BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Pepaya MJ9 Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Pusat penyebaran diduga berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Di Indonesia, tanaman pepaya umumnya tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu sampai 1.000 m di atas permukaan laut. Secara umum tanaman pepaya dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Namun demikian, tanah yang kaya bahan organik, drainase dan aerasinya baik, serta mempunyai pH 6,5 – 7 merupakan tanah yang ideal untuk penanaman pepaya. Selain sebagai sumber karoten yang merupakan precursor dari vitamin A (kandungan karoten berkisar 1,160 – 2,431 μg per 100 gram bagian yang dapat dimakan, tergantung varietasnya), pepaya juga merupakan sumber vitamin C (69-71 mg/100 g), Kalsium (11-31 mg/100g) dan Kalium (39-337 mg/100 g) (Indriyani dkk., 2008). Menurut Taufik (2015) produksi pepaya di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 840.000 ton dengan rata-rata menghasilkan 82 kg/pohon. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah produksi buah pepaya pada tahun 2014 yaitu sebesar 105.624 ton. Buah pepaya sendiri memberikan kontribusi sebesar 4,24% yaitu urutan ketujuh setelah buah pisang, mangga, nanas, jeruk siam/keprok, salak, dan durian. Pada tahun 2014 luas panen tanaman pepaya di Indonesia mencapai 10.000 Ha. MJ9 merupakan salah satu varietas pepaya yang dibudidayakan di daerah Jawa Tengah, khususnya oleh kelompok tani Ngudi Laras di Desa Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Nama MJ9 diberikan oleh Bupati Kabupaten Boyolali untuk jenis pepaya yang ditanam di Mojosongo ini. Varietas MJ9 merupakan varietas yang sama dengan varietas Bangkok atau Thailand. Nama MJ9 diberikan untuk
6
mengangkat nama buah lokal. Para petani mendapatkan bibit pepaya ini dengan membeli dari petani lain yang masih satu wilayah atau dengan pembibitan sendiri kemudian ditanam di lahan para petani tersebut (Nuruddin, 2013). Desa Karangnongko, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari beberapa desa yang tanaman pokok dalam usaha taninya adalah tanaman pepaya. Varietas pepaya yang ditanam yaitu varietas MJ9. Varietas MJ9 sudah memperoleh pasar yang baik bahkan sampai ke luar provinsi. Berat buah pepaya MJ9 bisa mencapai 3 kg per buah, memiliki daging yang cukup tebal, warna buah merah, dan rasanya yang manis (Suprapto dkk., 2011). Pepaya adalah buah klimaterik yang dapat dilihat dari peningkatan laju respirasi, produksi autokatalis dari etilen, dan atribut sensori yang meliputi warna, flavor, dan pelunakan selama pematangan. Beberapa penelitian yang menganalisis tentang pertambahan umur simpan pepaya menyimpulkan bahwa kerusakan pepaya terjadi setelah pemanenan (Castricini dkk., 2012). Buah pepaya mencapai puncak klimateriknya yaitu pada 6 hari setelah pemanenan (Akamine, 1966 dan Paull dan Chen, 1983). Setelah terdapat warna kuning 3% pada kulit buah, kandungan total padatan terlarut (TPT) 11,5% (Akamine dan Goo, 1971), dan nilai kekerasan buah 240-250 N (An dan Paull, 1990), pepaya mulai dapat dipanen. Pada dasarnya buah-buahan merupakan komoditas yang mudah sekali mengalami kerusakan (perishable), seperti mudah busuk dan mudah mengalami susut bobot, termasuk buah pepaya (Wahyuni dkk., 2014). Keunggulan dari pepaya MJ9/Bangkok/Thailand dibandingkan dengan varietas lainnya yaitu rasa buah yang lebih manis, daging buah yang kenyal serta tebal, dapat disimpan cukup lama, serta tahan terhadap hama seperti
kutu
putih
(Putri
dkk.,
2014).
Daya
simpan
pepaya
Bangkok/Thailand dapat dilihat di Tabel 2.1.
7
Tabel 2.1 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap daya simpan dan kematangan buah pepaya Bangkok Suhu penyimpanan (ºC) 28-30 (ruang) 25 20 15 5
Hari menjadi matang (hari) 4,2 5,3 9,2 15,8 Tidak dapat matang
Daya simpan (hari) 6-7 9-10 12-14 17-18 27-28
Sumber: Suyanti dkk. (1999) Klasifikasi tingkat kematangan pepaya berdasarkan warna kulit buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang (24 ± 1 °C, RH 75 ± 5%) dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Klasifikasi tingkat kematangan pepaya berdasarkan warna kulit buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang (24 ± 1 °C, RH 75 ± 5%) Tingkat kematangan 0 1 2 3 4 5
Keterangan Belum matang. 100% kulit berwarna hijau Terdapat warna kuning pada permukaan buah yang tidak lebih dari 15% ¼ matang, terdapat hingga 25% warna kuning pada permukaan buah yang dikelilingi warna hijau terang ½ matang, terdapat hingga 50% warna kuning pada permukaan buah yang dikelilingi warna hijau terang ¾ matang, terdapat 50-75% warna kuning pada permukaan buah yang dikelilingi warna hijau terang Matang, terdapat 76-100% warna kuning pada permukaan buah, warna hijau hanya pada area dekat tangkai
Sumber: Espitia dkk. (2012) Silalahi (2007) menjelaskan bahwa pepaya termasuk jenis buah klimaterik, yaitu buah yang mengalami peningkatan yang tajam pada respirasinya, yang ditunjukkan oleh peningkatan produksi CO2 dan penurunan
konsumsi
O2 .
