BAB II LANDASAN TEORI
2.2
Definisi Jalan Pasal 4 no. 38 Tahun 2004 tentang jalan, memberikan definisi mengenai
jalan yaitu prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada di permukaan tanah, di atas permukaan tanah,di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum sedangkan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan
atau
kelompok
masyarakat
untuk
kepentingan
sendiri.
Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaa, penyusunan rencana umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan,
pemberdayaan
sumber
daya
manusia,
serta
penelitian
dan
pengembangan jalan. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan pembangunan jalan. Sementara bangunan pelengkap jalan adalah bangunan yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari badan jalan itu sendiri, seperti jembatan, tempat parkir, gorong-gorong, tembok penahan lahan atau tebing, saluran air dan perlengkapan yang meliputi rambu-rambu dan marka jalan, pagar pengaman lalu lintas, pagar daerah milik jalan serta rambu lalu lintas. Jalan mempunyai suatu sistem jaringan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam hubungan hierarki. Menurut peranan pelayanan jasa
4
5
distribusi, terdapat dua macam jaringan jalan yaitu sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Pada dasarnya Indonesia terdapat tiga klasifikasi utama jalan, yaitu: 1.
klasifikasi menurut fungsi/peranan jalan (arteri, kolektor, lokal),
2.
klasifikasi menurut kelas jalan (I, IIA, IIB, III),
3.
klasifikasi menurut administrasi/wewenang pembinaan (nasional, propinsi, kabupaten/kota).
2.3
Klasifikasi dan Fungsi jalan
2.3.1
Berdasarkan Sistem Jaringan Jalan Menurut Peraturan Pemerintah No. 26 jalan-jalan di lingkungan perkotaan
terbagi dalam jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder. 1. Sistem jaringan jalan primer. Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur dan pengembangan wilayah tingkat Nasional, yang menghubungkan simpul jasa distribusi. 2. Sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang memiliki fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke perumahan. 2.3.2
Berdasarkan Fungsinya Alamsyah (2003) tentang jalan menyebutkan bahwa klasifikasi jalan
menurut fungsinya mempunyai kriteria sebagai berikut: 1. Jalan Arteri Primer Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua. Jalan arteri primer wilayah perkotaan memiliki kriteria sebagai berikut: a. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar kota, b. Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer,
6
c. Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 8 meter, d. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah salah satu lintas regional. lalu lintas jarak jauh tidak boleh tergangu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal, e. Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum diijikan menggunakan jalan ini, f. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa, jarak antara jalan masuk langsung tidak lebih dari 500 meter, g. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu, sesuai dengan volume lalu lintas harian rata-rata, h. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsinya jalan yang lain, i. Lokasi berhenti dan parkir pada jalan ini seharusnya tidak diijinkan. 2. Jalan Kolektor Primer Jalan kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Jalan kolektor primer memiliki kriteria sebagai berikut: a. Jalan kolektor primer kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota, b. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer, c. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7 meter, d. jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien dan jarak antaranya lebih dari 400 meter, e. Kendaraan angkutan berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini f. Persimpangan diatur dengan persimpangan tertentu sesuai dengan volume lalu lintas harian rata-rata g. Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian ratarata
7
h. Dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang cukup i. Besarnya LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer. 1. Jalan lokal primer Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga dengan kota dibawahnya, atau kota jenjang ketiga dengan persil atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persiil. Kriteria jalan lokal primer sebagai berikut: a. Merupakan terusan jalan lokal primer luar kota b. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer atau jalan primer lainnya c. Dirancang untuk kecepatan rencana 20 km/jam d. Lebar jalan tidak kurang dari 6 meter e. Besar LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer. Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangaannya. 2. Jalan arteri sekunder Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kriteria untuk jalan perkotaan: a. Dirancang berdasarkan kecepatan rancang paling rendah 20 km/jam, b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter. c. Kendaraan angkutan berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman, d. Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi, e. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang yang cukup. f. Besarnya LHR pada umumnya paling rendah dari sistem primer.
