mudah, berkurangnya kegagalan server, proses IT yang lebih konsisten dan terdokumentasi, pencatatan yang konsisten terhadap insiden. ITIL dan Six Sigma dapat digabungkan untuk mengatasi keterbatasan satu sama lainnya sehingga dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Penerapan proses Six Sigma diterapkan terlebih dahulu , kemudian ITIL digunakan sebagai pedoman dalam menyusun rekomendasi . Kombinasi tersebut sebagai sarana perbaikan yang ampuh untuk diterapkan pada perusahaan. ITIL V3 sudah mencakup proses utama dari versi sebelumnya dan proses – proses pengembangan dari versi sebelumnya yang berfokus pada proses menjadi lebih berfokus pada siklus hidup layanan. ITIL V3 terdiri dari 5 buah buku yaitu : -
Service Strategy Service strategy memberikan petunjuk bagi penyedia jasa layanan
TI
dan
pelanggannya,
untuk
membantu
mereka
mengoperasikan dan berkembang dalam jangka panjang dengan membangun strategi layanan yang jelas serta melihat manajemen layanan bukan hanya sebagai kemampuan organisasi namun sebagai aset strategis. Menggunakan ITIL untuk merubah kemampuan manajemen layanan menjadi aset strategis, dengan menggunakan manajemen layanan sebagai dasar dari kompetensi inti, kinerja yang baik, keunggulan yang berkesinambungan, dan meningkatkan potensi penyedia layanan dari kemampuan dan sumber daya mereka.
32
Strategi layanan tidak dapat dihasilkan atau berada terpisah dari strategi dan kultur organisasi dimana penyedia layanan tersebut berada. Peneyedia layanan mungkin ada di dalam sebuah organisasi khusus untuk memberikan layanan kepada sebuah unit bisnis tertentu, untuk melayani beberapa unit bisnis, atau mungkin juga beroperasi sebagai penyedia layanan eksternal yang melayani konsumen eksternal. Strategi yang dipilih harus dapat memberikan nilai kepada konsumen dan semua pihak yang berkepentingan. Strategi tersebut harus memebuhi tujuan strategis dari peneyedia layanan. Tidak peduli dalam konteks apa penyedia layanan tersebut beroperasi, strategi layanannya harus berlandaskan pada kenyataan bahwa ada persaingan, kesadaran bahwa setiap pihak mempunyai pilihan, dan bagaimana penyedia layanan tersebut akan membedakan dirinya dengan pesaingnya.
-
Service Design Service Design memberikan petunjuk untuk perancangan dan pengembangan manajemen layanan. Service design mencakup prinsip perancangan dan metode untuk mengubah tujuan strategis menjadi portfolio layanan dan aset layanan.
-
Service Transition Service Transition memberikan petunjuk untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan untuk mentransisi layanan baru dan
33
perubahan layanan menjadi operasi layanan langsung. Transisi layanan memberikan petunjuk mengenai bagaimana kebutuhan dari strategi layanan diterjemahkan kedalam rancangan layanan dan dapat direalisasikan
secara
efektif
dalam
layanan
operasi
dengan
mengendalikan resiko dari kegagalan dan gangguan. Service transition berfokus untuk mengimplementasikan semua aspek dari layanan, bukan hanya aplikasinya dan bagaimana cara digunakan pada kondisi normal. Tahap ini harus menjamin bahwa layanan dapat beroperasi pada kondisi yang tidak biasa dan ekstrim, dan bantuan tersedia ketika terjadi kesalahan.
-
Service Operation Service Operation mewujudkan praktek dalam pengelolaan manajemen dari operasi harian layanan. Service Operation juga memberikan petunjuk dalam mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pengiriman dan dukungan dari layanan untuk memastikan nilai bagi pelanggan dan penyedia jasa layanan.
-
Continous Service Improvement Continous Service Improvement (CSI) merupakan metode yang dikembangkan ITIL untuk memberikan petunjuk dalam menciptakan dan mempertahankan nilai bagi pelanggan melalui rancangan yang lebih baik, transisi layanan dan operasi layanan. Sama seperti Six Sigma, pendekatan CSI merupakan adaptasi dari Deming
34
Quality Cycle dengan mengaplikasikannya pada tahap siklus hidup layanan. Berikut merupakan perbandingan antara metode Six Sigma dan ITIL V3 CSI : Tabel 2.6.1 ITIL V3 (CSI) vs Six Sigma (DMAIC)
STEPS
CSI
DMAIC
(ITIL V3)
(SIX SIGMA)
TOOLS
Visi dan tujuan
Mengkaji ulang berdasarkan bisnis dan visi TI, strategi, tujuan dan harapan.
