BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Customer Perceived Value Definisi Customer perceived value menurut Kotler (2003, p.60) adalah : “Customer perceived value is the difference between the perspective customer’s evaluation of all benefits and all the costs of an offering and the perceived alternatives”. Definisi customer perceived value menurut Zeithaml (1988.p.14) adalah “Perceived value is the consumer’s overall assessment of the utility of a product based on perception of what is received and what is given”. Kutipan diatas mempunyai arti bahwa perceived value konsumen adalah keseluruhan penilaian konsumen terhadap kegunaan suatu produk atas apa yang diterima dan yang diberikan oleh produk itu. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perceived value
konsumen
merupakan
penilaian
konsumen
yang
dilakukan
dengan
cara
membandingkan antara manfaat/keuntungan yang akan diterima dengan pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh sebuah produk/jasa. Namun demikian perceived value konsumen dapat juga berarti usaha konsumen membandingkan produk/jasa dari perusahaan tertentu dengan perusahaan pesaing ditinjau dari manfaat, kualitas, harga. Customer value berkaitan dengan konsekuensi yang dapat berupa keuntungan atau pengorbanan, konsumsi atau penggunaan (Woodruff dan Gardial 1996). Konsekuensi merupakan dampak yang dirasakan individu atau suatu kelompok sebagai akibat dari adanya 7 konsumsi barang/jasa, sebagai kebalikan dari pemberian sifat dari barang itu sendiri
(Reynold dan Gutman,1988). Saat ini para pelanggan dihadapkan pada melimpahnya serbuan produk serta pilihan, harga, penyedia merek (Kotler,1996). Pelanggan akan mendapatkan dari perusahaan kenyataan bahwa mereka masih menawarkan nilai tertinggi (Kotler,1996). Pelanggan akan membentuk suatu pengharapan akan nilai dan bertindak untuk mendapatkannya. Pada akhirnya, hal tersebut akan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan peluang pembelian kembali oleh pelanggan (Kotler,1996). Nilai yang diperoleh merupakan perihal yang berkaitan dengan persepsi dan penilaian dari pelanggan, tidak berkaitan dengan harga moneter yang dibayarkan atau biaya moneter (Kotler,1995). Menurut Weinstein dan Johnson (1999), value diberikan kepada pelanggan dengan salah satu cara berikut ini : 1. Perusahaan dapat memilih untuk mendapatkan produk yang terbaik. 2. Biaya total yang terbaik (keunggulan operasional) 3. Solusi total terbaik (keintiman dengan pelanggan) Dodds, Monroe, dan Grewal (1991) dan Zeithaml (1988) telah mendefinisikan nilai perolehan yang dirasakan sebagai keuntungan bersih yang diterima dikaitkan dengan produk atau jasa yang didapatkan. Nilai perolehan yang dirasakan dari suatu produk secara positif akan dipengaruhi oleh keuntungan yang diyakini oleh pembeli bisa ia dapatkan dengan cara memperoleh dan mempergunakan produk tersebut, dan secara negatif dipengaruhi oleh uang yang harus dibayarkan untuk membeli produk tersebut. Beberapa istilah telah mengkonseptualisasikan nilai perolehan dengan istilah “bargain value”, ”perceived value” (Dodds,Monroe, dan Krishnan & Urbany, Bearden, dan Weil baker), “harga yang dirasakan” (Szybillo dan Jacoby) sebagaimana dikutip oleh Zhan Chen (2003),”faedah perolehan”, dan
kesadaran akan nilai”.(Lichtenstein,Netemeyer, dan Burton,1990; Lichtenstein, Ridgeway, Netemeyer,1993). Menurut Zeithaml (1988) perceived value adalah kemudahan secara menyeluruh dari penggunaan sebuah produk yang didasarkan pada apa yang telah mereka terima dan apa yang diberikan kepada mereka. Perceived value merupakan hal yang sangat penting yang menentukan intensitas loyalitas konsumen (Parasuraman1997,Woodruff 1997). Menurut Al-sabbahy et al. (2004) monetary price : “the monetary price represent the major sacrifice by a consumer in a purchasing transaction”. Biaya tidak hanya terbatas pada monetary price, tetapi juga mencerminkan behavior price, yaitu opportunity cost, time, energy (Keller 1998;Kotler 1999;Petrick 2002)
Tabel 2.1 PERBEDAAN MONETARY PRICE DAN BEHAVIOR PRICE Benefit components (monetary price)
Sacrifice component (behavior price)
Economic benefits
Price sacrifices
Emotional benefits
Time sacrifices
Social benefits
Effort sacrifies
Relationship benefits
Risk Inconvenience
Sumber: Sanchez et al. (2006:395)
Komponen manfaat (monetary price) terdiri dari : 1.