Pola
repsirasi
klimaterik
mempunyai
karakteristik dimana laju respirasi pada saat awal setelah pemetikan akan menurun, dan selanjutnya akan terjadi konsumsi O2 dari udara untuk pernafasan dan menghasilkan CO2, H2O dan panas. Panas yang dikeluarkan akan mempercepat reaksi respirasi selanjutnya sampai titik maksimum. Setelah itu respirasi akan menurun secara perlahan-lahan 8
sampai buah menjadi layu (senescence). Buah klimakterik umumnya mengandung cadangan pati yang cukup tinggi, serta mempunyai masa hijau yang relatif panjang. Proses klimakterik dibagi menjadi 4 fase, yaitu: a. Fase pra klimakterik (pre climacteric), yaitu saat buah masih hijau dan keras serta CO2 yang dibebaskan masih sedikit b. Fase
klimakterik
meningkat
(climacteric
rise),
yaitu
terjadi
peningkatan produksi CO2 secara cepat tapi buah masih hijau dan keras c. Fase puncak klimakterik (climacteric peak), yaitu produksi CO2 mencapai maksimum, terjadi perubahan warna kulit yang menarik, pelunakan dan mulai menimbulkan aroma d. Fase pasca klimakterik (post climacteric), yaitu produksi CO2 menurun, terjadi perubahan warna kulit yang menarik, buah menjadi lunak dan beraroma tajam. Pada saat inibuah mencapai kematangan yang sempurna. Selama pemasakan buah terjadi perubahan organ tanaman dari matang secara fisioligis, tapi belum dapat dimakan. Selama pemasakan, buah mengalami beberapa perubahan nyata baik dalam tekstur, warna serta aroma
yang
menunjukkan
terjadinya
perubahan-perubahan
dalam
susunannya. Perubahan warna adalah perubahan yang jelas terjadi pada banyak buah dan seringkali dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen dalam menentukan apakah buah tersebut sudah masak atau masih mentah. Buah yang lunak disebabkan oleh perubahan dalam perombakan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut atau hidrolisis zat pati (seperti pada waluh) atau lemak (seperti pada alpukat). Penelitian yang dilakukan oleh Purwoko dan Fitradesi (2000) menunjukkan bahwa buah pepaya Solo kontrol yang disimpan di suhu ruang memiliki daya simpan selama 5,3 hari sedangkan buah pepaya Solo kontrol yang disimpan di suhu dingin memiliki daya simpan selama 8,7 hari. Penyakit yang menyerang buah pepaya bersifat laten, dapat berasal
9
ketika masih berada di pohon dan berkembang setelah buah menjadi matang penuh. Selain itu penyakit pascapanen pada buah pepaya dapat berupa infeksi akibat penanganan dan transportasi yang tidak baik. Anthracnose merupakan penyakit pascapanen pada pepaya yang disebabkan oleh Coletotricum gloeosporoides dengan gejala bercak coklat. Selain itu, penyakit lain yang dapat menyerang pepaya yaitu busuk lunak dan busuk pangkal tangkai yang disebabkan oleh Botryodiploida sp, busuk kering yang disebabkan oleh Fusarium sp atau Cephalosporium sp (Hafsoh, 2007). Menurut Awoite dkk. (2013), terdapat beberapa fungi yang terisolasi dari pepaya selama penelitiannya yaitu Aspergillus niger, Aspergillus
flavus,
Rhizopus
stolonifer,
Penicillum
italicum
and
Neurospora sitophila. Menurut Institute of Food Science and Technology (IFST), 106 CFU/g ditetapkan sebagai batas penerimaan jumlah mikroba produk berbasis buah-buahan selama penelitian umur simpan. 2. Minyak Atsiri Sereh Dapur Minyak atsiri atau minyak eteris (essential oil, volatil oil, etherial oil) adalah minyak mudah menguap yang diperoleh dari tanaman dan merupakan campuran dari senyawa-senyawa volatil yang dapat diperoleh dengan distilasi, pengepresan ataupun ekstraksi. Minyak atsiri mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat berbeda dengan minyak pangan (Guenther dkk., 1987). Minyak atsiri bersifat mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, serta berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya. Minyak atsiri larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Minyak atsiri pada industri banyak digunakan sebagai bahan pembuat kosmetik, parfum, antiseptik dan lain-lain. Beberapa jenis minyak atsiri mampu bertindak sebagai bahan terapi (aromaterapi) atau bahan obat suatu jenis penyakit. Fungsi minyak atsiri sebagai bahan obat tersebut disebabkan adanya bahan aktif, sebagai contoh bahan anti radang, analgetik, anestetik, antiseptik, dan anti bakteri (Arniputri dkk., 2007). Ella dkk (2013) mengatakan bahwa Sereh dapur (Cymbopogon citratus) adalah salah satu tanaman penghasil minyak atsiri. Di Indonesia,
