BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari, Tarigan (2015:3). Dalam kegiatan berbicara berbahasa Jawa bukan sekedar kegiatan mekanis saja, melainkan merupakan kegiatan menangkap maksud dari kelompok kata yang membawa makna. Proses menangkap maksud tersebut berkaitan dengan pemahaman dalam berbicara berbahasa Jawa. Penelitian-penelitian yang dilakukan seorang peneliti tidak lepas dari peneliti sebelumnya, maka biasanya suatu penelitian mengacu pada penelitian yang sudah ada, atau mengacu pada penelitian sebelumnya. Dengan demikian, peninjauan terhadap peneliti lain sangat penting sebab bisa digunakan untuk mengetahui relevansi penelitian yang lampau dengan peneltian yang akan datang. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dan relevan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: Penelitian Suprapti dalam tesisnya yang berjudul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui Penggunaan Metode Role Playing (PTK pada Siswa Kelas VIII B MTs Negeri Kebumen Tahun Ajaran 2009/2010)” di Program Pascasarjana UNS, penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini karena sama-sama meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas VIII dengan menggunakan metode bermain peran. Metode yang digunakan Suprapti metode role playing dan subjek siswa kelas VIII MTsN. Sedangkan dalam penelitian ini meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama. Penelitian yang dilakukan oleh Hartiningrum berjudul “Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa dengan Menggunakan Metode Bermain Peran (Role Playing) pada siswa kelas TKJ SMK Kosgoro 1 Sragen. Dalam penelitiannya ini, masalah yang diangkat: (1) adakah peningkatan kemampuan berbicara Bahasa Jawa Krama siswa kelas X teknik computer jaringan SMK Kosgoro 1 Sragen setelah mendapatkan pembelajaran Bahasa Jawa dengan menggunakan metode bermain peran?,(2) bagaimana
8
9
implementasi metode bermain peran dalam pembelajaran Bahasa Jawa krama? Hasil penelitian
menunjukan
metode
pembelajaran
role
playing
ternyata
mampu
meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa. Hal ini dpat dilihat dari jumlah siswa yang mengalami ketuntasan belajar dari siklus I hingga siklus IV. Disamping itu, terjadi peningkatan nilai rata-rata keterampilan berbicara Bahasa Jawa krama dari siklus I hingga siklus IV. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa penerapan metode role playing mampu meningkatkan intensitas belajar. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hartiningrum adalah sama-sama mengangkat aspek berbicara Bahasa Jawa dan menggunakan metode bermain peran. Berbeda dengan penelitian Hastiningrum, dalam penelitian ini berkait dengan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun. Supartinah (2012) melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa di Kelas V SDN Lempuyangan III Yogyakarta dengan Bercerita Gambar Seri. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan subjek penelitian pada kelas V SD Lempuyangan. Aktifitas penelitian meliputi (1) menentukan fokus dari permasalahan penelitian, (2) merencanakan tindakan, (3) menerapkan tindakan, (4) mendeskripsikan hasil observasi, (5) refleksi, (6) evaluasi dan refleksi dan (7) kesimpulan dari hasil penelitian. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskripsi secara statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi bercerita gambar seri dalam pembelajaran keterampilan berbicara Bahasa Jawa dapat meningkatkan intensitas keaktifan siswa. Keterampilan berbahasa Jawa siswa juga mengalami peningkatan meskipun hasilnya tidak meningkat secara maksimal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Supartinah terletak pada metode yang digunakan. Metode bercerita gambar seri merupakan strategi pembelajaran
dalam
penelitian
Supartinah,
sedangkan
dalam
penelitian
ini
meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun. Penelitian yang dilakukan oleh Parmi (2009) dengan judul “Penggunaan Media Visual Gambar untuk Meningkatkan Kemampuan Bercerita Siswa Kelas IV Sekolah dasar Negeri Kradegan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri”. Masalah yang
10
diangkat adalah (1) Apakah penggunaan media visual gambar dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran berbicara siswa kelas IV SD Negeri Kradengan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri?, (2) Apakah penggunaan media visual gambar dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas IV SD Negeri Kradengan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Hasil penelitiannya adalah (1) Proses pembelajaran berbicara di kelas IV SD Negeri Kradengan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan media visual gambar denah yang dilaksanakan sebanyak tiga siklus, dan masing-masing siklus menggunakan media visual gambar denah yang berbeda dan disesuaikan dengan kompetensi dasar ternyata dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa; (2) Kemampuan berbicara siswa kelas IV SD Negeri Kradengan, Kecamatan Jatisrono, Kabupten Wonogiri dapat meningkat. Hal ini ditunjukkan dari hasil rerata tes kemampuan berbicara pada kondisi awal 71,45 tingkat ketuntasan leksikal 18,2%. Pada siklus I, nilai rerata 73,97 tingkat ketuntasan klasikal 48,5%. Pada siklus II, nilai rerata 75,03 tingkat ketuntasan klasikal 72,7%. Pada siklus III, nilai rerata 76 tingkat ketuntasan klasikal 87,9%. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Parmi adalah sama-sama mengangkat aspek berbicara bahasa Jawa.Dalam penelitian Parmi ini, penggunaan media visual gambar untuk meningkatkan kemampuan bercerita siswa kelas IV Sekolah dasar Negeri Kradegan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Berbeda dengan penelitian Parmi, dalam penelitian ini berkait dengan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kebumen. Dalam penelitian tindakan kelas, kaitannya dengan penerapan metode pembelajaran Bahasa Jawa krama, I. N. Gd. Wiastra (2012) melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Metode Bermain Peran untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas IX.3 SMP Negeri 2 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013”. Metode bermain peran merupakan metode simulasi bermain peran secara kelompok untuk melatih siswa berkomunikasi dalam bentuk peragaan peristiwa secara bergiliran yang dilaksanakan di dalam kelas atau di luar kelas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian siswa kelas IX.3 SMP Negeri 2 Denpasar sebanyak 42 orang, dilaksanakan dalam dua siklus.
