BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Business Model Canvas Dalam membangun sebuah bisnis tentunya harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana model bisnis dari bisnis yang akan / sedang dijalankan. Untuk itu dibutuhkan suatu alat / metode yang bisa digunakan untuk melihat seluruh aspek kegiatan bisnis yang dilakukan dan nantinya bisa dijadikan dasar untuk pengembangan bisnis ke depan. Business Model Canvas berfungsi sebagai alat untuk membantu melihat seluruh aspek kegiatan bisnis yang dilakukan. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Business Model Canvas adalah menjelaskan bagaimana organisasi / perusahaan dalam menciptakan, memberikan dan menangkap value (nilai). Jadi dengan adanya Business Model Canvas, perusahaan bisa melakukan pemetaan value apa yang bisa diberikan oleh produk atau servis yang dimiliki (Value Propositions), kepada siapa value tersebut akan diberikan (Customer Segments), melalui apa value tersebut diberikan (Channels), bagaimana berkomunikasi dengan customer (Customer Relationships), apa yang dibutuhkan untuk menciptakan value tersebut (Key Resources), bagaimana caranya menciptakan value tersebut (Key Activities), aktivitas
12
13
yang dilakukan dengan mitra usaha (Key Partnerships), sumber pendapatan (Revenue Streams), dan struktur biaya yang timbul (Cost Structure).
Gambar 3.1 Business Model Canvas Sumber : Business Model Generation (2009)
2.1.1 Customer Segment Customer merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu model bisnis. Dengan adanya customer, perusahaan bisa menghasilkan keuntungan dan berkembang. Untuk mendapatkan profit yang maksimal, perusahaan harus fokus kepada kelompok customer tertentu / segmentasi pasar. Namun, perusahaan harus hati – hati dalam menentukan segmentasi pasar dikarenakan berkaitan dengan
14
strategi perusahaan dalam menghasilkan revenue dan sustainability perusahaan. Jika salah dalam segmentasi pasar maka itu bisa mengakibatkan keuntungan yang didapatkan tidak maksimal atau bahkan bisa menyebabkan perusahaan menjadi tidak berkembang dan mengalami kerugian. Menurut Kotler & Keller (2012), Customer Segment adalah kelompok customer yang memiliki dan berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Sedangkan menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Customer Segment adalah kelompok individu atau organisasi yang akan dilayani oleh perusahaan. Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Customer Segment menjadi beberapa tipe yaitu : Mass Market Pada tipe mass market, tidak ada segmentasi / pengelompokan customer tertentu yang akan dijadikan target konsumen. Oleh karena itu, value propositions, distribution channels, dan customer relationships berlaku untuk seluruh kelompok / tipe customer.
Niche Market Pada tipe niche market, perusahaan fokus terhadap kelompok customer yang memiliki kebutuhan tertentu. Oleh karena itu, value propositions, distribution channels, dan customer relationships harus disesuaikan dengan spesifikasi produk atau jasa yang dibutuhkan kelompok customer tertentu.
15
Segmented Pada tipe segmented market, perusahaan melayani kelompok customer yang memiliki sedikit perbedaan terhadap masalah dan kebutuhan. Contoh : perusahaan mekatronika dan automation melayani industri mobil dan industri peralatan rumah sakit.
Diversified Pada tipe diversified market, perusahaan melayani 2 segmentasi pasar yang unrelated (tidak berhubungan). Masing – masing segmentasi pasar memiliki kebutuhan yang berbeda dengan lainnya. Contoh : forum jual beli barang online dan penyedia SAAS (software as a service). 2 segmentasi tersebut berbeda namun bisa sharing resources yang dimiliki.
Multi-sided Platforms Pada tipe multi-sided platforms market, perusahaan melayani 2 atau lebih segementasi pasar. Masing – masing segmentasi pasar bersifat independent.
2.1.2 Value Propositions Value Propositions adalah manfaat dari produk atau jasa yang ditawarkan kepada segmen pasar yang dilayani. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Value Propositions adalah produk dan jasa yang menciptakan value (nilai) bagi
16
segmen pasar tertentu. Value Propositions menjadi alasan bagi customer untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan (willingness to pay). Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), dalam menciptakan Value Propositions, ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan yaitu : Newness Value dari produk atau jasa yang ditawarkan belum pernah ditawarkan oleh produk atau jasa lainnya dan tentunya value tersebut bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan customer.
Performance Peningkatan performa dari produk atau jasa yang sudah ada ataupun yang baru akan ditawarkan kepada customer merupakan salah satu value yang menjadi pertimbangan customer dalam memilih suatu produk atau jasa.
Customization Setiap segmen pasar memiliki kebutuhan yang berbeda – beda. Perusahaan harus bisa menyesuaikan produk atau jasa yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan segmen pasar yang ditargetkan.
17
Getting the job done Value dari produk atau jasa yang ditawarkan bisa mempermudah customer dalam melakukan kegiatan / pekerjaan. Artinya produk atau jasa yang ditawarkan bersifat reliable (bisa diandalkan) sehingga customer bisa fokus kepada kegiatan / pekerjaannya tanpa harus memikirkan performa produk atau jasa tersebut.
Design Design dari produk atau jasa juga merupakan salah satu faktor pertimbangan customer dalam memilih suatu produk atau jasa. Apakah design produk atau jasa yang ditawarkan lebih superior dibandingkan dengan produk atau jasa lainnya, kenyamanan saat pemakaian dan ukuran, merupakan beberapa faktor yang termasuk dalam pertimbangan customer.
Brand Brand adalah sebuah kombinasi dari nama, simbol dan design yang bertujuan untuk menunjukkan identitas suatu produk atau jasa serta sebagai pembeda antara produk dari penjual satu dengan lainnya (Kotler & Keller,2012). Apabila perusahaan bisa membangun brand yang kuat dan menciptakan brand image yang bagus dimata customer. Implikasinya adalah timbulnya brand loyalty dari customer sehingga bisa meningkatkan brand
18
equity dari perusahaan tersebut yang akhirnya berujung kepada meningkatnya willingness to pay dari customer.