10
spesies yang lebih dikenal adalah West Indian Lemongrass dan masyarakat umumnya menggunakannya sebagai campuran bumbu dapur dan rempahrempah karena mempunyai aroma khas seperti lemon. Menurut Manvitha dan Bidya (2014), sereh dapur (Cymbopogon citratus) mempunyai banyak aktivitas farmakologi seperti aktivitas anti mikroba, anti jamur, anti protozoa, antioksidan, anti inflamasi, dan lain-lain. Manfaat lain dari sereh dapur menurut Prasetyo dkk. (2013) adalah insektisida alami terhadap ulat daun kubis. Selain itu minyak atsiri sereh dapur juga mempunyai aktivitas larvasida terhadap larva nyamuk Ae. aegypti (Mulyani, 2014). Klasifikasi tanaman sereh dapur (Cymbopogon citratus) yaitu sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisio
: Spermatophyta
Divisio/ divisi
: Magnoliophyta
Classis/ kelas
: Liliopsida
Sub-classis/ anak kelas
: Commelinidae
Ordo/ bangsa
: Poales
Familia/ suku
: Poaceae
Genus/ marga
: Cymbopogon
Spesies/ jenis
: Cymbopogon citratus
Gambar 2.1 Tanaman Sereh Dapur (Pramani, 2010) Matasyoh dkk (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kandungan minyak atsiri sereh dapur (Cymbopogon citratus) didominasi oleh hidrokarbon monoterpen yang menyumbang 94,25% dari total 11
minyak dan ditandai dengan persentase yang tinggi dari geraniol (39,53%), neral (33,31%), n-myrcene (11.41%). Menurut Manvitha dan Bidya (2014), sereh dapur (Cymbopogon citratus) mempunyai banyak aktivitas farmakologi seperti aktivitas anti mikroba, anti jamur, anti protozoa, antioksidan, anti inflamasi, dan lain-lain. Komposisi kimia minyak atsiri sereh dapur dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Komposisi Kimia Minyak Atsiri Sereh Dapur (Cymbopogon citratus) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Komponen α-Pinene 6-methyl-5-Hepten-2-one Myrcene (Z)-β-Ocimene (E)-β-Ocimene 6,7-Epoxyocimene Linalool Citronellal Silo dari sereh dapur Rosefuran epoxide Silo dari sereh dapur 2 Nerol β-Citronellol Neral Geraniol Geranial 2-undercanone Geranyl acetate (E)-Caryophyllene α-(E)-Bergamotene 2-Tridecanone δ-Cadinene 5-epi-7-epi-a-Eudesmol M.w 222 α-Cadinol Total % dalam minyak
Konsentrasi (%) 0,01 1,25 11,41 0,69 0,34 0,27 1,29 0,12 0,58 0,07 0,88 0,34 0,34 33,31 3,05 39,53 0,53 0,24 0,15 0,13 0,37 0,10 0,12 2,41 0,28 97,82
Sumber: Matasyoh dkk. (2011) Menurut Knobloch dkk. (1986) dan Sikkema dkk. (1994) karakteristik penting dari minyak atsiri dan komponen-komponennya adalah sifat hidrofobik dari minyak atsiri dimana sifat tersebut memungkinkan minyak atsiri untuk memisahkan lipid dari membran sel
12
dan mitokondria mikroba, mengganggu struktur dan memberikan sifat permeable. Oleh karena itu kebocoran ion dan komponen lain dapat terjadi. Meskipun sejumlah kebocoran sel mikroba dapat ditoleransi tanpa kehilangan viabilitas, kehilangan yang ekstensif dari komponen sel atau keluarnya molekul penting dan ion akan menyebabkan kematian (Denyer dan Hugo, 1991). 3. Destilasi Distilasi adalah proses pemindahan, yaitu memisahkan komponenkomponen di dalam suatu campuran, membuat suatu kenyataan bahwa beberapa komponen lebih cepat menguap daripada yang lain. Apabila uap air terbentuk dari suatu campuran, uap ini mengandung komponen asli campuran, akan tetapi dalam proporsi yang ditentukan oleh daya menguap komponen tersebut. Uap mengandung komponen tertentu yang lebih banyak yaitu yang mudah menguap, sehingga terjadi pemisahan. Kegunaan distilasi di dalam industri pangan sangat banyak, salah satunya adalah mengentalkan minyak atsiri, bahan penyegar beralkohol aroma. Distilasi uap dapat dipergunakan di dalam industri pangan dalam pengerjaan beberapa minyak
yang mudah menguap dan dalam
memisahkan bau yang mudah menguap dan dalam memisahkan bau yang tidak dikehendaki dari lemak dan minyak. Di dalam distilasi uap, uap air digelembungkan melalui bahan cair dan uap yang mengandung komponen yang mudah menguap dan uap air lewat ke pendingin (Earle, 1969). Menurut Guenther dkk. (1987) menjelaskan bahwa proses penyulingan adalah prosses pemisahan minyak atsiri dan bahan tanaman aromatik. 3 macam metode penyulingan yaitu: a. Penyulingan dengan air (water distillation) Pada metode ini bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode pemanasan yang bisa dilakukan, yaitu dengan panas langsung, mantel uap, pipa uap