11
Persamaan penelitian ini dengan PTK yang ditulis peneliti adalah sama-sama meningkatkan kemampuan berbicara dengan metode bermain peran. Perbedaan dalam penelitian ini adalah dalam penelitian ini meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kabupaten Kebumen. Penelitian yang dilaksanakan oleh Shuqin dengan judul penelitian “The Students Improve Their Speaking Ability In The Speaking and Listening Part in the Class of Integrated Skills of English”. Penelitian tersebut merupakan penelitian tindakan pada mahasiswa di Guyuan College tahun 2002. Dalam penelitian tersebut Shuqin ingin meningkatkan keterampilan berbicara dan mendengarkan pada Kelas Keterampilan Terpadu Bahasa Inggris dengan menggunakan berbagai metode yang bervariasi. Metode tersebut adalah bekerja berpasangan, kelompok, melakukan presentasi individu atau kelompok untuk memecahkan berbagai masalah.Mahasiswa yang pada awalnya pasif hanya mendengarkan dan membaca setelah adanya tindakan menjadi aktif dalam berbicara, percaya diri, dan kemampuan berpikir semakin membaik karena metode yang digunakan bervariasi. Penelitian yang dilakukan Shuqin relevan dengan penjelitian ini karena sama-sama meningkatkan keterampilan berbicara dengan penelitian tindakan. Shuqin menggunakan metode kelompok dan presentasi, begitu pula yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode sosiodrama dilaksanakan dalam kelompok lalu mempresentasikan hasil bermain peran dalam kelompok. Hasil dari kedua penelitian tersebut sama-sama meningkatkan motivasi dan kerja sama dalam keterampilan berbicara. Judit Kerekes dan Kathleen P. King pada tahun 2010 melakukan penelitian dengan judul “The King’s carpet: Drama Play In teacher education”. Penelitian Judit dan Kathleen ini mendiskripsikan dan mendiskusikan bagaimana empat kandidat guru melakukan inisiatif dalam ekstra permainan drama untuk membantu meningkatkan pengalaman, kemampuan, dan belajar konsep ilmu pasti interdisiplin konteks pada siswa sekolah dasar. Penelitiannya membahas tentang memainkan drama yang dikembangkan dan diimplementasikan dengan metode yang digambarkan dalam kasus yang dijabarkan dalam penelitian tersebut. Hasil penelitiannya ternyata membuka banyak kesempatan penting bagi guru dan peserta didik saat ini. Mengembangkan pelajar muda yang memiliki gairah untuk belajar sebagai relevan, interdisipliner,
12
penemuan yang melibatkan kreatifitas dan lain-lain adalah sesuatu yang signifikan ke depan dalam mengembangkan pemikir independen dan pemimpin yang cerdik. Hasil penelitiannya juga memberikan langsung pengantar problem posing, penelitian pemecahan masalah, dan berpikir kritis yang penting untuk menunjang kesuksesan sebagai guru dan siswa abad ke -21. Penelitian yang dilakukan Judit Karekes dan Kathleen P. King memang memiliki kesamaaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama menggunakan metode bermain peran dalam pembelajaran. Perbedaan dalam Penelitian Judit Karekes dan Kathleen P. King dilakukan pada siswa Sekolah Dasar. Sedangkan dalam penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas VIII. Perbedaan selanjutnya dalam penelitian Judit Karekes dan Kathleen P. King merupakan penelitian studi kasus, sedangkan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Peningkatkan Keterampilan Bercerita tentang Pengalaman Pribadi dengan Menggunakan Metode Sosiodrama Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun”. Penelitian dengan judul “An Action Recearch on the Application of Cooperative Learning to Teaching Speaking” yang dilakukan oleh Thi Bich Thuy tahun 2005 relevan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut menyatakan dalam penelitian tindakan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut menyatakan dalam penelitian tindakan dengan penerapan kooperatif melalui pembelajaran bahasa dapat meningkatkan salah satunya adalah keterampilan berbicara siswa. Penelitian tersebut terdiri dari tiga siklus dan pada siklus ketiga terjadi peningkatan yang cukup signifikan sehingga keterampilan berbicara tercapai. Penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini karena melakukan penelitian terdiri dari tiga siklus dan pada siklus ketiga terjadi peningkatan yang cukup signifikan sehingga meningkatkan keterampilan berbicara tercapai. Perbedaan dalam penelitian Thi Bich Thuy menggunakan model pembelajaran kooperatif dan tindakan kelas. Sedangkan dalam penelitian ini meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kebumen. Penelitian lain“Motivating Students Speaking Skill Thorough Simulation in Engglish for Spesifik Purpose”. Dilaksanakan oleh Taksuriya Madsa berasal dari
13
Rattaphun College Rajamangala tahun 2012. Dalam penelitian tersebut bertujuan meningkatkan keterampilan berbicara untuk tujuan khusus dengan menggunakan simulasi dalam memotivasi siswa agar memiliki minat yang tinggi dalam belajar. Dengan pengumpulan data observasi kelas, jurnal mengajar, dokumen, kuesioner, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa sangat termotivasi dan mereka merasa gembira mengikuti pembelajaran. Simulasi yang efektif, melakukan pertemuan, melakukan negosisasi dan persentasi terbukti membuat keterampilan berbicara meningkat. Penelitian Madsa relevan dengan penelitian ini karena untuk meningkatkan keterampilan berbicara. Melalui simulasi penelitian tersebut meningkatkan motivasi siswa dalam aspek berbicara. Subjek penelitian adalah 20 siswa Accounting Technology Srivijaya. Dalam penelitian ini menggunakan metode pembelajaran sosiodrama untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kabupaten Kebumen. Thayalak Oradee dengan penelitian “Developing Speaking Skills Using There Communcate Activities (Discussion, Problem-Solving, and Role Playing)”. Penelitian tersebut mempelajari dan membandingkan keterampilan berbicara siswa kelas XI di Sekolah Menengah di Udon Thani, Thailand dengan tiga pendekatan komunikatif. Pendekatan tersebut adalah diskusi, pemecahan masalah dan role-playing. Hasil penelitian Oradee menunjukan bahwa keterampilan berbicara siswa kelas XI mengalami peningkatan dengan menggunakan tiga pendekatan tersebut. Penelitian Oradee relevan dengan penelitian ini karena untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah dengan salah satu pendekatan metode bermain peran atau role playing. Dengan bermain peran terbukti dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Penelitian-penelitian di atas kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan metode yang sama dan ada yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ternyata metode-metode yang digunakan mampu meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi, akan tetapi masih ada celah kekurangan dalam penelitian tersebut. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti akan mencoba menggunakan metode sosiodrama untuk meningkatkan
14
motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi pada subjek dan setting yang berbeda. Kedudukan penelitian ini sebagai pelengkap dan penyempurna penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
B. Landasan Teori Berikut ini dipaparkan teori-teori tentang hakikat keterampilan berbicara dalam Bahasa Jawa, hakikat bercerita tentang pengalaman pribadi, hakikat motivasi, hakikat metode pembelajaran soiodrama, penerapan dan teknik metode pembelajaran sosiodrama dan hakikat proses pembelajaran bercerita tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan metode sosiodrama.