Price Harga merupakan salah satu faktor pertimbangan customer dalam pemilihan produk atau jasa. Bagi customer yang price-sensitive, harga merupakan faktor terpenting dalam pemilihan produk. Bagi perusahaan menawarkan produk atau jasa yang memiliki fitur yang sama dengan produk atau jasa lainnya namun dengan harga yang lebih murah bisa meningkatkan sales volume. Namun perlu diingat bahwa ada trade-off antara harga dan kualitas dan juga penentuan harga berpengaruh kepada aspek lain di dalam model bisnis.
Cost reduction Produk atau jasa yang ditawarkan juga nantinya diharapkan bisa mereduksi cost yang harus dikeluarkan customer untuk mendapatkan produk atau jasa tersebut jika dibandingkan dengan produk atau jasa competitor. Contoh : membeli baju di toko online tanpa harus mendatangi toko baju.
Risk reduction Produk atau jasa yang ditawarkan juga diharapkan bisa mereduksi resiko ketika atau setelah membeli produk atau jasa tersebut. Contoh : garansi produk.
19
Accessibility Kemudahan bagi customer dalam hal mengakses produk atau jasa yang ditawarkan. Convenience / usability Kenyamanan dan kemudahan dalam pengoperasian suatu produk juga merupakan salah satu pertimbangan customer dalam memilih suatu produk.
2.1.3 Channels Channels adalah sarana yang digunakan untuk menyampaikan value propositions kepada customer segment yang dilayani. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Channels adalah bagaimana cara perusahaan berkomunikasi dan menyampaikan value propositions kepada customer segmentnya. Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan channels kedalam 2 tipe dan terdiri dari 5 fase kegiatan. Channels terbagi menjadi 5 fase yaitu : 1. Awareness Pada fase ini, perusahaan melakukan kegiatan bagaimana cara untuk meningkatkan awareness customer terhadap produk dan jasa yang ditawarkan perusahaan.
20
2. Evaluation Pada fase ini, perusahaan melakukan kegiatan bagaimana cara untuk membantu customer dalam menilai value propositions yang ditawarkan.
3. Purchase Pada fase ini, bagaimana perusahaan menyediakan akses bagi customer untuk mendapatkan produk atau jasa yang ditawarkan.
4. Delivery Pada fase ini, perusahaan melakukan kegiatan bagaimana cara untuk menyampaikan value propositions kepada customer.
5. After Sales Pada fase ini, bagaimana perusahaan menyediakan after sales service.
Channels terbagi menjadi 2 tipe yaitu : 1. Own Direct Tipe ini artinya sarana penyampaian value propositions kepada customers dimiliki sendiri oleh perusahaan seperti Sales Forces, Web Sales, Own Stores.
2. Partner Indirect
21
Tipe ini artinya sarana penyampaian value propositions kepada customers tidak dimiliki sendiri oleh perusahaan melainkan dengan melakukan kerja sama dengan pihak lain (partnership) seperti Partner Stores, Wholesaler.
2.1.4 Customer Relationships Customer Relationships adalah bagaimana cara perusahaan menjalin ikatan dengan pelanggannya. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Customer Relationships adalah menjelaskan tipe relationship yang dibuat perusahaan untuk segmen pasar tertentu. Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Customer Relationship menjadi beberapa kategori, yaitu : Personal assistance Bentuk relationship dari tipe ini adalah human interaction. Customer bisa langsung berkomunikasi dengan customer representative saat membeli produk atau jasa.
Dedicated personal assistance Bentuk relationship dari tipe ini mirip dengan personal assistance yaitu human interaction. Namun yang membedakannya adalah pada tipe ini customer representative khusus melayani satu pelanggan tertentu (individual client). Contoh : nasabah bank prioritas.
22
Self service Bentuk relationship dari tipe ini adalah pelayanan sendiri artinya customer tidak dilayani oleh customer representative secara langsung.
Automated service Bentuk relationship dari tipe ini mirip dengan self service namun pelayanan yang diberikan menggunakan teknologi.
Communities Bentuk relationship dari tipe ini adalah perusahaan memfasilitasi hubungan antar pengguna produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Fasilitas yang disediakan bisa berupa online atau offline yang bertujuan agar sesama customer bisa bertukar pikiran dan perusahaan juga lebih bisa memahami kebutuhan dari customer yang dilayani.
Co-creation Bentuk relationship dari tipe ini adalah perusahaan melibatkan customers untuk menciptakan value. Contoh : lomba design produk yang nantinya bisa digunakan oleh perusahaan.
23
2.1.5 Revenue Streams Revenue Streams adalah sumber pendapatan. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Revenue Streams adalah cash yang bisa dihasilkan perusahaan dari setiap customer segmentnya. Osterwalder & Pigneur (2009) menjelaskan beberapa cara dalam menghasilkan revenue streams, yaitu : Asset Sale Revenue Stream yang diperoleh dari penjualan barang (physical product).
Usage Fee Revenue Stream yang diperoleh dari jumlah penggunaan jasa / service yang digunakan oleh customer.
Subscription Fees Revenue Stream yang diperoleh dari biaya service yang kita berikan kepada customer tertentu secara berkala.
Lending / Renting / Leasing Revenue Stream yang diperoleh dari hasil memberikan hak eksklusif dari asset yang dimiliki perusahaan kepada customer dalam periode waktu tertentu dengan imbalan fee.
24
Licensing Revenue Stream yang diperoleh dari hasil memberikan hak eksklusif dari intellectual property dengan imbalan fee. Cara ini memungkinkan licensor (pemberi hak lisensi) mendapatkan pendapatan tanpa harus menjual produk atau jasa.
Brokerage Fees Revenue Stream yang diperoleh dari hasil intermediation service (jasa perantara) antara 2 pihak atau lebih.
Advertising Revenue Stream yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan customers untuk perusahaan atas jasa mengiklankan produk atau jasa.