13
melingkar tertutup, atau dengan memakai pipa uap berlingkat terbuka atau berlubang. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dengan air mendidih. Beberapa jenis bahan (misalnya bubuk buah badam, bunga mawar, dan orange blossoms) harus disuling dengan metode ini karena bahan harus tercelup dan dapat bergerak bebas dalam air mendidih. Jika disuling dengan metode uap langsung, bahan ini akan merekat dan membentuk gumpalan besar yang kompak, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan. b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation) Pada metode penyulingan air dan uap, bahan olah diletakkan di atas rak-rak atau saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh di bawah saringan. Air dapat dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap jenuh yang basah dan bertekanan rendah. Ciri khas dari metode ini adalah: (1) uap selalu dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak terlalu panas, (2) bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas. c. Penyulingan dengan uap langsung (steam distillation) Prinsip metode penyulingan uap atau penyulingan uap langsung sama dengan kedua metode penyulingan di atas, namun air tidak diisikan dalam kete. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Uap dialirkan melalui pipa uap berlingkar yang berpori yang terletak di bawah bahan, dan uap bergerak ke atas melalui bahan yang terletak di atas saringan. Minyak atsiri dalam tanaman aromatik dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh, kantung minyak atau rambut glandular. Bila bahan dibiarkan utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi apabila uap air berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Proses ini hanya dapat terjadi karena peristiwa hidrodifusi, suatu fenomena yang penting artinya dalam proses penyulingan tanaman. Tetapi proses difusi berlangsung sangat lambat dan bila tanaman atau bagian tanaman itu
14
dibiarkan dalam keadaan utuh, kecepatan minyak yang terekstrak ditentukan oleh kecepatan proses difusi. Jadi sebaiknya bahan tanaman sebelum diproses, dirajang terlebih dahulu menjadi potongan-potongan kecil. Proses perajangan ini bertujuan agar supaya kelenjar minyak dapat terbuka sebanyak mungkin. Ukuran ketebalan bahan di tempat terjadinya difusi akan berkurang sehingga pada penyulingan, laju penguapan minyak atsiri dari bahan menhadi cukup cepat. Bahkan pada tanaman yang dirajang pun, hanya sebagian kecil miniyak yang dibebaskan, dan sebagian besar masih tetap bersatu dengan partikel hasil rajangan. Minyak yang sudah dibebaskan dapat segera dipisahkan dari tanaman dengan cara penguapan. Besarnya ukuran hasil rajangan bervariasi, tergantung dari jenis bahan itu sendiri. Bahan baku berupa bunga, daun, dan bahan berukuran tipis dan tidak berserat, dapat disuling tanpa dirajang terlebih dahulu. Dinding sel dari tanaman sangat tipis dan bersifat bermeabel sehingga ekstrasi minyak dapat dilakukan secara cepat. Biji-bijian (buah) harus dihancurkan menjadi bentuk hancuran dengan harapan sebagian besar selselnya hancur dan minyak dapat keluar dengan mudah bila uap dialirkan melalui pecahan-pecahan tersebut. Akar, ranting, dan semua bagian yang berupa kayu harus dipotong terlebih dahulu menjadi potongan-potongan kecil, dengan harapan minyak dalam kelenjar dapat keluar dengan mudah (Guenther dkk., 1987). Secara teoritis, destilasi uap air minyak atsiri mempunyai hubungan yang erat dengan proses difusi, terutama peristiwa osmosis. Penggunaan sampel segar atau yang sudah dikeringanginkan sebelum proses destilasi akan mempengaruhi hasil destilasi, demikian juga proses perajangan sampel (Juniarti dkk., 2011). Yang mempengaruhi persentase rendemen dan mutu minyak atsiri pada minyak kayu manis adalah metode destilasi (penyulingan), kondisi penyulingan (resident time, tekanan dan temperatur umpan) serta perlakuan terhadap minyak hasil penyulingan (Susanti dkk., 2013).
