BAB II LANDASAN TEORI
A. Akhlak 1. Pengertian Akhlak Secara etimologis kata akhlak merupakan kata serapan dari bahasa ُ yang menurut bahasa berarti budi Arab, jamak dari kata khuluqun (ٌ)خلُ ك pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segiَ yang berarti kejadian, segi persesuaian dengan perkataan khalqun (ٌ)خلْ ك َ yang berarti pencipta; yang erat juga hubungannya dengan khaliq (ٌ)خالِ ك demikian pula dengan makhluqunٌ(ٌ ) َم ْخلُ ْىقyang berarti yang diciptakan.1 Persamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan). Berdasarkan pengertian akhlak secara etimologis maka akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun. 2
1
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 11.
2
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: LPPI UMY, 2004), hlm. 1.
24
25
Secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhlak yang dikemukakan oleh para ilmuwan Islam, dalam hal ini penulis hanya menyertakan tiga pendapat yaitu: a. Imam al-Ghazali Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. b. Ibrahim Anis Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah
macam- macam
perbuatan,
baik
atau
buruk,
tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. c. Abdul Karim Zaidan Akhlak adalah nilai- nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, atau kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya. Ketiga definisi tersebut sepakat menyatakan bahwa akhlak atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.3
3
Yunahar Ilyas, ibid., hlm. 1-2.
26
Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:4 a. Perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. b. Perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. c. Perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. d. Perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main- main atau karena bersandiwara. e. Perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata- mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji. Pada hakikatnya akhlak adalah perpaduan antara lahir dan batin. Seseorang dikatakan berakhlak apabila seirama antara perilaku lahirnya dan batinnya. Karena akhlak itu terkait dengan hati, maka pensucian hati adalah salah satu jalan untuk mencapai akhlak mulia. Di dalam pandangan Islam hati yang kotor akan menghalangi seseorang mencapai akhlak mulia. Bisa saja seseorang berperilaku baik namun kebaikannya itu bukan merupakan akhlak mulia, hal ini disebabkan karena kebaikan tersebut tidak dilandasi oleh hati yang mulia pula. Pada tataran akhlak berperan ganda antara lahir dan batin, sedangkan etika atau moral berada pada tataran lahiriah saja. Seseorang dikatakan beretika atau bermoral ketika ia telah menunjukkan sikap sopan
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 4-6.
27
dan terpuji. Tetapi bagi akhlak belum cukup demikian, haruslah dibarengi dengan sikap hati yang terpuji. Misalnya seorang penjaga toko mengumbar senyumnya kepada pelanggan dan dengan santun serta penuh tata krama menawarkan barang dagangannya, dipandang dari sudut etika atau moral seseorang itu telah beretika atau bermoral. Tetapi dipandang sudut akhlak belum tentu, karena harus dilihat dulu hatinya, apabila hatinya juga menunjukkan sikap terpuji, maka barulah seseorang itu dikatakan berakhlak.5 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak a. Aliran nativisme Faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan akhlak seseorang menurut aliran nativisme adalah faktor pembawaan dari dalam diri orang tersebut yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal dan lain- lain. Apabila sejak lahir seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi baik.
6
Menurut aliran
nativisme, pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam perkembangan seorang anak dan tidak mengubah sifat-sifat pembawaan anak tersebut.7
5
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 133-134. 6 7
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 167.
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Il mu Pendidikan Islam: Rancang Bangun Konsep Pendidikan Islam Monokotomik-Holistik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 35.
28
b. Aliran empirisme Menurut aliran empirisme faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan akhlak seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan ya ng diberikan. Apabila pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka anak tersebut akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. 8 Menurut aliran ini, seorang anak sejak dilahirkan tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik dan pendidikan, serta lingkungan berkuasa atas pembentukan anak. Seseorang dapat dididik apa saja baik itu ke arah yang lebih baik maupun ke arah yang lebih buruk menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya.9 c. Aliran konvergensi Aliran konvergensi berpendapat bahwa pembentukan akhlak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yaitu pembawaan dan faktor eksternal yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Aliran ini tampaknya sesuai dengan ajaran Islam. Di dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia mempunyai potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari.
10
8
Abuddin Nata, loc.cit.
9
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, op.cit., hlm. 37.
10
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 167-168.