8
3. Jalan lokal sekunder Jalan lokal sekunder adalah menghubungkan antar kawasan sekunder ketiga atau di bawahnya dan kawasan sekunder dengan perumahan. Kriteria untuk daerah perkotaan adalah: a. Dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam, b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter, c. Kendaraan angkutan barang dan bus tidak diijinkan melalui jalan ini di daerah pemukiman, d. Besarnya LHR umumnya paling rendah dibanding fungsi jalan yang lain. 2.3.3
Berdasarkan Wewenang Pembinaan Klasifikasi dan fungsi berdasarkan wewenang pembinaan adalah:
a. Jalan nasional, yang termasuk kelompok ini adalah jalan arteri primer, jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepetingan Nasional. b. Jalan provinsi, yang termasuk kelompok jalan provinsi adalah jalan kolektor primer
yang
menghubungkan
ibukota
provinsi
dengan
ibukota
kabupaten/kotamadya atau antar ibukota kabupaten/kotamadya. c. Jalan kabupaten, yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, jalan lokal primer, jalan sekunder,dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional atau jalan propinsi serta jalan kotamadya. 2.4
Jalan Perkotaan Dalam MKJI (1997), jalan perkotaan merupakan segmen jalan yang
mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada suatu sisi jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan (Alamsyah, 2005). Tipe jalan pada jalan perkotaan adalah sebagai berikut ini: 1. Jalan dua lajur dua arah (2/2UD). 1. Jalan empat lajur dua arah.
9
a. Tak terbagi (tanpa median) (4/2UD) b. Terbagi ( dengan median ) (4/2 D) 2. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D) 3. Jalan satu arah (1-3/1). 2.5 2.5.1
Karakteristik dan Geometrik Jalan Karakteristik Jalan
1. Geometrik jalan terdiri dari: a. Tipe jalan Berbagai
tipe
jalan
menunjukkan
kinerja
berbeda
pada
pembebanan lalu lintas tertentu, misalnya jalan terbagi dan tak terbagi (jalan satu arah). b. Jalur lalu lintas Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor. c. Kerb Kerb sebagai batas antara lajur lalu lintas dan trotoar berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas dan kecepatan. d. Bahu jalan Jalan perkotaan tanpa kerb pada umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalu lintasnya. Fungsi bahu jalan adalah sebagai jalur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, tempat parkir darurat, ruang bebas sampng bagi lalu lintas, dan penyangga untuk kestabilan perkerasan jalur lalu lintas. e. Median Median adalah daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada segmen jalan.
10
f. Alinyemen jalan Lengkung horisontal dengan jari-jari dan tanjakan curam juga mengurangi kecepatan arus bebas, karena secara umum kecepatan arus bebas di daerah perkotaan. Lengkung vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), landai negatif (turunan, dan landai nol atau datar).bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung. Bagian geometri jalan, dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1. Geometrik Jalan (http://id.wikipedia.org/wiki.com di akses tanggal 3 Maret 2013)
11
2. Pemisah arah lalu lintas dan komposisi lalu lintas. Pemisahan arah lalu lintas adalah sebagai berikut: a. Pemisah arah lalu lintas Kapasitas jalan dua arah paling tinggi pada pemisahan arah 50-50, yaitu jika arus pada kedua arah adalah sama pada periode waktu yang dianalisa (umumnya satu jam). b. Komposisi lalu lintas. Komposisi lalu lintas mempengaruhi hubungan arus kecepatan. Jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam kend./jam, tergantung pada rasio sepeda motor atau kendaraan berat dalam arus lalu lintas. Jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp), maka kecepatan ringan dan kapasitas (km/jam) tidak terpengaruh oleh komposisi lalu lintas. 3. Pengaturan lalu lintas. Pengendalian kecepatan, pergerakan kendaraan berat, parkir akan mempengaruhi kapasitas jalan. 4. Aktifitas sisi jalan (hambatan samping) Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan kapasitas adalah adanya jalur lalu lintas dan bahu jalan sempit yang menyebabkan kemacetan dan bahkan sampai terjadinya kecelakaan lalu lintas, sehingga hambatan samping juga terbukti sangat berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan (Alamsyah, 2005). Sesuai MKJI 1997, hambatan samping disebabkan oleh empat jenis kendaraan yang masing-masing memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap kapasitas, yakni sebagai berikut. 1. Pejalan kaki