15
Penelitian Kawiji dkk. (2010) menunjukkan bahwa dengan perlakuan perajangan dan waktu destilasi yang lebih lama menyebabkan terjadinya peningkatan nilai total padatan terlarut, aroma, rendemen, berat jenis, putaran optik, indek bias yang lebih signifikan dibandingkan dengan dimemarkan pada waktu destilasi yang sama, sedangkan kelarutannya dalam alkohol cenderung menurun. Perlakuan perajangan dengan waktu destilasi selama 4 jam merupakan perlakuan dan waktu yang paling optimal untuk menghasilkan minyak serai dapur yang lebih baik, yakni; dengan nilai total padatan terlarut 80,533 ºBrix, warna 0,5456 Å, aroma lemon, rendemen 0,303 %, berat jenis pada 25 ºC 0,8796 gr/ml, putaran optik +0,21, indek bias pada 20 ºC 1,4575, kelarutan dalam alkohol 70 % 1: 4,33 dan kadar sitral 76,3 %. 4. Edible Coating Menurut Lin dan Zhao (2007) dalam Raghav dkk. (2016), edible coating atau edible film adalah kemasan ramah lingkungan yang dapat meningkatkan umur simpan buah dan sayur. Edible coating merupakan suatu alternatif penanganan lanjutan untuk pengolahan buah secara minimal yang tepat. Keuntungan edible coating selain dapat melindungi produk pangan, juga penampakan asli produk dapat dipertahankan, dapat langsung dimakan serta aman. Edible coating ini biasanya langsung digunakan dan dibentuk di atas permukaan produk, seperti buah dan sayur dalam upaya mempertahankan kualitasnya (Garnida, 2006). Menurut Sinaga dkk., (2013) pengemas edible film/coating ini termasuk ke dalam kemasan biodegradable karena berdasarkan sifat mekaniknya dapat menggantikan plastik nonbiodegradable. Pembentuk edible film dapat meliputi lipid dan hidrokoloid, baik digunakan sendiri ataupun dalam formulasi komposit (Baldwin, 2003). Golongan polisakarida yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating adalah pati dan turunannya, selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi propil metil selulosa), pektin ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum
16
(gum arab, gum karaya), xanthan, dan kitosan (Gennadios dan Weller 1990 dalam Winarti dkk., 2012). Aplikasi polisakarida biasanya dikombinasikan dengan beberapa pangan fungsional seperti resin, plasticizers, surfaktan, minyak, lilin (waxes), dan emulsifier yang memiliki fungsi memberikan permukaan yang halus dan mencegah kehilangan uap air. Edible coating/film yang dibuat dari polisakarida (karbohidrat), protein, dan lipid memiliki banyak keunggulan seperti biodegradable, dapat
dimakan,
biocompatible,
penampilan
yang
estetis,
dan
kemampuannya sebagai penghalang (barrier) terhadap oksigen. Edible coating/film berbahan dasar polisakarida (karbohidrat) berperan sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas O2 dan CO2 sehingga dapat menurunkan tingkat respirasi pada buah dan sayuran (Krochta dkk.,1994). Grau dkk. (2009) menjelaskan bahwa polisakarida yang sering digunakan untuk aplikasi coating pada buah potong segar antara lain selulosa dan turunannya, pati, alginat, gum, kitosan, pektin, karagenan, dan lain-lain. Penggunaan bahan-bahan alami dalam pengemas edible berbahan baku polimer alami akan mengurangi limbah plastik yang berasal dari polimer sintetis sehingga mengurangi kerusakan lingkungan. Aplikasi pada bahan umumnya dilakukan dengan pencelupan, pelapisan (wrapping) atau penyemprotan, selanjutnya bahan dikeringanginkan dan disimpan (Winarti dkk., 2012). Aplikasi edible film dan coating pada makanan yang bertujuan memperpanjang umur simpan bukan merupakan hal yang baru. Edible film dan coating sudah digunakan selama berabad-abad untuk mencegah perpindahan uap air, meningkatkan kenampakan buah, dan meningkatkan umur simpan (Grau dkk., 2009). Edible coating dan edible film tidak menggantikan bahan pengemas tradisional, melainkan menyediakan bahan tambahan untuk diaplikasikan sebagai pengawet makanan. Edible coating dapat dikonsumsi bersama dengan makanan, maka dari itu komposisinya harus berasal dari bahan-bahan yang sesuai untuk diaplikasikan pada
17
produk makanan. Salah satu manfaat menggunakan edible coating dan edible film yaitu mengurangi susut bobot, yang merupakan salah satu faktor utama penyebab kerusakan pada bahan pangan yang bersifat perishable. Lapisan tipis ini dapat melindungi buah-buahan dan atau sayuran dari susut bobot, menjaga tekstur, dan memperpanjang umur simpan dari produk, membentuk lapisan pelindung (Carbo dkk. 2015). Trisnawati dkk., (2013) menjelaskan bahwa tingkat kerusakan buah salah satunya dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar buah yang terjadi melalui inti sel yang tersebar di permukaan, dan secara alami dihambat oleh lapisan lilin yang terdapat di permukaan buah. Edible coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah. Lapisan coating harus mempunyai kriteria antara lain sifat menahan air sehingga dapat mencegah hilangnya kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas
tertentu,
mengendalikan
perpindahan
padatan
terlarut
untuk
mempertahankan warna, pigmen alami dan bergizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan. Beberapa keuntungan produk yang dikemas dengan edible coating antara lain (a) menurunkan aktivitas air pada permukaan bahan, sehingga kerusakan oleh mikroorganisme dapat dihindari karena terlindung oleh lapisan edible film, (b) memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi mengkilat, (c) mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah, (d) mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi atau ketengikan dapat dihambat, (e) sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami perubahan, dan (f) memperbaiki penampilan produk (Santoso dkk., 2004).
