BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Penerimaan Diri 2.1.1. Definisi Penerimaan Diri Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui
karakteristik
pribadi
dan
menggunakannya
dalam
menjalani
kelangsungan hidupnya, sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima kelemahankelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri (Handayani, 1998). Sikap menerima diri apa adanya tidak berarti tanpa kemauan untuk mengadakan perubahan, perbaikan atau evolusi. Yang benar bahwa penerimaan diri merupakan suatu pra-kondisi menuju perubahan (Branden, 1999). Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah sikap individu terhadap kekurangan dan kelebihan pada dirinya sebagaimana adanya, serta terus mengusahakan kemajuannya karena penerimaan diri merupakan pra-kondisi menuju perubahan. Santrock (2002) yang menjelaskan bahwa individu yang mampu menerima diri sendiri menunjukkan perilaku yang percaya diri, gembira, antusias, dapat
8
berkomunikasi dengan baik, menyesuaikan diri dan mampu melakukan interaksi sosial dengan orang lain.
2.1.2. Ciri-ciri Penerimaan Diri Allport (Heriyadi, 2013) mengemukakan ciri-ciri seseorang yang menerima diri yaitu sebagai berikut : 1) Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya. Untuk memiliki gambaran yang benar dan lebih positif tentang diri sendiri, individu harus melakukan hal-hal yang positif. Hal positif yang dilakukan akan menghasilkan hal yang positif juga dan ini bisa meningkatkan rasa percaya diri. Ketahuilah apa yang menjadi kekuatan dan fokuslah untuk membangun kekuatan tersebut sehingga individu bisa memiliki gambaran yang benar dan lebih positif tentang dirinya sendiri. Hal yang terakhir yang juga penting untuk memiliki gambaran yang benar dan lebih positif tentang diri sendiri adalah dengan belajar menerima kesalahan dan tidak menilai diri berdasarkan kesalahan atau kegagalan yang dialami. Membangun gambaran yang lebih positif tentang diri sendiri sehingga individu memiliki kepribadian yang lebih positif karena pribadi yang positif akan menarik lebih banyak orang untuk mendekat kepada kita. 2) Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya.
9
Cara menyelesaikan masalah ada 3 yaitu : Dengan otot, dengan otak dan dengan rohani. Di samping menyelesaikan masalah dengan kemampuan fisik dan pikiran, satu lagi kekuatan yang sangat dahsyat di luar kemampuan fisik dan kemampuan fikiran yaitu menyelesaikan masalah secara rohani lewat doa, zikir dan munajat kepada Allah SWT. Menyerahkan sepenuhnya segala ikhtiar (usaha) kepada Allah SWT dan selalu berpandangan baik terhadap Allah AWT. Mukjizat Para Nabi dan karomah Para Wali yang terjadi diluar kemampuan fisik dan fikiran manusia itu adalah berkat kedekatan mereka dengan Allah, berkat munajat doa dan zikir mereka yang istiqomah (Sufimuda, 2013). 3) Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain memberi kritik. Kebanyakan orang cenderung merasa diserang saat mendapatkan kritik dari orang lain, sehingga terkadang memberikan reaksi berupa marah, sedih dan bahkan balik menyerang. Padahal tidak semua kritik bertujuan untuk menampilkan kelemahan kita, tapi lebih cenderung untuk memperbaiki kekurangan, supaya kita jauh lebih baik. 4) Dapat mengatur emosi. Seseorang yang memiliki penerimaan diri mempunyai karakteristik bahwa individu tersebut memiliki gambaran positif terhadap dirinya dan dapat bertahan dalam kegagalan atau kepedihan serta dapat mengatasi keadaan emosionalnya seperti depresi, marah dan rasa bersalah.
10
Faktor emosional yang bekerja dalam diri individu mampu menjawab bagaimana keadaan individu sekarang (Ardhani, 2014). Keseimbangan emosi didapat dari ibadah yang salah satunya adalah shalat. Shalat diyakini para pakar telah memberikan investasi kesehatan yang cukup besar bagi yang melakukannya. Gerakan shalat dari takbir sampai salam memiliki makna yang luar biasa, baik untuk kesehatan fisik, mental bahkan keseimbangan spiritual dan emosional. Ketika seseorang mampu menjalankan shalat dengan benar dan penuh kehusyuan, maka otomatis ia akan mendapatkan ketenangnan batin. Ketika batin dipenuhi rasa tenang dan nyaman, maka kadar emosi lebih stabil dan rasa tertekan lebih dapat dikuasai (El-Qudsy, 2012).