Define
Flowchart , Goal Question
Step 1,2
Apa yang harus diukur, dan apa yang dapat diukur
Define
Step 3
Mengumpulkan data pengukuran
Measure
Step 4
Memproses data
Measure
Step 5
Menganalisa data dan melihat trend dan peluang pengembangan. Termasuk merekomendasikan area pengembangan
Analyze
Fishbone Diagram, FMEA
Step 6
Menggunakan informasi dalam laporan. Menentukan prioritas dalam rencana pengembangan.
Improve
Fishbone Diagram
Step 7
Mengimplementasikan rencana pengembangan.
Improve
Tujuan operasional dan taktis *
Memastikan pengembangan peluang mendukung atau mengubah kebutuhan bisnis.
Control
Histogram, Control Chart, DPMO
Gantt Chart
35
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kedua metode tersebut memiliki kemiripan pada tiap prosesnya, namun karena minimnya informasi yang tersedia untuk pengembangan dengan menggunakan metode ITIL V3 CSI, sehingga pada penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode DMAIC Six Sigma, sedangkan ITIL V3 tetap digunakan sebagai pedoman dalam melakukan analisa dan penyusunan framework rekomendasi.
2.7 Perangkat Analisis - Fase Define (DMAIC) -
Flowchart (Diagram Alir) Flowchart merupakan sebuah diagram yang menggambarkan urutan proses dari proses tersebut dimulai , dilakukan, hingga proses tersebut selesai. Flowchart
dapat digunakan untuk medefinisikan
sebuah proses dan mengidentifikasi bagian-bagian kritis dari sebuah proses. •
Goal Question Metrics (GQM) GQM merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan pengukuran key performance Indicator (KPI) atau memperjelas KPI yang sudah ada dengan berfokus pada tujuan. GQM memberikan sebuah solusi untuk menghasilkan pengukuran KPI yang jelas. GQM menghasilkan pengukuran dari pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan. Hasil dari penerapan GQM adalah spesifikasi pengukuran
36
sistem sesuai dengan permasalahan yang ada beserta interpretasi data pengukuran yang tepat. Model pengukuran terdiri atas tiga tingkatan, yaitu : •
Level Konsep (Goal) Dimana tujuan ditentukan untuk sebuah objek berdasarkan alasan tertentu, sesuai dengan model kualitas, sudut pandang dan lingkungannya.
•
Level Operasional (Question) Dengan menggunakan pertanyaan untuk mengkarakterkan penilaian
atau
pencapaian
terhadap
suatu
tujuan
berdasarkan karakter model tersebut. •
Level Kuantitatif (Metric) Dimana kumpulan data diasosiasikan dengan pertanyaan secara kuantitatif.
2.8 Perangkat Analisis - Fase Measure (DMAIC) -
Histogram Menurut Lynne Hambelton (2007,
p330)[9] Histogram
merupakan frequency plot untuk menggambarkan seberapa sering sesuatu hal terjadi. Sisi y merupakan frekuensi kejadian dan sisi y merupakan unit yang diukur . Histogram merupakan salah satu dari 7
37
alat pengendalian kualitas yang diperkenalkan oleh Dr.Kaoru Ishikawa. -
Control Chart Control Chart diperkenalkan oleh Dr. Walter andrew Shewhart
pada tahun 1924 dengan maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahaan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum. Komponen dari control chart dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : -
Garis tengah (Central Line)
-
Sepasang limit kontrol (Control limits), dimana satu limit kontrol ditempatkan di atas garis tengah atau yang dikenal sebagai limit kontrol atas (Upper Control Limit) , biasa dinotasikan sebagai UCL, dan yang satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai limit kontrol bawah (Lower Control Limit), biasa dinotasikan sebagai LCL.
2.9 Perangkat Analisis - Fase Analyze (DMAIC) -
Diagram Fishbone Diagram Fishbone (Diagram sebab dan akibat) dikembangkan
oleh Dr. Kaoru Ishikawa ,seorang profesor dari universitas Tokyo pada tahun 1943. Tujuan awal dari diagram ini adalah untuk memilah dan
38
menggambarkan hubungan antara beberapa faktor yang berdampak pada pengendalian kualitas. Menurut Lynne Hambelton (2007, p174) Fishbone diagram merupakan alat yang berfokus untuk mengidentifikasi seluruh penyebab potensial dan mengkategorikannya kedalam tema serta menggambarkan dampak yang mungkin ditimbulkan dari penyebab tersebut. Terdapat 2 jenis diagram sebab akibat, yaitu : -
Analisis Penyebab Pendekatan ini menggunakan penyebab individu yang dikelompokkan kedalam beberapa kategori penyebab utama. Semakin kecil kategori pada tulang ikan kedalam sub-sub penyebab, semakin jelas mengapa potensi penyebab tersebut terjadi.