29
3. Ruang Lingkup Akhlak Syariat Islam mencakup segenap aktivitas manusia, sehingga ruang lingkup akhlak pun meliputi seluruh aktivitas manusia dalam segala bidang kehidupan. Secara garis besar akhlak dibagi menjadi dua, yaitu 11 : a. Akhlak terhadap Allah atau Khalik (Pencipta) Patut bagi manusia sebagai hamba Allah mempunyai akhlak yang baik kepada Allah. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia diberikan oleh Allah kesempurnaan dan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain. Kelebihan tersebut berupa akal untuk berpikir, perasaan dan nafsu. Menurut Quraish Shihab seperti yang dikutip oleh M. Yatimin Abdullah, mengatakan bahwa titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu jangankan manusia, malaikat pun tidak mampu menjangkaunya.12 Akhlak terhadap Allah adalah selalu merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan manusia. Akhlak kepada Allah itu melahirkan akidah dan keimanan yang benar kepada Allah, terhindari syirik, mentauhidkan-Nya. Apabila terjalin hablumminallah yang baik, maka sikap tersebut membawa implikasi kepada kehidupan manusia. Muncul
11
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 351-352. 12
hlm. 200.
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Alquran (Jakarta: Amzah, 2007),
30
perasaan malu dan takut untuk berbuat sesuatu yang dilarang Allah. Inilah inti dan hakikat dari akhlak kepada Allah. 13 b. Akhlak terhadap makhluk 1) Akhlak terhadap manusia a) Akhlak terhadap diri sendiri Islam mengimbangi hak-hak pribadi, hak-hak orang lain dan hak masyarakat sehingga tidak timbul pertentangan. Berkenaan dengan akhlak terhadap diri sendiri, Islam memerintahkan pemeluknya untuk menunaikan hak-hak pribadinya dan berlaku adil terhadap dirinya. Di dalam pemenuhan hak- hak pribadi tersebut, seseorang tidak boleh merugikan hak-hak orang lain.14 b) Akhlak terhadap orang lain Berkenaan dengan akhlak terhadap orang lain, Islam mengajarkan
umatnya
untuk
mencintai
saudaranya
sebagaimana ia mencintai diri sendiri. Sebagai seorang muslim harus menjaga perasaan orang lain, tidak boleh membeda-bedakan dalam bersikap terhadap orang lain. Selain itu Islam juga mengajarkan umatnya agar mereka saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan kepada Allah. 15 Pemeliharaan hak- hak masyarakat saling berkaitan
13
Haidar Putra Daulay, op.cit., hlm. 136.
14
M. Yatimin Abdullah, op.cit., hlm. 212.
15
M. Yatimin Abdullah, ibid., hlm. 213.
31
erat dengan dasar-dasar kejiwaan yang mulia, sehingga akhlak terhadap sesama manusia dapat dimanifestasikan dengan cara menunaikan hak-hak sosial terpenting yang meliputi 16 : (1) Hak terhadap kedua orang tua Setiap pendidik wajib mengenalkan kepada peserta didik akan hak kedua orang tua yang harus dipenuhi oleh seorang anak, yaitu berbuat baik, taat dan mengabdi, memeperhatikan mereka di kala usia senja, tidak membentak, dan selalu mendoakan mereka ketika sudah wafat, dan lain sebagainya.17 (2) Hak terhadap sanak saudara Maksud dari kata saudara di sini adalah orang-orang yang mempunyai pertalian kekerabatan dan keturunan. Para pendidik harus memberikan pemahaman kepada peserta didik akan hak-hak kekerabatan dan persaudaraan, agar di dalam jiwa anak tumbuh perhatian terhadap orang lain,
dan
kecintaan
terhadap
orang-orang
yang
mempunyai ikatan keturunan.18 (3) Hak terhadap tetangga Tetangga adalah setiap orang yang berdekatan baik dari sebelah kiri, kanan, atas, atau bawah, sekitar 40 16 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I, alih bahasa Jamaluddin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 464. 17
Abdullah Nasih Ulwan, ibid.
18
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 482-483.
