BAB II LANDASAN TEORI II.1 Biaya II.1.1 Pengertian Biaya Carter dan Usry yang diterjemahkan oleh Krista (2006:29) mendefinisikan biaya sebagai, “Nilai tukar, pengeluaran, pengorbanan untuk memperoleh manfaat. Dalam akuntansi keuangan, pengeluaran atau pengorbanan pada saat akuisisi diwakili oleh penyusutan saat ini atau di masa yang akan datang dalam bentuk kas atau aktiva lain”. Horgren, Datar, Foster, Rajan, dan Ittner (2009:53) mendefinisikan, “Cost as a resource sacrified or forgone to achive a specific objective”. Yang diterjemahkan oleh Adhariani (2005:34) mendefinisikan biaya sebagai “Suatu sumber yang dikorbankan (sacrified) atau dilepaskan (forgone) untuk mencapai tujuan tertentu”. Hansen dan Mowen (2006:34) mendefinisikan biaya sebagai berikut: “Cost is the cash or cash-equivalent value sacrified for goods and services that expected to bring a current or future benefit to the organization”. Berdasarkan pengertian biaya diatas, maka dapat disimpulkan bahwa biaya adalah suatu nilai yang berupa kas dan sumber daya yang harus dikorbankan oleh sebuah entitas dalam rangka untuk memperoleh suatu manfaat dalam bentuk barang maupun jasa.
8
II.1.2 Klasifikasi Biaya Menurut Carter dan Usry yang diterjemahkan oleh Krista (2006) pengklasifikasian biaya dapat dibagi didasarkan pada hubungan antara biaya dengan beberapa hal seperti: 1. Produk •
Biaya manufaktur yang disebut juga biaya produksi atau biaya pabrik. Merupakan jumlah dari tiga elemen biaya: a. Bahan baku langsung (Direct Material) Adalah semua bahan baku yang membentuk bagian integral dari produk jadi dan dimasukkan secara eksplisit dalam perhitungan biaya produk. b. Tenaga kerja langsung (Direct Labor) Adalah tenaga kerja yang melakukan konversi bahan baku langsung menjadi produk jadi dan dapat dibebankan secara layak ke produk tertentu. c. Biaya overhead pabrik (Factory Overhead) Adalah semua biaya manufaktur yang tidak ditelusur secara langsung ke output tertentu dan merupakan biaya yang bukan termasuk dalam biaya bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung. Biaya overhead dibagi menjadi: i.
Bahan baku tidak langsung Adalah bahan baku yang diperlukan untuk penyelesaian suatu produk tetapi tidak diklasifikasikan sebagai bahan baku langsung karena bahan baku tersebut tidak menjadi bagian dari produk tersebut. 9
ii.
Tenaga kerja tidak langsung Adalah tenaga kerja yang tidak dapat ditelusuri langsung ke konstruksi atau komposisi dari produk jadi.
iii.
Biaya tidak langsung lainnya Adalah biaya overhead pabrik yang tidak termasuk dalam biaya bahan baku tidak langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung.
2. Volume Produksi •
Biaya variable Adalah biaya yang berubah–ubah sebanding dengan perubahan volume produksi/penjualan.
•
Biaya tetap Adalah biaya yang dimana jumlah totalnya selalu tetap walaupun jumlah yang diproduksi/dijual berubah.
•
Biaya semi-variable Adalah biaya dimana jumlah besarnya berubah–ubah dalam hubungannya dengan perubahan kuantitas yang diproduksi tetapi perubahannya tidak proporsional.
3. Departemen Produksi atau Segmen Lain •
Biaya bersama (common cost) Adalah jenis biaya tidak langsung yang biasanya terjadi di organisasi dengan banyak departemen atau segmen.
10
•
Biaya gabungan (joint cost) Adalah biaya tidak langsung yang terjadi ketika produksi suatu produk menghasilkan satu atau beberapa produk lain tanpa dapat dihindari.
4. Periode Akuntansi •
Pengeluaran modal (Capital expenditure) Adalah suatu pengeluaran yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat di masa depan dan dilaporkan sebagai aktiva.
•
Pengeluaran pendapatan (Revenue expenditure) Adalah suatu pengeluaran yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat pada masa periode sekarang dan dilaporkan sebagai beban.
5. Suatu Keputusan, Tindakan, atau Evaluasi Ketika suatu pilihan harus dibuat di antara tindakan–tindakan atau alternatif– alternatif yang mungkin dilakukan, adalah penting untuk mengidentifikasikan biaya yang relevan terhadap pilihan tersebut. •
Biaya diferensial Adalah biaya yang relevan untuk melakukan pilihan diantara beberapa alternatif yang ada, biasanya disebut sebagai biaya marginal atau biaya incremental.