1. Hakikat Keterampilan Berbicara dalam Bahasa Jawa 1.1 Pengertian Keterampilan Setiap keterampilan berhubungan erat dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa.Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan banyak latihan. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan, 2015;1). Keterampilan berbahasa mencakup empat aspek, yakni (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca dan (4) keterampilan menulis (Slamet, 2007:5). Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan otototot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil (Tarigan, 2015;1). Di samping itu, menurut Reber (1988), keterampilan adalah kemampuan melakukan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya pun luas, sehingga sampai pada mempengaruhi atau
15
mendayagunakan orang lain. Artinya, orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil. Dalam penelitian ini membahas tentang keterampilan berbicara. Slamet (2007:31) menjelaskan bahwa berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa diperlukan untuk berbagai keperluan. Anda dituntut memiliki bekal keterampilan berbicara agar sewaktuwaktu diperlukan dapat menyampaikan informasi kepada siapa saja dengan baik. Kegiatan berbicara tersebut bisa dilakukan secara perorangan, berpasangan, atau berkelompok. 1.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Berbicara Berbicara berarti berkomunikasi secara lisan karena itu banyak hal yang harus diperhatikan, misalnya berkaitan dengan penggunaan bahasa, penampilan fisik, keadaan mental, dan situasi sosial budaya yang melingkupi proses pembicaraan atau komunikasi itu sendiri, Musaba (2012:137). Slamet (2008 : 35) menjelaskan bahwa berbicara adalah ekspresi diri, bila si pembicara memiliki pengetahuan dan pengalaman yang kaya, maka dengan mudah yang bersangkutan dapat menguraikan pengalaman dan pengetahuannya. Semakin banyak orang berpengalaman akan semakin terdorong pula untuk berbicara. Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari pembicara kepada pendengar. Dalam proses berbicara, pembicara merupakan komunikator dan pendengar merupakan komunikan. Dalam penyampaian informasi, secara lisan seorang pembicara harus mampu menyampaikannya dengan baik dan benar agar informasi tersebut dapat diterima oleh pendengar. Oleh karena itu, kemampuan berbicara yang baik, menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan (Andayani, 2015:171). Kemampuan
berbicara
yang
baik
adalah
kecakapan
seseorang
dalam
menyampaikan sebuah informasi dengan bahasa yang baik, benar dan menarik agar dapat dipahami pendengar. Untuk menjadi pembicara baik, pembicara harus mampu menangkap informasi secara kritis dan efektif, hal ini berkaitan dengan aktivitas menyimak. Apabila pembicara merupakan seorang penyimak yang baik maka ia mampu menangkap informasi dengan baik Dalam kaitan dengan kegiatan seseorang dalam berbicara, maka tentu pembicaraan yang dilakukan bukan saja untuk keperluan tertentu melalui telepon, tetapi
16
lebih dari itu, seseorang ingin berinteraksi antar sesama dalam situasi dan untuk tujuan tertentu serta dengan aturan tertentu. Hal ini diwujudkan dengan adanya kesempatan atau forum tertentu yang memang diadakan secara khusus (Musaba, 2012:23). Di antara kesempatan atau forum untuk berbicara (kegiatan yang banyak mengandalkan pembicaraan) adalah sebagai berikut: a. Bercerita Musaba (2012:107) menjelaskan bahwa bercerita merupakan salah satu kegiatan yang mengandalkan keterampilan berbicara. Yang dimaksud bercerita adalah menuturkan suatu cerita secara lisan (walaupun bahan cerita bisa berwujud karangan tertulis). Kebiasaan bercerita ini banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Pada waktu dulu kegiatan bercerita jauh lebih semarak, dibandingkan masa sekarang. Kegiatan bercerita di kalangan masyarakat Jawa dan beberapa daerah lain juga mengenal kegiatan bercerita berupa pertunjukan wayang yang dibawakan oleh dalang dengan perangkat alatnya. Banyak daerah lain mengenal kegiatan bercerita tersebut dengan nama dan cara yang berbeda-beda. Kegiatan bercerita yang disebutkan di sini lebih bersifat tradisional, berlaku secara turun-temurun. b. Debat Istilah debat tampaknya juga cukup dikenal di kalangan masyarakat. Terkadang ada ungkapan untuk seseorang yang senang berdebat, maka disebut „suka debat‟ atau „jago debat‟. Debat sebenarnya mirip dengan dialog. Debat berarti bertukar pikiran secara terbuka untuk membehas masalah yang masih merupakan pro dan kontra dengan memperhatikan aturan dan tata tertib tertentu (Siddiq, 1993:34). c. Diskusi Istilah diskusi cukup dikenal, terutama di kalangan kaum terdidik. Bagi kalangan kampus, diskusi sudah merupakan kegiatan yang dianggap lazim. Diskusi diartikan sebagai pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Diskusi kelompok biasanya ditandai dengan lebih terbatasnya jumlah peserta, tingkat keformalannya kurang menonjol. Diskusi panel biasanya menghadirkan beberapa pembicara kunci atau para penyaji materi, kemudian diikuti audiens. Dalam diskusi panel yang banyak berperan adalah para panelis (para penyaji atau pembicara), audiens memang diberi kesempatan memberikan pendapat atau tanggapan, tetapi jatahnya lebih sedikit (Musaba. 2012:29).
17
d. Wawancara Musaba (2012:109) menjelaskan bahwa wawancara merupakan kegiatan tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal untuk dimuat dalam surat kabar, disiarkan melalui radio atau ditayangkan pada layar televisi. Istilah wawancara sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Wawancara mirip dengan dialog. Namun, wawancara cenderung lebih mengaktifkan orang yang diwawancarai. Orang yang diwawancarai tentu amat beragam, bisa ia merupakan seorang ahli atau nara sumber, juga bisa sebagai anggota masyarakat biasa.
1.3 Bentuk-Bentuk Berbicara dalam Bahasa Jawa Setiyanto (2007:1) menjelaskan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi dalam pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa orang yang diajak berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara pada anak kecil atau yang seumur. Kata-kata atau bahasa yang ditujukan pada orang lain itulah yang disebut unggah-ungguhing basa. Unggah-ungguhing basa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa Madya, dan Basa Krama. Selain yang disebut diatas orang-orang di istana menggunakan Bahasa Kedhaton atau yang sering disebut Basa Bagongan. Sampai saat ini unggah-ungguh Bahasa Jawa masih digunakan oleh sebagian besar penutur berbahasa Jawa, baik pada lapis pertama (ring satu) maupun pada lapis kedua (ring dua). Yang dimaksud dengan lapis pertama adalah lapisan masyarakat yang pada waktu itu pernah langsung berhubungan dengan penguasa (kerajaan), baik penguasa yang berada di Surakarta maupun yang berada di Yogyakarta. Masyarakat Jawa beberapa tahun terakhir ini-terutama yang berada di lapis pertama- mulai khawatir terhadap keberadaan unggah-ungguh tersebut. Kekhawatiran itu disebabkan oleh adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa generasi muda Jawa saat ini mulai tidak menguasai unggah-ungguh Bahasa Jawa secara baik. Akibatnya kesalahan-kesalahan seperti yang terdapat dalam kalimat berikut terdengar dalam kehidupan sehari-hari. (1) Nyuwun pangapunten kula ajeng siram rumiyin (Maaf saya akan mandi dahulu).(2) Kula le dhahar mangke mawon. (Saya makan nanti saja) (Sasangka, 2010: 1-2).
