BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional II.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang - undangan yang jelas. Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk: a. ratifikasi (ratification) b. aksesi (accession) c. penerimaan (acceptance) d. penyetujuan (approval)
8
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: masalah politik, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk masalah tersebut, dilakukan dengan Keputusan Presiden (Keppres). Pembuatan perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
Perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan dengan itikad baik.
b.
Perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip-prinsip
kesamaan,
saling
menguntungkan,
dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun internasional yang berlaku.
II.1.1.1 Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional Tahapan pembuatan perjanjian internasional, adalah sebagai berikut: A. Penjajakan Pada tahap pertama, negara yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan suatu perjanjian perpajakan dengan Indonesia. Sebelum permohonan diajukan, didahului dengan pembicaraan atau penjajakan antara perwakilan negara asing bersangkutan di Indonesia dengan pihak-pihak yang berwenang di Indonesia (Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan). Dapat pula terjadi permohonan untuk mengadakan perjanjian perpajakan diajukan oleh pihak 9
Indonesia, yaitu dalam hal justru Indonesia yang merasa berkepentingan untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan. Dalam hal negara asing yang mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia, permohonan resminya biasanya diajukan oleh duta besarnya masingmasing kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia kemudian meneruskan permohonan tersebut kepada instansi terkait, yaitu Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang menangani masalah-masalah perpajakan di Indonesia. Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak akan memberikan jawabannya kepada Departemen Luar Negeri. Departemen Luar Negeri kemudian meneruskan jawaban tersebut kepada pihak yang mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, yang memberikan jawaban resminya adalah Departemen Luar Negeri atas nama Indonesia. Jawaban dapat berisi persetujuan atas permohonan, dapat pula berisi penolakan kalau dipandang dari segi ekonomi, politik, maupun alasan-alasan lainnya, kurang dirasakan manfaat bagi Indonesia. Disamping itu, jawabannya dapat pula berisi penundaan, kalau kondisinya belum memungkinkan bagi Indonesia untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan.
B. Perundingan Apabila permohonan yang diajukan untuk mengadakan perjanjian itu disetujui oleh pihak Indonesia, tahap selanjutnya yaitu dilakukannya saling surat menyurat antara kedua belah pihak baik langsung maupun melalui saluran-saluran diplomatik untuk menentukan kapan perundingan pertama akan diadakan, dimana 10
tempatnya dan merundingkan masalah-masalah protokoler lainnya. Berdasarkan kebiasaan-kebiasaan protokoler yang berlaku antar bangsa, tempat perundingan biasanya diadakan secara bergantian di Indonesia dan di negara asing yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia itu. Dalam perundingan pertama, biasanya masing-masing delegasi mengajukan draft kerja (working draft) Konvensi Perpajakan masing-masing sebagai bahan yang akan dibahas dalam perundingan. Istilah konvensi (convention) biasanya digunakan bagi perjanjian-perjanjian formal yang bersifat multilateral. Istilah ini juga meliputi piagam-piagam yang disetujui oleh lembaga-lembaga internasional seperti misalnya Konvensi Buruh Internasional. Namun pada naskah resmi perjanjian-perjanjian perpajakan yang diadakan oleh Indonesia dipergunakan istilah agreement (persetujuan), walaupun perjanjian-perjanjian perpajakan yang bersangkutan tingkatannya merupakan suatu traktat (treaty), bukan agreement (persetujuan). Hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan perjanjian perpajakan di Indonesia memakai Model Indonesia yang merupakan campuran antara model Konvensi Perpajakan yang disusun oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan United Nation Model. Disamping itu, yang dijadikan acuan adalah naskah perjanjian-perjanjian perpajakan yang telah diadakan oleh masing-masing negara dengan negara lain.
C. Penerimaan. Setelah beberapa kali pembahasan dan semua materi permasalahan telah dibahas dan disepakati, proses berikutnya adalah dilakukan pemarafan atas draft perjanjian perpajakan oleh masing-masing ketua delegasi. Draft perjanjian 11
perpajakan yang telah diparaf tersebut kemudian oleh masing-masing delegasi perundingan
disampaikan
kepada
masing-masing
pemerintahnya
untuk
mendapatkan persetujuan. Di Indonesia, draft tersebut disampaikan ke Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri dan Sekretariat Negara, dengan dilampiri laporan singkat mengenai perkembangan yang terjadi dalam perundingan.