Economic benefits: Berhubungan dengan apa yang didapatkan oleh konsumen dari merek tersebut.
2.
Emotional benefit: Menunjukan keuntungan afektif yang didapatkan konsumen dari merek tersebut.
3.
Social
benefit:
Menunjukan
pengakuan
positif
terhadap
merek
yang
akan
merekomendasikan kepada kerabat/teman. 4.
Relationship benefit : Keadaan dimana harapan dari konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Komponen pengorbanan (behavior price) terdiri dari : 1. Price sacrifice : Berkaitan dengan biaya moneter seperti yang dirasakan oleh konsumen. 2. Time sacrifice : Berkaitan dengan konsumen dalam menghabiskan waktu ntuk mencari,membeli atau mengkonsumsi produk/jasa. 3. Effort sacrifice : Berkaitan dengan energi yang dikeluarkan konsumen untuk menemukan,membeli produk/jasa. 4. Risk : Probabilitas konsekuensi negatif dari pembelian produk/jasa 5. Inconvenience : Berkaitan dengan konsumen memiliki pengalaman yang tidak baik dari pembelian produk/jasa. “if the monetary price is higher than what consumers expected, the monetary price is not the only sacrifice consumers have to pay to acquire product/service. There are also non monetary price costs such as behavioral price, which refers to the time and effort
spent to acquire product.monetary and non monetary price,reputation and quality of product/service are part of the variables that influence the perceived value construct (Petrick 2003).
2.2. Merek / Brand Definisi Merek atau Brand menurut David A. Aaker (1996) adalah “Nama atau simbol yang bersifat membedakan (contohnya logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seseorang penjual atau seorang kelompok penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barangbarang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor.” Merek merupakan salah satu komponen utama dalam suatu product strategy. Dalam buku Marketing Management karangan Kotler (2003, p 418), The American Marketing Association mendefinisikan merek sebagai berikut, “Merek adalah nama, istilah symbol atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing.” Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan fitur, manfaat, dan jasa tertentu pada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan kualitas, tetapi merek lebih dari sekedar symbol. Menurut Kotler (2003:418) merek dapat memiliki enam level pengertian, yaitu sebagai berikut : 1. Attribut (attributes) Merek mengingatkan pada suatu atribut-atribut tertentu.
2. Manfaat (benefits) Merek bukan hanya sekedar dari atribut semata, dalam hal ini konsumen tidak membeli atribut melainkan mereka membeli manfaat. Atribut-atribut perlu diterjemahkan ke dalam manfaat emosional dan fungsional. 3. Nilai (value) Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4. Kebudayaan (culture) Merek juga mewakili budaya tertentu. 5. Kepribadian (personality) Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. 6. Pemakai (user) Merek menunjukan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Pemakai adalah orang-orang yang menghargai nilai, budaya, dan kepribadian produk tersebut. Dengan demikian dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing dapat menyamakan dengan menghasilkan produk yang mirip, namun merek tidak mungkin menawarkan janji yang emosional yang sama. Suatu merek pada akhirnya akan memberi tanda pada konsumen mengenai sumber produk tertentu dan melindungi produsen dan konsumen dari para kompetitor yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik.
