BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Hasil Pembelajaran Matematika 2.1.1 Matematika Kata Matematika berasal dari bahasa Yunani (mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, relasi, perubahan, dan beraneka topik pola, bentuk, dan entitas. Para matematikawan mencari pola dan dimensi-dimensi kuantitatif lainnya, berkenaan dengan bilangan, ruang, ilmu pengetahuan alam, komputer, abstraksi imajiner, atau entitas-entitas lainnya. Dalam pandangan formalis, matematika adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; pandangan lain tergambar dalam filsafat matematika. Para matematikawan merumuskan konjektur dan kebenaran baru melalui deduksi yang menyeluruh dari beberapa aksioma dan definisi yang dipilih dan saling bersesuaian Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
8
Pengertian hasil pembelajaran matematika adalah sebuah pemikiran hasil usaha kegiatan belajar matematika yang dinyatakan dalam bentuk symbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu pada pelajaran matematika (Ayhuan dalam Wulandari 2008) Jadi dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil penguasaan pengetahuan yang yang dicapai oleh setiap anak yang dinyatakan dalam bentuk sangka, huruf, maupun kalimat dalam periode tertentu pada mata pelajaran matematika. 2.1.2 Tujuan Mata pelajaran matematika SMA kelas XI IPS bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006). a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah b.Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh d.Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Beberapa aspek kemampuan yang menjadi tujuan mata pelajaran matematika SMA kelas XI IPS adalah (Depdiknas, 2006).: a. Pemahaman konsep. Siswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep. b. Prosedur. Siswa mampu mengenali prosedur atau proses menghitung yang benar dan tidak benar. c. Komunikasi.
9
Siswa mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan. d. Penalaran. Siswa mampu memberikan alasan induktif dan deduktif sederhana e. Pemecahan masalah. Siswa mampu memahami masalah, memilih strategi penyelesaian, menyelesaikan masalah.
2.1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup pembelajaran matematika SMA kelas XI IPS menurut KTSP SMA adalah. a. Logika b. Aljabar c. Geometri d. Trigonometri e. Kalkulus f. Statistika dan Peluang.
2.1.4 Kompetensi yang akan dicapai Kompetensi yang hendak di capai dalam pembelajaran matematika di SMA kelas XI IPS semester 1 adalah (Depdiknas, 2006).: a. Membaca data dalam bentuk tabel dan diagram batang, garis lingkaran dan dan ogive b. Menyajikan data dalam bentuk tabel dan diagram batang, garis, lingkaran, dan ogive serta penafsiranya c. Menghitung ukuran pemusatan, ukuran, dan ukuran penyebaran data, serta penafsiranya. d. Menggunakan aturan perkalian permutasian, dan kombinasi dalam pemecahan masalah. e. Menentukan ruang sampel suatu percobaan. f. Menentukan peluang suatu kejadian dan penafsirannya.
2.1.5 Cara mengukur hasil pembelajaran matematika Cara mengukur hasil pembelajaran adalah dilakukan dengan pengukuran dan penilaian terhadap hasil pendidikan yang diberikan, yaitu dengan memberikan tes atau ujian. Setelah diberikan beberapa tes dalam satu semester atau caturwulan, kemudian akan diketahui hasil belajarnya melalui nilai raport dalam
10
bentuk angka. Nilai yang tertera di raport adalah nilai yang menunjukkan proses belajar siswa tersebut dalam kurun waktu tertentu atau dalam satu semester (Murjono dalam Oktaviyanti, 2007).
2.2 Kemandirian Belajar 2.2.1 Pengertian Kemandirian Belajar Menurut Del Siegle (dalam Slameto,2008) kemandirian belajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperluas pemahaman tentang disiplin ilmu tertentu melalui proses pencaritahuan yang di bawah panduan minat yang sama. Sedangkan menurut Hoshi (dalam Slameto, 2008) dalam kemandirian belajar siswa bertanggung jawab atas pembuatan keputusan yang berkaitan dengan proses belajarnya dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan keputusan-keputusan tersebut. Tahar (2006) berpendapat kemandirian belajar mendeskripsikan sebuah proses di mana individu mengambil inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk mendiagnosis kebutuhan belajar, memformulasikan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber belajar, memilih dan menentukan pendekatan strategi belajar, dan melakukan evaluasi hasil belajar yang dicapai. Kemandirian belajar menuntut tanggung jawab yang besar pada diri peserta ajar sehingga peserta ajar berusaha melakukan berbagai kegiatan untuk tercapainya tujuan belajar. kemandirian belajar sebagai bentuk belajar yang memiliki tanggung jawab utama untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi usahanya.