18
Dalam Karti Basa (1946) unggah-ungguh disebut undha usuk, sedangkan dalam Poedjasoedarno dkk. (1973) unggah-ungguh disebut tingkat tutur. Penggunaan undha usuk atau tingkat tutur dalam kedua buku tersebut tampak seperti contoh berikut. (1) Ngoko Lugu (Adhiku arep ditukoake wedhus ), (2) Ngoko Antyabasa (adhik arep ditumbaske wedhus ta, Pak), (3) Ngoko Basaantya (Adhik arep dipundutke menda ta Pak), (4) Madya Ngoko (Samang napa pun nukokake klambi adhine Warti dhek wingi sore?, (5) Madyantara (Samang napa pun numbasaken rasukan adhine Warti dhek wingi sore?,(6) Madya Krama (Njenengan napa pun mundhutke rasukan adhine Warti dhek wingi sore?,(7) Mudha Krama (Bapak, panjenengan mangke dipunaturi mundhutaken buku kangge Mas Kris) (8) Kramantara (Pak, sampeyan mangke dipunpurih numbasaken buku kangge Mas Kris) (9) Wredha Krama (Nak Trisna, sampeyan mangke dipunpurih numbasaken buku kangge Mas Kris) (10) Krama Inggil (Ing mangke ing sadherengipun wiwit jawah abdi dalem sampun prihatos sanget kuwatos menawi kados taun ingkang kepengker) (11) Basa Kedhaton (Lo punika adhi ingkang pundi? Punapi jengandika meksih darbe adhi malih?) (12) Krama Desa (Tiyang ketigen inggih sami nanem palawija wenten dhekeman, janggel, kacang lan tela pohung. Kirangan mengke yen wenten jawah) (13) Basa Kasar (Lha wongrupamu pantes karo dhapure, jegosmu ya mung nguntal karo micek), (Sasangka, 2010: 18-20). Undha Usuk
Ngoko
Krama Inggil Basa kedhaton
Ngoko Lugu Krama Desa
Basa Antya Antya Basa Madya Madya Krama Madyantara
Krama Mudha Krama Kramantara
Madya Ngoko Wredha Krama Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Karti Basa (1964)
19
Tingkat Tutur Ngoko
Krama
Ngoko Lugu
Mudha Krama
Basa Antya Kramantara Antya Basa Madya
Madya Krama
Madyantara
Wredhakrama Madya Ngoko
Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979)
1.4 Tujuan dan Manfaat Berbicara Menurut pendapat dari Tarigan (2015:16) menjelaskan bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiransecara efektif, seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Dia harus mampu mengevalusiefek komunikasinya terhadap (para) pendengarnya dan harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secasra umum maupun perorangan. Ada beberapa manfaat yang bisa dirasakan langsung jika seseorang mampu atau terampil berbicara. Beberapa manfaat tersebut dapat dikemukakan melalui beberapa butir yaitu: memperlancar komunikasi antar sesama, mempermudah pemberian berbagai informasi, meningkatkan kepercayaan diri, meningkatkan kewibaan diri, mempertinggi dukungan publik atau masyarakat, menjadi penunjang meraih profesi dan pekerjaan, meningkatkan mutu profesi dan pekerjaan (Musaba, 2012:13).
2. Hakikat Bercerita tentang Pengalaman Pribadi 2.1 Pengertian Bercerita Musaba (2012:107) menjelaskan bahwa bercerita merupakan salah satu kegiatan yang mengandalkan keterampilan berbicara. Yang dimaksud bercerita adalah menuturkan suatu cerita secara lisan (walaupun bahan cerita bisa berwujud karangan
20
tertulis). Kebiasaan bercerita ini banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Pada waktu dulu kegiatan bercerita jauh lebih semarak, dibanding masa sekarang. Suatu keadaan yang cukup menggembirakan, sekarang kegiatan bercerita juga cukup berkembang, misalnya dengan adanya kegiatan mendonggeng di televisi. Di samping itu juga terdapat kegiatan baca cerita pendek (biasanya dalam bentuk lomba baca cerpen). Kegiatan seperti ini sebenarnya hampir sama saja dengan kegiatan bercerita yang telah memasyarakat di beberapa daerah. Kegiatan baca cerpen, sifatnya lebih modern, bahasanya juga berbeda, suasananya agak lain, media dan daya jangkaunya bisa lebih luas. Nurgiyantoro (2010:409) menjelaskan bahwa rangsang yang dijadikan bahan untuk bercerita dapat berupa buku yang sudah dibaca, berbagai cerita (fiksi dan cerita lama),
berbagai
pengalaman
(pengalaman
bepergian,
pengalaman
berlomba,
pengalaman berseminar), dan lain-lain. Bercerita berdasarkan isi buku banyak dilakukan para guru, bahkan juga sampai di tingkat pendidikan tinggi. Untuk tingkat pendidikan tinggi, ”bercerita” juga dapat mencangkup laporan secara lisan terhadap buku yang dibaca. Tugas bercerita secara lisan juga dapat dijadikan tugas secara tertulis menjadi salah satu bentuk tugas menulis. Sebenarnya kegiatan bercerita tetap potensial untuk dikembangkan, tentu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan media yang ada. Drama radio pun dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan bercerita. Oleh karena itu, bagi seseorang yang memiliki kemauan atau minat besar terhadap kegiatan bercerita ini dapat saja mengembangkannya secara baik.
2.2 Pengertian dan Tahap-Tahap Bercerita Pengalaman Pribadi Hidup adalah sumber gagasan yang tidak akan pernah kering. Dari pengalaman hidup, Anda dapat menemukan ide-ide menarik untuk diteliti. Seringkali kita merasa tidak puas dengan kondisi pengalaman tertentu kemudian muncul pertanyaan tentang hal-hal apa yang berada di balik pengalaman tersebut. Ambil hikmah dan refleksikan setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Setelah kita mengalami suatu hal atau peristiwa, jangan biarkan begitu saja berlalu. Dalam setiap peristiwa pasti terkandung sebuah hikmah yang tak setiap orang dapat mengungkapkannya. Tidak terkecuali, sebuah musibah pasti menyimpan hikmah yang dapat kita jadikan bahan refleksi.
21
Husamah
(2011:28)
menjelaskan
bahwa
pengalaman
hidup
sehari-hari
merupakan sumber permasalahan yang tidak pernah ada habisnya. Misalnya kita mengamati dalam bidang pendidikan: ”Beberapa pelajar meraih prestasi akademik lebih baik dari pelajar yang lainnya”. Di bidang kesehatan: ”Orang tua rajin meminum jus mengkudu meskipun rasanya pait dan kecut”. Pengamatan-pengamatan seperti itu tentu saja akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan ”mengapa?” dan ”bagaimana?”. Hal itu bisa terjadi, ketika pertanyaan tersebut muncul maka sesungguhnya proses penelitian sudah dimulai. Seringkali terjadi, menurut Surya Brata (1995) seseorang menemukan masalah penelitiannya dalam suatu perjalanan atau peninjauan. Ketika berangkat dari rumah sama sekali tidak ada rencana untuk mencari masalah penelitian. Tetapi saat menyaksikan hal-hal tertentu di lapangan, timbullah pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya, yang akhirnya terkristalisasikan menjadi masalah penelitian. Pengalaman adalah peristiwa atau kejadian yang pernah dialami seseorang. Pengalaman seseorang tentu berbeda-beda. Ada pengalaman yang mengesankan, menyedihkan, atau menakutkan. Pengalaman seseorang terkadang dapat menjadi pelajaran juga bagi orang lain yang mengetahuinya (Restuti dan Kosasih, 2009:13). Setiap orang tentu memiliki pengalaman yang mengesankan. Pengalaman mengesankan tentu akan selalu teringat sampai kapan pun. Jika kamu ingin menceritakan pengalaman yang mengesankan dalam hidupmu, ikuilah langkah-langkah berikut (Restuti dan Kosasih, 2009:13) : a. Pilihlah sebuah pengalaman yang paling berkesan bagimu yang ingin kamu ceritakan; b. Susunlah ceritamu dalam susunan yang teratur, misalnya dimulai dari bagian pembukaan, lalu isinya, dan terakhir bagian penutupnya. Jika diberi waktu, ada baiknya ceritamu itu ditulis dahulu kerangka ceritanya. Dengan kerangka cerita, kamu dapat bercerita dengan mudah, lancar dan teratur susunannya; c. Berceritalah dengan pilihan kata yang baik, mudah dipahami, serta menggunakan kalimat-kalimat efektif. Kamu dapat menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif maupun konotatif. Kamu juga dapat menggunakan ungkapan, istilah khusus atau majas yang sesuai dengan ceritamu;
22
d. Aturlah volume suaramu agar dapat terdengar jelas. Selain itu, perhatikan kejelasan pengucapan dan intonasimu agar pendengar mudah menangkap ceritamu.