D. Penandatanganan Apabila draft perjanjian tersebut telah mendapat persetujuan dari pemerintah masing-masing, tahapan proses berikutnya adalah penandatanganan perjanjian oleh wakil-wakil dari masing-masing negara. Di Indonesia, yang berwenang untuk menandatangani suatu perjanjian perpajakan adalah Menteri Luar Negeri. Dalam hal penandatanganan suatu perjanjian perpajakan, wewenang ini bisa dilimpahkan ke pejabat terkait lain, misalnya Menteri Keuangan atau Duta Besar Indonesia yang bertugas di negara yang mengadakan perjanjian perpajakan dengan Indonesia. Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek perjanjian hilang atau terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
12
II.1.1.2 Jenis Atau Penggolongan Perjanjian Internasional. Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyatakan bahwa “Jenis-jenis perjanjian internasional adalah perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral” (h.122). Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, contohnya: perjanjian antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral berarti perjanjian antara banyak pihak. Contohnya: Konvensi Wina atau Konvensi Jenewa. Sedangkan jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan keterikatan negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua; a. Kontrak perjanjian (treaty contract), dan b. Perjanjian - perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties) . Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law making treaties adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.
II.1.2 Perjanjian Perpajakan Internasional Agus Setiawan (2006) mendefinisikan “Perjanjian perpajakan internasional di Indonesia adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang perpajakan” (h.16). Perjanjian perpajakan internasional tersebut bentuknya adalah: a. Persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty) b. Cara penerapan (mode of application) c. Tata cara persetujuan bersama (mutual agreement procedure) 13
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian penghindaran pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states). Beberapa pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda memerlukan aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of application), misalnya tentang pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat perbedaan penafsiran atau penerapan yang bertentangan dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual agreement procedure. Contoh mode of application adalah menerangkan tentang adanya beneficial owner. Beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga atau royalty baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
II.2. Hukum Internasional. II.2.1 Pengertian dan Sumber Hukum Internasional Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah Internasional adalah: a. Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus; b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
14
d. Keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.
Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsabangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antara negara-negara. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat yang didasarkan atas negara-negara nasional. Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina. Konvensi Internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antarnegara yang ikut menandatangani tersebut, hal ini karena: a. Hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi dari pada hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih banyak masyarakat internasional; b. Hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum internasional, dan juga merupakan kehendak bersama; c. Kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty bukanlah sematamata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada azas timbal balik dan keinginan yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
15
II.2.2 Pengertian dan Sumber Hukum Pajak Internasional II.2.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional Ottmar
Buhler
yang
terjemahkan
oleh
Agus
Setiawan.
(2006)
mendefinisikan, ”Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedahkaedah norma hukum perselisihan yang diasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai objek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan” (h.5). Menurut negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai berikut: 1. National External Tax Law National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di luar negeri). 2. Foreign Tax Law Foreign tax law
ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. 3. International Tax Law International tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim 16
diterima baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
II.2.2.2 Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin dikaji, sehingga penulis mempersempitnya hanya berkaitan dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum tersebut antara lain: A. Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing, antara lain : i.
Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”;
ii.
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
iii.
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak;
iv.
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tantang: Hubungan Istimewa, bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan;
v.
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
vi.
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. 17
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat: i. Perjanjian Bilateral, yang diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda; ii. Perjanjian Multilateral, perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan internasional, atau Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
II.3. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) II.3.1 Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Mengacu pada pendapat John Hutagaol. (2000) pengertian perjanjian penghindaran pajak berganda dikemukakan sebagai perjanjian pajak antar kedua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Contracting States). Karena itu, perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.
II.3.2 Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda yang paling utama
adalah
mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda. 18
Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu: a. Mencegah timbulnya pengelakan pajak; b. Memberikan kepastian; c. Pertukaran informasi; d. Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B; e. Non diskriminasi; f. Bantuan dalam penagihan pajak; Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda secara umum adalah sebagai berikut: A. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili. B. Peningkatan investasi modal dari luar negeri. Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalty dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. C. Peningkatan sumber daya manusia. Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara dimana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai. Apabila 19
penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan dikenakan, maka akan membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar dan menambah ilmu di luar negeri. D. Exchange of Information guna mencegah pengelakan pajak. Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin. E. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara. P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
II.3.3 Azas Pengenaan Pajak Penghasilan Berlakunya P3B, tidak terlepas dari azas pengenaan pajak sumber, domisili atau kewarganegaraan, dimana agar tidak terjadinya double taxation, maka diperlukan aturan yang mengatur tentang P3B itu.