2.2.1 Manfaat Merek Didalam pemberian merek pada suatu produk, banyak memberikan manfaat bagi konsumen maupun bagi produsen. 1. Manfaat merek bagi konsumen Menurut Schewe dan Smith (2001:263), Manfaat merek bagi konsumen adalah: a. Merek yang mudah diidentifikasi, yang juga memudahkan konsumen pada saat pembelian. b. Merek memberi jaminan kepada konsumen dengan kualitas yang tetap. Pengalaman yang baik terhadap suatu merek dapat menjadikan konsumen loyal atau setia terhadap merek tersebut, tetapi jika tidak terdapat pengalaman yang tidak baik terhadap merek tersebut, maka akan menyebabkan konsumen tidak lagi loyal atau setia terhadap merek tersebut. c. Suatu merek juga menjamin kualitas yang sebanding kepada konsumen, tidak peduli dimana produk tersebut dibeli. Sebagai contoh televisi merek Sony, harus tetap memberikan kualitas produk yang baik sekalipun dibeli dari toko discount. d. Merek dapat menyediakan penambahan pada kepuasan psikologi. Yang dimaksud disini adalah merek memberikan kepuasan intangible dalam bentuk perwujudan “self image”. Konsumen tidak hanya membeli jasa atau fisik dari produk tersebut, melainkan juga status sosial berikut pengakuan dan penghargaan yang dapat diharapkan dari merek tersebut. e. Dengan produk yang bermerek ada kecenderungan untuk meningkatkan kualitas setiap tahunnya. Dorongan untuk dapat memberikan kepuasan kepada konsumennya,
perusahaan harus dapat mempertahankan dan menciptakan inovasi-inovasi baru terhadap merek tersebut.
2. Manfaat merek bagi produsen Menurut Kotler (2003:408), Manfaat merek bagi penjualan adalah : a. Merek memberikan kemudahan bagi penjual untuk memproses pesanan dan menelusuri masalah. b. Nama merek dan tanda merek memberikan perlindungan hukum atas produk-produk yang unik. c. Merek memberikan kesempatan pada penjual untuk menarik pelanggan yang setia dan menguntungkan. Kesetiaan merek memberikan penjual perlindungan dari pesaing serta pengendalian yang lebih besar dalam perencanaan program pemasarannya. d. Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar. e. Merek yang kuat membangun citra perusahaan, memudahkan perusahaan dalam meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima oleh para distributor dan pelanggan.
2.3 Brand Trust Menurut pendapat para ahli, dikatakan bahwa merek memiliki respon yang potensial untuk menciptakan pengaruh dan kepercayaan dari konsumen. Oleh karena itu perlu diketahui secara jelas apakah yang dimaksud dengan brand trust dalam penelitian ini. Bagi perusahaan, kepercayaan konsumen terhadap suatu merek merupakan suatu target yang
penting untuk dicapai. Kelangsungan hidup baik perusahaan atau produk hasil dari perusahaan tersebut sangat bergantung pada kepercayaan konsumen. Menurut Hosmer (1995), definisi trust adalah : “Trust is not only been recognized as a very important human behavior but also been broadly discussed both in the fields of phychology, sociology, and economics and in the topics of management and marketing practices”. Menurut Morgan dan Hunt (2002:23), definisi brand trust adalah : “Brand trust is willingness of the average consumer to rely on the ability of the brand to perform it’s stated function Sedangkan Dooney dan Canyon (2001:37) mendefinisikan brand trust adalah: “It involve a calculative process based on the ability of an object or parts (brand) to continue to meet its obligation and on an estimation of the cost versus rewards of straying in the relationship.” Morman, Zaltmen, dan Desphande (2001), Dooneey dan Canyon (2001) keduanya menekankan bahwa pernyataan “percaya” hanya relevan terjadi pada situasi yang tidak pasti (misalkan dimana terdapat perbedaan besar dan kecil pada suatu merek). Secara keseluruhan Arjub Chanduri dan Moris B Hallbrook (2001:65) Menilai kepercayaan terhadap merek sebagai bentuk proses keterlibatan yang telah diduga sepenuhnya dan didasari secara mendalam. Menurut John C Mowen dan Michael Minnar (2000:437) mengatakan bahwa bentuk kepercayaan konsumen terhadap suatu merek pada sebagian besar terjadi apabila merek produk tersebut mampu memenuhi self concept, needs, dan value.
Self concept merupakan bentuk perasaan dan pekiraan secara keseluruhan dari individu terhadap sebuah objek yang mencerminkan dirinya. Komponen self concept terdiri dari : 1.
Actual self Bagaimana seseorang atau individu sebenarnya memahami dirinya.
2.
Ideal self Bagaimana seseorang atau individu akan dapat memahami tentang dirinya.
3.
Social self Bagaimana seseorang atau individu percaya bahwa orang lain memahami dirinya.
4.
