BAB II LANDASAN TEORI A. Etos Kerja Guru 1. Pengertian Etos Kerja Guru Apa sebenarnya “etos kerja” itu? Berikut ini akan penulis jelaskan secara rinci. Kata “etos” berasal dari Yunani ethos yang berarti “ciri sifat” atau “kebiasaan, adat istiadat” atau juga “kecenderungan moral, pandangan hidup” yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.1 Dari kata etos ini dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.2 Karena etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka hendaknya setiap pribadi harus mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang
positif
dan
ada
semacam
kerinduan
untuk
menunjukkan
kepribadiannya dalam bentuk hasil kerja serta sikap dan perilaku yang menuju atau mengarah kepada hasil yang lebih sempurna. Dengan demikian etos adalah ciri atau sifat ; sikap, kebiasaan, atau adat-istiadat; kecenderungan moral (norma) serta cara seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa dalam memandang, menghayati, meyakini dan melaksanakan sesuatu. Kerja menurut beberapa intelektual didefinisikan dengan definisi yang berbeda-beda menurut sudut pandang masing-masing. Adapun mengenai defisini kerja tersebut dapat kita perhatikan sebagai berikut :
1
Mochtar Bukhori, Pendidikan dalam Pembangunan, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994,
2
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani Pers, 2002,
hlm. 40 hlm. 15
8
9
Beberapa intelektual mendefinisikan kerja sebagai berikut : a. Abdul Aziz al-Khayyat Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan.3 Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidupnya.4 b. The Liang Gie Yang dimaksud dengan “kerja” adalah keseluruhan pelaksanaan aktivitas jasmaniah dan rokhaniah yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu atau mengandung suatu maksud tertentu.5 c. Ali Sumanto al-Khindi Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial.6 Jadi bisa penulis simpulkan bahwa kerja merupakan keseluruhan bentuk usaha manusia yang meliputi pelaksanaan aktivitas jasmaniah dan rokhaniah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik yang meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal, maupun kebutuhan psikologis yang mengarah kepada kepuasan diri, serta kebutuhan sosial yang berbentuk penghargaan masyarakat pada dirinya atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Setelah memperhatikan definisi etos dan beberapa definisi tentang kerja yang dikemukakan oleh beberapa intelektual, juga akan dikemukakan beberapa definisi tentang etos kerja sebagai suatu kesatuan makna yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya yaitu : 3
Abdul Aziz al-Khayyat, Nazrah al-Islam Lil’Amah Wa Atsaruhu Fi At Tanmiyah, atau Etika Bekerja dalam Islam, terj. Moh. Nurhakim, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm. 13 4 Ibid., hlm. 22 5 The Liang Gie, Cara Bekerja Efisien, Yogyakarta : Karya Kencana, 1978, hlm. 11 6 Ali Sumanto al-Khindhi, Bekerja sebagai Ibadah : Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan, dan Keterbelakangan Umat, Solo : CV. Aneka. hlm. 41
10
a.
Menurut Mochtar Bukhori Etos kerja artinya ialah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja, ciri-ciri atau sifat mengenai cara bekerja, yang dimiliki seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.7
b.
Menurut Abdul Razak Etos kerja dalam Islam merupakan manifestasi kepercayaan seorang muslim bahwa kerja memiliki kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah.8
c.
Menurut Toto Tasmara
d.
Etos kerja muslim itu dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya, mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.9 Menurut Pandji Anoraga Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap bangsa atau satu umat terhadap kerja.10 Dari beberapa definisi tentang etos kerja yang telah dikemukakan
oleh para intelektual di atas, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa etos kerja merupakan pandangan terhadap kerja, yaitu pandangan bahwa bekerja tidak hanya untuk memuliakan diri atau untuk menampakkan kemanusiaannya tetapi juga sebagai manifestasi amal saleh (karya produktif), yang karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur yaitu untuk memperoleh perkenan Allah. Dari pandangan inilah
kemudian
muncul sikap terhadap kerja. Etos kerja juga dapat dilihat sebagai ciri-ciri mengenai cara bekerja yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.
7
Mochtar Bukhori, op.cit., hlm. 40 Abdul Rozak, “Etos Kerja Mendorong Produktivitas Umat” Beragama di Abad Dua Satu, Eda, Azwar Anas, Jakarta : Zikrul Hakim, 1997, hlm. 208 9 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 28 10 Panji Anoraga, Psikologi Kerja, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hlm. 29 8
11
Jika dikaitkan dengan guru maka etos kerja guru dapat diartikan sebagai sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja, dan ciri-ciri mengenai cara bekerja yang dimiliki oleh seorang guru. 2. Dasar-dasar Etos Kerja dalam Islam Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja ini barangkali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna sedalamdalamnya sabda Nabi saw yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu bergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya : jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. Sabda Nabi saw yang mencerminkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut : 11
... ﻧّﻤﺎ ﻟﻜﻞ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺎﻧﻮﻯﺎﺕ ﻭﺍﻨﻴﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﺍﻧ
Artinya :“Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan ...” (HR. Bukhori Muslim). Sabda Nabi tersebut menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung pada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi-rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi-rendah nilai komitmen yang dimiliki. Adapun komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianut oleh seseorang. Karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau jika ia mengerjakannya, maka ia mengerjakannya dengan tingkat kesungguhan yang tertentu.
11
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Mukhtashar Riyadhus Sholihin, Beirut - Lebanon : Dar Ibnu Hazm, 1996, hlm. 10 – 11
12
Selain sabda Nabi di atas yang lebih menyoroti pada niat untuk melakukan suatu pekerjaan ada juga firman Allah yang berpesan untuk bekerja, yaitu dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 sebagai berikut :
ﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠ َﻪﻀ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭَﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﺮ ﻦ ﹶﻓ ﻮﺍ ِﻣﺑَﺘﻐﺽ ﻭَﺍ ِ ﺭ ﻭﺍ ﻓِﻲ ﹾﺍ ﹶﻻﺸﺮ ِ ﻧَﺘﻼ ﹸﺓ ﻓﹶﺎ ﹶﺖ ﺍﻟﺼ ِ ﻀَﻴ ِ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻗﹸ (10 : ﻮ ﹶﻥ )ﺍﳉﻤﻌﺔﺗ ﹾﻔِﻠﺤ ﻢ ﺍ ﹶﻟ َﻌﻠﱠﻜﹸﹶﻛِﺜﲑ Artinya : “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”12 (QS. alJumu’ah : 10) Jadi, maksud dari pesan itu ialah bahwa hendaknya kita beribadah sebagaimana yang diwajibkan, namun disisi lain kita juga harus mencari rizki (bekerja). Bersamaan dengan itu, kita harus senantiasa ingat kepadaNya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu, dengan menginsyafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap bentuk kerja kita.