A. Azas domisili atau azas kependudukan (domicile/residence principle) Azas domisili atau kependudukan, negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau resident atau berkedudukan di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
20
Azas ini menerapkan perhitungan penghasilan seluruh dunia untuk dihitung di mana orang pribadi atau badan berdomisili (world wide income concept).
B. Azas sumber (source principle) Azas sumber akan mengenakan pajak dimana orang pribadi atau badan memperoleh penghasilan, dan tidak melihat dimana seseorang atau badan itu berdomisili. Yang terpenting dalam pengenaan azas sumber adalah jenis penghasilan bukan subjek pajaknya. Pajak tersebut hanya dikenakan pada subjek pajak di negara tersebut diperoleh penghasilan. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri, dan (b) penentuan sumber penghasilan berdasarkan UU Pajak.
C. Azas nasionalitas atau azas kewarganegaraan. (nationality/citizenship principle) Azas kewarganegaraan akan mengenakan pajak apabila penduduk tersebut merupakan warga negaranya. Setiap penghasilan di seluruh dunia akan dikenakan pajak bilamana penduduk tersebut menjadi warga negara tersebut.
II.3.4 Metode Penghindaran Pajak Berganda. Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari beberapa negara, perlu diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan pajak. Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan ganda, antara lain:
21
A. Metode Pemajakan Unilateral Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan hukum di dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan ditetapkan sepihak oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kedaulatan negara kita. Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya PPh pasal 26 UU PPh. Apabila tidak ada perjanjian tax treaty atau konvensi internasional, maka Negara Indonesia memiliki hak atau kewenangan internasional atau badan internasional yang memperoleh pendapatan dari Negara Indonesia. Seperti hal nya pajak penduduk Indonesia di negara lainnya, yang telah dikenakan pajak, atas pemajakan tersebut pajak yang telah dibayar dinegara lainnya dapat dijadikan pengurang, guna menghindari pemajakan ganda, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 UU PPh. B. Metode Pemajakan Bilateral. Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan perjanjian ke dua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Penerapan pajak ganda diberlakukan dengan mengurangi jumlah pajak terutang, misalnya untuk PPh Pasal 23 atas deviden yang semula 15%, dapat dikurangkan menjadi 10%, karena dividen tersebut tentu akan dikenakan pajak lagi di negara dimana mereka berkedudukan.
22
C. Metode Pemajakan Multilateral. Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina. Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing, organisasi internasional dibawah naungan PBB, dan penduduk asing yang bekerja di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya pemajakannya tetap berada di negara mana mereka berdomisili. Metode penting lainnya yang dipakai untuk menghindarkan pajak ganda internasional, berdasarkan penjelasan yang tertuang dalam UN Model Commentary adalah sebagai berikut: a. Metode pembebasan/pengecualian pajak (exemption method) b. Metode kredit pajak (tax credit) c. Metode lainnya. A. Metode Pembebasan (Exemption method) 1. Pembebasan subjek pajak (subject exemption) Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang berada di Indonesia, metode ini muncul dikarenakan adanya Konvensi Wina pada tanggal 18 April 1961 yang dihadiri 81 negara diantaranya Indonesia, yang mengatur tentang kekebalan para diplomat terutama kekebalan perpajakan wakilwakil diplomatik. Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 3 juga menegaskan bahwa yang tidak termasuk subjek pajak adalah: a.) Badan perwakilan negara asing; 23
b.) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bertempat tinggal besama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c.) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat: 1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; 2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d.) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2. Pembebasan objek pajak (object, income exemption) atau full exemption Metode ini tidak menghitung kembali penghasilan dari luar negeri, termasuk kerugian atau perpajakannya di negara domisili. Dengan demikian penghasilan atau laba dari luar negeri dianggap terpisah dan tidak perlu dikenakan pajak lagi, seperti PPh Final.
24
3. Pembebasan pajak (tax exemption) atau exemption with progression. Pada dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan maupun kerugian dari luar negeri. Pajak yang dibebaskan sebanding dengan penghasilan luar negeri dibanding keseluruhan dikalikan pajak terutang atas keseluruhan. Bilamana dari luar negeri mengalami kerugian, maka kerugian tersebut tetap diperhitungkan, sehingga akan mengurangi pajak terutang dalam negeri, meskipun tidak ada pembebasan pajak, karena kerugian secara otomatis telah mengurangi pajak.