(bobot = 0,5)
2. Kendaraan parkir/berhenti
(bobot = 1,0)
3. Kendaraan keluar/masuk dari/sisi jalan
(bobot = 0,7)
4. Kendaraan bergerak lambat
(bobot =0,4)
12
Tabel 2.1. Kelas Hambatan Samping Kelas Hambatan Samping (SCF)
Kode
Frekuensi Kejadian Terbobot (m/j)
Kondisi Khusus (Kelas)
Sangat Rendah
VL
<100
Rendah
L
100-299
Sedang
M
300-499
Tinggi
H
500-899
Sangat tinggi
VH
>900
Daerah Pemukiman Daerah pemukiman dengan beberapa kendaraan umum Daerah industri dengan beberapa toko disis jalan Daerah komersial dengan aktifitas sisi jalan tinggi Daerah komersial dengan aktifitas pasar disamping
(Sumber MKJI 1997)
5. Perilaku pengemudi dan populasi kendaraan. Sikap pengemudi dan populasi kendaraan (umur, tenaga, dan kondisi kendaraan) adalah berbeda antara berbagai daerah di Indonesia karena sesuai tingkatan perkembangan daerah perkotaan. Kota yang lebih kecil menunjukan perilaku pengemudi yang kurang gesit dan kendaraan yang lebih tua serta kurang moderen menyebabkan kapasitas dan kecepatan lebih rendah pada arus tertentu, jika dibandingkan dengan kota yang lebih besar. 2.5.2
Karakteristik Geometrik Jalan Karaktekristik geometrik jalan terdiri dari:
a. Jalan dua-lajur dua- arah tak terbagi (2/2 UD) b. Jalan empat-lajur dua-arah tak terbagi (4/2 UD) c. Jalan empat-lajur dua-arah terbagi (4/2 D) d. Jalan enam-lajur dua-lajur satu arah (6/2 D) e. Jalan satu hingga tiga-lajur satu arah (1-3/1) Kondisi dasar tipe jalan dua-lajur dua-arah tak terbagi (2/2 UD) didefinisikan sebagai berikut: a. Lebar jalur lalu lintas 7 m, b. Lebar bahu efektif paling sedikit 2 m pada setiap sisi, c. Tidak ada median, d. Pemisah arah lalu lintas 50-50, e. Tipe alinyemen datar.
13
2.6
Tingkat Pelayanan Tingkat pelayanan (Level Of Service atau disingkat LOS) adalah suatu
ukuran kualitatif yang menjelaskan kondisi-kondisi operasional di dalam suatu aliran lalu lintas dan persepsi dari pengemudi dan atau penumpang terhadap kondisi-kondisi tersebut (Khisty, 2003). Faktor-faktor seperti kecepatan dan waktu tempuh, kebebasan bermanuver, perhentian lalu lintas, dan kemudahan serta kenyamanan adalah kondisi-kondisi yang mempengaruhi LOS. Tingkat pelayanan ini dibedakan menjadi 6 (enam) kelas yaitu dari A untuk tingkat yang paling baik sampai dengan tingkat F untuk kondisi yang paling buruk. Faktor yang digunakan sebagai indikator tingkat pelayanan jalan dalam MKJI 1997 yaitu sebagai berikut: 1.
Kecepatan arus bebas (FV), didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika pengendarai kenderaan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kenderaan lain di jalan,
2.
Derajat kejenuhan (DS), didefinisikan sebagai rasio arus (Q) terhadap kapasitas (C), digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat pelayanan pada suatu ruas jalan,
3.
Kecepataan yang ditempuh kendaraan, didefinisikan sebagai kecepatan ratarata ruang dari kenderaan ringan (LV) sepanjang segmen jalan. Perilaku lalu lintas diwakili oleh tingkat pelayanan (LOS), yaitu ukuran
kualitatif yang mencerminkan persepsi para pengemudi dan penumpang mengenai karakteristik kondisi operasional dalam arus lalu lintas Highway Capacity Manual (HCM) 1994. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2006, tingkat pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk menampung lalu-lintas pada keadaan tertentu. Enam tingkat pelayanan dibatasi untuk setiap tipe dari fasilitas lalu lintas yang akan digunakan dalam prosedur tinjauan, yang disimbolkan dengan huruf A sampai dengan F, dimana Level of Service (LOS) A menunjukkan kondisi operasi
14
terbaik, dan LOS F paling jelek. Kondisi LOS yang lain ditunjukkan berada diantaranya. Di Indonesia, kondisi pada tingkat pelayanan (LOS) diklasifikasikan atas berikut ini: 1.