32
rumah. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus kita penuhi. Hak-hak tetangga itu ada empat, yaitu tidak boleh disakiti, dilindungi dari orang-orang yang hendak berbuat jahat, dihormati dengan baik, dan membalas kejelekannya dengan kebaikan dan maaf. 19 (4) Hak terhadap guru Setiap
anak
harus
diajarkan
supaya
mereka
menghormati guru dan melaksanakan haknya. Sehingga anak tumbuh di atas etika sosial yang tinggi terhadap guru yang mengarahkan dan mendidiknya, terutama jika guru tersebut adalah orang yang saleh, bertakwa, dan berakhlak mulia.20 (5) Hak terhadap teman Pendidik harus menanamkan hak-hak persabahatan kepada peserta didik. Hak- hak tersebut antara lain berziarah ke rumah mereka bila ditimpa kematian, menjenguk bila mereka sakit, memberikan hadiah jika mereka sukses, mengingatkan jika mereka lupa dan menolong jika mereka membutuhkan.21
19
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 489-490.
20
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 502.
21
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 516.
33
(6) Hak terhadap orang yang lebih tua Orang yang lebih tua di sini adalah orang yang usianya lebih tua, ilmunya lebih banyak, ketakwaan, agama, kemuliaan dan kedudukannya lebih tinggi dari kita. Jika mereka adalah orang-orang yang ikhlas demi agama dan mulia karena berpegang kepada syariat Allah, maka
kita
harus
mengerti
keutamaan
mereka,
melaksanakan hak mereka dan menjalankan kewajiban menghormati mereka.22 2) Akhlak terhadap alam sekitar Alam merupakan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi beserta isinya. Allah melalui Al-Qur’an mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam semesta beserta seluruh isinya. Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan oleh Allah untuk mengelola bumi dan alam semesta ini. Manusia diturunkan ke bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya.23 4. Akhlak Siswa Akhlak siswa atau peserta didik dalam hal ini bukan hanya sekedar hal- hal yang berkaitan dengan ucapan, sikap dan perbuatan yang harus ditunjukkan oleh siswa baik dalam pergaulan di sekolah maupun di luar sekolah. Melainkan berbagai ketentuan lainnya yang memungkinkan dapat 22
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 524.
23
M. Yatimin Abdullah, op.cit., hlm. 230-231.
34
mendukung efektivitas proses belajar mengajar. Pengetahuan terhadap akhlak siswa ini bukan hanya perlu diketahui oleh setiap siswa dengan tujuan agar mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari- hari, namun juga perlu diketahui oleh setiap guru, dengan tujuan agar dapat mengarahkan dan membimbing para siswa untuk mengikuti akhlak tersebut. Akhlak siswa secara umum telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengenai ruang lingkup akhlak. Selain itu, terdapat pula akhlak yang secara khusus berkaitan dengan tugas dan fungsi seorang siswa. Akhlak yang secara khusus ini harus dimiliki oleh setiap siswa dalam rangka mendukung efektivitas atau keberhasilannya dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Akhlak secara khusus tersebut berkaitan dengan akhlak siswa terhadap diri sendiri, akhlak siswa terhadap guru dan akhlak siswa terhadap kegiatan belajar mengajar. 24
B. Akhlak terhadap Guru 1. Hakikat Guru Istilah guru dalam paradigma Jawa merupakan singkatan dari kata “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh
24
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 181-183.
35
peserta didiknya. Pengertian tersebut diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu (knowledge) tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta didik. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (yang didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (yang dilihat oleh peserta didik). 25 Guru adalah orang yang memberikan ilmu kepada peserta didik, serta membimbing jiwa mereka sekaligus pula mengarahkan tingkah laku mereka kepada yang baik. Ada beberapa istilah dalam Islam yang berkenaan dengan guru yaitu muallim, murabbi, muaddib dan mudarris. Tugas mereka ada tiga hal yaitu, pertama, mentransferkan ilmu, memberikan ilmu kepada peserta didiknya dalam bentuk proses pengajaran. Kedua, menanamkan nilai-nilai yang baik, dalam hal ini menanamkan value (nilai), di sinilah letak pembentukan akhlak yang baik, membentuk karakter. Ketiga, melatih peserta didik untuk memiliki keterampilan dan amal yang baik.26 Guru adalah pekerja profesional yang secara khusus disiapkan untuk mendidik anak-anak yang telah diamanatkan orang tua untuk dapat mendidik anaknya di sekolah. Guru sebagai pendidik merupakan orang tua kedua dan sekaligus penanggung jawab pendidikan anak. Dengan demikian, kedua orang tua merupakan penanggung jawab utama pendidikan anak ketika di luar sekolah, sedangkan guru merupakan
25
Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm.