3. Komponen Etos Kerja Lebih jelasnya mengenai pandangan terhadap kerja, sikap terhadap kerja, dan ciri-ciri mengenai cara bekerja akan penulis uraikan satu persatu sebagai berikut : a. Pandangan terhadap Kerja Islam memiliki pandangan sangat positif terhadap kerja. Pandangan yang sangat positif tersebut dapat kita lihat bahwa kerja dalam Islam bukan semata-mata untuk bekerja. Kerja juga tidak murni perkara biasa, tidak hanya perilaku duniawi, bukan sekedar mengejar gaji, juga bukan semata untuk menepis gengsi, misalnya tudingan sebagai penganggur, tetapi kesadaran kerja dalam Islam, berlandaskan semangat tauhid dan tanggung jawab ke-Tuhanan. Semua aktivitas 12
Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya : Mahkota, 1971, hlm. 933
13
keseharian
seorang
mukmin,
termasuk
kerja,
diniatkan
dan
diorientasikan sebagai ibadah untuk mencapai ridha Allah. Hal ini dikarenakan masing-masing dari mereka mengetahui maksud hadits berikut :
ﻧّﻤﺎ ﻟﻜﻞ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺎﻧﻮﻯﺎﺕ ﻭﺍﻨﻴﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﺍﻧ Artinya :“Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhori Muslim).13 Mengenai pandangan terhadap kerja yang dimiliki oleh seorang guru, WS Winkel mengatakan bahwa apakah seorang guru itu bekerja terutama untuk mendapatkan penghasilan semaksimal mungkin ataukah untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perkembangan generasi muda, pasti akan mewarnai tingkah laku guru itu, entah itu disadari atau tidak.14 Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa : “Guru yang pertama-tama memikirkan masalah pendapatan, memandang pekerjaannya sebagai sarana melulu untuk mendapatkan uang, bahkan sekolah dipandang sebagai organisasi penjamin kesejahteraan guru. Guru itu akan cenderung supaya penerimaan siswa baru ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi, cenderung memberikan pelajaran tambahan sebanyak mungkin yang dihonorkan tersendiri, dan mengajar di sekolah lain sebagai tenaga tidak tetap. Akibat lebih jauh adalah bahwa guru tidak sempat mempersiapkan pelajaran dengan baik. Sedangkan guru yang pertama-tama berniat menyumbangkan keahliannya demi perkembangan siswa akan memandang pekerjaannya sebagai sumber kepuasan pribadi, biarpun tidak lepas dari tantangan. Dia akan rela mengorbankan waktu dan tenaga lebih banyak daripada yang dituntut secara formal, sikap ini akan diketahui dan dihargai oleh siswa. Dia pun akan berusaha meningkatkan profesionalitasnya tanpa disuruh mengikuti penataran, karena tidak ingin bersikap minimalis dalam menghayati tugas pendidikan yang diserahkan kepada guru. Masalah pendapatan tentu dipikirkan juga, akan tetapi hal ini tidak mewarnai pikiran dan tindakan secara dominan.15 13
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, op.cit., hlm. 10 - 11 WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Cet. 4, Jakarta : Grasindo, 1996, hlm. 196 15 Ibid. 14
14
Dari pendapat yang telah dikemukakan oleh Winkel tersebut dapat diketahui bahwa ada dua jenis guru bila ditinjau dari cara guru tersebut memandang pekerjaannya. Jenis yang pertama yaitu, guru yang
memandang
pekerjaannya
(mengajar)
sebagai
sarana
mendapatkan penghasilan, dan jenis yang kedua yaitu guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk menyumbangkan tenaga
dan pikiran bagi generasi muda.
Tampak dalam pendapat
Winkel bahwa salah satu dari kedua jenis guru di atas lebih buruk dari yang lainnya. Hal ini bisa dilihat pada akibat yang ditimbulkan oleh pandangan masing-masing guru yang berbeda antara jenis yang pertama dengan jenis yang kedua. Jenis guru yang pertama yaitu guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana melulu untuk mendapatkan penghasilan membawa dampak pada beberapa tingkah laku yang kurang terpuji, seperti : sekolah dipandang sebagai organisasi penjamin kesejahteraan guru, pemikirannya yang lebih cenderung bahwa penerimaan siswa baru lebih didasarkan pada kemampuan ekonomi, mengajar di beberapa (banyak) sekolah lain sebagai tenaga tidak tetap agar memperoleh honor yang lebih tinggi, dan sebagainya. Adapun jenis guru yang kedua yaitu guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi perkembangan generasi muda yang akhirnya membawa dampak yang baik pada perilaku guru tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa etos kerja guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk menyumbangkan tenaga
dan pikirannya bagi generasi muda lebih baik/lebih tinggi
daripada guru yang memandang pekerjaannya sebagai sarana melulu untuk mendapatkan penghasilan. Akan tetapi, realitas yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa tidak selamanya pendapat Winkel itu benar. Bagaimanapun juga guru itu manusia biasa yang juga membutuhkan materi untuk membiayai
15
kehidupannya. Karenanya, boleh-boleh saja jika ia berpandangan bahwa mengajar itu untuk mendapatkan penghasilan selama itu tidak membawa
akibat
yang
merugikan
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan. b. Sikap atau Kebiasaan terhadap Kerja Kembali lagi pada pembahasan etos kerja. Etos kerja dalam arti sempit, merupakan sikap yang positif terhadap suatu pekerjaan. Atau adanya orientasi nilai yang memberikan semangat pada diri seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik. Menurut Carrington DJ sebagaimana dikutip oleh Nursyamsiyah Yusuf, Etos kerja mengandung beberapa makna, antara lain sebagai berikut. 1. Memandang “Kerja keras” sebagai suatu nilai kebaikan. 2. Penggunaan waktu secara mangkus (efektif), dalam arti tidak membuang-buang waktu dengan percuma 3. Memandang disiplin sebagai nilai yang baik 4. Sangat bersifat produktif 5. Memiliki rasa bangga terhadap pekerjaannya 6. Memiliki komitmen dan kesetiaan pada profesinya dan tempat mereka bekerja. 7. Berorientasi pada prestasi dan secara ajeg berusaha mencapai karir yang tinggi dan untuk kemajuan 8. Adanya nilai positif terhadap sikap hidup hemat (ekonomis), jujur, dan investasi yang benar dalam memperoleh pendapatan/ kekayaan.16 Kerja keras yang dimaksud di sini, menurut penulis adalah bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan, bekerja tanpa kenal lelah, penuh semangat, seakan hidup tak akan pernah berakhir. Efektif berarti penggunaan waktu secara tepat sehingga tercapai perbandingan yang terbaik antara usaha yang dilakukan dengan hasil yang diperoleh. Ali Imron mendefinisikan bahwa disiplin adalah suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam keadaan tertib, teratur dan
16
Nursyamsiyah Yusuf, “Motivasi Menjadi Guru dalam Kaitannya dengan Profil Kinerjanya”, Jurnal Ilmiah Kajian Pendidikan dan Kebudayaan No. 008/II/Maret, Badan Penelitian dan Pengambangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, hlm. 44- 56
16
semestinya, serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.17 Dari pengertian ini dapat diuraikan bahwa guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi akan memandang disiplin sebagai nilai yang baik, yang karenanya, ia akan selalu berusaha menerapkan kedisiplinan itu dalam kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan sekolah demi kelancaran proses pembelajaran yang ia lakukan, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan tertib, teratur, dan semestinya. Arti sebenarnya dari produktif adalah menghasilkan lebih banyak, dan berkualitas lebih baik, dengan usaha yang sama.18 Dengan demikian, diharapkan guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi akan selalu berusaha kearah yang lebih baik dan lebih baik lagi, dengan usaha yang relatif sama. Jika seseorang merasa bangga dengan pekerjaan yang dimilikinya, maka ia akan mempunyai rasa kesetiaan (loyalitas) pada profesi dan tempat mereka bekerja. Demikian ini berarti jika seseorang merasa bangga terhadap profesinya sebagai guru, maka ia akan enggan meninggalkan profesi guru dan sekolah sebagai tempat mereka bekerja. Akibatnya, ia akan selalu mengembangkan karir untuk mencapai kemajuan. c. Ciri-ciri atau Sifat mengenai Cara Bekerja KH. Toto Tasmara dalam Membudayakan Etos Kerja Islami mengatakan “Ciri-ciri orang-orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah). Secara metaforis, bahkan dapat saya katakan bahwa seorang muslim itu 17
Ali Imron, Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta : Pustaka Jaya, 1995, hlm. 183 Panji Anoraga, op.cit., hlm. 52
18
17
sangat kecanduan untuk beramal saleh. Jiwanya gelisah apabila dirinya hampa, tidak segera berbuat kesalehan. Ada semacam dorongan yang sangat luar biasa untuk memenuhi hasrat memuaskan dahaga jiwanya yang hanya terpenuhi apabila dia berbuat kesalehan tersebut.19 Menurut penulis, orang-orang yang mempunyai ciri-ciri seperti yang dimaksud oleh Toto Tasmara di atas sangatlah sedikit jumlahnya. Bahkan boleh dikata hampir tidak ada. Kalaupun ada mungkin tidak akan habis dibilang dengan hitungan jari tangan. Adapun ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja menurut Toto Tasmara dalam membudayakan etos kerja Islami akan tampak dalam sikap dan tingkah laku berikut : 1). Mereka kecanduan terhadap waktu Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. 2). Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas) Salah satu kompetensi moral yang dimiliki oleh seseorang yang berbudaya kerja Islami adalah nilai keikhlasan.