2.1.6 Key Resources Key Resources adalah sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk dapat menciptakan value propositions. Menurut Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014), Key Resources adalah aset kompetitif yang dimiliki dan dikontrol oleh perusahaan. Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014) membedakan resources menjadi 2 kategori yaitu :
1. Tangible Resources
25
Physical resources : tanah, pabrik, peralatan distribusi, fasilitas distribusi, toko, peralatan manufaktur. Financial resources : cash and cash equivalents, marketable securities, dan aset keuangan lainnya. Technological assets : Paten, HAKI, teknologi produksi, teknologi inovasi, infrastruktur IT (satelit, server, workstations). Organizational resources : sistem controlling, koordinasi antar divisi, struktur pelaporan, organizational design.
2. Intangible Resources Human assets and intellectual capital : pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan talenta dari pekerja. Brands, company image, and reputational assets : nama brand, ciri khas, brand image, goodwill dan brand loyalty. Relationships : alliances, joint venture, partnership dan jaringan distribusi. Company culture and incentive system : code of ethics, prinsip bisnis, belief, sistem bonus dan motivasi.
2.1.7 Key Activities Key Activities adalah kegiatan utama perusahaan untuk dapat menciptakan value propositions. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Key Activities adalah
26
kegiatan yang paling penting yang harus dikerjakan perusahaan agar model bisnis bisa berjalan dengan baik. Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Key Activities menjadi 3 yaitu :
1. Production Aktivitas ini berkaitan dengan designing, making dan delivering produk atau jasa.
2. Problem solving Aktivitas ini berkaitan dengan solusi / pemecahan dari masalah yang dihadapi customers.
3. Platform / Network Model bisnis yang dirancang dimana platform sebagai key resources didominasi oleh platform yang berkaitan dengan key activities.
27
2.1.8 Key Partnerships Key Partnerships adalah sumber daya yang diperlukan oleh perusahaan untuk menciptakan value propositions, tetapi tidak dimiliki oleh perusahaan. Key partnerships yang dibutuhkan oleh perusahaan bisa didapatkan dengan cara outsourcing, joint venture, joint operation, dan strategic alliance. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Key Partnerships adalah menjelaskan jaringan suppliers dan partners yang bisa membuat model bisnis berjalan dengan baik. Osterwalder & Pigneur (2009) menjelaskan 3 alasan melakukan kerja sama / partnership, yaitu : 1. Optimization and economic of scale 2. Reduction of risk and uncertainty 3. Acquisition of particular resources and activities
2.1.9 Cost Structure Cost Structure adalah komposisi biaya untuk mengoperasikan perusahaan untuk menciptakan value propositions yang diberikan kepada customers. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Cost Structure adalah semua biaya yang timbul dalam mengoperasikan model bisnis. Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Cost Structure kedalam 2 kelas yaitu :
28
1. Cost driven Perusahaan fokus kepada mereduksi / mengurangi cost tanpa memikirkan kualitas yang terbaik. Tujuan perusahaan adalah mencari efisiensi biaya.
2. Value driven Value driven merupakan kebalikan dari cost driven. Disini perusahaan lebih fokus kepada kualitas dan performa dari produk atau jasa, tanpa memikirkan biaya yang dikeluarkan. Namun perlu diingat bahwa selalu ada tradeoff, artinya jika perusahaan fokus untuk mengurangi cost sehingga harga jual murah pastinya kualitas yang dihasilkan juga tidak bisa yang terbaik. Begitu pula sebaliknya. Osterwalder & Pigneur (2009) juga menjelaskan beberapa karakteristik Cost Structure yaitu :
1. Fixed costs Fixed costs adalah biaya yang tetap yang tidak dipengaruhi volume produksi.
2. Variable costs
29
Variable costs adalah biaya yang berubah – ubah sesuai dengan volume produksi.
Gambar 2.2 Fixed and Variable Costs Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011) 3. Economies of scale Economies of scale adalah keuntungan biaya yang bisa didapatkan seiring dengan pertambahan volume produksi. Dengan bertambahnya volume produksi maka cost per unit menjadi turun.
30
Gambar 2.3 Economies of Scale Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
4. Economies of scope Economies of scope adalah keuntungan biaya yang bisa didapatkan seiring dengan pertambahan scope operasi / jenis produk. Dengan bertambahnya scope operasi / jenis produk dengan sharing resources maka cost per unit menjadi turun.
31
Gambar 2.4 Economies of scope Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
2.2 SWOT Analysis Sebelum membuat strategi untuk pengembangan bisnis ke depan, penting bagi perusahaan untuk mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini penting dilakukan oleh perusahaan agar tidak salah dalam merancang strategi yang nantinya bisa berakibat negatif bagi perusahaan. Dalam mengevaluasi kondisi perusahaan dibutuhkan suatu alat / metode yang benar – benar bisa menggambarkan kondisi perusahaan sebenarnya. Metode itu adalah SWOT Analysis, yang bisa dijadikan dasar untuk perusahaan dalam merancang strategi pengembangan bisnis. SWOT Analysis menjelaskan apa yang menjadi kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) perusahaan, dan juga menjelaskan tentang kesempatan (Opportunity) yang bisa diambil oleh perusahaan agar lebih berkembang serta menjelaskan ancaman –
32
ancaman (Threat) yang mungkin bisa sewaktu – waktu mengganggu performa dari perusahaan. Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014) menjelaskan setiap bagian dari SWOT Analysis, yaitu : Strength Strength adalah sesuatu yang dimiliki / dikerjakan perusahaan yang bisa membuat perusahaan semakin kompetitif di dalam industri. Strength bergantung kepada kapabilitas (capabilities) dan kualitas dari resources yang dimiliki oleh perusahaan. Resources dan Capabilities bisa menghasilkan competitive advantage (keunggulan kompetitif) bagi perusahaan. Namun competitive advantage tersebut harus bersifat valuable, rare, inimitable, non-substitutable.