11
Menurut Thoha (1996) kemandirian adalah kebebasan seseorang dari pengaruh orang lain, yang diartikan kemampuan untuk menemukan sendiri apa yang harus dilakukan, menentukan dan memilih kemungkinan-kemungkinan dari hasil perbuatannya dan akan memecahkan sendiri masalah-masalah yang dihadapi tanpa harus mengharapkan bantuan orang lain. Selanjutnya Thoha (1996) menyatakan bahwa kemandirian belajar adalah aktifitas belajar yang didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta mampu mempertanggungjawabkan tindakannya. Siswa dapat memiliki kemandirian belajar jika memiliki ciri-ciri diantaranya mampu berpikir kritis, keatif, dan inovatif, tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain, tidak merasa rendah diri terus bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan serta mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri. Berdasarkan pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kemandirian belajar adalah suatu kebebasan belajar yang seseorang lakukan sesuai dengan kemampuan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain.
2.2.2 Ciri – ciri Kemandirian Belajar Thoha (1996) mengemukakan ciri-ciri kemandirian belajar sebagai berikut: a. Mampu berpikir kritis Seseorang yang mampu bersikap kritis, kreatif, dan inovatif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar dirinya, mereka tidak segera menerima begitu saja pengaruh dari orang lain tanpa dipikirkan terlebih dahulu segala kemungkinan yang akan timbul, tetapi mampu melahirkan suatu gagasan baru. b. Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain
12
c.
d.
e. f.
Seseorang yang dikatakan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain adalah orang yang mampu membuat keputusan secara bebas tanpa dipengaruhi oleh orang lain dan percaya pada diri sendiri. Tidak lari dan menghindari masalah Orang yang mandiri adalah tidak lari atau menghindari masalah di mana secara emosional berani menghadapi masalah tanpa bantuan orang lain. Apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Seseorang dapat dikatakan mandiri adalah apabila menjumpai masalah dan berusaha memecahkan masalah oleh dirinya sendiri. Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan Mampu bekerja keras dan sungguh – sungguh serta berupaya memperoleh hasil. Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri Dalam melakukan segala tindakan seseorang yang mandiri akan selalu bertanggung jawab atau siap menghadapi segala resiko atau konsekuensi dari tindakannya.
2.2.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar siswa menurut Thoha (1996) dapat dibedakan menjadi dua arah, yakni: a. Faktor dari Dalam Faktor dari dalam diri antara lain faktor kematangan usia dan jenis kelamin. Anak semakin tua usianya cenderung semakin mandiri. Di samping itu intelegensi seseorang juga berpengaruh terhadap kemandirian seseorang. b. Faktor dari luar Faktor dari luar yang mempengaruhi kemandirian seseorang ialah: 1.) Faktor kebudayaan Kemandirian dipengaruhi oleh kebudayaan. Masyarakat yang maju dan kompleks tuntutan hidupnya cenderung mendorong tumbuhnya kemandirian dibanding dengan masyarakat yang sederhana. 2.) Faktor keluarga terhadap anak Pengaruh keluarga terhadap kemandirian anak adalah meliputi aktivitas pendidikan dalam keluarga. Kecenderungan cara mendidik anak, cara memberi penilaian pada anak bahkan sampai pada acara hidup orang tua berpengaruh terhadap kemadirian anak. Menurut Hasan Basri (1994 dalam Astuti, 2005) kemandirian belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor yang terdapat di dalam dirinya sendiri (factor endogen) dan faktor-faktor yang terdapat di luar dirinya (faktor eksogen). a. Faktor endogen (internal)
13
Faktor endogen (internal) adalah semua pengaruh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak dilahirkan dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu yang dibawa sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan individu selanjutnya. Bermacam-macam sifat dasar dari ayah dan ibu mungkin akan didapatkan didalam diri seseorang, seperti bakat, potensi intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya. b. Faktor eksogen (eksternal) Faktor eksogen (eksternal) adalah semua keadaan atau pengaruh yang berasal dari luar dirinya, sering pula dinamakan dengan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, baik dalam segi negatif maupun positif. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang baik terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan-kebiasaan hidup akan membentuk kepribadian, termasuk pula dalam hal kemandiriannya
14
2.3 Konsep Diri 2.3.1 Pengertian Konsep Diri Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ia menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan nilai serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang dilakukan terhadap dunia di luar dirinya. Fitts (1971) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen dalam Keliat,1992). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungannya, nilainilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Secara umum disepakati bahwa konsep diri belum ada saat lahir. Yenas (2002) mengatakan konsep diri merupakan suatu sikap dari diri sendiri sebagai suatu hal yang mempengaruhi secara keseluruhan seolah-olah hanya dirinya saja yag mengalami masalah tersebut. Menurut William D. Brooks
15
bahwa pengertian konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya (Rakhmat, 2005:105).