Mereka yang
mempunyai jiwa yang ikhlas akan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa motivasi lain kecuali bahwa pekerjaan itu merupakan amanat yang harus ditunaikannya sebaik-baiknya dan memang begitulah seharusnya. Motivasi unggul yang ada hanyalah pamrih pada hati nuraninya sendiri (consciene). Kalaupun ada reward atau imbalan, itu bukanlah tujuan utama, melainkan sekedar akibat sampingan (side effect) dari pengabdian dirinya yang murni tersebut. 3). Mereka kecanduan kejujuran Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti oleh sikap tanggungjawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau integritas. Kejujuran dan integritas ini bagaikan dua sisi mata uang. Seseorang tidak cukup hanya memiliki keikhlasan dan kejujuran, tetapi 19
Toto Tasmara, Membudayakan op.cit., hlm. 73.
18
dibutuhkan nilai pendorong lainnya, yaitu integritas.
Akibatnya,
mereka siap menghadapi risiko dan seluruh akibatnya dia hadapi dengan gagah berani, kebanggaan, dan penuh suka cita, dan tidak pernah terpikir olehnya untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada orang lain. 4). Mereka memiliki komitmen Yang dimaksud dengan komitmen adalah keyakinan yang mengikat sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakini. Dalam komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan, yang melahirkan bentuk vitalitas yang penuh gairah. Mereka yang memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah, karenanya, mereka hanya akan berhenti menapaki cita-citanya bila langit sudah runtuh. Bagi mereka, komitmen adalah soal tindakan, keberanian, kesungguhan, dan kesinambungan. 5). Istiqamah, kuat pendirian Istiqamah berarti berhadapan dengan segala rintangan masih tetap qiyam “berdiri”. Konsisten berarti tetap menapaki jalan lurus walaupun sejuta halangan menghadang. Seseorang yang istiqamah
tidak mudah berbelok arah, betapapun
godaan untuk mengubah tujuan begitu memikatnya, dia tetap pada niat semula. 6). Mereka kecanduan disiplin Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin, yaitu suatu sikap, perbuatan untuk selalu mentaati tata tertib. Pribadi yang berdisiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya. Mata hati dan profesi terarah pada hasil yang akan diraih sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Mereka pun mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk menerima
19
inovasi atau gagasan baru. Daya adaptabilitasnya sangat luwes dalam cara dirinya menangani berbagai perubahan yang menekan. Karena sikapnya yang konsisten itu pula, mereka tidak tertutup pada gagasangagasan baru yang bersifat inovatif. 7). Konsekuen dan berani menghadapi tantangan Ciri lain dari pribadi yang memiliki budaya kerja adalah keberaniannya menerima konsekuensi dari keputusannya.
Bagi
mereka, hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya.
Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak
manapun, karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh dirinya sendiri.
Rasa tanggung jawabnya mendorong perilakunya yang
bergerak dinamis, seakan-akan di dalam dadanya ada “nyala api”, sebuah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan dan menjaga apa yang telah menjadi keputusan atau pilihannya. 8). Mereka memiliki sikap dan percaya diri Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan ketegasan dalam bersikap. Berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. 9). Mereka orang yang kreatif Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru sehingga diharapkan hasil kinerja dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. 10). Mereka tipe orang yang bertanggungjawab Tindakan bertanggungjawab dapat didefinisikan sebagai sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah ; dengan penuh rasa cinta, ia ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan yang melahirkan amal prestatif. Mereka yang memiliki tanggung jawab ini mempersepsi pekerjaannya sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan, yang kemudian melahirkan keyakinan yang mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah.
20
11). Mereka bahagia karena melayani Mereka melayani dengan cinta, bukan karena tugas atau pengaruh dari luar, melainkan benar-benar sebuah obsesi yang sangat mendalam bahwa “aku bahagia karena melayani” 12). Mereka memiliki harga diri Seseorang yang memiliki harga diri akan selalu berbinar ketika dia ingin menyebarkan nilai manfaat. menjadikan
dirinya
sebagai
Hidupnya penuh gairah untuk
sosok
manusia
yang
senantiasa
memberikan pelayanan kepada orang lain dengan penuh cinta, dan itu mahal harganya. 13). Mereka memiliki jiwa kepemimpinan Sebagai seorang mujahid yang dituntut untuk memiliki jiwa kepemimpinan, sudah barang tentu seluruh peranan dirinya merupakan bayang-bayang dari hukum dan kehendak Allah, sehingga keputusan dan kehadiran dirinya mampu mempengaruhi orang lain, lingkungan, dan ruang serta waktu dengan butiran nilai tauhid. Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiran dirinya mampu memberikan pengaruh kepada lingkungannya. Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai personalitas yang tinggi.
Dia larut dalam keyakinannya, tetapi tidak segan untuk
menerima kritik, bahkan mengikuti apa yang terbaik.
Seorang
pemimpin bukan tipikal pengekor, terima jadi, karena sebagai seorang pemimpin, dia sudah dilatih untuk berpikir kritis analitis, karena dia sadar bahwa seluruh hidupnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana firman-Nya.
ﺼ َﺮ ﻭَﺍﹾﻟ ﹸﻔﺆَﺍ َﺩ َ ﻤ َﻊ ﻭَﺍﹾﻟَﺒ ﺴ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟ ﻚ ِﺑ ِﻪ ِﻋ ﹾﻠ َ ﺲ ﹶﻟ َ ﻴ ﻣَﺎ ﹶﻟَﻭ ﹶﻻ َﺗ ﹾﻘﻒ (36 : ﺴﺌﹸﻮ ﹰﻻ )ﺍﻻﺳﺮﺃ َﻣﻨﻪﻚ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ َﻋ َ ﹸﻛﻞﱡ ﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ
21
Artinya :”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.20 (QS. al-Isra’ : 36) Pribadi muslim yang memiliki etos kerja mempuyai pandangan jauh ke depan. Gagasan pikirannya melampaui zamannya sehingga mereka pantas disebut pemimpin yang memiliki pandangan atau wawasan ke depan (Visionary Leadheship). Mereka memiliki daya aktivitas yang sangat kuat, menghargai orang lain, dan terbuka terhadap gagasan bahkan kritik. 14). Mereka berorientasi ke masa depan Seorang pribadi yang memiliki etos kerja tidak akan berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia selalu menetapkan segala sesuatunya dengan jelas sehingga seluruh tindakannya diarahkan pada tujuan yang telah ditetapkan. 15). Hidup berhemat dan efisien Dia berhemat bukan karena ingin memupuk kekayaan sehingga melahirkan sifat kikir individualistis, melainkan karena ada satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan lurus, ada up dan down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Efisiensi berarti melakukan segala sesuatu secara benar, tepat, dan akurat. Efisien berarti pula mampu membandingkan antara besaran output dan input. Adapun efektivitas berkaitan dengan tujuan atau menetapkan hal yang benar.21 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa efisiensi berarti berkaitan dengan cara melaksanakan, sedangkan efektivitas berkaitan dengan arah tujuan. 16). Memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi Orang yang memiliki etos kerja harus memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi, yaitu kesadaran dan kemampuan yang sangat mendalam untuk 20
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur'an, op.cit., hlm. 429 Toto Tasmara, Membudayakan, op.cit., hlm. 105 – 106
21
22
melihat segala fenomena yang ada di sekitarnya, merenung dan kemudian
bergelora
semangatnya
untuk
mewujudkan
setiap
perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan realistis. Karena itu, mereka selalu melihat setiap sudut kehidupan dunia sebagai peluang kesempatan yang harus di coba. 17). Memiliki insting bertanding (fastabiqul khairat) Semangat bertanding merupakan sisi lain dari seorang muslim yang memiliki etos kerja. Panggilan untuk bertanding dalam segala lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan rasa penuh tanggung jawab sebagai pembuktian ayat al-Qur'an yang telah menggoreskan kalamnya dengan sangat motivatif, sebagaimana firman-Nya.
(148 : ﺕ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ِ ﻴﺮَﺍﺨ َ ﺳَﺘِﺒﻘﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ ﻣ َﻮﻟﱢﻴﻬَﺎ ﻓﹶﺎ َﻮﺟ َﻬ ﹲﺔ ﻫ َﻭِﻟﻜﹸ ﱟﻞ ِﻭ Artinya : ”Setiap umat ada kiblatnya (sendiri), maka hendaklah kamu sekalian berlomba-lomba (dalam kebaikan).22 (al-Baqarah : 148) Mana mungkin seseorang bisa berlomba atau bertanding apabila tidak ada gairah untuk bekerja, bergerak, dan berjuang. Untuk itu, dia tidak akan pernah menyerah pada kelemahan atau pengertian nasib dalam artian sebagai seorang fatalis.