Ideal social self Bagaimana seseorang atau individu menginginkan orang lain memahami dirinya.
5.
Expected self Menjelaskan bagaimana seseoang akan bersikap atau bertindak.
6.
Situational self Bagaimana sikap atau kepribadian seseorang pada situasi tertentu.
7.
Extended self Konsep kepribadian seseorang atau individu yang termasuk mampu mempengaruhi image kepribadian yang dimiliki individu tersebut.
8.
Possible self Bagaimana seseorang atau individu ingin menjadi, akan menjadi, dan takut untuk menjadi orang lain. Sedangakan Needs (kebutuhan) konsumen berdasarkan teori Maslow terdiri dari lima
bagian , yaitu :
1.
Physiological needs (kebutuhan fisiologis) Merupakan kebutuhan dasar dan merupakan tingkatan utama dari kebutuhan manusia.
2.
Safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman) Kebutuhan ini tidak hanya didasarkan atas pertimbangan keamanan fisik, akan tetapi juga rasa aman atas ketertiban, stabilitas, dan pengendalian hidup seseorang dan lingkungan.
3.
Social Needs (kebutuhan sosial) Kebutuhan ini mencakup kebutuhan akan rasa sayang, rasa saling memiliki, keinginan untuk bisa diterima dalam lingkungan pergaulan atau lingkungan social.
4.
Egoistic needs (kebutuhan sifat ego) Kebutuhan ini dapat berupa orientasi kedalam atau inward orientation dan keluar atau outward orientation atau bahkan keduanya. Orientasi kedalam mengarahkan kepada suatu gambaran kebutuhan individu akan kebebasan, kesuksesan, pengakuan diri, penerimaan diri, dan kepuasan pribadi terhadap pekerjaan dan telah dilaksanakan. Sedangkan orientasi keluar mengarahkan kepada suatu gambaran terhadap kebutuhan reputasi, status. Kesuksesan dan keberhasilan seseorang merupakan gambaran yang merefleksikan dari orientasi keluar ini.
5.
Need for self actualitation Kebutuhan ini mengarah pada keinginan individu untuk mewujudkan sesuatu hal yang dapat dilakukan untuk dicapai atau mencapau kepuasan yang telah didambakan Menurut John C Mowen dan Michael Minar (2001:226) value (nilai) yang diinginkan
oleh konsumen terhadap suatu produk meliputi :
1. Internal value Nilai internal individu meliputi kepuasan pribadi (self fulfillment) perasaan akan kesempurnaan (sense of accomplishment), penghargaan diri (self respect) dan kesenangan (excitement). 2. External Value Nilai external individu meliputi perasaan memiliki (regards of sense belonging) perasaan dihargai dengan baik (being well of respecting), dan keamanan (security). 3. Internal orientation value Orientasi hubungan antar pribadi seperti rasa nikmat dan kesenangan .
2.4 Brand Affect Penelitian Holbrook dan Hirschman (2001) menunjukan bahwa pada perilaku konsumen, aspek emosi, kenikmatan dan kesenangan merupakan aspek yang mendukung konsumen dalam mengambil keputusan memilih suatu merek. Terkait dengan hal ini, (Babin,BJ,Darden,W.R dan Griffin, 2000) membandingkan antara potensi nilai kesenangan, kenikmatan dengan nilai manfaat saat konsumen memilih suatu merek, yaitu merek yang dipilih hanya berdasarkan peningkatan kepuasan pribadi atau untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Aaker dan keller (2002), menyatakan bahwa brand affect is trateted as a global evaluative concept”. Brand affect merupakan konsep penilaian secara global.
2.4.1 Penilaian Brand Affect
Konsumen pada umumnya sulit membedakan antara daya tarik dengan penerimaan informasi produk pada saat mengadakan penilaian merek,
Daniel and Park (2002).
Ditegaskan penilaian brand affect dibagi menjadi dua kriteria : 1. Nilai hedonic (nilai yang berdasarkan emosi,kepuasan, dan kenikmatan) Yaitu harapan konsumen untuk merasakan adanya kepuasan dan kenikmatan pada saat menggunakan produk dengan pilihan merek tertentu. Konsumen yang memberikan keputusannya berdasarkan kriteria hedonic relatif lebih dapat dipercaya karena nilai yang langsung dialami oleh konsumen. 2. Nilai utilitarian (nilai yang berdasarkan asas manfaat) Kriteria utilitarian menekankan kemampuan merek yang sesuai dengan fungsi kehidupan konsumen sehari-hari. Konsumen yang mempunyai konsep berdasarkan kriteria utilitarian tidak mengaitkan pengalaman informasi yang telah diterima sebelumnya sebagai dasar keputusannya.