2.3.2 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok yaitu sebagai berikut: a. Dimensi Internal Dimensi internal atau yang biasa disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan oleh individu yakni penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari enam bentuk : 1) Diri Identitas (identity self) Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan “siapakah saya” dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri sendiri (self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “saya Ita”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti “saya pintar terlalu gemuk” dan sebagainya. 2) Diri Pelaku (behavioural self) Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang harus dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat menampakkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilaian. 3) Diri Penilaian (judging self) Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dengan diri pelaku. Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkan. 4) Diri fisik (physical self) Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal inin terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya,
16
penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus). 5) Diri etik-moral (moral-ethical self) Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya meliputi batasan baik dan buruk. 6) Diri pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan dan persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana dia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. 7) Kritik diri (Self Criticism) Aspek dari kritik diri ini menggambarkan sikap "keterbukaan" diri dalam menggambarkan diri pribadi. Aspek ini diukur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat merendahkan dan kurang menyenangkan mengenai diri seorang individu, tetapi dinyatakan secara halus sehingga pada umumnya individu akan mau mengakui sebagai suatu kebenaran bagi dirinya sendiri. Derajat keterbukaan dari diri yang terlalu rendah, menunjukkan sikap defensif individu. Individu yang normal memiliki derajat kritik diri yang tinggi, b. Dimensi Eksternal Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya dirinya yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts (1971) adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas 2 bentuk yaitu : 1) Diri keluarga (family self) Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian inimenunjukkan seberapa jauh seseorang merasa kuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga serta terhadap peran maupun fungsi yang diajarkan sebagai anggota dari suatu keluarga. 2) Diri sosial (social self) Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya.
2.4 Penelitian yang Relevan
17
Penelitian yang dilakukan oleh Wawan Sukhron fauzi (2010) mengenai “hubungan Konsep Diri dan Kemandirian Belajar terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pengetahuan Dasar Teknik Mesin (PDTM) Siswa Kelas XI Program Teknik Pemesinan SMK Muhammadiyah 1 Kepanjen” menghasilkan pengujian hipotesis hubungan konsep diri dengan hasil belajar pada mata pelajaran PDTM menunjukkan bahwa nilai signifikansi adalah (0,002) < 0,05, dan thitung (3,263) > ttabel (2,008). Hubungan Kemandirian Belajar dengan hasil belajar pada mata pelajaran produktif menghasilkan nilai Signifikansi (0,000) < 0,05. dan thitung (11,528) > ttabel (2,008), Sehingga H0 ditolak dan menerima hipotesis yang diajukan. Sedangkan pengujian hipotesis hubungan secara simultan menunjukkan bahwa tingkat signifikansinya (0,000) < 0,05. dan Fhitung (208,) > Ftabel (3,18), sehingga H0 ditolak dan menerima hipotesis yang diajukan. Pada penelitian yang dilakukan Muktafi Rafsanjani (2011) mengenai “Hubungan antara konsep diri dan minat belajar dengan prestasi belajar matematika” memperoleh hasil adanya hubungan positif antara konsep diri dan prestasi belajar karena koefisien korelasi konsep diri dan prestasi belajar 0,116 dengan koefisien proporsi 0.000 lebih kecil dari tingkat signifikansi 0.05. Pada penelitian yang dilakukan Belina Prasti (2011) mengenai “Hubungan antara konsep diri dengan prestasi belajar matematika kelas VIII SMP N 2 Tengaran” menghasilkan koefisien korelasi r=0,489 dengan signifikansi 0,000 p<0,05. Itu menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara konsep diri dan prestasi belajar.
18
Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf Taufik (2005) mengenai “Hubungan antara konsep diri dan motif sosial dengan prestasi belajar siswa kelas 2 tehnik elektro jurusan listrik pemakaian SMK Saraswati Salatiga” memperoleh hasil koefsien korelasi antara konsep diri dengan prestasi belajar yaitu r=0,045 dengan p=0,340. Menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsep diri dan prestasi belajar. Penelitian mengenai “Hubungan antara kemandirian belajar dengan prestasi belajar matematika pada siswa kelas XI IPA SMA N 1 Salatiga semester 1 2009/2010” yang dilakukan oleh Sakti Puri (2010) memperoleh hasil r=0,242 , p=0,000 menunjukkan bahwa varian skor prestasi belajar matematika dapat disebabkan oleh varian skor kemandirian belajar sebesar 5,86% dan 94,14% lainnya adalah faktor lain diluar kemandirian belajar.
2.5 Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkap sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: a. Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan hasil pembelajaran matematika semester 1 siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Ambarawa. b. Ada hubungan yang signifikan antara kemandirian belajar dengan hasil pembelajaran matematika semester 1 siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Ambarawa.
19