18
Menurut Baldwin dkk. (1997) transpirasi dapat dihambat dengan menggunakan lapisan lilin, selain itu lapisan lilin juga dapat menutup goresan pada permukaan kulit buah dan mengatur kebutuhan oksigen. Selama penanganan pascapanen, lilin alami yang terdapat pada buah dapat berkurang atau hilang namun lilin dilaporkan cukup efektif dalam menghambat pemasakan buah tomat, pepaya, dan jeruk. Bahan-bahan pembuatan edible coating antara lain: a. Tepung tapioka Edible coating yang digunakan yaitu berbahan dasar tepung tapioka yang merupakan jenis polisakarida. Baldwin dkk. (1995) dalam Grau dkk. (2009) mengatakan bahwa polisakarida memberikan kekerasan, kekompakan, kekentalan, dan viskositas yang baik pada edible coating. Polisakarida terbuat dari rantai polimer yang memiliki sifat penahan gas yang baik sehingga menghasilkan kondisi atmosfer yang diinginkan untuk meningkatkan umur simpan buah dan sayur tanpa membentuk kondisi anaerob. Carbo dkk. (2015) menjelaskan bahwa hidrokoloid mempunyai kelebihan untuk membentuk matriks yang kohesif akibat adanya ikatan hidrogen dari rantai polimernya. Menurut Santoso dkk (2004) salah satu sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible coating adalah tapioka. Tapioka mudah didapat dan harganya relatif lebih murah. Myllarinen dkk. (2002) juga menjelaskan bahwa coating dari pati bersifat transparan, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, dan mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap oksigen pada kelembaban relatif yang rendah sampai sedang. Miskiyah (2011) menyebutkan bahwa polisakarida menghasilkan film dengan sifat mekanik yang baik. Tepung tapioka merupakan tepung yang berasal dari umbi yang banyak digunakan di Indonesia. Tepung ini diproduksi dari umbi tanaman singkong dan mengandung 90% pati berbasis berat kering. Tepung tapioka banyak digunakan untuk membuat makanan
19
tradisional, seperti ongol-ongol, pempek, tiwul, dan tekwan. Tepung tapioka memiliki persentase amilosa sebanyak 8,06% dari pati sedangkan persentase amilopektin sebanyak 91,94%. Suhu gelatinisasi tepung tapioka yaitu 69,56 ºC (Imanningsih, 2012). Setiap jenis tepung memiliki karakteristik gelatinisasi yang berbeda-beda. Sifat gelatinisasi dan pembengkakan dari suatu pati, salah satunya ditentukan oleh struktur amilopektin, komposisi pati dan ukuran granular pati Di samping itu, perbedaan sifat gelatinisasi juga dikarenakan distribusi berat granula pati. Makin besar berat molekul, maka gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berat molekulnya lebih rendah. Contoh, pati serealia memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan pati umbi-umbian, sehingga suhu terjadinya gelatinisasi tepung beras lebih rendah dibandingkan dengan tepung tapioka. Saat larutan pati dipanaskan di atas temperatur gelatinisasinya, pati yang mengandung amilopektin lebih banyak akan membengkak lebih cepat dibandingkan dengan pati lain (Frazier dkk., 1997). Kelemahan edible coating/film dari pati
yaitu mudah
rusak/sobek karena resistensinya yang rendah terhadap air dan mempunyai sifat penghalang yang rendah terhadap uap air karena sifat hidrofilik dari pati (Garcia et al. 2011 dalam Winarti dkk., 2012). Sifat mekanik lapisan film dari pati juga kurang baik karena mempunyai elastisitas yang rendah. Untuk meningkatkan karakteristik edible coating/film dari pati, biasanya pati dicampur dengan biopolimer yang bersifat hidrofobik atau bahan yang tahan air (Winarti dkk., 2012). Castricini dkk (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa edible coating tapioka dan carboxymethyl starch (CMS) lebih berpengaruh pada atribut kenampakan daripada atribut flavor dari pepaya. Coating dengan konsentrasi 3 dan 5% dapat menjaga warna tetap hijau. Coating tapioka 5% lebih cocok untuk buah-buahan mengingat atribut yang paling dilihat adalah kenampakan. Grau dkk
20
(2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa aplikasi edible coating dapat mengurangi kerusakan mikrobial dari apel potong segar. Edible coating berbasis alginate dan gellan efektif memperpanjang umur simpan apel fuji sebesar 2 minggu penyimpanan dibanding dengan apel potong control dimana menunjukkan pencoklatan pada permukaan dan pelunakan jaringan dari awal penyimpanan, sehingga membatasi umur simpannya menjadi kurang dari 4 hari. b. Gliserol Pada proses pembuatan edible coating seringkali ditambahkan bahan tambahan fungsional untuk meningkatkan efektivitasnya seperti plasticizer. Jenis plasticizer yang biasanya ditambahkan antara lain adalah gliserin, trietilen glikol, gliserol, asam lemak, dan monogliserin yang diasetilasi. Penambahan gliserol membuat film lebih mudah dicetak karena gliserol berfungsi sebagai plasticizer. Selain dapat mengurangi kerapuhan, plasticizer mampu meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film, terutama jika disimpan pada suhu rendah (Winarti dkk., 2012). Warsiki dkk. (2010) menjelaskan bahwa gliserol mempunyai titik didih tinggi sehingga tidak ada gliserol yang menguap selama proses pembuatan film. Keuntungan lain adalah gliserol tidak berinteraksi dengan molekul protein sehingga film yang terbentuk akan sangat kompatibel, hidrofilik fleksibel, halus, dan tidak rapuh. Penelitiannya