Tingkat Pelayanan A 1. Kondisi arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi. 2. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan
oleh
pengemudi
berdasarkan
batasan
kecepatan
maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan. 3. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan. 2.
Tingkat Pelayanan B a. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas. b. Kepadatan lalu lintas rendah, hambatan internal lalu lintas belum mempengaruhi kecepatan. c. Pengemudi masih cukup punya kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.
3.
Tingkat Pelayanan C a. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi. b. Kepadatan lalu lintas meningkat dan hambatan internal meningkat. c. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau mendahului.
4.
Tingkat Pelayanan D a. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus. b. Kepadatan lalu lintas sedang fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar.
15
c. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk waktu yang sangat singkat. 5.
Tingkat Pelayanan E a. Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah. b. Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi. c. Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.
6.
Tingkat Pelayanan F a. Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang. b. Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama. c. Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0. Karakteristik tingkat pelayanan (LOS) dapat ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Karakteristik Tingkat Pelayanan No
Tingkat Pelayanan
1
A
2
3
4
B
C
D
5
E
6
F
Karakteristik a. Kondisi arus bebas b. Kecepatan tinggi ≥ 100 km/jam c. Volume lalu lintas sekitar 30% dari kapasitas (600 smp/jam/lajur)
DS 0,00 – 0,20
a. Arus stabil b. Kecepatan lalu lintas sekitar 90 km/jam c. Volume lalu lintas sekitar 50% dari kapasitas (1000 smp/jam/lajur)
0,21 – 0,44
a. Arus stabil b. Kecepatan lalu lintas ≥ 75 km/jam c. Volume lalu lintas sekitar 75% dari kapasitas (1500 smp/jam/lajur)
0,45 – 0,75
a. Arus mendekati tidak stabil b. Kecepatan lalu lintas sekitar 60 km/jam c. Volume lalu lintas sekitar 90% dari kapasitas (1800 smp/jam/lajur)
0,76 – 0,84
a. Arus tidak stabil b. Kecepatan lalu lintas sekitar 50 km/jam c. Permintaan mendekati kapasitas (yaitu 2000 smp/jam)
0,85 – 1,00
a. Arus tertahan, kondisi terhambat b. Kecepatan lalu lintas < 50 km/jam
(Sumber : Keputusan Menteri Perhubungan No. 14 Tahun 2006)
> 1,00
16
Karakteristik tingkat pelayanan dapat dilihat pada grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Tingkat Pelayanan Jalan (Sukirman, 1999) 2.7
Hubungan Volume, Kecepatan, dan Kepadatan Aliran lalu lintas pada suatu ruas jalan raya terdapat 3 (tiga) variabel utama
yang digunakan untuk mengetahui karakteristik arus lalu lintas, yaitu: 1.
volume (flow), yaitu jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tinjau tertentu pada suatu ruas jalan per satuan waktu tertentu,
2.
kecepatan (speed), yaitu jarak yang dapat ditempuh suatu kendaraan pada ruas jalan per satuan waktu,
3.
kepadatan (density), yaitu jumlah kendaraan per satuan panjang jalan tertentu. Variabel-variabel tertentu memiliki hubungan antara satu dengan lainnya.
Hubungan antara volume, kecepatan dan kepadatan dapat digambarkan secara grafis dengan menggunakan persamaan matematis. 2.7.1
Hubungan Volume dengan Kecepatan Hubungan mendasar antara volume dengan kecepatan adalah dengan
bertambahnya volume lalu lintas maka kecepatan rata-rata ruangnya akan berkurang sampai kepadatan kritis (volume maksimum) tercapai. Hubungan keduanya ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Kecepatan (km/jam)
17
Volume (kend/jam/lajur)
Gambar 2.3. Hubungan Volume-Kecepatan Setelah kepadatan kritis tercapai, maka kecepatan rata-rata ruang dan volume akan berkurang. Jadi kurva di atas menggambarkan dua kondisi yang berbeda, lengan atas menunjukkan kondisi stabil dan lengan bawah menunjukkan kondisi arus padat. 2.7.2
Hubungan Kecepatan dengan Kepadatan Kecepatan akan menurun apabila kepadatan bertambah. Kecepatan arus
bebas akan terjadi apabila kepadatan sama dengan nol, dan pada saat kecepatan sama dengan nol maka akan terjadi kemacetan (jam density). Hubungan keduanya
(km/jam)
Kecepatan
ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Kepadatan
Gambar 2.4. Hubungan Kecepatan-Kepadatan 2.7.3
Hubungan Volume dengan Kepadatan Volume maksimum terjadi (Vm) terjadi pada saat kepadatan mencapai titik
Dm (kapasitas jalur jalan sudah tercapai). Setelah mencapai titik ini volume akan
18
menurun walaupun kepadatan bertambah sampai terjadi kemacetan di titik Dj.