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock (dalam Sobri, 2010) dimana faktor-faktor ini sangat berperan bagi terwujudnya penerimaan diri dalam diri individu. 1) Pemahaman Diri Adalah persepsi tentang diri yang dibuat secara jujur, tidak berpura-pura dan realistis. Pemahaman terhadap diri sendiri timbul jika seseorang mengenali kemampuan, dan ketidakmampuannya, serta bersedia untuk mencoba kemampuannya tersebut. Individu memahami dirinya sendiri tidak hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya, tetapi juga pada kesempatannya untuk mengenali diri sendiri. Individu tersebut harus
11
memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuannya. Individu yang memahami dirinya akan mampu menyebutkan siapa dirinya dan menerima keadaan dirinya sendiri. Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan dengan berdampingan. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya. 2) Harapan yang Realistis Harapan yang realistis timbul jika individu menentukan sendiri harapannya
yang
disesuaikan
dengan
pemahaman
mengenai
kemampuannya, bukan harapan yang diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Dikatakan realistis bila individu tersebut memahami keterbatasan dan kekuatan dirinya dalam mencapai tujuannya. Maka ketika individu
memiliki
harapan
dan
tujuan,
seharusnya
ia
telah
mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk mencapai harapan dan tujuan tersebut. Semakin realistis seseorang terhadap harapan dan tujuannya, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan dan tujuannya. Kondisi ini dapat memberikan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri. 3) Tidak adanya hambatan lingkungan Ketidakmampuan untuk meraih tujuan dan harapan yang realistis mungkin disebabkan oleh hambatan dari lingkungan. Bila lingkungan sekitar tidak memberikan kesempatan atau bahkan malah menghambat individu untuk mengekspresikan diri, maka penerimaan dirinya akan sulit dicapai. Sebaliknya, jika lingkungan seperti orangtua, saudara-saudara, dan teman-
12
teman memberikan dukungan, maka kondisi ini dapat mempermudah penerimaan diri dan menerima apa yang terjadi pada dirinya. Berkaitan dengan faktor sebelumnya, bila lingkungan semakin mendukung apa yang diharapkan oleh individu, maka kondisi ini akan lebih mendorong individu untuk mencapai harapannya. 4) Tingkah laku sosial yang sesuai Individu yang memiliki tingkah laku sosial yang sesuai diharapkan mampu menerima dirinya. Ketika seseorang menampilkan tingkah laku yang diterima oleh masyarakat, kondisi tersebut akan membantu dirinya untuk dapat menerima diri. Yang dimaksud tingkah laku sosial yang sesuai adalah tidak adanya prasangka terhadap lingkungan dalam diri individu, adanya pengakuan individu terhadap kemampuan sosial orang lain, tidak memandang buruk terhadap orang lain, dan kesedihan individu mengikuti kebiasaan atau norma lingkungan. 5) Tidak adanya stress emosional Stress menunjukkan adanya kondisi yang tidak seimbang dalam diri individu, menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh lingkungannya, menimbulkan kritik dan penolakan dari lingkungan. Kondisi ini dapat menyebabkan pandangan negatif terhadap dirinya, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan dirinya. Tidak adanya gangguan stress berat yang dialami individu akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya.
13
Bagi orang yang beriman dan taat kepada Allah, semua penderitaan yang dialami dikembalikan kepada Allah, lalu ia memohon perlindungan dan petunjuk-Nya, dia berdoa, salat, dzikir dan sebagainya (Daradjat, 2002). Karena ketidakseimbangan yang terjadi dalam diri yang menimbulkan strees, dapat diminimalisir dengan mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Jalalludin (dalam Ariestha, 2006) menyatakan bahwa bentuk pelaksanaan ibadah seperti berdoa, puasa, membaca kitab suci yang kemudian diikuti dengan penyerahan dari seutuhnya kepada Tuhan akan memunculkan perasaan positif seperti bahagia, puas, merasa dicintai, aman, tidak ada kecemasan dan pada akhirnya mengacu pada ketenangan batin. Ibadah tersebut juga membentuk keimanan dan ketaqwaan yang akan melahirkan keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan alam sekitarnya (Rajab, 2012). 6) Kenangan akan keberhasilan Ketika individu berhasil ataupun gagal, ia akan memperoleh penilaian sosial (social judgements) dari lingkungannya. Penilaian sosial yang diberikan oleh lingkungan, akan diingat individu karena dapat menjadi suatu tambahan dalam penilaian diri. Kenangan terhadap keberhasilan ini dapat dikenang dalam bentuk jumlah keberhasilan yang dicapai oleh seseorang (kuantitatif), maupun dikengang dalam kualitas keberhasilannya (kualitatif). Ketika seseorang gagal, maka mengingat keberhasilan adalah