Weakness Weakness adalah sesuatu yang tidak bisa dikerjakan dengan baik oleh perusahaan sehingga menjadi disadvantage dalam persaingan di industri. Kelemahan internal perusahaan bisa berkaitan dengan (1) skill / intellectual capital tidak begitu baik, atau kekurangan expertise, (2) kurang efisiensi dari sisi assets ataupun organizational, (3) keterbatasan kapabilitas dari setiap divisi / key areas.
Opportunity
33
Perusahaan harus mengidentifikasi opportunity dan melakukan penilaian apakah opportunity tersebut berpotensi menghasilkan profit bagi perusahaan sebelum merancang strategi bisnis. Market opportunity yang paling relevan dengan perusahaan adalah opportunity yang cocok dengan competitive assets yang dimiliki perusahaan, menawarkan prospek pertumbuhan yang bagus dan tentunya menguntungkan bagi perusahaan (profitability).
Threat Threat merupakan faktor eksternal perusahaan yang perlu diawasi karena bisa mengganggu performa bisnis perusahaan. Bentuk dari threat bisa berupa potential new competitor, kebijakan pemerintah, kondisi politik, demografi dan lainnya. Sehingga wajib hukumnya bagi perusahaan untuk mengidentifikasi ancaman terhadap prospek bisnis perusahaan kedepan dan merancang strategic actions untuk mengatasi atau meminimalisir impact dari ancaman tersebut.
Bagian terpenting dalam melakukan SWOT analysis bukan hanya melakukan listing dari setiap bagian SWOT analysis, melainkan membuat rangkuman analisa berdasarkan list dari masing – masing bagian SWOT analysis yang menggambarkan kondisi perusahaan secara keseluruhan, setelah itu merancang strategic actions berdasarkan hasil rangkuman analisa SWOT untuk menyesuaikan strategi bisnis perusahaan dengan strengths dan market opportunities yang dimiliki serta
34
memperbaiki weaknesses dan mengatasi atau meminimalisir dampak dari external threats.
2.3 Porter’s 5 Forces Analysis Karakteristik dan kekuatan dari competitive forces yang dihadapi setiap industri berbeda – beda. Setiap perusahaan wajib untuk mengetahui seberapa besar tekanan kompetitif yang mereka hadapi, sehingga perusahaan bisa menyesuaikan strategi bisnisnya untuk menghadapi tekanan – tekanan tersebut dan bisa terus berkembang. Untuk itu diperlukan sebuah tools / metode yang bisa digunakan untuk mendiagnosa / menganalisa tekanan kompetitif yang dihadapi perusahaan. Menurut buku Crafting and Executing Strategy, Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), tools yang paling powerful dan popular yang digunakan untuk melakukan analisa terhadap principal competitive preassure pada pasar adalah five forces model of competition yang dipopulerkan oleh Michael E. Porter. Five forces model terdiri dari rivalry among competing sellers, potential new entrants, competition from producers of subtitute products, supplier bargaining power, dan buyers bargaining power.
35
Gambar 2.5 Five Forces Model Sumber : Crafting and Executing Strategy (2014)
Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada tiga tahap dalam mentukan kekuatan dari competitive preassure terhadap industri, yaitu : Mengidentifikasi faktor – faktor yang menjadi tekanan kompetitif pada setiap bagian dari five forces model. Mengevaluasi seberapa besar tekanan kompetitif yang berasal dari masingmasing bagian five forces model (strong, moderate, atau weak). Menentukan apakah hasil evaluasi kekuatan tekanan kompetitif dari five forces model dapat mengantarkan pada keuntungan yang menjanjikan di industri tersebut.
36
2.3.1 Rivalry among competing seller Untuk mengetahui kuat atau lemahnya rivalry among competing seller dalam industri bisa dilihat dari beberapa faktor. Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), faktor-faktor tersebut adalah :
Rivalry kuat ketika : Permintaan dari buyer meningkat dengan lambat ataupun mengalami penurunan. Switching cost dari buyer yang rendah. Produk yang dihasilkan di industri merupakan produk komoditas atau tidak memliki perbedaan yang signifikan (weakly differentiated). Perusahaan dalam industri tersebut memiliki fixed cost ataupun storage cost yang tinggi sehingga cenderung terjadi price war untuk meningkatkan turnover produk. Banyak competitor dengan ukuran dan competitive strenght yang hampir sama. Rival menghadapi exit barrier yang tinggi.
Rivalry lemah ketika : Permintaan dari buyer meningkat dengan cepat. Switching cost dari buyer yang tinggi.
37
Produk dari industri sangat berbeda (strongly differentiated) dan loyalitas customer yang tinggi. Perusahaan dalam industri tersebut memiliki fixed cost ataupun storage cost yang rendah. Penjualan terkonsentarasi hanya kepada beberapa penjual besar (large sellers). Rival menghadapi exit barrier yang rendah.
2.3.2 Potential new entrants Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), seberapa serius ancaman dari new entrants ditentukan oleh 2 faktor, yaitu: pertama adalah bagaimana reaksi yang diberikan perusahaan incumbents terhadap new entry, kedua adalah apa yang menjadi entry barrier dan seberapa besar. Berikut beberapa faktor yang bisa mengidentifikasikan kuat atau lemahnya tekanan kompetitif / ancaman dari new entrants yaitu :
Entry threats kuat ketika : Entry barrier yang rendah. Existing industry members tidak ingin atau tidak bisa bersaing dengan newcomers. Banyaknya new entrants yang potential yang juga memiliki capabilities dan resources yang bagus untuk menghadapi entry barrier yang tinggi.
38
Existing industry members ingin mengembangkan jangkauan pasar mereka dengan masuk kedalam segemen produk yang berbeda ataupun masuk ke area geografi yang belum terjamah oleh mereka. Permintaan dari buyer berkembang pesat, sehingga new entrants dapat menghasilkan profit tanpa mengundang reaksi yang berlebihan dari sellers yang sudah ada.