22
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur'an, op.cit., hlm. 38
23
18). Keinginan untuk mandiri (independent) Seseorang yang mempunyai etos kerja merasa bahagia bila dapat memperoleh hasil atas usaha, karsa, dan karya yang dibuahkan dari dirinya sendiri. Karena itu, ia mempunyai keinginan yang kuat untuk mandiri. 19). Mereka kecanduan belajar dan haus mencari ilmu Kecanduan belajar dan kehausan mencari ilmu ini didasari oleh kesadaran bahwa Rasulullah mewajibkan pada setiap umatnya untuk mencari ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. Bahkan demi ilmu, dia tidak peduli sejauh mana tempat yang harus ia tempuh, walau ke negeri China. Sifat kritis dan objektivitasnya pun menyebabkan ia tidak melihat “siapa” yang mengatakan, selama yang dikatakannya adalah ilmu dan kebenaran, dia akan timba dan resapkan. 20). Memiliki semangat perantauan Salah satu ciri pribadi yang memiliki etos kerja adalah suatu dorongan untuk melakukan perantauan.
Mereka ingin menjelajahi seluruh
hamparan bumi, memetik hikmah, dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Akan tetapi, semangat perantauan tidak selamanya dibuktikan secara fisik.
Ada juga perantauan bathin yang dia peroleh dari hasil
membaca buku, menggali hikmah dan menyimak fenomena alam. Badannya tidak pergi jauh, tetapi daya imajinasinya merantau sampai ke luar batas langit, dan kemudian melahirkan berbagai gagasan kreatif. 21). Memperhatikan kesehatan dan gizi Etos kerja muslim adalah etos yang sangat erat kaitannya dengan cara dirinya memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya. 22). Tangguh dan pantang menyerah Ketangguhan dan keuletan merupakan modal yang sangat besar dalam menghadapi tantangan atau tekanan (pressure), sebab sejarah telah banyak membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah
24
pahit, namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi lingkungannya. Karena itulah, bisa dikatakan bahwa kerja keras, ulet, tangguh, dan pantang menyerah merupakan ciri dan cara dari kepribadian muslim yang memiliki etos kerja. 23). Berorientasi pada produktivitas Seorang Muslim itu seharusnya sangat menghayati makna yang difirmankan Allah dengan sangat tegas, yaitu larangan untuk bersikap mubazir karena sesungguhnya orang-orang yang berbuat mubazir adalah temannya setan. 24). Memperkaya jaringan silaturahmi Pribadi yang memiliki etos kerja akan menjadikan silaturahmi sebagai salah satu ruh pengembangan dirinya. Karena bukan saja memiliki nilai ibadah, tetapi hasilnya juga dapat dipetik di dunia, yaitu memberikan satu alur informasi yang dapat membuka peluang dan kesempatan usaha. 25). Mereka memiliki semangat perubahan Pribadi yang memiliki etos kerja sangat sadar bahwa tidak ada satu makhluk pun di bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
(11 : )ﺍﻟﺮﻋﺪ...ﻢ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﻭﺍ ﻣَﺎ ِﺑﹶﺄﺮﻳ َﻐﻴ ﻰﻮ ٍﻡ َﺣﺘ ﺮ ﻣَﺎ ِﺑ ﹶﻘ ﻳ َﻐﻴ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ ﻟﹶﺎ... Artinya :”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah keadaan diri mereka sendiri.(ar-Ra’d: 11) 23 Ayat ini mengajak kita untuk memainkan peranan, mengubah nasib, dan menempatkan diri dalam posisi yang tentu saja menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi.
23
Ibid., hlm. 370
25
4. Etos Kerja Guru Keadaan etos kerja seseorang setidak-tidaknya dapat dibidik dari cara kerjanya yang memiliki 3 ciri dasar, yaitu (1) keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya.24 Ketiga ciri dasar tersebut pada dasarnya terkait dengan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru pada umumnya, yaitu kualifikasi profesional, personal, dan sosial. Dalam pola pemahaman sistem tenaga kependidikan di Indonesia, terdapat tiga dimensi umum kompetensi yang saling menunjang membentuk kompetensi profesional tenaga kependidikan, yaitu (1) Kompetensi personal; (2) Kompetensi sosial, dan (3) Kompetensi profesional. Dilihat dari sisi ini, maka ciri dasar yang pertama tersebut di atas
terkait
dengan
kompetensi
profesional,
yakni
menyangkut
kemampuan dan kesediaan serta tekad seorang guru untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirancang melalui proses dan produk kerja yang bermutu. Ciri dasar yang kedua terkait dengan kompetensi personal, yakni ciri hakiki dari kepribadian seorang guru untuk menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaannya guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Ciri dasar ketiga terkait dengan kompetensi sosial, yakni perilaku seorang guru yang berkeinginan dan bersedia
memberikan
layanan
kepada
masyarakat
melalui
karya
profesionalnya untuk mencapai tujuan pendidikan. Al-Ghazali, seorang ulama terkenal telah memformulasikan ciriciri dan sifat-sifat guru yang diharapkan berhasil dalam menjalankan tugas-tugas kependidikannya. Berbagai sifat dan ciri-ciri tersebut sekaligus mencerminkan etos kerja guru yang diharapkan (ideal). Adapun sifat-sifat dan ciri-ciri tersebut adalah: 24
Mochtar Bukhori, op.cit., hlm. 41
26
ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻻ ﻭﱃ ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻟﺜﺎ ﻧﻴﺔ
ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ
ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻟﺮﺍ ﺑﻌﺔ
ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﳋﺎ ﻣﺴﺔ ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻟﺴﺎﺩﺳﺔ ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﺍﻟﻮﻇﻴﻔﺔ ﺍﻟﺜﺎ ﻣﻨﻪ
:ﺍﻟﺸﻔﻘﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺘﻌﻠﻤﲔ ﻭﺃﻥ ﳚﺮ ﻳﻬﻢ ﳎﺮﻯ ﺑﻨﻴﻪ :ﺃﻥ ﻳﻘﺘﺪﻯ ﺑﺼﺎ ﺣﺐ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺻﻠﻮﺍﺕ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻼ ﻣﻪ ﻓﻼ ﻳﻄﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻓﺎ ﺩﺓ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﺟﺮﺍ ﻭﻻ ﻳﻘﺼـﺪ ﺑـﻪ ﺟﺰﺍﺀ ﻭﻻ ﺷﻜﺮﺍ ﺑﻞ ﻳﻌﻠﻢ ﻟﻮﺟﻪ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ :ﺍﻥ ﻻ ﻳﺪﻉ ﻣﻦ ﻧﺼﺢ ﺍﳌﺘﻌﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎﻫﻮ ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻥ ﳝﻨﻌـﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺼﺪﻯ ﻟﺮﺗﺒﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﺳﺘﺤﻘﺎ ﻗﻬﺎ ﻭﺍﻟﺘﺸﺎ ﻏﻞ ﺑﻌﻠﻢ ﺧﻔﻰ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺮﺍﻍ ﻣﻦ ﺍﳉﻠﻰ :ﻭﻫﻰ ﻣﻦ ﺩ ﻗﺎ ﺋﻖ ﺻﻨﺎ ﻋﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻥ ﻳﺰ ﺟﺮ ﺍﳌـﺘﻌﻠﻢ ﻋﻦ ﺳﻮﺀ ﺍﻻ ﺧﻼ ﻕ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺘﻌﺮ ﻳﺾ ﻣﺎ ﺃ ﻣﻜـﻦ ﻭﻻ ﻳﺼﺮﺡ ﻭﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮ ﲪﺔ ﻻ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺘﻮ ﺑﻴﺦ :ﺃﻥ ﺍﳌﺘﻜﻔﻞ ﺑﺒﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﺒﺢ ﰱ ﻧﻔـﺲ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﱴ ﻭﺭﺍﺀﻩ :ﺃﻥ ﻳﻘﺘﺼﺮﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻋﻠﻰ ﻗﺪ ﺭ ﻓﻬﻤﻪ :ﺍﻥ ﺍﳌﺘﻌﻠﹼﻢ ﺍﻟﻘﺎ ﺻﺮ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﺍﻥ ﻳﻠﻘﻰ ﺍﻟﻴﻪ ﺍﳉﻠﻰ ﺍﻟﻼ ﺋـﻖ ﺑﻪ ﻭﻻ ﻳﺬ ﻛﺮ ﻟﻪ ﺍﻥ ﻭﺭﺍﺀ ﻫﺬﺍ ﺗﺪ ﻗﻴﻘﺎ ﻭﻫﻮ ﻳﺪﺧﺮﻩ ﻋﻨﻪ :ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﳌﻌﻠﹼﻢ ﻋﺎ ﻣﻼ ﺑﻌﻠﻤﻪ ﻓﻼ ﻳﻜـﺬ ﺏ ﻗﻮﻟـﻪ 25 ﻓﻌﻠﻪ
1). Kasih sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagaimana anak sendiri. 2). Meneladani Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan, dan penghargaan. 3). Hendaknya tidak memberi predikat/martabat kepada peserta didik sebelum ia pantas/kompeten untuk menyandangnya, dan jangan memberi ilmu yang samar (al-‘ilm al-khafy) sebelum tuntas ilmu jelas (al-‘ilm al-jaly).