3. Hakikat Motivasi 3.1 Pengertian Motivasi Belajar Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik, tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai, transferof values. Oleh karena itu, guru tidak sekadar “pengajar”, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, anak didik/siswa akan tumbuh kesadaran atau kemauannya, untuk mempraktikkan segala sesuatu yang sudah dipelajarinya. Cara berinteraksi atau metode-metode yang dapat digunakan misalnya dengan sosiodrama, diskusi, demonstrasi, role playing. Teori ini banyak dikembangkan antara lain oleh Patricia Patton yang mengatakan bahwa pelayanan sepenuh hati adalah kecerdasan emosional yang terfokus kepada memanusiakan manusia. Bahwa motivasi adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung dan memerlukan intensi harmonis. Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu (Uno, 2006:3). Sardiman (2014:40) menjelaskan bahwa seseorang akan berhasil dalam belajar kalau pada dirinya sendiri ada keinginan untuk belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Keinginan atau dorongan untuk belajar inilah yang disebut dengan motivasi. Motivasi dalam hal ini meliputi dua hal : (1) mengetahui apa yang akan dipelajari; dan (2) memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari. Dengan berpijak pada ke dua unsur motivasi inilah sebagai dasar pemulaan yang baik untuk belajar. Sebab tanpa motivasi (tidak mengerti apa yang akan dipelajari dan tidak memahami mengapa hal itu perlu dipelajari) kegiatan belajar-mengajar sulit untuk berhasil. Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap
23
adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting yaitu a. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam sistem “neurophysiological” yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakkannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia; b. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menetukan tingkah-laku manusia; c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan. Menurut Frandsen (dalam Sardiman, 2014:46) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mendorong seseorang untuk belajar, yakni adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas, adanya sifat yang kreatif pada orang yang belajar dan adanya keinginan untuk selalu maju, adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru dan teman-temannya, adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kooperasi maupun dengan kompetisi, adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran, adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari belajar. Menurut James P. Chaplin (dalam Rahmatullah, 2010:68) menjelaskan bahwa motivasi adalah satu variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktorfaktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju sasaran. Menurut Gagne (dalam Mulyati, 2005:97), ada delapan fase dalam satu tindakan belajar. Setiap fase dipasangkan dengan proses yang terjadi dalam pikiran siswa, yaitu : fase motivasi (harapan), fase pengenalan (perhatian, persepsi selektif), fase perolehan (koding, mulai penyimpanan), fase retensi (penyimpanan memori), fase pemanggilan
24
(pemanggilan), fase generalisasi (transfer), fase penampilan (pemberian respons), fase umpan balik (reinforcement)
3.2 Fungsi Motivasi Belajar Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang meminjam kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.Dikatakan “keseluruhan”, karena pada umumnnya ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakkan siswa untuk belajar. Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Jadi tugas guru bagaimana mendorong para siswa agar pada dirinya tumbuh motivasi. Fungsi motivasi sebagai berikut (Sardiman, 2014:85) : a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan; b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya; c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan. Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi, adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.
25
Menurut Richard M. Hodgetts dan Donald F. Kurako (dalam Rahmatullah, 2010:68) menjelaskan bahwa motivasi berfungsi besar di dalam diri seseorang yakni sebagai pendorong kemampuan, usaha, keinginan, menentukan arah dan menyeleksi tingkah laku. Fungsi motivasi dalam belajar (Hamzah B. Uno, 2006:27) sebagai berikut : a. Mentukan penguatan belajar Contoh: seorang anak akan memecahkan materi matematika dengan bantuan tebel logaritma. Tanpa bantuan tersebut, anak itu tidak dapat menyelesaikan tugas matematika. Dalam kaitan itu, anak berusaha mencari buku tabel matematika. Upaya untuk mencari tabel matematika merupakan peran motivasi yang dapat menimbulkan penguatan belajar. b. Memperjelas tujuan belajar Contoh: anak akan termotivasi belajar elektronik karena tujuan belajar elektronik itu dapat melahirkan kemampuan anak dalam bidang elektronik. Dalam suatu kesempatan misalnya, anak tersebut diminta membetulkan radio yang rusak, dan berkat pengalamannya dari bidang elektronik, maka radio tersebut menjadi lebih baik setelah diperbaikinya.Dari pengalaman itu, anak makin hari makin termotivasi untuk belajar, karena sedikit anak sudah mengetahui makna dari belajar itu. c. Ketekunan belajar Contoh: tampak bahwa motivasi untuk belajar menyebabkan seseorang tekun belajar. Sebaliknya, apabila seseorang kurang atau tidak memiliki motivasi, maka ia tidak tahan lama belajar.
3.3 Ciri-Ciri dan Macam-Macam Motivasi Belajar Sardiman (2014:83) menjelaskan bahwa motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai); b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestrasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya);
26
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah “untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindak kriminal, amoral dan sebagainya); d. Lebih senang bekerja mandiri; e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulangulang begitu saja, sehingga kurang kreatif); f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu); g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu; h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. Sardiman (2014:86) menjelaskan bahwa berbicara tentang macam atau jenis motivasi ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, motivasi atau motif-motif yang aktif itu sangat bervariasi. 1) Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya sebagai berikut: a. Motif-motif bawaan Yang dimaksud motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari. Sebagai contoh misalnya: dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan untuk bekerja, untuk beristirahat. Motif-motif ini seringkali disebut motif-motif yang disyaratkan secara biologis. Relevan dengan ini, maka Arden N. Frandsen memberi istilah jenis Physiological drives. b. Motif-motif yang dipelajari Maksudnya motif-motif yang timbul karena dipelajari. Sebagai contoh: dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pendidikan, dorongan untuk mengajar sesuatu di dalam masyarakat. Motif-motif ini seringkali disebut dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial. Sebab manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia yang lain, sehingga motivasi itu terbentuk. Frandsen mengistilahkan dengan affiliative needs. Sebab justru dengan kemampuan berhubungan, kerja sama di dalam masyarakat tercapailah suatu kepuasan diri. Sehingga manusia perlu mengembangkan sifat-sifat ramah, kooperatif, membina hubungan baik dengan sesama, apalagi orang tua dan guru. Dalam kegiatan belajarmengajar, hal ini dapat membantu dalam usaha mencapai prestasi.