Entry threats lemah ketika : Entry barrier tinggi dikarenakan : o Cost advantages yang dimiliki existing industry members dari segi economies of scale, pengalaman, low fixed cost, akses untuk menurunkan biaya (suppliers), teknologi, atau lokasi. o Strong product differentiation dan brand loyalty. o Brand equity yang bagus. o Dibutuhkan modal yang besar (high capital requirements). o Akses istimewa ke distributin channel. o Kebijakan pemerintah yang ketat. Existing industry members ingin atau mampu untuk bersaing dengan new entrants.
39
2.3.3 Competition from producer of substitute products Perusahaan di suatu industri rentan terhadap tekanan tindakan dari perusahaan lain di industri yang berdampingan erat ketika customer melihat produk dari kedua industri sebagai produk subtitutes yang baik. Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa faktor yang bisa mengindikasikan kuat atau lemahnya competition from producer of subtitute products, yaitu :
Competition from producer of subtitute products kuat ketika : Ketersediaan produk subsitusi dan memberikan harga yang lebih menarik. Produk subsitusi memiliki fitur dan performa yang sama atau lebih baik. Buyer memiliki switching cost yang rendah untuk berpindah ke produk subsitusi.
Competition from producer of subtitute products lemah ketika : Sulit mengakses produk subsitusi dan harga yang ditawarkan tidak menarik. Performa ataupun fitur yang dimiliki produk subsitusi tidak lebih baik. Buyer memiliki switching cost yang tinggi untuk berpindah ke produk subsitusi.
.
40
2.3.4 Supplier bargaining power Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa faktor yang mengindikasikan kuat atau lemahnya supplier bargaining power, yaitu:
Supplier bargaining power lebih kuat ketika : Jasa atau produk yang di supply memiliki permintaan yang lebih banyak dari pada jumlah yang tersedia, menyebabkan supplier dapat mengatur harga. Jasa atau produk yang di supply adalah produk / jasa yang differentiated. Switching cost yang besar ketika industry members ingin berganti ke supplier lainnya. Supplier industry didominasi oleh beberapa supplier besar saja. Produk atau jasa dari supplier memiliki kontribusi yang kecil bagi biaya produk / jasa industry members. industry members tidak dapat melakukan backward integration dan self supply. Supplier tidak bergantung kepada satu industri untuk menghasilkan revenue.
Supplier bargaining power lebih lemah ketika : Suplai barang yang banyak. Barang yang disuplai merupakan barang komoditas.
41
Switching cost yang kecil ketika industry members ingin berpindah ke supplier lain. Industry members merupakan penghasil terbesar bagi suppliers’ revenues. Banyaknya jumlah supplier tergantung dengan jumlah industry members dan tidak ada supplier yang mendominasi market. Produk atau jasa dari supplier memiliki kontribusi yang besar bagi biaya produk / jasa yang dihasilkan industry members. Industry members memiliki potensi untuk melakukan backward integration. Ketersediaan produk subsitusi. Industry members merupakan customer terbesar bagi supplier.
2.3.5 Buyer bargaining power Apakah buyers dapat memberikan competitive preassure yang besar terhadap industry members tergantung dari bargaining power yang dimiliki customer. Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa faktor yang mengindikasikan kuat atau lemahnya buyers bargaining power, yaitu :
Buyers bargaining power lebih kuat ketika : Produk / jasa yang ditawarkan oleh industry members tidak memiliki perbedaan (weakly differentiated). Switching cost dari buyer rendah yang mengakibatkan buyer bisa berpindah ke produk lain.
42
Jumlah buyers lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sellers. Buyers memiliki pengetahuan yang luas mengenai kualitas, harga dan biaya dari produk / jasa yang ditawarkan sellers. Buyers memiliki kemampuan untuk melakukan backward integration. Buyers dapat memiliki kemampuan untuk menunda pembelian. Buyer merupakan price sensitive.
Buyers bargaining power lebih lemah ketika : Terdapat kekurangan / kelangkaan dari barang industri yang berkaitan dengan buyer demand. Produk / jasa yang ditawawrkan sellers adalah produk / jasa yang berbeda satu dengan lainnya (differentiated). Switching cost dari buyer tinggi. Jumlah sellers lebih banyak dibandingkan dengan jumlah buyers. Buyers memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai kualitas produk / jasa yang ditawarkan sellers. Buyers tidak memiliki kemampuan untuk melakukan backward integration . Buyer tidak dapat menunda pembelian. Buyer tidak terlalu price sensitive.
Dengan mengevaluasi kekuatan tekanan kompetitif dari setiap bagian five forces model, perusahaan bisa mengetahui apakah dengan memasuki industri tersebut
43
bisa menghasilkan profit atau tidak. Hal ini dikarenakan, kuat atau lemahnya tekanan kompetitif dari five forces model, menentukan seberapa besar peluang perusahaan untuk menghasilkan profit. Semakin kuat tekanan kompetitif dari setiap bagian five forces model, maka semakin kecil peluang perusahaan untuk menghasilkan profit, dan juga sebaliknya.
2.4 PESTEL Analysis Setiap perusahaan bergerak pada macro environment yang luas, meliputi 6 komponen utama, yaitu :
Political Factors, Economics Conditions, Sociocultural
Forces, Technological Factors, Enviromental Forces, dan Legal and Regulatory Factors. Setiap komponen memiliki potensi untuk mempengaruhi industri. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk melakukan analisa mengenai faktor – faktor macro environment yang mungkin bisa berdampak negatif kepada kinerja / profitability perusahaan. Dalam perancangan strategi bisnis pun, perusahaan harus mempertimbangkan dan membuat strategi yang relevan dengan kondisi makro. Untuk melakukan analisa terhadap faktor – faktor macro environment, Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), menjelaskan penggunaan tools yang disebut PESTEL Analysis. PESTEL Analysis fokus mejelaskan tentang kondisi dan dampak dari 6 komponen utama macro environment terhadap perusahaan.
44
Berikut penjelasan dari komponen PESTEL Analysis : 1. Political Factors Political Factors meliputi kebijakan politik dan prosesnya, termasuk tingkat intervensi pemerintah terhadap ekonomi. Hal tersebut dapat berupa tax policy, fiscal policy, tariffs, iklim politik, dan kekuatan dari institusi seperti federal banking system. Beberapa political factors spesifik terhadap industri tertentu, seperti bailouts. Faktor lainnya seperti energy policy akan mempengaruhi industri tertentu, baik dari industri penghasil energi maupun industri pengguna energi yang besar dibandingkan industri lainnya.
