BAB II LANDASAN TEORI
Bab II ini menjelaskan beberapa konsep yang terkait dengan penelitian tentang pengaruh jumlah penduduk dan pengangguran terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2010. 2.1.
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka terdiri atas teori-teori yang menyangkut penelitian
mengenai pengaruh jumlah penduduk dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2010. Teori-teori yang ditulis adalah teori mengenai kemiskinan, ukuran kemiskinan, aspek dan karakteristik kemiskinan, pertumbuhan penduduk dan pengangguran. 2.1.1
Kemiskinan
“Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan”.1 Menurut para ahli membedakan empat macam kemiskinan. “Empat macam kemiskinan tersebut ialah : 1. Kemiskinan absolut menunjukan keadaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang taraf hidupnya (pendapatannya) begitu rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. 2. Kemiskinan relatif berkaitan dengan pembagian pendapatan nasional diantara berbagai lapisan masyarakat, yaitu berapa bagian (%) yang diperoleh golongan masyarakat yang satu dibandingkan dengan kelompokkelompok masyarakat lainnya. 3. Kemiskinan struktural menunjuk pada ketidakmampuan warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang disebabkan oleh (sebagai akibat dari) struktur masyarakat yang menghalanginya. 1
Wikipedia, kemiskinan, http://id.wikipedia.org/wiki/kemiskinan, 25/07/2012
4. Kemiskinan sosial budaya ialah kemiskinan yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat”.2 2.1.2
Ukuran Kemiskinan Ada beberapa tolok ukur yang dikembangkan oleh para ahli ekonomi
untuk mengukur tingkat kemiskinan masyarakat : 1. Setara dengan beras. Batasan atau ukuran kemiskinan yang diajukan oleh Prof.Sayogyo dan disesuaikan dengan perkembangan zaman oleh Sucipto Wirasarjana menggunakan tingkat konsumsi atau pengeluaran setara sejumlah kilogram beras orang pertahun. Menurut Badan Pusat Statistik, batas garis kemiskinan dihitung dalam Rp per kapita per bulan. 2. Kebutuhan fisik minimum, adalah kebutuhan hidup (makanan, minuman, pakaian, rumah, dsb) selama satu bulan bagi seorang pekerja, yang diukur dalam uang berdasarkan jumlah kalori, protein, vitamin dan bahan mineral lainnya yang diperlukan untuk hidup layak, yang dinyatakan daam rupiah. Tolok ukur ini sering dipakai oleh instansi pemerintah dan organisasi buruh unuk menilai wajar tidaknya tingkat upah karyawan. 3. Badan Pusat Statistik menggunakan tolok ukur dari Bank Dunia, yaitu ratarata pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2100 kalori per hari (kelompok makanan) ditambah dengan kebutuhan (bukan makanan) minimal lainnya yang mencakup perumahan, pakaian, kesehatan dan pendidikan. (secara normal seseorang membutuhakan 2400 kalori dan 45 gram protein sehari).
2
Gilarso T, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2004, hlm 326-328
4. Ukuran kemiskinan relatif (tingkat ketimpangan distribusi pendapatan atau relative inequality) yang palig banyak digunakan adalah Indeks Gini, yang mengukur berapa persen penduduk mendapat berapa persen dari pendapatan nasional. 2.1.3
Aspek dan Karakteristik Kemiskinan
“Menurut Andre Bayo Ala ada beberapa aspek kemiskinan yaitu : 1. Kemiskinan itu multi dimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang tidak sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan pendidikan yang juga kurang baik. 2. Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak.hal ini berarti bahwa kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau kmunduran pada aspek lainnya. 3. Bahwa kemiskinan adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif”.3 Suatu hasil studi yang dikutip oleh emil salim mengemukakan 5 karakteristik kemiskinan. “5 karakteristik kemiskinan tersebut adalah : 1. Mereka yang hidup dibawah kemiskinan pada umumnyatidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup modal, ataupun ketrampilan. 2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. 3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, tak sampai tamat Sekolah dasar (SD). 4. Banyak iantara mereka tidak mempunyai tanah, kalaupun ada tetapi relatif sempit. 5. Banyak diantara mereka yang hidup dikota masih berusia muda tidak mempunyai ketrampilan atau pendidikan”.4
3 4
Lincolin Arsyad, op.cit. hal 69 Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan, Penerbit BP STIE, Yogyakarta, 1998, hlm 69-70
2.1.4
Pertumbuhan Penduduk
“Menurut Maltus kecenderungan umum penduduk suatu negara untuk tumbuh menurut deret ukur yaitu dua-kali lipat setiap 30-40 tahun”.5 Pada saat yang sama, karena hasil yang menurun dari faktor produksi tanah, persediaan pangan hanya tumbuh menurut deret hitung. Oleh karena pertumbuhan persediaan pangan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan tinggi, maka pendapatan perkapita (dalam masyarakat tani didefinisikan sebagai produksi 24 pangan perkapita) akan cenderung turun menjadi sangat rendah, yang menyebabkan jumlah penduduk tidak pernah stabil, atau hanya sedikit diatas tingkat subsiten. Cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Beberapa ekonom mencoba mengkalkulasi indikator Jurang Kemiskinan Total (TPG) yaitu : TPG = 𝐻 𝑖=1(𝑌𝑝 − 𝑌𝑖).......................................................(2.1) TPG mengukur seberapa jauhkah pendapatan kelompok miskin berada di bawah garis kemiskinan dengan cara menjumlahkan pendapatan orang miskin (Yi) yang berada dibawah garis kemiskinan absolut (Yp) Ukuran Foster-Greer-Thorbecke 1