27
Di samping itu Frandsen, masih menambahkan jenis-jenis motif berikut ini : a. Cognitivemotives Motif ini menunjuk pada gejala intrinsic, yakni menyangkut kepuasan individual. Kepuasan individual yang berada di dalam diri manusia dan biasanya berwujud proses dan produk mental. Jenis motif seperti ini adalah sangat primer dalam kegiatan belajar di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pengembangan intelektual. b. Self-expression Penampilan diri adalah sebagian dari perilaku manusia. Yang penting kebutuhan individual itu tidak sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini memang diperlukan kreativitas, penuh imajinasi. Jadi dalam hal ini seseorang memiliki keinginan untuk aktualisasi diri. c. Self-enhancement Melalui aktualiasasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkat kemajuan diri seseorang. Ketinggian dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu. Dalam belajar dapat diciptakan suasana kompetensi yang sehat bagi anak didik untuk mencapai suatu prestasi. 2) Jenis motivasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis sebagai berikut: a. Motif atau kebutuhan organis, meliputi misalnya: kebutuhan untuk minum, makan, bernapas, seksual, berbuat dan kebutuhan untuk beristirahat. Ini sesuai dengan jenis Physiologica;l drives. b. Motif-motif darurat. Yang termasuk dalam jenis motif ini antara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu. Jelasnya motivasi jenis ini timbul karena rangsangan dari luar. c. Motif-motif objektif. Dalam hal ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan ekspolarasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat. Motif-motif ini muncul karena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif. 3) Motivasi jasmaniah dan rohaniah Ada beberapa ahli yang menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis yakni motivasi jasmaniah di motivasi rohaniah. Yang termasuk motivasi jasmani
28
seperti misalnya: refleks, insting otomatis, nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah adalah kemauan. Soal kemauan itu pada setiap diri manusia terbentuk melalui empat momen a. Momen timbulnya alasan Sebagai contoh seorang pemuda yang sedang giat berlatih olah raga untuk menghadapi suatu porseni di sekolah, tetapi tiba-tiba disuruh ibunya untuk membeli tiket karena tamu itu mau kembali ke Jakarta. Si pemuda itu kemudian mengantarkan tamu tersebut. Dalam hal ini si pemuda tadi timbul alasan baru untuk melakukan sesuatu kegiatan (kegiatan mengantar). Alasan baru itu bisa karena untuk menghormat tamu atau mungkin keinginan untuk tidak mengecewakan ibunya. b. Momen pilih Momen pilih, maksudnya dalam keadaan pada waktu ada alternatif-alternatif yang mengakibatkan persaingan di antara alternatif atau alasan-alasan itu. Kemudian seorang menimbang-nimbang dari berbagai alternatif untuk kemudian menentukan pilihan alternatif yang akan dikerjakan. c. Momen putusan Dalam persaingan antara berbagai alasan, sudah barang tentu akan berakhir dengan dipilihnya satu alternatif. Satu alternatif yang dipilih inilah yang menjadi putusan untuk dikerjakan. d. Momen terbentuknya kemauan Kalau seseorang sudah menetapkan satu putusan untuk dikerjakan, timbullah dorongan pada diri seseorang untuk bertindak, melaksanakan putusan itu. Teknik motivasi dalam pembelajaran (Hamzah B. Uno, 2006:34) yaitu : pernyataan pernghargaan secara verbal, menggunakan nilai ulangan sebagai pemicu keberhasilan, menimbulkan rasa ingin tahu, memunculkan sesuatu yang tidak terduga oleh siswa, menjadikan tahap dini dalam belajar mudah bagi siswa, menggunakan materi yang dikenal siswa sebagai contoh dalam belajar, gunakan kaitan yang unik dan tak terduga untuk menerapkan suatu konsep dan prinsip yang telah dipahami, menuntut siswa untuk menggunakan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya, menggunakan simulasi dan permainan, memberi kesempatan kepada siswa untuk memperlihatkan kemahirannya di depan umum, mengurangi akibat yang tidak menyenangkan dan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar.
29
4. Hakikat Metode Pembelajaran Sosiodrama 4.1 Pengertian Metode Pembelajaran Sosiodrama Sosiodrama adalah bentuk pendramatisan peristiwa-peristiwa kehidupan seharihari yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk sosiodrama merupakan bentuk drama yang paling elementer. Simulasi dan role playing dapat diklasifikasikan sebagai sosiodrama. Latihan-latihan dasar penulisan lakon dan pemeranan tokoh biasanya dapat efektif dilakukan melalui sosiodrama (Waluyo, 2008:56). Dalam sosiodrama, tokoh-tokoh dan peristiwa sudah seringkali dihayati oleh calon pemain. Oleh karena itu, pemain akan lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan lakon dan dengan permainan yang dibawakan. Sebenarnya dalam sosiodrama, prinsip-prinsip dramatisasi tidak boleh diabaikan. Dalam pelajaran PSPB yang juga memperkenalkan sosiodrama melalui metode keterampilan proses, seringkali terjadi hambatan pemeranan tokoh-tokoh sejarah karena tokoh itu tidak dihayati melalui latihan acting yang cermat. Sosiodrama tidak sekedar menirukan adegan tertentu, tetapi memerankan tokoh dan adegan tertentu dengan acting, yaitu penjiwaan total terhadap tokoh dan lakon yang dibawakan. Dramanisasi atau bermain drama adalah kegiatan mementaskan lakon atau cerita. Biasanya cerita yang dilakonkan sudah dalam bentuk drama. Guru dan murid terlebih dahulu harus mempersiapkan naskah atau skenario, perilaku dan perlengkapan. Bermain drama lebih kompleks daripada bermain peran. Melalui dramanisasi, murid dilatih untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya dalam bentuk bahasa lisan (Andayani, 2015:171). Sosiodrama adalah bentuk pendramatisan peristiwa-peristiwa kehidupan seharihari yang terjadi dalam masyarakat, Endraswara (2011:136). Bentuk sosiodrama merupakan bentuk drama yang paling elementer. Simulasi dan role playing dapat diklasifikasikan sebagai sosiodrama. Latihan-latihan dasar penulisan lakon dan pemeranan tokoh biasanya dapat efektif dilakukan melalui sosiodrama. Dalam sosiodrama, tokoh-tokoh dan peristiwa sudah seringkali dihayati oleh calon pemain. Oleh karena itu, pemain akan lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan lakon dan dengan permainan yang dibawakan. Sebenarnya dalam sosiodrama, prinsip-prinsip dalam dramasisasi tidak boleh diabaikan. Sosiodrama, tidak sekedar menirukan adegan
30
tertentu, tetapi memerankan tokoh dan adegan tertentu dengan akting, yaitu penjiwaan total terhadap tokoh dan lakon yang dibawakan. Widyahening (2012:254) menjelaskan bahwa metode sosiodrama dan bermain peran merupakan dua buah metode mengajar yang mengandung pengertian yang dapat dikatakan sama sehingga dalam pelaksanaannya sering disilihgantikan. Istilah sosiodrama berasal dari kata socio (sosial) dan drama. Kata drama adalah suatu kejadian atau peristiwa dalam kehidupan manusia yang mengandung konflik kejiwaan, pergolakan, dan clash atau benturan antara dua orang atau lebih. Sementara itu, bermain peran berarti memegang fungsi sebagai orang yang dimaninkannya, misalnya berperan sebagai lurah, nenek tua renta, dan sebagainya. Kedua metode tersebut biasanya disingkat menjadi metode sosiodrama yang merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada mahasiswa tentang masalah-masalah yang memiliki hubungan sosial untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Masalah yang memiliki hubungan sosial tersebut didramasasikan oleh mahasiswa di bawah pimpinan dosen atau instruktur. Melalui metode ini dosen ingin mengajarkan cara-cara bertingkah laku dalam hubungan antar sesama manusia.