14
hal yang dapat membantu memunculkan penerimaan diri pada seseorang. Sebaliknya kegagalan yang dialami dapat mengakitbatkan penolakan pada dirinya. 7) Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Ketika individu mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (well-adjusted), maka hal ini dapat membantu individu untuk membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, serta bertingkah laku baik yang bisa menimbulkan penilaian diri yang baik. Lingkungan rumah dengan model identifikasi yang baik akan membentuk kepribadian yang sehat pada seseorang. Dengan demikian, pada akhirnya individu dapat memiliki penerimaan diri yang baik pula. 8) Perspektif diri Individu yang mampu melihat dirinya, sama dengan bagaimana orang lain melihat dirinya, membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik. Perspektif diri yang luas diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya. 9) Pola asuh masa kecil yang baik Konsep diri mulai terbentuk pada masa kanak-kanan dimana pola asuh diterapkan, sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada meskipun usia individu terus bertambah. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis cenderung berkembang menjadi orang yang dapat menghargai dirinya sendiri, karena ia diajarkan bagaimana ia menerima
15
dirinya sendiri sebagai individu. Anak menganggap bahwa ia bertanggung jawab untuk mengontrol tingkah lakunya yang dilandasi oleh peraturan dan regulasi. 10) Konsep diri yang stabil. Individu dikatakan memiliki konsep diri yang stabil, apabila setiap saat individu tersebut dapat melihat dirinya dalam kondisi yang sama Individu yang tidak memiliki konsep diri stabil, bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya, pada waktu yang lain ia membenci dirinya sendiri. Kondisi ini akan membuat dirinya kesulitan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya kepada orang lain karena ia sendiri memiliki konsep diri yang saling bertentangan pada dirinya, suatu saat ia menerima dirinya dan disaat lain membenci dirinya.
2.1.4. Tahapan Penerimaan Diri Menurut Puspasari (2010) Dalam proses penerimaan kebenaran yang dialami oleh diri seseorang, individu harus melewatkan tahapan status kebenaran yang dihadapi yaitu : 1) Menerima kondisi kebenaran yang dialami oleh individu itu sendiri. Contoh : Seorang individu yang menderita obesitas harus mengakui status obesitas yang dimiliki.
16
2) Mengubah menjadi kondisi yang lebih baik. Perbaikan yang dapat dilakukan adalah perbaikan dalam aspek perspektif ataupun perubahann kondisi fisik dari personil yang bersangkutan itu sendiri. Contoh : Individu yang menderita status obesitas tidak hanya menerima status obesitas yang dimiliki namun juga mengubah status obesitas yang dimilikinya menjadi hal yang lebih baik untuk diri individu itu sendiri.
2.2. Religiusitas 2.2.1. Definisi Religiusitas Religiusitas memiliki pengertian mendalam dan lebih bersifat personal. Hubungan antara perasaan, keinginan, harapan, keyakinan manusia terhadap Tuhan langsung dan sesama manusia yang ditunjukkan dengan ketaatan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Adapun cara untuk mengetahui tingkatannya ialah dengan mencari tahu terlebih dahulu aspek-aspek di dalam ajaran agama sebagai tolak ukur, sebab religiusitas sangat erat dengan tingkah laku beragama dan nilai-nilai di dalamnya (Mangunwijaya, 1999). Hawari
menyatakan
bahwa
religiusitas
merupakan
penghayatan
keagamaan atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci (Ucu, 2011).
17
Berdasarkan dua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah keyakinan manusia terhadap Tuhannya yang ditunjukan dengan ketaatan melaksanakan ibadah. Jalalludin menyatakan bahwa bentuk pelaksanaan ibadah seperti berdoa, puasa, membaca kitab suci yang kemudian diikuti dengan penyerahan dari seutuhnya kepada Tuhan akan memunculkan perasaan positif seperti bahagia, puas, merasa dicintai, aman, tidak ada kecemasan dan pada akhirnya mengacu pada ketenangan batin (Ariestha, 2006). Tak ada sesuatu yang dapat membahagiakan jiwa, membersihkannya, menyucikannya, membuatnya bahagia, dan mengusir kegundahan darinya, selain keimanan yang benar kepada Allah s.w.t Rabb semesta alam. Singkatnya, kehidupan akan terasa hambar tanpa iman. Dalam pandangan para pembangkang Allah yang sama sekali tidak beriman, cara terbaik untuk menenangkan jiwa adalah dengan bunuh diri. Menurut mereka, dengan bunuh diri orang akan terbebas dari segala tekanan, kegelapan, dan bencana dalam hidupnya. Betapa malangnya hidup yang miskin iman, dan betapa pedihnya siksa dan azab yang akan dirasakan oleh orang-orang akherat kelak, (Al-Qarni, 2004).