B. Metode Pengkreditan pajak (Tax Credit) Metode ini pada prinsipnya menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar negeri dan jumlah pajak terutang keseluruhan di negara domisili. Pajak yang telah dibayar di luar negeri dapat mengurangkan pajak terutang di negara domisili. Metode ini dibagi dalam tiga macam: 1. Kredit penuh (full credit) Metode ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk mengkreditkan seluruh pajak yang dibayar di luar negeri, sehingga jika tarif pajak di luar negeri lebih besar dibandingkan dengan tarif pajak di dalam negeri, dipastikan akan terjadi restitusi pajak. Dalam hal ini berarti negara domisili ikut membayar jumlah pajak yang terutang di luar negeri, sebagaimana yang telah diatur dalam UU PPh Pasal 24 tentang Tax Credit. 2. Kredit Terbatas (Ordinary atau Normal Credit) Metode ini membatasi pajak yang dibayar di luar negeri, dapat dikreditkan atau dapat dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas pajak yang 25
dibayar di dalam negeri atau paling tinggi adalah sebesar tarif pajak yang ada di dalam negeri. 3. Kredit Fiktif Metode ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong investor ke dalam negeri, namun untuk menghindari pemajakan di negara investor, maka dibuatlah kredit fiktif, agar negara domisili mengenakan pajak setelah dikurangi kredit fiktif ini, sehingga pemajakannya bebas untuk di negara lainnya dan negara domisili. Metode ini tidak digunakan di Indonesia.
C. Metode lainnya 1. Pembagian Pajak (tax sharing) Pembagian pemajakan dilakukan dengan cara membagi jumlah pajak yang terutang antara negara domisili dengan negara sumber.
2. Pembagian Hak Pemajakan (Division of Taxing Power) Pembagian hak pemajakan adalah dengan menentukan tarif pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri. 3. Pengurangan tarif (Reduction of The Rate) Metode pengurangan tarif pajak artinya mengurangkan tarif pajak atas penghasilan neto luar negeri, sehingga jumlah pajak terutang dalam negeri dengan tarif umum, sedangkan jumlah pajak terutang luar negeri tarifnya dikurangi misal pengurangan tarifnya 25% atau 50%. 4. Pengurangan Pajak (Reduction of The Tax)
26
Metode pengurangan pajak artinya dengan mengurangkan jumlah pajak atas penghasilan netto luar negeri. 5. Pemajakan dengan Jumlah Tetap (Lumpsum or Forfait Taxation) Metode pemajakan atas penghasilan dari luar negeri dengan jumlah yang tetap.
II.3.5. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Untuk mengetahui perpajakan yang terjadi antar berbagai negara, maka penulis mengklasifikasikannya berdasarkan pendekatan tiga model. Pendekatan ini terkait dengan negara mana Indonesia mengadakan perjanjian. Untuk negara maju dan negara berkembang, Indonesia menggunakan model sendiri dalam mengadakan perjanjian tersebut dengan mengkombinasikan kedua Model UN (United Nations Model) maupun OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).
Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Develpoment) Model OECD merupakan model P3B untuk negara-negara maju, didirikan di Paris, 14 Desember 1960, meliputi 24 negara termasuk Jepang yang masuk tahun 1998. Model ini lebih mengedepankan pada azas domisili negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal, dimana hak pemajakannya berada di negara domisili.
Model UN (United Nations) Model UN merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini lebih mengedepankan azas sumber penghasilan, karena mereka umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri, sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang memberi penghasilan. Namun 27
demikian model OECD dan UN tidaklah dapat berdiri sendiri, karena tergantung kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Model Indonesia Model ini mengkombinasikan kedua jenis model UN dan OECD, dan yang cocok digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait dengan ketentuan UndangUndang PPh dan program pembangunan di Indonesia dan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak dalam perjanjian. Hal-hal yang dapat mendorong perkembangan negara Indonesia menjadi lebih maju, dapat diatur dalam perjanjian ini, misal penghasilan atas guru dan peneliti, yang dalam kedua model UN dan OECD tidak diatur, namun dalam Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri.