4.2 Manfaat dan Kelebihan Metode Pembelajaran Sosiodrama Manfaat dari sosiodrama adalah sebagai berikut : melatih pelajar agar terlibat dalam persoalan hidup, memberi kesempatan menjiwai peran, mendiskusikan nilai-nilai kehidupan, menghargai pendapat orang lain, membentuk kepribadian, melatih penggunaan bahasa lisan dengan baik dan lancar, ikut merasakan lakon secara sosial maupun secara psikologis, melatih mengemukakan pendapat. Widyahening (2012:256) menjelaskan bahwa kelebihan dari metode sosiodrama untuk pembelajaran sebagai berikut: 1. Dapat mengembangkan kreatifitas mahasiswa (dengan peran yang dikembangkan dan dimainkan mahasiswa sehingga mahasiswa dapat berimajinasi dan kreatif); 2. Mampu memupuk kerja sama antar mahasiswa dalam mengembangkan lakon dan latihan; 3. Dapat menumbuhkembangkan bakat mahasiswa dalam seni drama karena sosiodrama dapat dikatakan sebagai dramasisasi sederhana;
31
4. Memungkinkan mahasiswa lebih memperhatikan problem sosial di sekitar mereka dan berusaha mencoba untuk memecahkannya (solving the problem); 5. Dapat memupuk keberanian berpendapat dan membela pendapatnya di depan kelas; 6. Memungkinkan pembelajaran nilai-nilai sosial menjadi lebih mudah dilakukan sehingga menumbuhkan kebiasaan untuk memiliki solidaritas sosial; 7. Dengan memakai metode ini materi pembelajaran yang lain dapat diintegrasikan, seperti membaca, menulis, menyimak, dan berbicara; 8. Melatih mahasiswa untuk menganalisis masalah dan mengambil kesimpulan dalam waktu singkat dan terbiasa memecahkan masalah.
5. Penerapan dan Teknik Metode Pembelajaran Sosiodrama dalam Bercerita Pengalaman Pribadi Menurut Guntur Tarigan ada tiga langkah yang harus dilalui jika seseorang mau mementaskan atau menulis sosiodrama, yaitu: mengemukakan suatu masalah, mendramatiskan masalah, mendiskusikan hasil dramatisasi Teknik bermain drama menurut Soediro Satoto (2012:85) sebagai berikut: 1) Persiapan Rohaniah atau Kejiwaan Persiapan rohaniah atau kejiawaan dibagi sebagai berikut : a) Pemusatan pikiran atau konsentrasi Pemain melepaskan dirinya untuk menjadi orang lain, yaitu peran (tokoh watak yang diperankan). Untuk melepaskan dirinya dan untuk menjadi orang lain itu (peran watak yang diperankan), pertama-tama seorang pemian harus dapat memusatkan pikirannya b) Ingatan Emosi Seorang pemain (aktor) harus berlatih mengingat-ingat segala emosi (perasaan) berdasarkan pengalaman-pengalaman selama hayatnya yang telah terpendam. Hal ini sangat penting karena dapat membantu apabila nanti bermain peran. Emosi seorang pemainharus dapat dikembangkan sesuai dengan keperluan tokoh peran yang akan diperankan. Kadang-kadang harus dapat berperan sebagai peran tokoh sedih, tokoh gembira, tokoh kejam, tokoh bengis, tokoh lemah-lembut, pengiba, sabar, dan sebagainya. Jadi seorang aktor harus dapat berperan sedih, sekaligus gembira.
32
c) Peran atau Laku yang Dramatis Jika pemain sudah mampu mengembangkan ingatan emosinya, barulah ia mewujudkan ke dalam peranan atau laku dramatik, yaitu gerakan yang bersifat ekspresif dari emosi (perasaan). Inilah yang merupakan alat pentiong (instrumen) dalam seni teater. Tiap-tiap cabang seni memilikialat pentingnya masing-masing. Misalnya: warna dalam lukisan, bentuk dalam patung, nada dalam musik, gerak tubuh dalam tari dan sebagainya. d) Perihal Membangun Watak Gambaran ini dapat dijelaskan dengan jalan yaitu : (1) menelaah struktur kejiwaan peran dan (2) memberikan pengenalan (identifikasi). Sebelum memerankan tokoh peran, pemain harus mengenal dulu watak-watak tokoh peran yang hendak diperankan. Caranya sebagai berikut: (1) Melihat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Apakah identifikasi tokoh peran yang akan diperankan terdapat pada dirinya; (2) Jika ada, mudah memerankannya. Jika tidak, aktor harus mengambil contoh identifikasi pemain-pemain lainnya atau orang-orang lain yang mirip dengan identifikasi tokoh yang hendak diperankan; (3) Jika ini pun sulit ditemukan, kita dapat melihat foto-foto, patung-patung, cerita-cerita, sejarah, atau sumber-sumber lain yang dapat ditemukan; (4) Kalau ini pun sukar didapati, pemain harus dapat mengkhayalkannya. 2) Persiapan Jasmaniah atau Raga Untuk keperluan ini, penulis mengacu pada buku karangan WS. Rendra yang berjudul Tentang Bermain Peran. Oleh pengarangnya sendiri (Rendra), sasaran buku tersebut hanya untuk sekedar menajamkan kecakapan-kecakapan dasar yang lebih jasmaniah danpraktis sifatnya. Jadi, merupakan teknik dasar. Sesuai dengan namanya, sifatnya sangat dasar, tidak ada keistimewaannya. Tidak ada yang baru, tetapi harus dipelajari oleh para calon pemain (aktor) justru karena sifatnya yang dasar itu. Untuk mencapai tingkat lebih lanjut, selalu diperlukan yang dasar lebih dahulu.