yang menyimpang dari tuntunan Allah di
18
2.2.2. Aspek-Aspek Religiusitas Aspek religiusitas menurut Glock & Stark (Ancok & Suroso, 2008) terdiri dalam lima aspek, yaitu : 1) Aspek Iman Menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi dan sebagainya. 2) Aspek Islam Menyangkut
frekuensi,
intensitas pelaksanaan ibadah yang telah
ditetapkan, misalnya sholat, puasa dan zakat. 3) Aspek Ihsan Menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan dan lain-lain. 4) Aspek Ilmu Menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran agama. 5) Aspek Amal Menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, membela orang lemah, bekerja dan sebagainya.
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Thouless (dalam Sururin, 2004) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi religiusitas yaitu : 1) Faktor Intelektual
19
Kemampuan berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya sebagai alat untuk membedakan yang benar dan yang salah merupakan keberhasilan menusia yang bisa diharapkan pengaruhnya terhadap perkembangan tingkat religiusitas. Beberapa faktor pengaruh lingkungan sosial seseorang dan emosi, keduanya meskipun tidak diverbalisasikan pada umumnya sebagai bagian yang mepengaruhi sikap keagamaan, akan tetapi keduanya akan lebih kuat dengan diiringi menggunakan intelektual atau secara rasional. 2) Faktor Emosional Setiap pemeluk agama memiliki pengalaman emosional dalam kadar tertentu yang berkaitan dengan agamanya. Namun ada sejumlah orang, terjadi pengalaman-pengalaman keagamaan yang memiliki kekuatan dan komitmen agama yang luar biasa sehingga berbeda dengan pengalamanpengalaman orang lain. Ada beberapa orang secara emosional merasa terpengaruh oleh pengalaman dalam suatu ruangan ketika mendengar lantunan ayat suci Al- Quran atau adzan, dan ada sebagian yang lain menganggapnya sebagai bagian peribadatan yang tidak menguntungkan. Pendapat orang-orang beragama pada umumnya bahwa akibat penting dari kesadaran beragama adalah dorongan untuk taat kepada ajaran agama yang dipeluknya dan berperilaku yang baik dengan sesama manusia, dan nilai emosi keagamaan itu harus dinilai dari keberhasilannya dalam membantu tercapainya tujuan-tujuan itu.
20
3) Faktor Sosial Faktor sosial berpengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, mulai dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang disekitar kita dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikap-sikap keagamaan kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. Karena tidak seorangpun diantara kita yang dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan dalam keadaan yang terisolasi dari saudara-saudara kita dalam masyarakat. 4) Faktor Hidayah Faktor hidayah inilah semua orang jarang mendapatkannya, hanya Allah yang Maha Kuasa siapa yang berhak mendapatkan hidayah-Nya. Allah lah yang tahu rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Ada orang-orang yang memperoleh hidayah dari Allah dengan mudah. Tetapi ada pula yang sukar mendapatannya, bahkan tidak berhasil sama sekali mendapatkannya. Hal itu semua tergantug kepada kehendak Illahi samata-mata, Soetarjo (dalam Aisyah, 2013). Orang-orang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan hidayah adalah mereka yang membuka hatinya kepada hidayah, yang membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima Allah dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada Agama-Nya dengan penuh ketaatan dan penyerahan. Mereka inilah yang akan ditolong oleh Allah untuk mendapatkan hidayah, diantarakan kepadanya, didorong melakukan dan ditambah keimanan dan petunjuk mereka di dalam kehidupan ini.