26
Haidar Putra Daulay, op.cit., hlm. 103.
91-92.
36
penanggung jawab utama pendidikan anak melalui proses pendidikan formal di sekolah.27 Menurut Ramayulis sebagaimana dikutip oleh Heri Gunawan, hakikat pendidik (guru) adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi mereka, baik afektif, kognitif dan psikomotorik. Lebih lanjut, Zayadi sebagaimana dikutip oleh Heri Gunawan mengatakan secara formal bahwa, selain mengupayakan seluruh potensi peserta didik, mereka juga bertanggung jawab untuk memberi pertolongan pada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan sebagai pribadi yang dapat memenuhi tugasnya sebagai abdullah dan khalifatullah.28 2. Kedudukan Guru dalam Islam Agama Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik. Di dalam Islam, orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (guru) sangat luhur kedudukannya di sisi Allah SWT daripada yang lainnya. Allah SWT berfirman:
ۡ َّ س ٌف َ ۡٱف َسحُىاْ ٌي َ ۡف َس ِح ٌ ٌٱَّلل ُ ٌل َ ُك ۡ ۖۡم َ يَٰٓ َأَيُّهَاٌا لَّ ِز ِ يه ٌ َء ا َمى ُ َٰٓىاْ ٌ ِإ َراٌلِي َل ٌ لَ ُكمۡ ٌتَف َ َّسحُىاْ ٌفِي ٌٱل َم َج ِل ٌ يه ٌأُوتُى ْا ٌا ۡل ِع ۡل َم ٌُ َّ ٌ يل ٌٱو ُش ُض واْ ٌفَٱو ُش ُض واْ ٌي َ ۡشف َ ِع َ يه ٌ َء ا َمى ُىاْ ٌ ِمى ُك ۡم ٌ ٌَو ال َّ ِز َ ّللا ٌ ال َّ ِز َ َِو ِإ َر اٌل َّ ٌَد َسجٌ ٖۚت ٌ َو ٌ ٌ (١١)ٌ يشٞ ٱَّلل ٌُ ِب َماٌت َ ۡع َملُى َن ٌ َخ ِب 27 28
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, op.cit., hlm. 97.
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Ka jian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 164.
37
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujadalah : 11) Guru merupakan sebuah profesi yang sangat mulia, hal ini dikarenakan guru mempunyai tugas-tugas atau fungsi yang mulia. Fungsi tersebut di antaranya adalah fungsi penyucian, yang berarti guru sebagai pemelihara diri, pengembang dan pemelihara fitrah manusia. Kemudian guru juga mempunyai fungsi pengajaran, yang berarti guru sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan seharihari. Peranan guru sangat penting dalam proses pendidikan, karena gurulah yang bertanggung jawab dalam menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati guru. Bahkan, begitu tingginya penghargaan Islam terhadap pendidik sehingga menempatkan kedudukannya setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. 29 Pendidik atau guru adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. 30
29
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 142-143. 30
Abdul Mujib, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 88.
38
Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi dari ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan merupakan hasil dari proses belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang belajar dan mengajar, tak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya guru. Pada zaman sekarang, tingginya kedudukan guru dalam Islam masih dapat disaksikan secara nyata. Hal tersebut dapat kita jumpai terutama di pesantren-pesantren di Indonesia. Sudah menjadi tradisi bahwa para santri tidak berani menantang sinar mata kiainya, sebagian lagi membungkukkan badan tatkala menghadap kiainya. Bahkan konon ada santri yang tidak berani kencing menghadap rumah kiai sekalipun ia berada dalam kamar yang tertutup. Betapa tidak, mereka silau oleh tingkah laku kiai yang begitu mulia, sinar matanya yang “menembus”, ilmunya yang luas dan dalam, serta doanya yang diyakini mujarab. 31 3. Akhlak terhadap Guru Menurut Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji a. Sekilas tentang Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji atau yang lebih dikenal dengan sebutan Az- Zarnuji adalah salah seorang pemikir Islam yang berasal dari Kota Zarnuj, Turki. Az-Zarnuji hidup pada masa kejayaan
31
Ahmad Tafsir, Il mu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 76-77.