2. Economics Conditions Economics Conditions meliputi iklim ekonomi secara umum dan faktorfaktor tertentu seperti interest rates, exchange rates, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, tingkat pertumbuhan ekonomi, defisit atau surplus dalam perdagangan, saving rates, dan produk domestik bruto per kapita (PDB). Faktor ekonomi juga mencakup kondisi pasar untuk saham dan obligasi, dimana dapat mempengaruhi kepercayaan dan pendapatan discretionary dari customer. Beberapa industri, seperti kontraktor, sangat rentan terhadap krisis ekonomi tetapi memiliki pengaruh yang positif oleh penurunan suku bunga. industri lainnya seperti retailer dengan strategi memberikan diskon, akan mendapatkan
45
keuntungan ketika kondisi ekonomi melemah, dikarenakan customer akan lebih price conscious.
3. Sociocultural Forces Sociocultural Forces meliputi nilai-nilai sosial, sikap, faktor budaya, dan gaya hidup yang dapat memberikan dampak terhadap bisnis, maupun faktor demografi seperti jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan peduduk, dan distribusi umur. Sociocultural Forces berbeda-beda disetiap daerah dan berubah seiring berjalannya waktu. Contohnya seperti gaya hidup sehat akan memberikan kenaikan pengeluaran terhadap peralatan olah raga dan klub kesehatan serta jauh dari alkohol dan makanan ringan. Demografi penduduk memberikan dampak yang besar pada industri seperti health care, dimana biaya dan pelayanan perlu bervariasi sesuai dengan faktor demografi seperti usia dan penghasilannya.
4. Technological Factors Technological Factors meliputi kecepatan perubahan teknologi dan technical developments yang berpotensi memberikan dampak luas pada komunitas, seperti genetic engineering dan nanotechnology.
Termasuk juga
institusi yang terlibat dalam pembuatan ilmu baru dan pengendalian terhadap penggunaan teknologi seperti R&D consortia, universitas yang mensponsori technology incubator, patent dan copyright laws, dan pengawasan pemerintah terhadap internet. Perubahan teknologi akan mendorong lahirnya industri baru,
46
seperti industri yang didasari nanotechnology dan dapat menggangu industri lainnya.
5. Environmental Forces Environmental Forces meliputi ecological dan environmental forces seperti cuaca, iklim, perubahan iklim dan faktor terkait seperti persedian air. Faktor-faktor ini akan berdampak langsung terhadap beberapa industri seperti asuransi, pertanian, produksi energi, dan pariwisata. Hal ini juga dapat memberikan dampak tidak langsung terhadap industri lainnya seperti transportasi dan industri utilitas.
6. Legal and Regulatory Factors Legal and Regulatory Factors meliputi regulasi dan hukum yang harus diikuti oleh perusahaan seperti hukum konsumen, hukum tenaga kerja, hukum antitrust, kesehatan kerja dan peraturan keselamatan. Beberapa faktor spesifik sesuai dengan industrinya, seperti deregulasi bank. Legislasi upah minimum jaga akan menjadi faktor yang penting.
2.5 Perencanaan Pemasaran
47
2.5.1 Segmentation Dalam membangun sebuah brand, perusahaan harus fokus kepada segmen pasar tertentu agar bisa mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Menurut Bygrave & Zacharakis (2011), Segmentation adalah proses mengidentifikasi customer yang tepat untuk produk / jasa yang perusahaan tawarkan. Kotler & Keller (2012) menentukan segmen pasar berdasarkan beberapa karakteristik, yaitu : 1. Geographic : negara, kota, populasi, iklim. 2. Demographic : umur, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, agama, kelas sosial, status perkawinan, ras / suku. 3. Psychographic : values, individualistic, risk taking, social group. 4. Behavioural : needs and benefits (enthusiast, image seekers, savvy shoppers, traditionalist, satisfied sippers, overwhelmed), decision roles (initiator, influencer, decider, buyer, user).
2.5.2 Targeting Menurut Bygrave & Zacharakis (2011),
Targeting adalah proses
membandingkan segmen pasar yang telah ditentukan, lalu menentukan segmen mana yang menjadi primary target audience, secondary target audience, tertiary target audience. Segmen pasar yang atraktif dan menarik berkaitan dengan size, growth rate dan profit potential.
48
Dalam pemilihan target segmen pasar, harus sesuai dengan capabilities dan long term goals yang dimiliki perusahaan. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk bisa menentukan target market yang tepat sehingga profit yang didapatkan juga bisa maksimal.
2.5.3 Positioning Berbeda dengan proses segmentation dan targeting yang berkaitan dengan profile dari customers perusahaan, positioning merupakan proses yang berkaitan dengan persepsi dari competitors dan customers tentang produk yang dimiliki perusahaan. Persepsi ini biasanya berkaitan dengan harga, kualitas dan kenyamanan desain suatu produk.
2.5.4 Marketing Mix Menurut Bygrave & Zacharakis (2011), Marketing Mix adalah tools yang bisa digunakan oleh perusahaan untuk mencapai taget marketing. Bygrave & Zacharakis (2011) menjelaskan, Marketing Mix terdiri dari 4 elemen yang biasa disebut Four Ps, yaitu : product, price, place, dan promotion.
Berikut penjelasan dari masing – masing elemen Four Ps : Product
49
Dalam strategi produk, perlu untu mengidentifikasi CVP (Customer Value Proposition) yaitu perbedaan diantara total manfaat yang didapatkan customer dengan total cost yang dikeluarkan untuk suatu produk / jasa. Ada 4 elemen dalam melakukan indentifikasi terhadap CVP, yaitu : kelompok yang menjadi target dan kebutuhannya, brand, konsep, dan poin yang menjadi pembeda. Selain itu perlu untuk menentukan apakah produk yang ingin ditawarkan merupakan pioneering product atau incremental product. Analisa terhadap product life cycle akan membantu bagaimana cara melakukan marketing ditiap-tiap stages yang ada.