21
2.2.4. Fungsi Religiusitas Dister (dalam Rahmawati, 2010) mengemukakan empat fungsi dari religiusitas yaitu : 1) Untuk Mengatasi Frustasi Manusia memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi maka akan timbul rasa kecewa yang pada akhirnya dapat menyebabkan frustasi. Dan orang yang mengalaminya akan berusaha mengatasi frustasi tersebut dengan jalan membelokkan arah kebutuhannya dari hal-hal yang bersifat keduniawian kepada Tuhan dan mengharapkan pemenuhan keinginan tersebut. Rasa berserah diri tersebut dapat menenangkan karena timbul rasa yakin bahwa Tuhan akan menolong setiap hamba-Nya sehingga dapat memberikan ketentraman hati. 2) Untuk Mengatasi Ketakutan Ada dua macam yang dapat dibedakan yaitu, ketakutan yang ada objeknya seperti takut kepada seseorang atau benda-benda tertentu dan ketakutan yang tidak ada objeknya seperti cemas hati. Ketakutan tanpa objek inilah yang sering menimbulkan kebingungan pada manusia dan dapat menimbulkan frustasi, maka secara tidak langsung ketakutan tersebut mempengaruhi timbulnya perilaku religiusitas. Jika ketakutan erat hubungannya dengan manusiawi yang dapat menimbulkan perilaku
22
agamawi, sehingga setiap orang manyakini bahwa Tuhan akan selalu dekat dengan setiap hamba-Nya dan dapat melenyapkan segala kecemasan hati. 3) Untuk Menjaga Kesulitan Serta Tata Tertib Masyarakat Manusia wajib untuk hidup berdasarkan moral. Ini berarti manusia tidak dapat berhubungan dengan Tuhan kalau manusia tidak hidup berdasarkan norma-norma moral. Oleh sebab itu, seseorang perlu menginternalisasikan nilai-nilai agama agar dapat menciptakan dan mengamalkan nilai-nilai moral yang otonomi dan religiusitas yang berfungsi sebagai pengendali suara hati. 4) Untuk Memuaskan Intelektual yang Ingin Tahu Intelektual yang ingin tahu bisa mendapatkan tiga sumber kepuasan yang dapat ditemukan dalam agama yaitu : a) agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang menyelamatkan kejasmanian yang dianggap menghambat dan menghantarkan manusia kepada pengabdian. b) dengan menyajikan suatu moral maka agama memuaskan intelektual yang ingin mengetahui apa yang harus dilakukan manusia dalam hidup agar tercapai tujuannya. c) agama dapat memuaskan keinginan manusia yang mendalam agar hidup manusia bermakna, sehingga manusia sekurang-kurangnya ikut menentukan hidup yang dijalani.
23
2.3. Remaja Akhir 2.3.1. Batasan Usia Remaja Akhir Remaja sebagai periode tertentu dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata bahasa Latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = Remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2013). Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu : 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir (Desmita, 2013). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa (Sarwono, 2010).
2.3.2. Tugas Perkembangan Remaja Menurut William key (dalam Yusuf, 2011) mengemukakan tugas – tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut : 1) Menerima fisiknya berikut keragaman kualitasnya. 2) Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai otoritas.
24
3) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok. 4) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya. 5) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri. 6) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup. 7) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.
2.4. Kerangka Berpikir Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui
karakteristik
pribadi
dan
menggunakannya
dalam
menjalani
kelangsungan hidupnya, sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima kelemahankelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri (Handayani, 1998). Remaja seringkali mengalami kesulitan dan tidak mampu untuk menghadapi masalah perubahan-perubahan fisiologis, psikologis, maupun psikososial dengan baik (Dariyono, 2004). Dari ketidakmampuan remaja dalam
25
menghadapi perubahan menjadikan remaja selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain sehingga kurangnya rasa menerima terhadap dirinya sendiri. Usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Secara fisik remaja
sudah
berpenampilan
dewasa,
tetapi
secara
psikologis
belum.
Ketidakseimbangan ini menempatkan remaja dalam suasana kehidupan batin terobang-ambing. Dalam kaitan ini sebenarnya nilai-nilai agama dapat diperankan sebagai bimbingan rohaniyah. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi ke arah tindakan negatif (Jalaludin, 2012) Willam James adalah salah satu pelopor penyadaran akan psikologi dan agama mengatakan hidup dibawah naungan agama memiliki dua keistimewaan yang menonjol: aktif dan dinamis, serta sukacita dan ketenangan jiwa (Kuhsari, 2012). James mengungkapkan religiusitas berhubungan erat dengan peningkatan kepuasan hidup dan kesejahteraan psikologi manusia (Gazi, 2010). Begitupun Seligman (2005) menyatakan orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius. Religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja.
26
Penelitian yang dilakukan oleh Handadari (2012) menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti (2004) juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri pada penderita diabetes melitus. Dilihat dari hasil-hasil penelitian-penelitian di atas bahwa adanya hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Berdasarkan uraian tersebut, belum adanya penelitian terhadap subjek remaja akhir sehingga peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada remaja akhir (siswa kelas XII) di SMAN 9 Tangerang. Dari uraian diatas maka hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri remaja akhir (Siswa kelas XII) di SMAN 9 Tangerang adalah seperti bagan dibawah ini :
RELIGIUSITAS
PENERIMAAN DIRI
(Variabel X) 2.6. Hipote
(Variabel Y)
27
2.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan yang positif antara religiusitas dengan penerimaan diri remaja akhir (Siswa kelas XII) di SMAN 9 Tangerang.