-
Klasifikasi Proses Diagram ini mungkin digambarkan dalam bentuk Fishbone atau peta proses dengan potensi penyebab yang terkait dengan langkah proses yang sesuai. Dalam menggunakan pendekatan proses, tidak ada kategori atau tema yang sesuai. Kategori tersebut harus diubah agar sesuai dengan situasi atau masalah yang terjadi. Berkaitan dengan pengendalian proses statistikal, diagram ini
dipergunakan
untuk
menunjukkan
faktor-faktor
penyebab
dan
karakteristik kualitas yang disebabkan oleh fakta-fakta penyebab tersebut. Fakta-Fakta penyebab itu antara lain adalah Man, Technology, Material, method, Measurement, dan Environment.
39
Gambar 2.9.1 Diagram sebab akibat (Fishbone) menggunakan analisis penyebab (2007,p180)
2.10 Perangkat Analisis - Fase Improve (DMAIC) -
Failure Mode Effect Analysis (FMEA) Metode ini dikembangkan oleh militer US pada tahun 1940, dan
digunakan dalam program luar angkasa NASA pada tahun 1960. Pada tahun 1970 metode ini banyak digunakan di Eropa dalam industri elektronik. Pertumbuhan yang cepat dari kompetisi di Eropa begitu juga di dunia memaksa perusahaan untuk meningkatkan upaya peningkatan kualitas. Hal tersebut memperluas penyebaran penggunaan metode FMEA pada tahun 1980. Pada awalnya FMEA memiliki 2 tujuan utama yaitu
40
untuk menganalisa kemungkinan kegagalan dari komponen produk dan untuk menganalisa kinerja dan hasil. (Treasure Chest Of Six Sigma ,2008, p288) Failure Mode Effect Analysis
(FMEA)
merupakan
metode
yang
dirancang
untuk
mengidentifikasi kegagalan sejak awal untuk meminimalisir dampak yang dapat timbul jika hal tersebut terjadi. (Application of FMEA method in enterprise focused on quality , 2011, p5) Metode ini banyak digunakan perusahaan untuk mencegah dan meminimalkan cacat yang dapat muncul pada proses produksi. FMEA memungkinkan hubungan antara sebab dan akibat, pencarian, penanganan dari cacat dan menggambarkan keputusan terbaik yang perlu diambil. Gambar di bawah ini merupakan contoh template form FMEA.
Gambar 2.10.1 FMEA – Blank Template (Treasure Chest Of Six Sigma, 2008, p289)
Pengisian form FMEA dibagi kedalam 2 tahap, yaitu :
41
-
Risk assessment yang mencakup proses dalam mengidentifikasi resiko-resiko yang mungkin terjadi, dampak yang dapat ditimbulkan jika resiko tersebut terjadi, penyebab potensial, upaya pengendalian yang telah dilakukan dan pemicu yang dapat menimbulkan resiko tersebut. Berdasarkan hasil analisa tersebut maka dapat ditentukan angka tingkat severity (tingkat keparahan jika resiko tersebut terjadi), Occurrence (seberapa sering resiko tersebut terjadi), dan Detectability (seberapa mudah resiko tersebut dideteksi) untuk menghitung Risk Priority Number (RPN) yang merupakan prioritasisasi untuk membantu dalam menentukan resikon mana yang harus di mitigasi terlebih dahulu.
-
Action Planning mencakup proses perencanaan untuk menanggulangi resiko-resiko yang telah diidentifikasi pada tahap risk assessment. Tahap ini mencakup subproses jenis tindakan yang akan diambil, rencana kontingensi jika untuk menanggulangi jika tidak berjalan sesuai dengan perkiraan, pengukuran hasil, dan jumlah orang yang diperlukan untuk tindakan tersebut.
2.11 Perangkat Analisis - Fase Control (DMAIC) •
Gantt Chart Perangkat ini dikembangkan oleh Henry L. Gantt pada awal abad
20. Gantt charts merupakan perangkat perencanaan proyek yang dapat
42
digunakan untuk menggambarkan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proyek. Dengan keterbatasan waktu yang dimiliki dalam penyusunan thesis ini, maka penulis memberikan sebuah perencanaan gantt chart untuk memastikan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan dapat tercapai.