Price Strategi harga terbagi menjadi 3, yaitu : Price Skimming, Price Penetration, dan Price Discrimitation. Pada Price skimming, harga ditetapkan relatif lebih tinggi dengan tujuan mengambil margin keuntungan yang tinggi. Pada Price Penetration, menargetkan untuk mengambil market shares yang tinggi dengan margin rendah dan harga yang relatif lebih murah. Pada Price Discrimitation, memberikan harga yang berbeda-beda pada segmen yang berbeda-beda pula.
Place Strategi distribusi dibagi menjadi 3 tipe, yaitu : (1) Intensive yaitu pendistribusi barang yang dilakukan secara agresif ke banyak channels. Contoh
50
: consumer goods and other fast moving products, (2) Selective yaitu pendistribusi barang yang dilakukan secara selektif terhadap channels. Contoh : pemilihan channels yang selektif berdasarkan geographic, (3) Exclusive yaitu pendistribusi barang yang dilakukan secara sangat selektif. Contoh : luxury goods.
Promotion Promotion
atau
disebut
juga
dengan
marketing
communication
menyampaikan pesan kepada pasar, baik pesan mengenai produk dan jasa perusahaan maupun informasi mengenai perusahaan tersebut. Ada beberapa elemen dalam marketing communication, yaitu : advertising, sales promotion, public relation, personal selling, dan direct marketing. Untuk strategi komunikasi dibagi menjadi 2, yaitu: (1) push strategy yaitu mendorong produk melalui channels dengan menggunakan cara seperti trade promotion, trade shows dan personal selling kepada distributors ataupun channel members lainnya, (2) pull strategy yaitu tujuannya untuk menciptakan demand dari enduser dan mengandalkan demand tersebut untuk menarik produk melalui channels. Selain itu, perlu untuk melakukan guerilla marketing yang merupakan aktivitas marketing non-traditional, grassroots, dan captivating untuk mendapatkan perhatian dari customer dan membangun brand awareness.
51
Guerilla marketing dibagi menjadi 3, yaitu : word of mouth marketing, buzz marketing, dan viral marketing.
2.6 Product Life Cycle Menurut Kotler & Keller (2012), Product Life Cycle menjelaskan bahwa : 1. Produk memiliki masa hidup. 2. Penjualan produk melewati fase yang berbeda – beda, setiap fase memiliki tantangan, kesempatan dan masalah yang berbeda – beda pula. 3. Profit naik dan turun pada fase product life cycle yang berbeda. 4. Setiap fase product life cycle, dibutuhkan strategi bisnis yang berbeda – beda.
Kotler & Keller (2012) menjelaskan product life cycle terdiri dari 4 fase, yaitu : 1. Introduction Pada fase ini, penjualan berkembang lambat dikarenakan produk baru diperkenalkan ke pasar. Profit juga belum didapatkan dikarenakan pengeluaran yang besar untuk investasi awal produk.
52
2. Growth Pada fase ini, pasar mulai aware dan menerima produk yang diperkenalkan dan mulai mendapatkan profit.
3. Maturity Pada fase ini, perkembangan penjualan produk lambat dikarenakan telah mendapatkan seluruh potential customer. Profit yang didapatkan stabil atau menurun dikarenakan meningkatnya kompetisi persaingan. 4. Decline Pada fase ini, dimana penjualan dan profit menurun.
Gambar 2.6 Product Life Cycle Sumber : Marketing Management 14 Edition (2012)
2.7 Inventory System
53
Menurut Chase & Jacobs (2011), Inventory System adalah sebuah sistem yang digunakan untuk maintaining dan controlling barang yang keluar masuk di warehouse. Sistem ini bertanggung jawab untuk melakukan pemesanan dan penerimaan barang. Sistem ini didesain untuk bisa mengetahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan pemesanan barang ke supplier, melakukan tracking terhadap barang yang sudah dipesan seperti apakah barang yang dipesan sudah dikirim sesuai dengan jadwal, berapa jumlah barang yang harus dipesan, dan untuk siapa barang tersebut dipesan. Inventory system yang penulis gunakan adalah multi-period inventory systems. Multi-period inventory systems artinya melakukan pemesanan barang secara periodik ketika inventory sudah terpakai. Chase & Jacobs (2011) membagi Multi-period inventory systems menjadi 2 tipe yaitu, Fixed-order quantity model dan Fixed-time period model. Berikut perbedaan diantara 2 model Multi-period inventory systems :
Tabel 2.1 Perbedaan Fixed-order quantity model dengan Fixed-time period model
54
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Fixed-order quantity model untuk Inventory system berdasarkan beberapa pertimbangan.
2.8 The Triple Bottom Line Strategi bisnis yang dirancang oleh perusahaan harus bisa menciptakan value bagi shareholdersnya. Oleh karena itu, strategi tersebut biasanya bersifat profit oriented sesuai dengan tujuan dari sebuah perusahaan yaitu memperkaya shareholders. Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014) menjelaskan, pada saat ini sudah banyak perusahaan yang merubah cara bisnisnya ke arah sustainable business practices yaitu dengan cara tetap memenuhi requirements untuk generate
55
revenue saat ini tanpa mengorbankan requirements untuk generasi selanjutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa scope dari strategi bisnis perusahaan tidak lagi hanya terfokus kepada sisi economy / profit semata tetapi sudah mulai mempertimbangkan impact terhadap social dan environment. Oleh karena itu lahirlah konsep Triple Bottom Line yang diciptakan oleh John Elkington (1997). Triple Bottom Line mengevaluasi kriteria dari sisi economy, social, dan environmental. Konsep Triple Bottom Line ini juga biasa disebut 3P’s yaitu People, Planet, Profit.