menunjukkan
bahwa
konsentrasi
gliserol
1%
menghasilkan film kitosan yang memiliki tekstur lebih halus dan lebih lentur dibandingkan dengan film kitosan dengan konsentrasi gliserol 0,5 dan 0,8%. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi gliserol berpengaruh positif terhadap sifat plastis dari film yang dihasilkan. Menurut Damat (2008), karakteristik fisik edible film dipengaruhi oleh jenis bahan serta jenis dan konsentrasi plasticizer. Plasticizer dari golongan polihidrik alkohol atau poliol di antaranya adalah gliserol dan sorbitol. Penelitiannya menunjukkan bahwa
21
penambahan gliserol 1,5% pada pati garut butirat memberikan edible film lebih baik dibandingkan dengan penambahan sorbitol dan sirup glukosa. c. Tween Selain gliserol, emulsifier perlu ditambahkan pada edible coating dengan minyak atsiri. Salah satu jenis emulsifier yaitu tween 80. Tween 80 merupakan nama dagang dari polyxyethylene sorbitanmonooleat (poly sorbat 80) yang bersifat tidak beracun dengan kekentalan seperti minyak cair. Fungsi dari Tween 80 sebagai emulsifier berbagai produk makanan dan suplemen. Emulsifier sendiri merupakan zat yang digunakan untuk meningkatkan kemudahan pembentukan emulsi atau untuk meningkatkan kestabilan emulsi. Selain itu, emulsifier membuat unsur-unsur dalam makanan tercampur lebih baik (Prasetyo dan Vincentius, 2005). Selain tween 80 juga terdapat tween dimana keduanya sama sama memiliki gugus hidroksil, oksietilen dan hidrokarbon rantai panjang, perbedaan keduanya yaitu pada hidrokarbon penyusun tween 20 dan tween 80 yaitu berturut-turut C12:0 (laurat) dan C18:1 (oleat) (Sarungallo dkk., 2014). 5. Metode Aplikasi Coating Beberapa metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran antara lain metode pencelupan (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode yang paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah, daging, dan ikan adalah metode pencelupan, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating (Miskiyah dkk., 2011). Menurut Krochta (1992) dalam Harianingsih (2010) teknik aplikasi pelapisan pada buah (coating) yaitu: a. Pencelupan (dipping) Teknik ini biasanya digunakan pada produk yang memiliki permukaan yang kurang nyata. Produk kemudian dibiarkan dingin sampai edible
22
coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran. b. Penyemprotan (spraying) Teknik ini dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang memiliki dua sisi permukaan, misalnya pizza. Namun dalam pengaplikasiannya memerlukan peralatan khusus. c. Pembungkusan (casting) Teknik ini digunakan untuk membuat lapisan film yang berdiri sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-coater. d. Pengolesan (brushing) Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk. Nasution dkk. (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa susut bobot terjadi karena sebagian air dalam jaringan buah hilang disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi. Nanas dengan pencelupan kedalam CaCl2 selama 2 menit dengan menggunakan kemasan polipropilen menunjukkan kehilangan susut bobot lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena lapisan edibel dengan pencelupan kedalam CaCl2 selama 2 menit dapat memperbaiki tekstur nanas terolah minimal sehingga menghambat proses respirasi dan transpirasi. Winarti dkk. (2012) menyebutkan bahwa berbagai jenis pati, seperti tapioka dan garut, maupun hidrokoloid lain seperti alginat atau kitosan sudah cukup banyak digunakan sebagai penelitian aplikasi edible coating di Indonesia. Aplikasi coating dengan teknik pencelupan berisiko menghilangkan lapisan lilin alami pada permukaan buah. Oleh karena itu, perlu penelitian atau pengkajian teknik lain seperti penyemprotan atau penetesan (dropping). Penelitian edible coating di Indonesia sudah cukup banyak, tetapi masih perlu dieksplorasi untuk mendapatkan formula yang sesuai untuk produk yang berbeda dengan memanfaatkan pati lokal yang
23