Volume (arus maks)
Hubungan keduanya ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Kepadatan (km/jam/lajur)
Gambar 2.5. Hubungan antara Volume-kepadatan 2.8
Kecepatan Arus Bebas Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas pada jalan perkotaan
mempunyai bentuk umum berikut: FV = (FV0+FVW) X FFVsf X FFVcs .................................................................................... (2.1) dengan: FV
: kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam),
FV0
:
kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan dan alinyeman yang diamati (km/jam),
FVW
: peneyesuaian kecepatan akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam),
FFVsf
: faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu,
FFVcs
: faktor penyesuaian ukuran kota.
Berdasarkan persamaan kecepatan arus bebas, untuk kecepatan arus bebas dasar untuk jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.3.
19
Tabel 2.3 Kecepatan Arus Bebas (FV0) untuk Jalan Perkotaan Kecepatan Arus Bebas Dasar (FV0), km/jam Tipe Jalan
Kendaraan Ringan (LV)
Kendaraan Berat (HC)
Sepeda Motor (MC)
Semua Kendaraan (Rata-rata)
Enam-lajur terbagi (6/2D) Atau Tiga-lajur Satu-arah (3/1)
61
52
48
57
Empat-lajur terbagi (4/2D) Atau Dua-lajur satu-arah (2/1)
57
50
47
55
Empat lajur tak terbagi (4/2UD)
53
46
43
51
Dua-lajur tak-terbagi (2/2UD)
44
40
40
42
(Sumber MKJI 1997)
Berdasarkan persamaan kecepatan arus bebas, faktor kecepatan akibat lebar lajur lalu lintas dapat ditunjukkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Faktor Kecepatan Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FVW) Tipe Jalan Empat-lajur terbagi atau jalan satu arah
Empat-lajur tak-terbagi
Dua-lajur tak-terbagi
(Sumber MKJI 1997)
Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc) (m) Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Total 5 6 7 8 9 10 11
FVw (km/jam) -4 -2 0 2 4 -4 -2 0 2 4 -9,5 -3 0 3 4 6 7
20
Berdasarkan persamaan kecepatan arus bebas, faktor penyesuaian ukuran kota dapat ditunjukkan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FFVcs) Ukuran Kota (Juta Penduduk)
Faktor penyesuaian untuk ukuran Kota (FFVcs)
<0,1 0,1-0,5 0,5-1,0 1,0-3,0 >3,0 (Sumber MKJI 1997)
0,90 0,93 0,95 1,00 1,03
Berdasarkan persamaan kecepatan arus bebas, faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu/jarak kreb kepenghalang (FFVsf) dapat ditunjukkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Lebar Bahu/Jarak Kreb ke Penghalang (FFVsf)
Tipe Jalan
Empat-Lajur terbagi (4/2D)
Empat-Lajur takterbagi (4/2UD)
Dua-lajur tak-terbagi (4/2 UD) atau Jalan Satu Arah
Kelas Hambatan Samping Sangat Rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat Tinggi (VH) Sangat Rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat Tinggi (VH) Sangat Rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat Tinggi (VH)
Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu Lebar Bahu Jalan Efektif Rata-rata (Ws),s ≤0,5 1,0 1,5 ≥2,0 1,02 1,03 1,03 1,04 0,98 1,00 1,02 1,03 0,94 0,97 1,00 1,02 0,89 0,93 0,96 0,99 0,84 0,88 0,92 0,96 1,02 1,03 1,03 1,04 0,98 1,00 1,02 1,03 0,93 0,96 0,99 1,02 0,87 0,91 0,94 0,98 0,80 0,86 0,90 0,95 1,00 1,01 1,01 1,01 0,96 0,98 0,99 1,00 0,90 0,93 0,96 0,99 0,82 0,86 0,90 0,95 0,73 0,79 0,85 0,91
(Sumber MKJI 1997)
2.9
Kapasitas Ruas Jalan Kapasitas suatu ruas jalan didefinisikan sebagai arus lalu lintas maksimum
melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan persatuan jalan pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah
21
(kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan perarah dan kapasitas ditentukan per lajur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas jalan adalah lebar jalur atau lajur, ada tidaknya pemisah/median jalan, hambatan bahu/kreb jalanan, di daerah Perkotaan atau luar kota, dan ukuran kota. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang (emp), sehingga adanya faktor koreksi untuk jenis kendaraan di luar kendaraan mobil penumpang. Ekivalen mobil penumpang (emp) untuk masing-masing tipe kendaraan tergantung pada tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kend./jam. Berdasarkan MKJI (1997), ekivalen mobil penumpang (emp) yang digunakan untuk jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8. Tabel 2.7. Emp untuk Jalan Perkotaan Tak-terbagi Emp Tipe Jalan (Jalan Tak Terbagi)
Arus Lalu Lintas total dua-arah (kend./jam)
Dua-lajur tak-terbagi (2/2UD) Empat-lajur tak-terbagi (4/2UD) (Sumber MKJI 1997)
HV
0 ≥1800 0 ≥3700
1,3 1,2 1,3 1,2
MC Lebar lajur lalu lintas Wc (m) ≤6 ≥6 0,5 0,40 0,35 0,25 0,40 0,25
Tabel 2.8. Emp untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu-Arah Tipe Jalan (Jalan satu arah dan jalan terbagi) Dua-lajur satu-arah (2/1) Dan Empat-lajur terbagi (4/2D) Tiga-lajur satu-arah (3/1) Dan Enam-lajur terbagi (6/2D) (Sumber MKJI 1997)
Emp
Arus lalu lintas total dua-arah (kend./jam) 0
HV 1,3
MC 0,40
≥1050 0
1,2 1,3
0,25 0,40
≥1100
1,2
0,25
22
Dalam MKJI (1997), kapasitas ruas jalan dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut ini. C= Co x FCW x FCsp x FCsf x FC cs...................................................... (2.2) dengan: C
: kapasitas (smp/jam),
Co
: kapasitas dasar (smp/jam)
FCw : faktor penyesuaian lebar lajur, FCsp : faktor penyesuaian pemisah arah, FCsf : faktor penyesuaian hambatan samping, FCcs : faktor penyesuaian ukuran kota. Berdasarkan persamaan di atas, kapasitas dasar jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan (C0) Tipe Jalan
Kapasitas Dasar (smp/jam)
Catatan
Empat-lajur terbagi atau jalan satu arah
1650
Perlajur
Empat-lajur tak-terbagi
1500
Perlajur
Dua-lajur dua-arah
2900
Total dua arah
(sumber MKJI 1997)
Berdasarkan persamaan kapasitas ruas jalan, faktor penyesuaian lebar lajur jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.10.
23
Tabel 2.10. Faktor Penyesuaian Lebar Lajur Jalan Perkotaan (FCw) Tipe Jalan
Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc) (m)
FVw (km/jam)
Empat-lajur terbagi atau jalan satu arah
Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00
0,92 0,96 1,00 1,04 1,08
Empat-lajur tak-terbagi
Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00
0,91 0,95 1,00 1,05 1,09
Dua-lajur tak-terbagi
Total Dua Arah 5 6 7 8 9 10 11
0,56 0,78 1,00 1,14 1,25 1,29 1,34
(Sumber MKJI 1997)
Berdasarkan persamaan kapasitas ruas jalan, faktor penyesuaian pemisah arah jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah Jalan Perkotaan (FCsp) Pemisah Arah SP %-%
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
Dua-lajur (2/2)
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
Empat-lajur (4/2)
1,00
0,985
0,97
0,955
0,94
FCsp
(Sumber MKJI 1997)
Berdasarkan persamaan kapasitas ruas jalan, faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kreb pada jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.12 dan Tabel 2.13.
24
Tabel 2.12.