Gambar 2.7 The Triple Bottom Line Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
2.9 Laporan Keuangan
56
Laporan keuangan bisa digunakan oleh manager perusahaan untuk melakukan 3 tugas pentingnya yaitu mengukur performa perusahaan, melakukan monitoring dan controling, melakukan perencanaan performa keuangan perusahaan dimasa depan. Titman, Keown, & Martin (2011) menjelaskan tugas tersebut sebagai berikut :
1. Financial statement analysis Tujuan dari melakukan analisis laporan keuangan adalah untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Sehingga manager / analyst bisa melihat performa keuangan perusahaan yang sama dengan investor. 2. Financial control Manager menggunakan laporan keuangan untuk melakukan monitoring dan controlling kegiatan operasi perusahaan.
3. Financial forecasting and planning Laporan keuangan menyediakan format informasi yang bisa dipahami secara universal untuk menggambarkan kegiatan operasi perusahaan.
Titman, Keown, & Martin (2011) membagi laporan keuangan menjadi 3 tipe, yaitu : income statement, balance sheet, dan cash flow statement. Berikut penjelasan dari masing – masing tipe laporan keuangan :
57
2.9.1 Income Statement Income statement adalah suatu laporan yang dibuat secara sistematis yang berisikan tentang pendapatan (revenues) dan biaya (expenses) yang timbul akibat aktivitas operasi dalam periode tertentu dari suatu perusahaan. Komponen – komponen dasar dari income statement adalah sebagai berikut : 1. Revenues : pendapatan yang didapatkan perusahaan dari hasil penjualan produk / jasa dalam periode waktu tertentu. 2. Cost of goods sold : biaya yang timbul untuk memproduksi barang atau jasa. 3. Gross profit : pendapatan kotor hasil pengurangan revenues dengan biaya yang berkaitan dengan pembuatan atau penyediaan produk atau jasa (cost of goods sold). 4. Operating expenses : biaya yang timbul akibat aktivitas operasi / bisnis. 5. Net operating income (EBIT) : pendapatan operasi setelah dikurangi biaya operasi namun diluar bunga dan pajak penghasilan. 6. Interest expense : biaya yang timbul akibat pinjaman uang. 7. Earnings before taxes : pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya yang timbul namun diluar pajak. 8. Income taxes : pajak penghasilan 9. Net income : pendapatan bersih setelah dikurangi seluruh biaya termasuk depresiasi, bunga dan pajak.
58
2.9.2 Balance Sheet Balance sheet adalah laporan yang menggambarkan posisi keuangan perusahaan pada akhir periode tertentu. Persamaan dasar akutansi mengenai balance sheet adalah sebagai berikut : Total Assets = Total Liabilities + Total Stockholders’ Equity Total Assets adalah seluruh sumber daya (resources) yang dimiliki oleh perusahaan. Total Liabilities adalah kewajiban atau hutang yang dimiliki perusahaan kepada kreditur untuk akitivitas operasi / bisnis. Total Stockholders’ Equity adalah modal yang didapatkan dari paid in capital (biaya yang dikeluarkan investor untuk mendapatkan saham), common stock, dan retained earnings (laba ditahan).
2.9.3 Cash Flow Cash flow adalah laporan arus kas yang mengidentifikasi sumber dan penggunaanya pada periode tertentu. Di dalam cash flow ada 3 kegiatan utama, yaitu: 1. Operating activities : arus kas yang berkaitan dengan aktivitas bisnis utama perusahaan termasuk revenues dan expenses.
59
2. Investment activities : arus kas yang berkaitan dengan pembelian atau penjualan fixed assets seperti tanah, bangunan.
3. Financing activities : arus kas yang berkaitan dengan perolehan kas dari issuing debt, penjualan atau pembelian stocks, pembayaran dividend.
2.10 Analisa Kelayakan Bisnis 2.10.1 Net Present Value (NPV) Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), untuk mengetahui apakah suatu perencanaan bisnis layak untuk dijalankan atau tidak, maka dibutuhkan tools / metode untuk menganalisa tingkat profitabilitasnya. Tools yang paling powerful adalah Net Present Value (NPV). Net Present Value adalah perbedaan diantara present value dari cash inflows (arus kas masuk) dengan cash outflows (arus kas keluar). Berikut cara menghitung NPV :
60
Kriteria penilaian NPV : 1. Jika nilai NPV > 0 (positif), maka proyek diterima. 2. Jika nilai NPV < 0 (negatif), maka proyek ditolak. 3. Jika nilai NPV = 0, maka proyek tersebut tidak menciptakan keuntungan ataupun kerugian.
2.10.2 Profitability Index (PI) Cara lain untuk mengetahui kelayakan usaha selain dari NPV yaitu Profitability Index. Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Profitability Index adalah rasio cost-benefit yaitu nilai present value dari future cash flows dibagi dengan initial cost. Profitability Index dapat dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan : PI = Profitability Index CFt = future cash flows I = initial cost
61
r = discount rate t = number of periods
Kriteria penilaian PI : 1. Jika PI > 1, maka proyek diterima dikarenakan NPV positif. 2. Jika PI < 1, maka proyek ditolak dikarenakan NPV negatif.
2.10.3 Internal Rate of Return (IRR) Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Internal Rate of Return (IRR) adalah discount rate yang menghasilkan NPV menjadi 0. IRR merupakan batas minimum discount rate project yang dapat diterima. Berikut cara penghitungan IRR :
Keterangan : CF0 = initial outlay CFn = future cash flows r = IRR n = number of periods
62
Kriteria penilaian IRR : 1. Jika IRR > k (required rate of return / discount rate), maka proyek diterima dikarenakan NPV positif. 2. Jika IRR < k (required rate of return / discount rate), maka proyek ditolak dikarenakan NPV negatif.
2.10.4 Payback Period Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Payback Period adalah waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal investasi (initial cash outlay). Kriteria penilaian Payback Period adalah jika periode Payback Period lebih singkat dibandingkan waktu maksimal yang dibutuhkan untuk pengembalian modal
investasi,
maka
proyek
pengembalian modal yang tinggi.
diterima
dikarenakan
memiliki
tingkat