39
ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut berlangsung hingga abad ke empat belas. Salah satu karya beliau dalam bidang pendidikan adalah kitab yang berjudul Ta’lim Muta’allim. Kitab ini berisi tentang tuntunan atau panduan belajar bagi peserta didik sekaligus panduan bagi pendidik dalam mengajar. Kitab tersebut memiliki kotribusi besar dalam membendung rasionalisme yang terbukti membawa ekses negatif. Pada masanya kitab tersebut telah tampil sebagai alternatif untuk mengatasi ekses-ekses rasionalisme pada abad ke empat belas. 32 b. Pandangan Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji tentang akhlak terhadap guru Akhlak terhadap guru merupakan akhlak paling penting yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Hendaknya setiap siswa menganggap guru mereka sebagai seorang pengajar dan pendidik. Guru telah berusaha dengan susah payah sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu kepada para siswa dan sebagai pendidik yang membimbing mereka pada budi pekerti yang baik.33 Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji menempatkan hak seorang guru sebagai hak yang paling utama dan hak yang paling wajib dijaga oleh setiap orang Islam. Siapa pun yang mengajari seseorang walaupun hanya satu huruf namun hal tersebut dibutuhkan oleh orang yang
32
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrah im Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 265-267. 33
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, op.cit., hlm. 180.
40
diajari berarti orang yang mengajari tersebut layaknya ayah dalam agama bagi orang yang diajari.34 Menurut Az-Zarnuji, setiap siswa mempunyai kewajiban untuk menghormati ilmu, orang yang berilmu dan pendidiknya (guru). Sebab apabila seorang siswa melukai hati gurunya maka berkah ilmunya bisa tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya. 35 Az-Zarnuji memberikan beberapa cara untuk menghormati pendidik. Cara-cara yang ditawarkan tersebut pada prinsipnya adalah peserta didik harus melakukan hal- hal yang membuat pendidik rela, menjauhkan amarahnya dan
menaati perintahnya,
yang tidak
bertentangan dengan agama Allah.36 Berikut
ini adalah akhlak-akhlak
terhadap
guru
yang
ditawarkan oleh Az-Zarnuji37 : 1) Hendaknya siswa menghormati dan mengagungkan guru. 2) Hendaknya siswa berbicara di hadapan guru setelah mendapat izin. 3) Hendaknya siswa tidak bertanya ketika guru sedang bosan. 4) Hendaknya siswa mencari keridhaan guru dan menjauhi hal- hal yang dibenci guru. 5) Hendaknya siswa menaati perintah guru, selama perintah tersebut bukan kemaksiatan.
34
Imam Burhanul Islam A z-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, alih bahasa Ahmad Sunarto (Surabaya: Al Miftah, 2012), hlm. 71. 35
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, op.cit., hlm. 272.
36
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, ibid., hlm. 292.
37
Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji, op.cit., hlm. 71-75.
41
6) Selain menghormati guru, hendaknya siswa menghormati anakanak guru dan orang-orang yang berhubungan dengan guru. 7) Hendaknya siswa mendengarkan ilmu dan nasehat dengan penuh penghormatan meskipun ia telah mendengar sebanyak seribu kali. 8) Hendaknya siswa tidak duduk di dekat guru, karena hal ini termasuk salah satu bentuk penghormatan terhadap guru. 4. Akhlak terhadap Guru Menurut Abdullah Nasih Ulwan a. Sekilas tentang Abdullah Nasih Ulwan Abdullah Nasih Ulwan adalah salah seorang pemikir Islam pada abad ke 20 yang berasal dari Mesir. Buah pikirannya sangat luas, tidak terbatas dalam bidang pendidikan dan pengajaran, tetapi juga dalam bidang lain seperti hukum dan fiqh. Beliau adalah seorang pemikir Islam yang murni. Segala ide dan pemikirannya didasarkan pada Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw., kemudian memberikan ilustrasi penjelasannnya pada apa yang telah diperbuat Rasulullah saw., para sahabatnya, dan para salaf yang salih. Beliau tidak mengambil referensi para pemikir Barat kecuali dalam keadaan yang sangat penting untuk maksud tertentu, misalnya untuk menguatkan kebenaran Islam dan eksistensi daulah Islam. Sa lah satu karya beliau dalam bidang pendidikan adalah Tarbiyatul Aulad fil Islam (Pendidikan Anak-anak dalam Islam).38
38
Abdul Kholiq, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 53.