II.3.6. Kedudukan Tax Treaty Mengacu pada pendapat Rachmanto Surahmat (2005) yang mengemukakan bahwa karena suatu persetujuan pada hakekatnya merupakan rekonsiliasi dari dua hukum pajak yang berbeda, kedudukannya berada diatas Undang-Undang Pajak Nasional masingmasing negara. Tax treaty diatur dalam Pasal 32 A UU PPh ”Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Berdasakan ketentuan tersebut tertulis bahwa tax treaty memiliki perlakuan hukum yang khusus (lex specialis), artinya memiliki aturan tersendiri yang harus dijalankan oleh negara yang terkait dengan perjanjian internasional.
28
Pelanggaran atas suatu treaty diselesaikan secara berbeda tergantung pada tingkatannya. Negara pada pihak lain dalam treaty biasanya mengajukan protes dan mendesak ditempuhnya prosedur sesuai dengan ketentuan treaty untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam P3B, hal ini diatur dalam Pasal 25 tentang Mutual Agreement Procedure. Alternatif terakhir adalah mengadukannya ke tingkat peradilan internasional, misalnya International Court for Justice. Contoh pelanggaran atas treaty adalah dalam hal tindakan sepihak yang dilakukan oleh salah satu negara atas suatu treaty shopping dalam konteks P3B. Masih menurut Rachmanto Surahmat, yang dimaksud dengan treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Treaty shopping ini erat kaitannya dengan masalah transfer pricing karena adanya transaksi antara pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dalam transaksi tersebut, salah satu negara biasanya dirugikan (berupa kehilangan penerimaan pajak) sebab keuntungannya dialihkan ke negara pajak (tax heaven countries). Beberapa negara mempunyai aturan-aturan dalam Undang-Undang nasional untuk mencegah terjadinya treaty shopping ini. Hal ini menunjukkan interaksi antara Undang-Undang nasional dan hukum internasional.
II.4. Aspek Perpajakan Internasional Undang – Undang Pajak Penghasilan Setiap undang-undang perpajakan selalu mempunyai aspek internasional, baik mengenai subjek pajak maupun objek pajak. Aspek internasional dari suatu perundangundangan pajak mencerminkan sejauh mana suatu negara menentukan hak pemajakannya di luar wilayahnya. Aspek internasional ini biasanya menyangkut definisi 29
subjek pajak luar negeri (non-resident taxpayer), definisi bentuk usaha tetap (BUT), penentuan penghasilan dari BUT tersebut, metode penghindaran pajak berganda yang dianut, dan jenis-jenis penghasilan yang diperoleh subjek pajak luar negeri dari sumbersumber di dalam negeri yang dikenai pajak penghasilan melalui pemotongan (withholding), karena sebagian dari aspek perpajakan telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, maka di dalam sub bab ini akan dijelaskan pengertian dari subjek pajak luar negeri, definisi dari bentuk usaha tetap, serta pengertian penghasilan atau laba yang berasal dari bentuk usaha tetap tersebut,
yang merupakan aspek dari perpajakan
internasional. A. Definisi subjek pajak luar negeri Definisi subjek pajak luar negeri dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Pajak Penghasilan, yang berbunyi sebagai berikut: i.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk uusaha tetap di Indonesia;
ii.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap.