Pα = 𝑁
𝑌𝑝−𝑌𝑖 𝛼 𝐻 ...........................................................(2.2) 𝑖=1 椠𝑝
Dimana : Yi adalah pendapatan dari orang miskin ke-i, Yp adalah garis kemiskinan N adalah jumlah penduduk (populasi) Indeks Pα mempunyai bentuk yang berbeda-beda, tergantung pada nilai α. Jika: • α = 0, maka diperoleh Head Count Index ( 0 P ), yaitu persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. • α = 1, maka diperoleh Poverty Gap Index ( 1 P ), yaitu indeks kedalaman kemiskinan, merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masingmasing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indek, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. • α = 2, maka diperoleh Poverty Severity ( 2 P ), yaitu indeks keparahan kemiskinan, yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran 5
Ibid. Hal. 92
antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indek, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. 6 2.1.4
Pengangguran Secara umum, pengangguran didefiniikan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja (labor force) tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaaan. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi secara aktif mencari pekerjaan tidak dapat digolongkan sebagai penganggur. “Oleh sebab itu pengangguran dibedakan atas 4 jenis berdasarkan sebabsebab timbulnya pengangguran, antara lain: 1. Pengangguran friksional atau transisi (frictional or transitional unemployment), yaitu pengangguran yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan di dalam syarat-syarat kerja, yang terjadi seiring dengan perkembangan atau dinamika ekonomi yang terjadi. Jenis pengangguran ini dapat pula terjadi karena berpindahnya orang-orang dari satu daerah ke daerah lain, atau dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, aau melalui berbagai tingkat siklus kehidupan yang berbeda. 2. Pengangguran struktural (crtuctural unemployment), yaitu pengangguran yang terjadi akibat adanya perubahan di dalam struktur pasar tenaga kerja yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara penawaran dan ermintaan tenaga kerja. 3. Pengangguran alamiah (natural unemployment) atau lebih dikenal dengan istilah tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) adalah tingkat pengangguran yang terjad pada kesempatan kerja penuh (Sachs and Larrain, 1993 : 456). 4. Pengangguran konjungtur atau siklis (cyclical unemployment), yaitu pengangguran yang terjadi sebagai akibat merosotnya kegiatan ekonomi atau karena terlampau kecilnya permintaan efektif agregat di dalam perekonomian dibandingkan dengan penawaran agregat”.7 Selain
pembedaan
seperti
yang
dikemukakan
sebelumnya,
jenis
pengangguran khususnya di negara-negara sedang berkembang (develiping countries) dapat pula dbedakan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikut : 6
Todaro, Michael P, 2006, Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan, Terjemahan Haris Munandar, Penerbit Erlangga, Jakarta. 7 Muana Nanga, Makro Ekonomi: Teori, Masalah, dan Kebijakan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 254-256
1. Pengangguran terselubung (disguised unemployment), yaitu pengangguran yang terjadi apabila dalam suatu kegiatan perekonomian jumlah tenaga kerja sangat berlebihan. 2. Pengangguran musiman (seasonal unemployment), yaitu pengangguran yang terjadi pada waktu-waktu tertentu di dalam satu tahun. 3. Setengah pengangguran (underemployment), yaitu pengangguran yang bekerja dalam jumlah waktu yang terbatas. “Sedangkan menurut Edgar O. Edwards membedakan 5 bentuk pengangguran yaitu : 1. Pengangguran terbuka (open unemployment), yaitu baik sukarela (mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik) maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja tetapi tidak memeroleh pekerjaan) 2. Setengah pengangguran (under unemployment), adalah mereka yang bekerja lamanya (hari, minggu, musiman) kurang dari yang mereka bisa kerjakan. 3. Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh, yaitu mereka yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah menganggur. 4. Tenaga kerja yang lemah (impaired), yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan. 5. Tenaga kerja yang tidak produktif, yaitu mereka yang mampu bekerja secara produktif tetapi karena sumberdaya-sumberdaya penolong kurang meadai maka tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik”.8 “Pengangguran dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain: 1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income poverty rate dengan consumption poverty rate. 2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek”.9 8 9
Lincolin Arsyad, op.cit. hal. 112-113 Tulus H. Tambunan, Perekonomian Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.