42
b. Pandangan Abdullah Nasih Ulwan tentang akhlak terhadap guru Menurut Abdullah Nasih Ulwan hak sosial terpenting yang harus diperhatikan dan diingat oleh para pendidik baik orang tua maupun guru adalah mendidik anak supaya menghormati guru dan melaksanakan haknya. Dengan demikian anak akan tumbuh di atas etika sosial yang tinggi terhadap guru yang telah mengarahkan dan mendidiknya, terutama jika guru itu adalah orang yang saleh, bertakwa dan berakhlak mulia.39 Thabrani di dalam Al-Ausath, meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ٌ ضع ُْىا ٌ ِل َم ْه ٌت َ َعل َّ ُم ْى َن َ ٌ َوت َ َىا,ت َ َعل َّ ُمىاٌالْ ِعلْ َم ٌ َوٌت َ َعل َّ ُم ْىا ٌ ِللْ ِعلْ ِم ٌالسَّا ِكىَة َ ٌ َوٌالْ َىلَا َس )ٌ(سوايٌالطبشاوي.ُ ًِْمى Artinya: “Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu (yang dapat menumbuhkan) ketenangan dan kehormatan, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang yang kamu ambil ilmunya.” (H.R. Thabrani) Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi bahwa Rasulullah saw. bersabda:
َ اَللّه ُ َّم ٌّّل ٌي ُ ْذ ِس ُك ِى ْي ٌ َص َمان ٌ , ٌ َو ٌَّل ٌي ُ ْستَحْ يَاٌ ِفيْ ًٌِ ِم َه ٌالْ َح ِلي ِْم,ٌّل ٌيُتْب َ ُع ٌ ِفيْ ًٌِالْ َع ِليْ ُم, ْ ُلُل ُ ْىبُه ُ ْم ٌلُل ُ ْىب ) ٌ(سوايٌأحمذ.ب ِ اج ِم ٌ َو ٌأَلْ ِسىَتُه ُ ْم ٌأَلْ ِسىَة ٌُالْ َع َش ِ ٌاْل َ َع Artinya: “Ya Allah, jangan sampai aku dipertemukan dengan suatu masa di mana (manusia) tidak mau mengikuti orang alim, tidak
39
Abdullah Nasih Ulwan, op.cit., hlm. 502.
43
malu kepada yang berlemah lembut, hati mereka adalah hati orangorang asing, sedang lisan (bahasa) mereka adalah lisan Arab. ” (H.R. Ahmad)
40
Dari hadits-hadits yang disampaikan oleh Rasulullah saw. di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut41 : 1) Seorang siswa hendaklah hormat kepada gurunya, mengikuti pedapat dan petunjuknya. 2) Seorang siswa hendaklah memandang gurunya dengan keagungan dan meyakini bahwa gurunya itu memiliki derajat kesempurnaan. 3) Hendaknya siswa mengetahui hak- hak yang harus diberikan kepada gurunya dan tidak melupakan jasanya. 4) Jika guru mempunyai perangai kasar dan keras, hendaklah murid bersikap sabar. 5) Seorang murid hendaknya duduk dengan sopan di depan gurunya, tenang, merendahkan diri dan hormat, sambil mendengarkan, memperhatikan, dan menerima apa yang disampaikan gurunya, tanpa menoleh ke mana pun, kecuali jika perlu. 6) Seorang murid hendaknya jangan menghadap gurunya di kelas atau di tempat khusus sebelum mendapatkan izin. 7) Apabila guru sedang menyampaikan pelajaran hendaklah seorang murid mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa butuh dan gembira, seakan-akan ia belum pernah mendengarnya sama sekali. 40
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 503-504.
41
Abdullah Nasih Ulwan, ibid., hlm. 504-511.