30
B. Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) 1. Pengertian Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Perpajakan. Ketentuan mengenai bentuk usaha tetap dalam suatu Perjanjian Perpajakan sangat penting artinya. Karena selain menentukan mengenai ada tidaknya hak negara sumber untuk mengenakan pajak atas laba usaha (business profits) yang diterima atau diperoleh perusahaan yang merupakan penduduk (resident) negara mitranya, juga mengatur mengenai cara pemajakan laba usaha bentuk usaha tetap. Pengertian bentuk usaha tetap di dalam perjanjian perpajakan tergantung kepada pengertian yang diberikan oleh masing-masing perjanjian perpajakan yang bersangkutan, yang dapat berbeda dari satu perjanjian perpajakan ke perjanjian perpajakan lainnya. Pada
umumnya, dalam perjanjian perpajakan
bentuk usaha tetap diartikan sebagai suatu tempat tertentu di mana seluruh atau sebagian usaha perusahaan (luar negeri) dijalankan. 2. Pengertian bentuk usaha tetap berdasarkan Undang - undang Pengertian bentuk usaha tetap diberikan di Pasal 2 ayat (5), yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, dan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha itu dapat meliputi: a) Tempat kedudukan manajemen; b) Cabang perusahaan; c) Kantor perwakilan; 31
d) Gedung kantor; e) Pabrik; f) Bengkel; g) Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; h) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; i) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; j) Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; k) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang berkedudukannya tidak bebas; l) Agen atau karyawan dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. 3. Penghasilan yang dianggap sebagai penghasilan dari bentuk usaha tetap dan dijadikan dasar pengenaan PPh diatur dalam Pasal 5 ayat (1) adalah: a) Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; b) Penghasilan atau laba dari penjualan barang-barang atau barang dagangan yang dilakukan di negara sumber (yang langsung dilakukan oleh perusahaan yang merupakan penduduk (resident) di negara mitra kepada pembeli di negara sumber, tanpa melalui bentuk usaha tetapnya), yang sama atau jenisnya serupa (the same or similiar kind) seperti yang dijual bentuk usaha tetap; 32
c) Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan yang efektif antara bentuk usaha tetap dan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud. Penarikan penghasilan kantor pusat seperti disebutkan dalam butir b dan c di atas yang menjadi penghasilan bentuk usaha tetap, merupakan penerapan suatu konsep yang disebut force of attraction rule concept, yang biasanya dianut dalam sistem perpajakan di kebanyakan negara berkembang untuk mencegah usaha penghindaran pajak oleh perusahaan luar negeri. Konsep ini didasarkan pada suatu asumsi yang menyatakan bahwa pada hakikatnya usaha atau kegiatan seperti yang digambarkan dalam butir b dan c termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap sehingga sudah seharusya penghasilan yang telah dihasilkan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap. Dalam hal negara sumber berhak mengenakan pajak, yaitu karena perusahaan yang bersangkutan melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, penghasilan atau laba usaha yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas kepada penghasilan atau laba yang berasal dari (attributable) bentuk usaha tetap. Pada akhir tahun pajak, penghasilan yang bersangkutan digabungkan dengan penghasilan bentuk usaha tetap lainnya. Biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan yang berkaitan dengan penghasilan tersebut dibebankan sebagai biaya bentuk usaha tetap. Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah dipotong yang dikreditkan oleh bentuk usaha tetap. Begitu juga Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong atas penghasilan tersebut, dapat dikreditkan oleh bentuk usaha tetap.
33
II.5. Peranan Tax Incentive Terhadap Penanaman Modal Asing Situasi politik dan keamanan yang makin kondusif serta adanya jaminan pemerintah bagi tumbuh berkembangnya suatu usaha, ternyata tidak cukup mampu menarik investor asing masuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagian besar calon investor menghendaki suatu kebijakan pemerintah yang mampu mendukung usaha mereka. Salah satu strategi yang perlu dijalankan dalam rangka memenuhi tuntutan investor itu adalah dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian insentif bagi para investor. Selama ini pemerintah memang telah memberikan sejumlah insentif dalam bidang perpajakan untuk mendorong tumbuhnya investasi, diantaranya mempercepat penghapusan sejumlah objek pajak, serta memberikan kelonggaran pajak (tax allowance). Namun, berbagai insentif tersebut tampaknya belum berhasil mendongkrak kinerja investasi. Dengan demikian, diperlukan insentif baru yang lebih mampu menarik investor mengembangkan usahanya di Indonesia. Seperti di negara-negara lain, Indonesia perlu menerapkan tax holiday. Tax holiday merupakan bentuk pengecualian dari pengenaan pajak dan merupakan bentuk insentif yang paling favorit namun harus hati-hati merencanakan penanaman investasinya. Meski tax holiday sebagai insentif investasi masih perlu dipelajari efektivitas dan dampaknya terhadap APBN, namun dalam kondisi yang abnormal seperti saat ini, penerapan tax holiday perlu dipertimbangkan. Dalam konteks yang lebih luas, penerapan tax holiday merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru. Jika diberlakukan dan dijalankan secara benar, tax holiday bisa menjadi sarana efektif untuk membangun industri yang kuat. Untuk mendukung investasi pada kelompok industri prioritas, tax holiday dapat diberikan dalam bentuk pembebasan bea masuk pengadaan 34
barang modal dan bahan baku, pembebasan atau keringanan pajak atas keuntungan yang ditanam kembali, pembebasan pajak bagi investor yang menciptakan nilai tambah signifikan, serta pembebasan pajak bagi pengusaha yang membuka bidang usaha baru atau di daerah terpencil.
35