25
Badawi Thobanah, Ihya’ Ulumuddin Lil Imamil Ghazali, Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, 1989, hlm. 55 – 58
27
4). Hendaknya mencegah peserta didik dari akhlak yang jelek (sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tidak tunjuk hidung 5). Guru yang memegang bidang studi tertentu hendaknya tidak meremehkan atau menjelek-jelekan bidang studi yang lain. 6). Menyajikan pelajaran kepada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka. 7). Dalam menghadapi peserta didik yang kurang mampu hendaknya diberikan ilmu-ilmu yang global dan tidak perlu menyajikan detailnya 8). Guru hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatannya. Mengenai rumusan guru yang baik Dahama dan Bhatnagar dalam Education and Comunication for Development mengatakan bahwa : “Atributtes of a good teacher are : 1. Knowledge and understanding of his subject 2. Enthusiasm about his subject 3. Interest in students 4. Have a knowledge of teaching skills 5. Broad interests and an engaging personality 6. Demanding that each student put forth his best effort 7. Encourages and motivates”26 Dalam konteks pendidikan di sekolah, rumusan al-Ghazali serta Dahama dan Bhatnagar tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami etos kerja seorang guru. Hanya saja, dalam konteks masa kini dan masa depan, yang masyarakatnya memiliki tiga karakteristik, yaitu masyarakat teknologi, masyarakat terbuka, dan masyarakat madani, etos kerja seorang guru sudah barang tentu tidak hanya berorientasi pada peningkatan kualitas dimensi personal dan sosial, tetapi juga perlu adanya keseimbangan dengan peningkatan kualitas intelektual dan profesionalnya. Karena itu, perlu adanya keseimbangan antara orientasi pendidikan yang menuntut kesalehan individu dan sosial dengan kesalehan intelektual dan profesional. “Kesalehan intelektual dan profesional dari guru pada umumnya ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (bidang keahliannya) serta wawasan pengembangannya; (3) Menguasai ketrampilan 26
O.P. Dahama dan O.P. Bhatnagar, Education and Communication for Development, New Delhi : Oxford & IBH Publishing Co, 1980, hlm. 82 – 83
28
untuk membangkitkan minat siswa kepada ilmu pengetahuan; dan (4) Siap untuk mengembang-kan profesi secara berkesinambungan, agar ilmu dan keahliannya tidak cepat tua atau out of date. Sebagai implikasinya, seorang guru akan selalu concern dan komitmen dalam peningkatan studi lanjut, mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, pelatihan, dan lain-lainya.”27 Berbagai uraian di atas menggambarkan keadaan etos kerja guru yang tinggi. Sebaliknya, terdapat prototipe guru yang keadaan etos kerjanya rendah. Hasil penelitian Wiles (1955) yang dikutip oleh Sahertian menyebutkan sejumlah prototipe guru di sekolah, antara lain (1) Guru yang malas; (2) Guru yang pudar; (3) Guru tua; (4) Guru yang kurang demokratis; dan (5) Guru yang suka menentang.28 Menurut hasil penelitian Wiles tersebut, guru yang malas kebanyakan bersumber pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan tambahan di luar untuk memenuhi kebutuhan tiap bulan. Akibatnya, etos kerjanya sebagai guru di sekolah semakin menurun. Guru yang pudar adalah guru yang jarang tersenyum, kurang humor, kurang ramah, sukar bergaul dengan orang lain, dan sebagainya. Guru tua adalah guru yang sudah terlalu lama dinas, sehingga sukar diubah. Biasanya mereka kurang percaya diri dan merasa tersaingi dengan tampilnya guruguru muda. Oleh karena itu, ia menunjukkan diri seolah-olah tinggi, padahal ia sendiri tidak ingin lagi mengembangkan dirinya agar terus bertumbuh dalam jabatannya. Guru yang kurang demokratis, yakni orang yang sudah terlalu lama bekerja yang biasanya terlalu memusatkan perhatian pada kepuasan dirinya sendiri. Rasa harga dirinya sendiri terlalu tinggi sehingga memperlakukan diri melebihi batas kebebasan orang lain, ia bersifat tidak demokratis. Guru yang suka menentang, yakni guru yang sangat kritis, sehingga ia berfikir kritis dan selalu suka mengkritik orang lain. Suka mengkritik sudah merupakan suatu kebiasaan (habit).
27
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Tera Indonesia, 2000, hlm. 295 28 Piet. A, Sahertian, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta : Andi Offset, 1994, hlm. 60
29
Kecenderungan ini tidak selalu baik bila berhadapan, baik bila dengan guru lain maupun dengan siswa karena bisa jadi menjatuhkan mental dan semangat belajar mereka untuk aktualisasi diri. Sejumlah prototipe guru tersebut barangkali dapat dipakai sebagai kerangka teoretik untuk memahami keadaan etos kerja seorang guru di sekolah-sekolah, terutama dalam konteks etos kerja yang rendah. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Guru Seseorang agaknya akan sulit melaksanakan tugas/ pekerjaannya dengan tekun dan memiliki komitmen terhadap ketiga ciri dasar yang telah tersebut di atas, jika pekerjaan itu kurang bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Cara kerja seseorang yang memandang pekerjaannya sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk memperoleh salary (gaji) dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara kerja seseorang yang memandang tugas/pekerjaanya sebagai calling professio dan amanah yang hendak dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Munculnya sikap malas, santai, dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu
pekerjaan dengan
pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, dan yang memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya.29 Etos kerja juga sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan dan budaya yang ada di lingkungan seseorang.30 Contoh nilai-nilai keyakinan, budaya, dan beberapa kebiasaan yang dapat menghambat etos kerja seseorang adalah (1) Khurafat dan takhayul, (2) Tak akan lari gunung dikejar; alon-alon asal kelakon, (3) Gampangan, Take it easy, bagaimana 29
Muhaimin, et.all., Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 118 30 H. Toto Tasmara, Etos Kerja op.cit., hlm. 125.
30
nanti sajalah, (4) Mangan ora mangan pokoke kumpul, (5) NrimaFatalistis, (6) Salah persepsi, bahwa kerja kasar itu hina, dan (7) Keyakinan akan keampuhan suatu jimat atau mascot.31 Paham fatalisme (menyerahkan semuanya kepada Tuhan) juga telah mempengaruhi etos kerja umat Islam. bahkan, muncul pula faham tasawuf yang dipinggirkan pengertiannya dari makna zuhud yang sebenarnya. Zuhud menjadi: “meninggalkan dunia dengan segala keindahan dan kelezatannya, lalu mengkonsentrasikan beribadah. Dalam kondisi yang demikian, terjadi kemerosotan etos kerja.32 Jadi jika seseorang menganut faham fatalisme (menyerahkan semuanya kepada Tuhan) dapat menyebabkan etos kerjanya menjadi lemah.