a. Implementasi Sosiodrama dalam Pementasan Drama Widyahening (2012:259) menjelaskan bahwa implementasi sosiodrama dalam pementasan drama sebagai berikut: 1. Menyusun dialog sesuai dengan adegan dan masalah yang ditentukan;
33
2. Berlatih acting untuk memerankan lakon yang disusun sendiri oleh kelompok tersebut; 3. Dosen memberikan tugas sebagian mahasiswa untuk menjadi pengamat, yaitu mahasiswa yang termasuk dalam kelompok lain; 4. Jika latihan sudah cukup, mahasiswa mengusahakan iringan musik dan merencanakan kelengkapan pementasan sederhana (seperti make-up, kostum, lighting dan pentas arena) di kelas yang digunakan; 5. Diadakan pengecekan terakhir untuk persiapan pentas; 6. Pelaksanaan pentas dan pengamat melaksanakan tugasnya; 7. Diskusi kelas dipimpin oleh dosen dengan saran-saran dan perbaikan-perbaikan; 8. Para pelaku berlatih ulang; 9. Pementasan kembali dengan lebih baik dengan menonjolkan problem solving terhadap masalah yang telah disajikan; dan 10. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi oleh dosen.
b. Pembelajaran Bercerita Tentang Pengalaman Pribadi dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Sosiodrama Dalam sebuah kelas, pembelajar berperan aktif dan bertanggung jawab dalam pembelajaran. Guru dan pembelajar bekerja sama dalam suatu kemitraan (partnership). Strategi yang paling penting yang akan mewujudkan kemitraan tersebut adalah negoisasi (Aziez, 2015:102). Negoisasi belajar antara guru dan pembelajar cenderung menghasilkan pengalaman belajar yang akan mengakomodasi kebutuhan, minat, dan kemampuan tertentu si pembelajar. Guru dan siswa bekerja sama dalam suatu arah dan rasa percaya yang timbul dari pemahaman terhadap aktivitas belajar. Begitu pula sebaliknya, metode pembelajaran juga dapat dimaknai sebagai cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah sebuah cara yang sifatnya procedural untuk perencanaan secara utuh dalam menyajikan materi pelajaran secara teratur dengan cara yang berbeda-beda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda dibawah kondisi yang berbeda (Andayani, 2015: 86). Guru adalah pelaku pembelajaran, sehingga dalam hal ini guru merupakan faktor yang terpenting. Di tangan gurulah sebenarnya letak keberhasilan pembelajaran
34
(Hamruni, 2012 : 10). Komponen guru tidak dapat dimanipulasi atau direkayasa oleh komponen lain dan sebaliknya guru mampu memanipulasi atau merekayasa komponen lain menjadi bervariasi. Sedangkan komponen lain tidak dapat mengubah guru menjadi bervariasi Widyahening (2012:56) menjelaskan bahwa langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode sosiodramasebagai berikut: 1. Menetapkan problem: diobservasi dan ditentukan masalah yang timbul di masyarakat (dalam kegiatan ini sudah diberikan tugas yang relevan); 2. Mendiskripsikan situasi konflik yang terjadi dan berkembang. Di sini prinsip dramatisasi dengan analisis watak tokoh dan casting (penentuan tokoh) beserta dialognya digarap sendiri oleh kelompok mahasiswa). 3. Pemilihan pemain (casting character): memilih pemeran dari tokoh-tokoh cerita, problem solving, dan pengamatan; 4. Memberikan penjelasan dan pemanasan bagi actor dan pengamat tentang lakon dan teks serta bagaimana lakon yang akan dibawakan disertai latihan pemeranan sampai siap tampil; 5. Memerankan situasi tersebut: pemeranan di atas pentas dalam arena melingkar. Pengamat harus ditentukan oleh kelas dan memberikan penilaian secara cermat tentang ketepatan pemeranan (dramatisasi); 6. Memotong adegan jika aktor meninggalkan peran dan tidak dapat diteruskan. Selain itu, dapat juga membuat kesimpulan jika pemimpin tidak melihat perkembangan, adegan dapat diganti dan diulang; 7. Mendiskusikan dan menganalisis situasi, acting, dan gagasan yang diproduksi dan dosen memberikan refleksi bagaimana problem solving dilaksanakan. 8. Menyususn rencana kegiatan selanjutnya dan evaluasi secara klasikal.
6. Hakikat Motivasi Proses Pembelajaran Keterampilan Bercerita tentang Pengalaman Pribadi Dalam proses belajar-mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa (Slameto, 2013:97).
35
Motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi tergantung pada sepuluh unsur: (1) belajar pada hakikatnya menyangkut potensi manusia dan kelakuannya, (2) belajar memerlukan proses dan penahapan serta kemantapan diri pada siswa, (3) belajar akan lebih mantap dan efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam/dasar kebutuhan/kesadaran atau intrinsic motivation, lain halnya belajar dengan rasa takut atau dibarengi dengan rasa tertekan dan menderita, (4) dalam banyak hal, belajar merupakan proses percobaan (dengan kemungkinan berbuat keliru) dan conditioning atau pembiasan, (5) kemampuan belajar seseorang siswa harus diperhitungkan dalam rangka menentukan isi pelajaran, (6) belajar melalui praktik atau mengalami secara langsung akan lebih efektif mampu membina sikap, keterampilan, cara berpikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja, (7) perkembangan pengalaman anak didik akan banyak memengaruhi kemampuan belajar yang bersangkutan, (8) bahan pelajaran yang bermakna/berarti, lebih mudah dan menarik untuk dipelajari, daripada bahan yang kurang bermakna, (9) informasi tentang kelakuan baik, pengetahuan, kesalahan serta keberhasilan siswa, banyak membantu kelancaran dan gairah belajar, (10) belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk aneka ragam tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri (Sardiman, 2014:24)
C. Kerangka Berpikir Motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadisiswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kabupaten Kebumen tahun pelajaran 2015/2016 masih rendah. Rendahnya motivasi dan keterampilan tentang pengalaman pribadi siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama kurangnya perhatian lingkungan baik keluarga, masyarakat dan sekolah tentang pentingnya motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun, kedua penggunaan metode pembelajaran guru kurang aktif. Dalam pembelajaran bercerita tentang pengalaman pribadi padasiswa kelas VIII A, siswa kurang sering dalam praktik tetapi hanya menghapal kosa kata, sehingga siswa kurang paham dalam penerapan dan penggunaan kosa kata serta unggah-ungguh kepada mereka bercerita tentang pengalaman pribadi. Penggunaan metode pembelajaran
36
sosiodrama diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan keterampilan bercerita tentang pengalaman pribadi siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun untuk lebih aktif. Kondis i Awal
Guru Belum Menggunakan Metode Sosiodrama
Tindaka n
Hasil Belajar Bercerita Tentang Pengalaman Pribadi Meningkat
Kondisi Akhir
Siswa = Keterampilan dan Motivasi Bercerita Tentang Pengalaman Pribadi Rendah Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3
Menggunakan Metode Sosiodrama
Gambar 1. Kerangka BerpikirBercerita tentang Pengalaman Pribadi
D. Hipotesis Tindakan Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang hendak dipecahkan. Hipotesis hanya bersifat dugaan yang mungkin benar atau justru mungkin salah. Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah; (1) melalui pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran sosiodramadapat meningkatkan motivasi proses pembelajaran bercerita tentang pengalaman pripadi pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kabupaten Kebumen tahun pelajaran 2015/2016, dan (2) melalui pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran sosiodrama dapat meningkatkan keterampilan bercerita tentang pengalaman pripadi pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Kutowinangun di Kabupaten Kebumen tahun pelajaran 2015/2016.