44
8) Tidak layak seorang murid menanyakan ulang atau meminta penjelasan kembali tentang apa yang telah diajarkan gurunya. 9) Tidak layak pula bagi seorang murid untuk membuang atau mengalihkan perhatiannya kepada hal lain, lalu meminta gurunya untuk mengulang apa yang telah dikatakannya. 5. Akhlak terhadap Guru Menurut K.H. Hasyim Asy’ari a. Sekilas tentang K.H. Hasyim Asy’ari K.H. Hasyim Asy’ari merupakan seorang tokoh yang berasal dari Kota Jombang, Jawa Timur yang piawai dalam gerakan dan pemikiran pendidikan. K.H. Hasyim Asy’ari dapat dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di tanah Jawa. Selain ahli dalam bidang agama, beliau juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, beliau adalah seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Beliau menghabiskan waktu dari pagi hingga malam hari untuk mengajar para santrinya. Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan adalah kitab “Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ila al-Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff alMu’allim fi Maqamat Ta’limi”, yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. Sebagaimana kitab kuning lainnya, pembahasan dalam kitab tersebut lebih ditekankan pada masalah pendidika n etika. Namun demikian karya tersebut tidak berarti menafikan beberapa aspek
45
pendidikan lainnya. Keahlian K.H. Hasyim Asy’ari turut pula mewarnai isi kitab tersebut. Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadits sebagai dasar dari penjelasannya, di samping beberapa ayat Al-Qur’an dan pendapat para ulama.42 b. Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari tentang akhlak terhadap guru Salah satu tugas dan tanggung jawab seorang siswa adalah mempunyai akhlak yang baik terhadap gurunya. Membahas mengenai akhlak siswa terhadap guru, K.H. Hasyim Asy’ari menawarkan dua belas etika sebagai berikut43 : 1) Hendaknya selalu memerhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru. 2) Memilih guru yang wara’ (berhati-hati) di samping profesional. 3) Mengikuti jejak-jejak guru. 4) Memuliakan guru. 5) Memerhatikan apa yang menjadi hak guru. 6) Bersabar terhadap kekerasan guru. 7) Berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya. 8) Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru. 9) Berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut. 42
Syamsul Kurn iawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam: Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al -Banna, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyi m Asy’ari, Hamka, Basiuni Imran, Hasan Langgulung, Azyumardi Azra (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 203-211. 43
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, ibid., hlm. 213-214.
46
10) Dengarkan segala fatwanya. 11) Jangan sekali-kali menyela ketika guru sedang menjelaskan. 12) Gunakan anggota
yang kanan bila
menyerahkan sesuatu
kepadanya. Akhlak terhadap guru yang ditawarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tersebut masih banyak dijumpai pada pendidikan di pesantren, akan tetapi hal tersebut sudah sangat jarang dijumpai di tengah budaya kosmopolit. Kelangkaan tersebut bukan berarti bahwa konsep yang ditawarkan sudah tidak relevan, melainkan karena masalah yang melingkupinya kian kompleks seiring dengan munculnya berbagai masalah pendidikan Islam itu sendiri.44 6. Akhlak terhadap Guru Menurut M. Athiyah Al-Abrasyi a. Sekilas tentang M. Athiyah Al-Abrasyi M. Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir, pusat ilmu pengetahuan Islam, dan terakhir sebagai guru besar pada Fakultas Darul Ulum, Cairo University, Cairo. Beliau secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari zaman ke
zaman,
serta
mengadakan perbandingan dengan prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di dunia Barat pada abad ke-20 ini. Salah satu karya beliau adalah buku yang berjudul At-Tarbiyah Al-Islamiyyah. Di dalam buku ini dijelaskan posisi Islam mengenai
44
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, ibid., hlm. 214.
47
ilmu, pendidikan dan pengajaran berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, dan dijelaskan pula fungsi masjid,
institut,
lembaga- lembaga,
perpustakaan, seminar-seminar dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam sejak zaman keemasan Islam hingga sekarang.45 b. Pandangan M. Athiyah Al-Abrasyi tentang akhlak terhadap guru Dunia pendidikan Islam sangat memperhatikan hak-hak guru serta kewajiban-kewajiban mereka, begitu pula hak-hak serta kewajiban-kewajiban dari para siswa serta apa yang harus menjadi pegangan mereka berkaitan dengan masalah tingkah laku. Di antara kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap siswa dan dikerjakannya adalah sebagai berikut46 : 1) Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru dengan cara tidak terlalu banyak berganti- ganti guru. Sebenarnya berganti guru tidak dilarang. Namun jika terlalu sering berganti-ganti guru, selain akan menyebabkan terganggunya kesinambungan pelajaran, juga dapat menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dengan guru. 2) Menyenangkan hati guru dengan cara tidak terlalu banyak bertanya yang merepotkan guru. Bertanya tentang sesuatu yang belum diketahui kepada guru pada dasarnya merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Namun jika pertanyaan tersebut sifatnya
45
M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami A. Gani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. ix-x. 46