Demikian juga jika seseorang menganut faham tasawuf yang
memandang zuhud menjadi meninggalkan dunia dengan segala keindahan dan kelezatannya demi mengkonsentrasikan beribadah tentu etos kerja seseorang itu jadi lemah. Uraian di atas menggarisbawahi adanya faktor internal, antara lain sistem kepercayaan yang menjadi pandangan hidup seseorang, yang sering kali mempengaruhi dan ikut membentuk etos kerja seseorang, sehingga latar belakang terbentuknya etos kerja seorang guru, antara lain dapat dipantau dari sudut pandang tersebut. Hanya saja, suatu kenyataan empiris biasanya tidak selalu berdiri sendiri dan bersifat linier, akan tetapi merupakan akibat dari beberapa faktor. Penjelasan tentang terbentuknya etos kerja seseorang (termasuk guru) juga tidak dapat hanya dilihat dari satu sudut pandang, seperti sistem kepercayaan sebagaimana uraian tersebut di atas, karena bisa jadi faktor tersebut tidak mendukungnya, justru terdapat faktor-faktor lain yang lebih dominan. Patutlah disimak beberapa pendapat para pakar berikut ini, antara lain A. Mukti Ali yang meyatakan bahwa ada tiga hal yang ikut membentuk watak karakter dan tindak laku seseorang, yaitu sistem budaya 31
Ibid, hlm. 125-132 Rusydi AM., “Étos Kerja dan Etika Usaha: Perspektif Al-Qur’an” dalam Firdaus Effendi, dkk (ed), Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Jakarta: Nuansa Madani, 199, hlm. 98. 32
31 dan agama; sistem sosial; dan lingkungan alam dimana orang itu hidup.33 Lain lagi dengan pendapat M. Dawam Rahardjo yang menyatakan bahwa etos kerja tidak semata-mata bergantung pada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu dikembangkan adalah etos kerja ilmu pengetahuan dan komunikasi.34 Dari kedua pendapat tersebut tampaknya terdapat titik temu dalam menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Jika dikaitkan dengan etos kerja guru di sekolah, maka ada dua aspek esensial dalam menjelaskan faktor-faktor tersebut, yaitu (1) faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini atau sistem budaya, agama, dan kepercayaan, serta semangat untuk menggali informasi dan menjalin komunikasi; dan (2) faktor pertimbangan eksternal, yang menyangkut latar belakang pendidikan, sistem sosial dimana seseorang itu hidup, dan lingkungan alam yang lainnya, seperti lingkungan kerja seseorang. Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang menyangkut lingkungan kerja, secara lebih terinci HM. Arifin menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi semangat kerja, yaitu: (1). Volume upah kerja yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang, (2). Suasana kerja yang menggairahkan atau iklim yang ditunjang dengan komunikasi demokrasi yang sesuai dan manusiawi antara pimpinan dan bawahan, (3).
Penanaman sikap dan pengertian di kalangan pekerja,
(4). Sikap jujur dan dapat dipercaya dari kalangan pimpinan harus benarbenar dapat diwujudkan dalam kenyataan, (5). Penghargaan terhadap need for achievement (hasrat dan kebutuhan untuk maju) atau penghargaan terhadap yang berprestasi, 33
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987,
hlm. 172 34
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa : Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 463
32
(6). Sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan fisik, seperti tempat olah raga, Masjid, rekreasi, hiburan, dan lain-lain.35 Made Wahyu Sutedja juga berpendapat bahwa usaha untuk membangun etos kerja staf pengajar (guru) dapat dilakukan melalui : (1). Terpeliharanya rasa hidup aman dan menyenangkan; (2). Terpeliharanya kondisi kerja yang menyenangkan; (3). Terpeliharanya rasa tergolong; (4). Terpeliharanya rasa mendapatkan perlakuan yang fair ; dan (5). Terpeliharanya rasa mencapai : (a) Terpeliharanya rasa mampu mengerjakan tugas. (b) Terpeliharanya rasa dapat memberikan sumbangan yang nyata. (c) Terpeliharanya rasa maju dalam pekerjaan (d) Terpeliharanya rasa bertumbuh, dan lain-lain.36 Guru-guru
menghendaki
kehidupan
yang
aman
dan
menyenangkan. Hidup menyenangkan bukan berarti mewah (lux) melainkan mendekati standar hidup.
Orang sebetulnya ingin mampu
memiliki makanan, pakaian, keteduhan bagi keluarganya, merasa bebas dari ketakutan finansial, juga ingin makan enak, walaupun itu terjadi hanya untuk sekali waktu.
Untuk itulah seorang pemimpin dibidang
pendidikan hendaknya memikirkan bagaimana dapat menggaji guru secara memadai
agar
mereka
dapat
hidup
dalam
kondisi
aman
dan
menyenangkan. Disamping itu, guru-guru juga menghendaki pekerjaan dengan kondisi yang menyenangkan. Bagi kebanyakan orang, faktor-faktor yang dituntut untuk menjadikan suatu pekerjaan jadi menyenangkan berbeda dan bervariasi, tetapi secara umum dapat disebutkan beberapa, antara lain : lingkungan yang menarik, bersih, lengkap dengan peralatan yang
35
HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara, 2000, hlm. 283-284 36 Made Wahyu Suthedja, Bagaimana Membangun Semangat Staf Pengajar, Semarang : Satya Wacana, 1988, hlm. 14-15
33
modern, kesejahteraan pegawai yang diperhatikan, dan berjalan atas halhal yang manajerial, juga yang diingini.37 Terpeliharanya rasa tergolong juga penting untuk membangun etos kerja staf pengajar. Rasa tergolong yang dimaksud adalah rasa tergolong dalam
suatu
kelompok
dimana
mereka
melaksanakan
tugasnya.
Keinginan untuk diterima kelompok serta tetap tinggal didalamnya merupakan sesuatu hal yang dapat mendorong kegairahan kerja, dibandingkan dengan jika mereka berada di luar kelompok. Setiap orang normal tetap ingin diterima oleh kelompoknya. Bagaimana hal ini dapat diwujudkan dalam rangka membangun etos kerja staf pengajar (guru)?. Untuk mewujudkan hal ini, misalnya : 1.
Menciptakan dan mengikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial di sekolah, misalnya menjadi panitia ini dan itu, dan sebagainya.
2.
Mengikutsertakan dalam mengerjakan buku-buku personalia
3.
Mengikutsertakan dalam proyek-proyek, misalnya dalam proyek uji coba, proyek memperindah halaman dan sebagainya. Semua hal yang disebut di atas dapat membantu guru-guru untuk
menumbuhkan rasa tergolong (feeling of belonging). Hal yang tidak kalah penting dalam usaha membangun etos kerja guru adalah terpeliharanya rasa mendapatkan perlakuan yang fair : Jujur, sehat, adil, dan sebagainya. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan dalam membangun etos kerja guru adalah terpeliharanya rasa mencapai.
Guru-guru tersebut
menghendaki memiliki rasa mencapai karena mereka ingin tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang kompeten, ini berarti bahwa mereka merasa membuat sumbangan yang besar bagi suatu kegiatan, misalnya berkat melalui mereka terjadi kemajuan-kemajuan besar sehingga mereka merasa bertumbuh dalam pekerjaannya. Untuk ini dapat diperinci sebagai berikut : a. Mereka ingin merasa mampu mengerjakan tugas-tugasnya 37
Ibid., hlm. 11
34
b. Guru-guru menghendaki untuk merasakan bahwa mereka membuat suatu sumbangan yang nyata bagi masyarakat melalui pekerjaannya. c. Guru-guru menginginkan untuk merasa maju dalam pekerjaannya. d. Guru-guru menghendaki adanya rasa bertumbuh. Mengenai rasa bertumbuh ini ada tiga macam, yaitu : -
Adanya perasaan dipentingkan
-
Adanya rasa mendapat kesempatan untuk ikut merumuskan kebijaksanaan.
-
Adanya kesempatan untuk memelihara kehormatan diri sendiri.
B. Status Kepegawaian Guru 1.
Pengertian Status Kepegawaian Guru Status
kepegawaian
guru
merupakan
paduan
kata
status,
kepegawaian, dan guru yang masing-masing mempunyai arti sendirisendiri. Untuk memperoleh pengertian status kepegawaian guru terlebih dahulu perlu dimengerti apa arti status, apa arti kepegawaian, dan apa arti guru. Dalam kamus besar bahasa Indonesia status merupakan noun atau kata benda yang mempunyai arti keadaan atau kedudukan (orang, badan, dan
sebagainya)
dalam
hubungannya
dengan
masyarakat
di
38
sekelilingnya.