2.5 Brand Loyalty (Loyalitas Merek) “Brand loyalty dari sekelompok pelanggan seringkali merupakan inti dari brand equity” (Aaker 1991). Dengan demikian inti dari brand loyalty adalah membeli ulang suatu merek yang sama suatu produk secara kosisten. Namun demikian pembelian ulang yang dikatakan loyal menurut pendapat Oliver (1999) yang menyatakan, “Loyalty is a deeply held commitment to rebuy a preffered product/service consistently in the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching
behavior. Maksudnya loyalitas adalah komitmen mendalam untuk melakukan pembelian ulang suatu produk/jasa yang disukai secara konsisten di waktu yang akan datang. “Brand loyalty sudah lama menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek (Aaker 1991)”. Hal ini mencerminkan bagaimana seorang pelanggan
mungkin akan beralih ke merek lain,
terutama jika merek tersebut membuat suatu perubahan, baik dalam harga atau dalam unsur-unsur produk. Apabila brand loyalty meningkat , kerentanan kelompok pelanggan dari serangan kompetitif bisa dikurangi. Pengelolaan dan pemanfaatan yang benar dari suatu strategi pemasaran, maka akan membuat brand loyalty menjadi aset strategis bagi perusahaan. “beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan yaitu reduced marketing costs,costs trade leverage, attracting new customers, dan provide time to respond to competitive threats” (Aaker 1991,p.270). Menurut Assael (1991), “Brand loyalty represent a favorable attitude toward a brand resulting in consistent purchase of the brand over time”. Loyalitas merek mewakili sikap yang positif terhadap sebuah merek yang mengakibatkan pembelian secara konsisten terhadap merek tersebut sepanjang waktu. Terdapat dua aspek dari loyalitas merek, yaitu perilaku (behavioral) dan sikap (attitude). Perilaku atau loyalitas pembelian , meliputi pembelian secara berulang dari sebuah merek, sedangkan sikap loyalitas merek meliputi tingkat komitmen akan nilai unik yang diasosiasikan terhadap merek (Chaudhuri dan Holbrook, 2001). Berikut beberapa fungsi dari brand loyalty (Durianto et al 2001). 1. Dapat mengurangi biaya pemasaran
2. Mampu meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. 3. Mampu menarik minat pelanggan baru. 4. Memberikan waktu untuk merespons ancaman persaingan. Dalam kaitannya dengan loyalitas merek suatu produk, didapati adanya beberapa tingkatan loyalitas merek. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan loyalitas merek menurut (Aaker 1996) tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Switcher (konsumen yang suka berpindah-pindah) Tingkat pertama atau paling dasar dari piramida brand loyalty adalah switcher. Pelanggan yang masuk pada tingkat switcher memiliki perilaku sering berpindahpindah merek, yang disebabkan faktor harga. Hal ini mengindikasikan bahwa pelanggan tersebut sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek-merek yang dikonsumsi. Pada tingkatan ini merek apapun yang dikonsumsi oleh pelanggan dianggap memiliki peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian yang dilakukan. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah membeli suatu produk karena harga yang murah atau karena faktor insentif lainnya. pelanggan yang sering berganti-ganti merek dapat juga dikarenakan tidak berhasilnya perusahaan penghasil merek produk menerapkan switching barrier.
2.
Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) Tingkat kedua dari piramida brand loyalty adalah habitual buyer . habitual buyer merupakan aktivitas rutin konsumen dalam membeli suatu merek produk, meliputi proses pengambilan keputusan pembelian dan kesukaan terhadap merek produk tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian dalam arti dapat memakan waktu
yang lama atau relatif pendek, sedangkan kesukaan adalah setiap konsumen atas produk yang dikonsumsi. Pelanggan yang loyal pada merek tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan pembelian. Hal ini dikarenakan pelanggan sudah memiliki pengalaman yang baik dengan merek yang pernah dikonsumsi. Sebaliknya pelanggan yang tidak loyal pada merek, membutuhkan waktu yang lama untuk membuat suatu keputusan pembelian. Pelanggan masih memerlukan waktu untuk menimbang-nimbang kualitas, produk, harga, dan kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang akan diterima apabila mengkonsumsi merek-merek baru. Pelanggan yang berada pada tingkatan habitual buyer didalam piramida brand loyalty dapat dikategorikan sebagai pelanggan yang puas dengan merek produk yang dikonsumsi atau setidaknya pelanggan tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek tersebut. Pada tingkatan ini, pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pelanggan dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan pelanggan selama ini. Oleh sebab itu perusahaan harus dapat meningkatkan kualitas
produk untuk membuat pelanggan puas, dan
menjadi terbiasa mengkonsumsi merek yang memiliki kualitas tersebut. 3. Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Tingkat ketiga dari piramida brand loyalty adalah satisfied buyer. Pada saat ini, inti dari kegiatan pemasaran adalah meningkatkan kepuasan pelanggan. Perusahaan yang berorientasi pada pelanggan akan berusaha membuat keputusan pelanggan meningkat, agar pelanggan menjadi loyal dan pada akhirnya dapat menguntungkan. Pada
hakikatnya customer satisfaction adalah reaksi emosi jangka pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh Lovelock dan Wright (2002), “customer satisfaction is a short term emotional reaction to a specific product/service performance”. Hal ini berarti apabila pada saat ini pelanggan merasa puas, maka tidak dapat dipastikan dalan jangka panjang pelanggan tersebut akan senantiasa merasa puas dengan produk/pelayanan yang pernah dikonsumsi. Jadi, customer satisfaction adalah masalah perasaan dan waktu yang relatif pendek, oleh sebab itu perusahaan harus terus menerus memuaskan semua pelanggan agar dapat memenangkan persaingan bisnis yang sangat kompetitif. 4.
Likes the brand (menyukai merek) Tingkat keempat dari piramida brand loyalty adalah liking of the brand. Liking of the brand yaitu tingkatan kesukaan pelanggan pada suatu merek meliputi keterkaitan dan pengalaman. Adapun yang dimaksud dengan keterkaitan yaitu hanya menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk walaupun harga sejenis lain lebih murah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengalaman yaitu perasaan senang dan nyaman dengan pengalaman menggunakan produk yang dikonsumsi. Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Akan sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekedar suka pada suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan yang terkait dengan atribut merek. Ukuran dari rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemampuan untuk membayar dengan harga yang lebih
mahal untuk memperoleh merek tersebut, karena harga bukan merupakan penentu keputusan pembelian konsumen. Pelanggan yang masuk dalam kategori loyalitas liking of the brand merupakan pelanggan yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pelanggan bisa saja didasari oleh asosiasi (hubungan ) yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya, baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabat atau pun disebabkan oleh perceived value yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik. Itulah sebabnya perusahaan harus dapat menciptakan komunikasi pemasaran yang efektif dengan para pelanggannya, agar pelanggan tidak lagi menggunakan logika untuk menentukan keputusan pembeliannya, melainkan dengan emosionalnya. 5. Committed buyer (pembeli yang komit) Tingkat kelima dari piramida brand loyalty adalah committed buyer. Aaker (1991) memberikan definisi commitment yaitu kepercayaan bahwa produk yang dikonsumsi mampu melahirkan komunikasi dan interaksi di antara pelanggan yang ada. Dalam suatu merek yang kuat terdapat pelanggan yang memiliki komitmen dalam jumlah yang besar. Kesetiaan pelanggan akan timbul bila ada kepercayaan dari pelanggan terhadap merek produk yang dikonsumsi sehingga ada komunikasi dan interaksi diantara pelanggan, yaitu dengan membicarakan produk yang dikonsumsi tersebut.
Pada tahapan loyalitas committed buyer pelanggan merupakan pelanggan setia. Pelanggan memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi pelanggan dipandang dari segi fungsi maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya dari pelanggan. Pada tingkatan ini salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.
Committed Buyer Likes the Brand Satisfied Buyer Habitual Buyer Switcher/Price Buyer 2.1 Gambar Tingkatan Loyalitas Merk