Ada hubungan yang erat sekali antara tingginya tingkat pengangguran, luasnya kemiskinan, dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Licolind Arsyad (1997) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat sekali antara tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Bagi sebagian besar mereka, yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap atau hanya bekerja paruh waktu (part time) selalu berada diantara kelompok masyarakat yang sangat miskin. Mereka yang bekerja dengan bayaran tetap di sektor pemerintah dan swasta biasanya termasuk diantara kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Namun demikan, adalah salah jika beranggapan bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin, sedang yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Hal ini karena kadangkala ada pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. 2.2. Pengaruh Variabel Indepeden dan Dependen 2.2.1 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Kemiskinan Menurut Todaro (2006) bahwa besarnya jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Hal itu dibuktikan dalam perhitungan indek Foster Greer Thorbecke (FGT), yang mana apabila jumlah penduduk bertambah maka kemiskinan juga akan semakin meningkat. 2.2.2 Pengaruh Pengangguran Terhadap Kemiskinan
Licolind Arsyad menyatakan bahwa ada hubungan yang erat sekali antara tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Bagi sebagian besar mereka, yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap atau hanya bekerja paruh waktu (part time) selalu berada diantara kelompok masyarakat yang sangat miskin. Mereka yang bekerja dengan bayaran tetap di sektor pemerintah dan swasta biasanya termasuk diantara kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin, sedangkan yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Kadangkala ada juga pekerja diperkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik dan yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan-pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber-sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. Orang-orang seperti ini bisa disebut menganggur tetapi belum tentu miskin. Sama juga halnya adalah, banyaknya induvidu yang mungkin bekerja secara penuh per hari, tetapi tetap memperoleh pendapatan yang sedikit. Banyak pekerja yang mandiri disektor informal yang bekerja secara penuh tetapi mereka sering masih tetap miskin. 2.3. Penelitian Terdahulu 2.3.1 Penelitian yang dilakukan oleh Whisnu Adhi Saputra (2011) yang
berjudul “Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, IPM, Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa
Tengah tahun 2004 - 2008” bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh jumlah penduduk, PDRB, IPM, pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode Panel Data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk, PDRB, IPM, pengangguran dan kemiskinan. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa variabel Jumlah Penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, PDRB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, dan Pengangguran berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. 2.3.2 Penelitian yang dilakukan oleh Ravi Dwi Wijayanto (2010) yang
berjudul “Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan, Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Jawa Tengah Tahun 2005 - 2008” bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh PDRB, Pendidikan, Pengangguran terhadap tingkat kemiskinan Di Jawa Tengah Tahun 2005 – 2008. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa Variabel PDRB
mempunyai
pengaruh
negatif
dan
tidak
signifikan
mempengaruhi kemiskinan, Variabel Pendidikan (melek huruf) mempunyai
pengaruh
negatif
dan
signifikan
mempengaruhi
kemiskinan, Variabel Pengangguran mempunyai pengaruh negatif dan signifikan mempengaruhi kemiskinan. 2.4. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan kerangka pemikiran yang skematis sebagai berikut: Jumlah Penduduk (X1) Tingkat Kemiskinan (Y) Pengangguran (X2) Gambar 2.1 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah bahwa kemiskinan dipengaruhi oleh dua variabel independen, antara lain jumlah penduduk dan tingkat pengangguran. Jumlah penduduk dalam pembangunan ekonomi suatu daerah merupakan permasalahan yang kompleks. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan tidak merata dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan ekonomi yaitu kesejahteraan rakyat serta menekan angka kemiskinan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah masalah pengangguran. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan lapangan kerja yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada di suatu daerah menjadi semakin serius. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi
pendapatan masyarakat,
dan itu akan mengurangi
tingkat
kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunnya tingkat kemakmuran yang akan menimbulkan masalah kemiskinan. Variabel-variabel tersebut sebagai
variabel independen (bebas) dan bersama-sama, dengan variabel dependen (terikat) yaitu kemiskinan yang diukur dengan alat analisis regresi untuk mendapatkan tingkat signifikansinya. Dengan hasil regresi tersebut diharapkan mendapatkan
tingkat
signifikansi
setiap
variabel
independen
dalam
mempengaruhi kemiskinan. Selanjutnya tingkat signifikansi setiap variabel independen
tersebut
diharapkan
mampu
memberikan
gambaran
kepada
pemerintah dan pihak yang terkait mengenai penyebab kemiskinan di Jawa Tengah untuk dapat merumuskan suatu kebijakan yang relevan dalam upaya pengentasan kemiskinan. 2.4
Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara/ kesimpulan yang diambil untuk
menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang sebenarnya harus diuji secara empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Jumlah Penduduk terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah berpengaruh positif. Tanda positif dalam hipotesis penelitian tentang pengaruh jumlah penduduk dan pengangguran terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2010 adalah mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat kemiskinannya. 2. Pengangguran terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah berpengaruh positif.
Tanda positif dalam hipotesis penelitian tentang pengaruh jumlah penduduk dan pengangguran terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2010 adalah mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengangguran, maka semakin tinggi pula tingkat kemiskinannya.