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Bahu Jalan/Kreb pada Jalan Perkotaan dengan Bahu (FCsf) Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping Dan Lebar Bahu (FCsf) Kelas Hambatan Samping
Tipe Jalan
Lebar Bahu Jalan Efektif (ws), m ≤ 0,5
1,0
1,5
≥ 2,0
Empat-lajur terbagi (4/2 D)
Sangat rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat Tinggi (VH)
0,96 0,94 0,92 0,88 0,84
0,98 0,97 0,95 0,92 0,88
1,01 1,00 0,98 0,95 0,92
1,03 1,02 1,00 0,98 0,95
Empat-lajur takterbagi (4/2 UD)
Sangat rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat tinggi (VH)
0,96 0,94 0,92 0,87 0,80
0,99 0,97 0,95 0,91 0,86
1,01 1,00 0,98 0,94 0,90
1,03 1,02 1,00 0,98 0,95
Dua-lajur takterbagi (4/2 UD) atau Jalan Satu Arah
Sangat rendah (VH) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat tinggi (VH)
0,94 0,92 0,89 0,82 0,73
0,96 0,94 0,92 0,86 0,79
0,99 0,97 0,95 0,90 0,85
1,01 1,00 0,98 0,95 0,91
(Sumber MKJI 1997)
Tabel 2.13. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Bahu Jalan/Kreb pada Jalan Perkotaan dengan Bahu (FCsf) Tipe Jalan
Empat-lajur terbagi (4/2 D)
Empat-lajur takterbagi (4/2 UD)
Dua-lajur takterbagi (4/2 UD) atau Jalan Satu Arah (Sumber MKJI 1997)
Sangat rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat Tinggi (VH) Sangat rendah (VL) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat tinggi (VH)
Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping Dan Lebar Bahu (FCsf) Lebar Bahu Jalan Efektif (ws), m ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 0,95 0,97 0,99 1,01 0,94 0,96 0,98 1,00 0,91 0,93 0,95 0,98 0,86 0,89 0,92 0,95 0,81 0,85 0,88 0,92 0,95 0,97 0,99 1,01 0,93 0,95 0,97 1,00 0,90 0,92 0,95 1,97 0,84 0,87 0,90 0,93 0,77 0,81 0,85 0,90
Sangat rendah (VH) Rendah (L) Sedang (M) Tinggi (H) Sangat tinggi (VH)
0,93 0,90 0,86 0,78 0,68
Kelas Hambatan Samping
0,95 0,92 0,88 0,81 0,72
0,97 0,95 0,91 0,84 0,77
0,99 0,97 0,94 0,88 0,82
25
Berdasarkan persamaan kapasitas ruas jalan, faktor penyesuaian ukuran kota pada jalan perkotaan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.14. Tabel 2.14. Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Ukuran Kota pada Jalan Perkotaan (FCcs) Ukuran Kota (Juta Penduduk)
Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota (FCcs)
<0,1
0,86
0,1-0,5
0,90
0,5-1,0
0,94
1,0-3,0
1,00
>3,0
1,04
(Sumber MKJI 1997)
2.10 Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai ratio volume (Q) terhadap kapaistas (C), digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan perilaku lalu lintas pada ruas jalan (Alamsyah, 2005). Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), jika tinjauan DS dilakukan untuk tinjauan tingkat kinerja, maka volume lalu lintanya dinyatakan dalam smp. Faktor yang mempengaruhi emp adalah : a. Jenis jalan, seperti jalan luar kota, atau jalan bebas hambatan. b. Tipe alinyemen, seperti medan datar, berbukit, atau pegunungan. c. Volume jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah ruas jalan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Untuk itu, perlu diperhatikan bahwa nilai derajat kejenuhan tidak melewati 0,75. Rumus umum derajat kejenuhan: DS = Q/C .................................................................................................. (2.3) dengan : DS
: derajat kejenuhan,
Q
: arus lalu lintas (smp/jam)
C
: kapasitas (smp/jam)
26
2.11 Kecepatan Tempuh Kecepatan tempuh digunakan sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakaian jalan dalam tinjauan ekonomi. Rumusan umum yang digunakan dalam menghitung waktu tempuh: V = L/TT ................................................................................................... (2.4) dengan : V
: kecepatan tempuh (km/jam),
L
: panjang segmen (km),
TT : waktu tempuh rata-rata sepanjang segmen (jam).