karakteristiknya cocok sebagai edible coating/film. Produk terolah minimal yang dijual di pasar modern semakin banyak jumlahnya namun aplikasi edible coating/film secara komersial masih belum dikembangkan. Sementara
itu,
kesadaran
konsumen
semakin
meningkat
untuk
menggunakan bahan alami termasuk pengawet sehingga penggunaan edible coating akan semakin tinggi. 6. Edible Coating dan Minyak Atsiri Sereh Dapur (Cymbopogon citratus) Metode tambahan yang sering digunakan adalah penambahan/ inkorporasi bahan antimikroba ke dalam edible film. Bahan antimikroba yang digunakan pada makanan seperti asam-asam organik, bakteriosin, enzim, alkohol, dan asam lemak serta ekstrak rempah atau minyak atsiri, seperti minyak kayu manis, daun serai, cengkeh, dan bawang putih telah diteliti aktivitas antibakterinya (Winarti dkk., 2012). Penambahan bahan alami seperti oregano, rosemary, dan minyak bawang putih ke dalam edible film untuk mencegah pertumbuhan mikroba telah diteliti oleh Pranoto dkk (2005) serta Seydim dan Sarikus (2006). Azarakhsh dkk (2014) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pada edible coating berbasis alginat yang ditambah dengan minyak atsiri sereh dapur (Cymbopogon citratus) konsentrasi 0,3% (w/v) berpotensi untuk meningkatkan umur simpan dan menjaga kualitas dari nanas potong segar. Resianingrum (2015) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa edible film dengan penambahan minyak atsiri sereh dapur (Cymbopogon citratus) dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas flourescens pada konsentrasi 0,25% dan menghambat pertumbuhan Aspergilus niger pada konsentrasi 1%. Jo dkk (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kapang dan khamir tidak terdeteksi pada apel yang dicoating dengan carnaubashellac wax yang ditambah dengan minyak atsiri sereh dapur, sedangkan apel yang dicoating dengan carnauba-shellac wax saja memiliki penurunan jumlah kapang khamir sebesar 0,7 log CFU/g dibandingkan dengan kontrol setelah penyimpanan selama 5 bulan pada suhu 1±1ºC.
24
Untuk parameter kekerasan, kekerasan apel yang tidak diberi perlakuan coating turun menjadi 3,28 N setelah penyimpanan 5 bulan pada suhu 1±1ºC sedangkan kekerasan apel yang dicoating dengan carnauba-shellac wax yang ditambah dengan minyak atsiri sereh dapur maupun yang dicoating dengan carnauba-shellac wax saja tidak berubah selama penyimpanan 5 bulan pada suhu 1±1ºC. Penelitian Maizura dkk. (2008) menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi minyak atsiri sereh dapur, zona penghambatan terhadap Escherichia coli O157:H7 meningkat secara signifikan (p<0,05) dengan atau tanpa penambahan gliserol. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa edible film yang ditambah dengan minyak atsiri sereh dapur dapat secara signifikan mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dengan penambahan gliserol. Pengemas edible berbasis pati dengan penambahan bahan antimikroba merupakan alternatif yang baik untuk meningkatkan daya tahan dan kualitas bahan pangan selama penyimpanan, selain lebih aman bagi kesehatan. Penambahan bahan antimikroba ke dalam edible coating/film akan meningkatkan masa simpan dan stabilitas bahan pangan karena sifat penghalang dari lapisan film diperkuat oleh komponen aktif antimikroba. Penambahan minyak atsiri yang bersifat hidrofobik akan meningkatkan interaksi antarmolekul dalam struktur matriks sehingga terjadi transfer uap air. Kelemahan penggunaan antimikroba alami adalah dapat memengaruhi rasa karena flavor minyak atsiri yang sangat kuat (Winarti dkk., 2012).
25
B. Kerangka Berpikir Kelebihan pepaya MJ9 yaitu rasa buah yang manis, kenyal, serta tebal
Karakteristik pepaya dapat dipertahankan dengan pengemasan, salah satunya dengan kemasan edible coating yang bersifat ramah lingkungan (biodegradable) dan dapat menggantikan kemasan plastik yang tidak ramah lingkungan
Aplikasi coating yang sering digunakan yaitu teknik pencelupan dan penyemprotan
Pepaya merupakan komoditas yang mudah rusak (perishable)
Edible coating berbasis tapioka memiliki sifat kohesif sangat baik, laju transmisi gas dan uap air rendah, namun tapioka mempunyai kelemahan yaitu ketahanan uap air sangat rendah
Penambahan minyak atsiri sereh dapur (Cymbopogon citratus) dapat meningkatkan fungsi antimikroba dari edible coating
Edible coating berbasis tapioka dengan penambahan minyak atsiri sereh dapur (Cymbopogon citratus) dapat menjadi cara untuk menjaga kualitas pepaya MJ9
C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah edible coating berbasis tapioka dengan penambahan minyak atsiri sereh dapur (Cymbopogon citratus) berpengaruh terhadap kualitas pepaya MJ9.
26