M. Athiyah Al-Abrasyi, ibid., hlm. 146-147.
48
menguji
guru
atau
memotong
pembicaraan
guru,
serta
merepotkannya, maka sebaiknya dihindari. Demikian pula hindari berjalan-jalan di depan guru, menempati tempat duduknya, dan mendahului dalam pembicaraan. 3) Menghormati, memuliakan, dan mengagungkan para guru atas dasar karena Allah SWT. Hal tersebut penting dilakukan, karena selain akan menimbulkan kecintaan dan perhatian guru terhadap murid, juga akan meningkatkan martabat murid. 4) Menjaga rahasia atau privasi guru merupakan perbuatan mulia yang harus dilakukan peserta didik. Untuk itu hendaknya jangan membuka rahasia guru, menipu guru, dan meminta membukakan rahasia kepada guru. Selain itu hendaknya menerima pernyataan maaf dari guru bila terselip kesalahan. 5) Menunjukkan sikap sopan dan santun kepada guru dengan cara memberi salam kepada guru, mengurangi percakapan di hadapan guru, tidak menceritakan atau menggunjingkan keburukan orang lain di hadapan guru dan lainnya, dan jangan pula menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan hal-hal pribadi (privasi) guru.47 7. Akhlak terhadap Guru Menurut Zakiah Daradjat a. Sekilas tentang Zakiah Daradjat Zakiah Daradjat adalah salah seorang ahli pendidikan ternama yang berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemikiran-pemikiran
47
Abuddin Nata, op.cit, hlm. 184-185.
49
beliau dalam dunia pendidikan sangatlah penting dijadikan suatu referensi bagi calon-calon pendidik. Dalam karya-karyanya beliau banyak menulis persoalan yang berkaitan dengan pendidikan agama dan ilmu jiwa. Bahkan beliau mempunyai perhatian khusus pada problematika remaja di Indonesia dan bagaimana seharusnya remaja itu dibina dan dididik. Zakiah Daradjat dikenal sebagai seorang konselor dan psikolog, selain itu beliau juga dikenal sebagai ahli pendidikan Islam dan intelektual muslim yang banyak memperhatikan problematika remaja muslim Indonesia. Sebagai pendidik dan ahli psikologi Islam, beliau mempunyai sejumlah ide dan pemikiran menyangkut masalah remaja di Indonesia, sehingga sebagian besar karyanya mengetengahkan obsesinya untuk pembinaan remaja di Indonesia. Pada tindakan nyata, beliau merealisasikan obsesinya itu dalam bentuk antara lain dengan kegiatan sosial dengan melakukan perawatan jiwa (konsultasi). 48 b. Pandangan Zakiah Daradjat tentang akhlak terhadap guru Hubungan antara guru dan siswa sangat dekat, namun hal tersebut tidak boleh meniadakan jarak dan rasa hormat siswa terhadap guru. Wibawa guru harus senantiasa ditegakkan di samping keakraban yang harus selalu terjalin di antara guru dan siswa. Guru adalah orang yang telah memberikan ilmu atau pengajaran kepada siswa, sehingga memuliakan guru adalah suatu 48
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam: Landasan Teoritis dan Praktis (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm. 196-197.
50
kewajiban bagi siswa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut49 : 1) Ucapkanlah salam terlebih dahulu bila berjumpa dengan guru. 2) Senantiasa patuh dan hormat kepada segala perintah guru, sepanjang tidak melanggar ajaran agama dan undang- undang negara. 3) Tunjukkan
perhatian
ketika
guru
memberikan
pelajaran,
bertanyalah dengan sopan menurut keperluannya. 4) Bersikap merendahkan diri, sopan dan hormat dalam bergaul atau berhadapan dengan guru. 5) Jangan berjalan di muka atau berjalan mendahului guru, kecuali dengan izinnya.
49
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bu mi Aksara, 1995), hlm. 273-274.