Kata kepegawaian yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan personnel,
sering juga disebut dengan personalia. Kata
kepegawaian sendiri berasal dari kata dasar pegawai yang berarti karyawan atau pekerja.39 Sekalipun demikian, penggunaan kata-kata tersebut cenderung berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, karena banyak dipengaruhi oleh tempat, sifat, dan lingkungan kerja dimana seseorang dipekerjakan. Seseorang yang dipekerjakan di lingkungan badan-badan pemerintah cenderung disebut pegawai atau karyawan, 38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1999, hlm. 962 39 Slamet Saksono, Administrasi Kepegawaian, Yogyakarta : Kanisius, 1988, hlm. 12
35
sedangkan apabila ia dipekerjakan di lingkungan badan-badan swasta ia cenderung disebut karyawan atau pekerja. Di dalam peraturan perundangan yang ada selama ini tidak terdapat kata karyawan melainkan kata pegawai dan pekerja.
Masing-masing
terdapat di dalam peraturan perundangan kepegawaian dan perundangan ketenagakerjaan.
peraturan
Peraturan perundangan ketenagakerjaan
banyak berlaku di perusahaan atau badan-badan swasta, sedangkan peraturan perundangan kepegawaian hanya berlaku di lingkungan badanbadan pemerintah.40 Setelah membahas arti status dan arti kepegawaian ini marilah kita membahas arti guru. Dalam pandangan masyarakat Jawa, guru bisa dilacak melalui akronim “gu” dan “ru”. “Gu” diartikan dapat digugu (dianut) dan “ru” berarti bisa ditiru (dijadikan teladan). Dengan demikian guru adalah orang yang dalam tutur kata, gerak-gerik dan perbuatannya bisa dianut dan dicontoh, tidak hanya oleh murid-muridnya tetapi juga oleh masyarakat umum. Hadi Supeno menyatakan bahwa guru adalah seorang yang karena panggilan jiwanya sebagian besar waktu, tenaga dan
pikirannya
digunakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kepada orang lain di sekolah atau lembaga pendidikan formal.41 Penulis sendiri berkesimpulan bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar di sekolah formal yang perilakunya pantas dianut dan dicontoh. Setelah membahas pengertian status, kepegawaian, dan guru sampailah kita pada pertanyaan apa yang disebut status kepegawaian guru. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis memberikan pengertian bahwa status kepegawaian guru merupakan kedudukan guru dalam mengajar di sekolah formal, baik ia dipekerjakan oleh negara (pemerintah) atau bukan (swasta). 40 41
Ibid Hadi Supeno, op.cit., hlm. 27
36
Mengenai status kepegawaian penulis berpedoman pada badan yang mempekerjakan pegawai tersebut, apakah negara (pemerintah) atau bukan (swasta).
Karena itulah status kepegawaianpun digolongkan
kedalam pegawai negeri dan bukan pegawai negeri (pegawai swasta). Definisi pegawai negeri ditetapkan dalam pasal 1 No. 1 dalam UU No. 43 Tahun 1999, dengan perumusan sebagai berikut : “Pegawai negeri adalah setiap warga negara Rapublik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42 Definisi ini tidak banyak berbeda dari definisi yang lama, yang ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1974. Hanya beberapa kata dan susunan bagian-bagian kalimat yang dirubah, tetapi pokok-pokoknya tetap sama. Definisi ini berlaku dalam pelaksanaan semua peraturan-peraturan kepegawaian dan pada umumnya dalam pelaksanaan semua peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika diberikan suatu definisi yang lain. Supaya jelas, maka definisi di atas dapat diperinci dalam lima pokok sebagai berikut : a. Warga Negara Republik Indonesia b. Memenuhi syarat-syarat yang ditentukan c. Diangkat oleh pejabat yang berwenang d. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, dan e. Digaji
menurut
peraturan-peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku. Mereka yang memenuhi syarat-syarat dalam kelima pokok tersebut termasuk pegawai negeri. Yang tidak memenuhi syarat-syarat itu tidak termasuk pegawai negeri. Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang
42
UU No. 43 Tahun 1999, Kumpulan Peraturan Kepegawaian, Jakarta: CV. Eka Jaya, 1999, hlm. 13
37
bekerja dalam jabatan negeri atau menurut istilah umum pada “kantor pemerintah” adalah pegawai negeri. Orang-orang (warga Negara Republik Indonesia), yang termasuk pegawai negeri adalah a. Pegawai negeri yang duduk dalam lembaga tinggi negara b. Pegawai negeri yang memangku jabatan tertentu dalam bidang pemerintahan c. Pegawai negeri sipil : − Yang menjabat sebagai guru − Yang bertugas di bidang (intelegen/pengamanan, sandi, kepolisian khusus) d. Pejabat Eselon V ke atas yang bertugas di bidang imigrasi, bea dan cukai, pajak, kepegawaian, pengawasan, perbendaharaan, penerangan dan hubungan masyarakat, pemeriksa keuangan dan kekayaan negara.43 2.
Penggolongan Status Kepegawaian Guru a. Guru Negeri Sebagian dari guru-guru di Indonesia adalah pegawai negeri sipil. Pegawai negeri sipil menurut pasal 2 (1). Merupakan penjabaran dari pegawai negeri, sedangkan pengertian dari pegawai negeri menurut UU No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian Bab I Pasal 1 (1) adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.44 Guru yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sebagaimana pengertian yang diungkapkan oleh Hadi Supeno, yaitu seseorang yang 43
Sastra Djatnika, dan Marsono, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1990, hlm. 232-234 44 Ibid., hlm. 14.
38
karena panggilan jiwannya, sebagian besar waktu, tenaga dan pikirannya
digunakan
untuk
mengajarkan
ilmu
pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap kepada orang lain di sekolah atau lembaga pendidikan formal.45 Jadi, guru negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan di bidang pendidikan di sekolah-sekolah formal dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku. UU No 43 Tahun 1999 juga mengemukakan kewajibankewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap pegawai negeri, yaitu : a. Kewajiban-kewajiban yang ada hubungannya dengan tugas dalam jabatan. Dalam keputusan Presiden No. 44 tahun 1974 ditetapkan tugas pokok dan fungsi-fungsi dari kesatuan-kesatuan organisasi dari departemen-departemen, seperti sekretariat jenderal, direktorat jenderal, inspektorat jenderal, badan atau pusat, dan satuan organisasi lain. Tugas-tugas pokok dan fungsi-fungsi kesatuan-kesatuan organisasi sudah barang tentu merupakan kewajiban dari para pimpinan kesatuan itu, yaitu sekretaris jenderal, direktur jenderal, inspektur jenderal, kepala badan atau pusat, dan pimpinan satuan organisasi lain untuk dilaksanakannya. Perumusan tugas pokok (dan susunan organisasi) departemen sampai dengan tingkat biro, inspektur, direktorat dan pusat, diatur dengan keputusan Presiden No. 45 Tahun 1974, sedang perumusan tugas dan fungsi biro, inspektorat dan direktorat jenderal, dan sekretariat badan, ditetapkan oleh masing-masing menteri setelah
45
Hadi Supeno, Potret Guru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 27
39
mendapat persetujuan dari menteri penertiban dan penyempurnaan aparatur negara.46 Tugas-tugas pokok dan fungsi-fungsi yang dimaksud di atas yang ditetapkan secara terinci oleh masing-masing menteri merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pegawai negeri. Sehubungan dengan guru negeri yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, maka kewajiban-kewajiban mereka secara terinci ditetapkan oleh menteri pendidikan. b. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan pegawai pada umumnya. 1. Kewajiban yang ditetapkan dalam UU No. 43 Tahun 1999 -
Taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara dan pemerintah (pasal 4 UU No. 43 Tahun 1999)
-
Mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab (pasal 5 UU No. 43 Tahun 1999)
-
Menyimpan rahasia jabatan (pasal 6 UU No. 8 Tahun 1974)
-
Mengucapkan sumpah/janji ketika diangkat menjadi pegawai negeri (pasal 26 UU No. 43 Tahun 1999)
2. Kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan diluar UU No. 43 Tahun 1999. -
Kewajiban untuk melaksanakan disiplin pegawai negeri (PP. Nomor 30 Tahun 1980)
-
Pemberitahuan jika tidak masuk kerja (surat edaran wakil perdana menteri II, tanggal 12 Juli 1954 No. 18599/54, seri No. 10/RI/1954)
-
Kewajiban menjaga keamanan rahasia negara (Surat edaran wakil perdana menteri I, tanggal 28 Agustus 1957, No. 24091/57, seri nomor 16/RI/1957
46
Sastra Djatnika, dan Marsono, op. cit., hlm. 93
40
-
Kewajiban menyimpan surat-surat rahasia
-
Tidak boleh melalaikan kewajiban, baik selama atau diluar jam kerja
-
Berpola hidup sederhana (keputusan Presiden No. 10, Tahun 1974)
-
Larangan menerima atau memberi hadiah (Keputusan Presiden No. 10, Tahun 1974)
-
Larangan bekerja dalam lapangan swasta (PP No. 6 Tahun 1974)
-
Larangan melakukan hal-hal yang dilarang oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Pidana
-
Larangan korupsi (UU No. 3, Tahun 1971)
-
Larangan berjudi (Instruksi No. 13 Tahun 1973).47
Disamping kewajiban, UU No 43 Tahun 1999 juga mengatur hak pegawai negeri yaitu 1. Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. { pasal 7 (1) } 2. Setiap pegawai negeri berhak atas cuti. (pasal 8) 3. Setiap pegawai negeri yang ditimpa oleh suatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan. {pasal 9 (1)} 4. Setiap pegawai negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat
rohani
dalam
dan
karena
menjalankan
tugas
kewajibannya yang mengakibat-kannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga, berhak memperoleh tunjangan. {pasal 9 (2)} 5. Setiap pegawai negeri yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka. {pasal 9 (3)}
47
Disarikan dari Sastra Djatnika dan Marsono, Ibid., hlm. 124-144
41
6. Setiap pegawai negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun. (pasal 10).48 b. Guru Swasta Sebagaimana telah diungkapkan oleh Hadi Supeno, guru adalah seseorang yang karena panggilan jiwanya sebagian besar waktu tenaga
dan
pikirannya
digunakan
untuk
mengajarkan
ilmu
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kepada orang lain di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya.49 Guru swasta adalah mereka yang tersebut sebagaimana di atas, tetapi tidak berstatus negeri, jadi mereka tidak termasuk pegawai negeri sipil. Melihat isi Anggaran Rumah Tangga Yayasan Pendidikan Islam As-Salafiyah Rembang pasal 1 ayat (5) yang mengatakan bahwa :”Untuk melaksanakan tertib administrasi organisasi dan pendidikan, pengurus harian berhak mengangkat atau memberhen-tikan seorang wakamad/guru/ karyawan atas usul kepala madrasah baik Tsanawiyah atau Aliyah”; pasal 7 ayat (2) yang berbunyi :”Setiap orang yang memenuhi
persyaratan
yang
telah
ditentukan,
sesuai
dengan
kebutuhan, mempunyai kesempatan untuk melamar menjadi guru atau karyawan pada madrasah ini lewat kepala madrasah”; juga pasal 9 ayat (2) yang mengemukakan bahwa : ”Pengangkatan seseorang menjadi guru/karyawan pada madrasah ini dilakukan oleh Yayasan atas usul Kepala Madrasah”.50, penulis menyimpulkan bahwa guru swasta adalah mereka yang telah memenuhi persyaratan yang telah di tentukan, sesuai dengan kebutuhan madrasah, diangkat oleh pengurus harian Yayasan atas usul kepala madrasah dan diserahi tugas
48
Marsono, Pembahasan Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1974; hlm. 49 Ibid., hlm. 27 50 AD/ART Yayasan Pendidikan Islam, As-Salafiyah MTs, MA, M3R, Rembang : YAPIS, 1998, hlm. 1- 4
42
kependidikan di sekolah-sekolah formal yang bestatus swasta, termasuk madrasah swasta. Adapun persyaratan menjadi guru yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Rela Membantu peserta didik untuk berkembang b. Memahami tujuan umum pendidikan c. Dapat menggunakan alat-alat pendidikan dan pengajaran dengan baik dan benar. d. Dengan suka rela dan atas kemauannya sendiri bersedia mengabdikan diri pada madrasah ini. e. Rela melakukan tugas yang didelegasikan kepadanya dengan baik. f. Sanggup mentaati segala peraturan dan tata tertib madrasah ini g. Sanggup menjadi teladan yang baik bagi peserta didik h. Sanggup bekerja sama dengan guru lain dan karyawan madrasah. i. Sanggup berlaku adil dan jujur secara terbuka hanya karena Allah.51 Sebagaimana guru negeri, guru swasta juga mempunyai beberapa kewajiban dan hak.
Kewajiban-kewajibannya sebagai
berikut : 1. Setiap Guru dan karyawan madrasah ini wajib setia dan taat kepada segala peraturan yang telah ditetapkan oleh yayasan 2. Setiap guru dan karyawan berkewajiban melaksanakan tugas yang didelegasikan padanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab 3.
Setiap guru dan karyawan berkewajiban menyimpan rahasia jabatannya dan hanya mengungkapkan rahasia itu kepada dan atas petunjuk pimpinan.
51
Ibid., hlm. 2
43
4.
Setiap guru dan karyawan harus berbusana muslim/muslimah, rapi dan sopan. Bagi pria berpeci hitam dan bagi wanita berjilbab dan bawahan berupa maxi (tidak berbentuk celana)
5.
Setiap guru dan karyawan yang berhalangan hadir harus mengajukan surat idzin, bagi guru wajib memberikan tugas pada kelas yang ditinggalkan.52
Adapun hak-hak yang dimiliki oleh guru swasta sebagai berikut : 1. Setiap guru dan karyawan berhak menerima bisyaroh yang layak sesuai dengan kondisi keuangan yayasan. 2. Bagi ibu guru dan karyawati berhak atas cuti hamil sebulan sebelum melahirkan dan dua bulan sesudahnya. 3. Setiap guru dan karyawan yang ditimpa musibah dalam menjalankan tugas berhak memperoleh bantuan perawatan. 4. Setiap guru dan karyawan yang tertimpa musibah dalam menjalankan tugas yang berakibat cacat jasmani atau rokhani sehingga
tidak
dapat
meneruskan
pekerjaannya
berhak
mendapatkan santunan. Adapun besarnya santunan disesuaikan dengan kondisi keuangan yayasan. 5. Setiap guru atau karyawan yang meninggal dunia, keluarganya berhak mendapatkan uang duka sebesar tiga kali bisyarohnya. 6. Setiap guru dan karyawan berhak hadir dalam musyawarah/rapat dan mempunyai hak berbicara/berpendapat. 7. Setiap guru dan karyawan yang menjalankan tugas ke luar kota berhak memperoleh ongkos jalan.53 C. Hubungan Status Kepegawaian dan Etos Kerja Guru Dari paparan tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak guru negeri dan guru swasta ada hal menarik yang patut untuk disimak yaitu tentang hak pegawai negeri, termasuk guru negeri yang berhak mengajukan pensiun sebagai jaminan di hari tua, sedangkan guru swasta tidaklah demikian. Hal ini 52 53
Ibid., hlm. 3 Ibid.
44
tentu saja berakibat bahwa guru negeri lebih konsentrasi dalam bekerja (mengajar) dan melaksanakan tugas kependidikan lainnya karena adanya jaminan di hari tuanya, sedangkan guru swasta harus menghasilkan uang lebih banyak lagi untuk dapat ditabung sebagai jaminan hari tuanya. Untuk tujuan ini guru swasta harus mengajar di banyak sekolah atau harus banyak memiliki pekerjaan sambilan lainnya. Akibatnya, etos kerja guru swasta menjadi kurang maksimal jika dibandingkan dengan guru negeri. D. Hipotesis Berdasarkan hal tersebut di atas, sampailah pada dugaan sementara (hipotesis) yang akan diuji kebenarannya melalui analisis statistik pada bab IV, yaitu “etos kerja guru negeri lebih tinggi daripada etos kerja guru swasta di Madrasah Aliyah se Kabupaten Rembang”.