11
II.2 Harga Pokok Produksi II.2.1 Pengertian Harga Pokok Produksi Horgren et al. (2005:46) menyatakan, “Harga pokok produksi menunjukkan biaya barang yang sampai diselesaikan, apakah dimulai sebelum atau selama periode akuntansi berjalan”. Armanto (2006:10) mendefinisikan, “Harga pokok adalah sejumlah aktiva, tetapi apabila selama tahun berjalan aktiva tersebut dimanfaatkan untuk membantu memperoleh penghasilan”. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa harga pokok produksi merupakan seluruh akumulasi biaya yang terkandung di dalam suatu produk baik berupa biaya produksi maupun biaya non produksi. Harga pokok produksi dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan harga jual atas suatu produk yang berpengaruh terhadap besarnya keuntungan yang akan didapat oleh perusahaan tersebut. II.2.2 Pengaruh Penentuan Harga Pokok Produksi Penetapan harga pokok produksi menjadi sangat sensitif dan merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dengan baik–baik, hal tersebut dikarenakan penetapan harga pokok produksi berpengaruh terhadap beberapa hal seperti: 1. Persaingan Pasar Harga pokok produksi sangat berpengaruh terhadap persaingan pasar, terutama disaat sekarang ini dimana persaingan sangat ketat. Maka dari itu 12
dengan pihak perusahaan dapat menekan harga pokok produksi, maka dapat menjual barang dengan harga yang relatif lebih rendah sehingga dapat bersaing dengan pesaing lainnya dalam hal harga. 2. Tingkat Keuntungan Harga pokok produksi merupakan unsur penting dalam penentuan harga jual dari suatu produk, apabila manajemen tidak dapat mengidentifikasikan besaran harga pokok produksi dengan tepat, maka harga jual suatu produk akan terlalu tinggi dan menghasilkan tingkat keuntungan yang kecil juga. Karena tentunya perusahaan tidak dapat menetapkan harga terlalu tinggi juga, namun harus memperhatikan harga produk sejenis yang dihasilkan oleh pesaing. Sehingga tingkat keuntungan yang dapat diakui oleh entitas relatif kecil.
II.3 Metode Tradisional II.3.1 Pengertian Metode Tradisional Hansen dan Mowen yang diterjemahkan oleh Dewi Fitriasari (2006:142) mendefinisikan metode tradisional, “Perhitungan biaya produk berdasarkan fungsi membebankan biaya dari bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung ke produk dengan menggunakan penelusuran langsung. Biaya overhead, di lain pihak dibebankan dengan menggunakan penelusuran penggerak dan alokasi”. Jadi dapat diartikan metode tradisional adalah suatu metode/cara untuk melakukan perhitungan harga pokok
13
produksi (HPP) yang dimana dalam melakukan pembebanan biaya overhead-nya hanya berdasarkan unit atau volume yang diproduksi oleh perusahaan. Kriteria yang paling utama tentunya adalah acuan terhadap volume dan unit fungsional dalam perhitungan overhead, sehingga struktur ini disebut sistem perhitungan biaya berbasis fungsional. Hal ini terlihat melalui kelompok-kelompok biaya di tiap departemen, bersifat heterogen–biaya ini muncul dari beragam proses dan umumnya tidak disebabkan oleh satu pemicu. Selanjutnya, karena basis volume dianggap penting, sistem ini mengasumsikan bahwa seluruh biaya dapat diklasifikasikan sebagai tetap atau variabel. Terakhir, metode ini tidak mampu untuk menelusuri seluruh biaya overhead ke objek-objek biaya dengan prinsip kausalitas yang akurat dan handal sehingga alokasi berbasis unit produksi dijadikan dasar sebagai pendekatan dalam menghitung pemicu biaya yang dibebankan ke produk. Pemicu biaya seperti jam kerja mesin dan jam kerja buruh yang sangat berkaitan dengan volume unit dalam perspektif fungsional dipandang penting dalam aktifitas costing. Semakin besar jam kerja mesin atau buruh yang digunakan, maka meningkat pula biaya overhead yang dialokasikan ke harga pokok produksi. Oleh karena itu, metode tradisional dikatakan berorientasi pada alokasi (allocation-oriented).
II.3.2 Mekanisme Perhitungan Biaya Menggunakan Metode Tradisional Perhitungan biaya dengan menggunakan metode tradisional yaitu hanya dengan membebankan biaya produksi pada produk. Pembebanan biaya utama ke produk tidak memiliki kesulitan, Tetapi sebaliknya biaya overhead memiliki masalah dalam
14
pembebanan biaya ke produk, karena hubungan antara masukan dan keluaran tidak dapat diperhatikan secara fisik. Dalam metode biaya tradisional, untuk membebankan biaya ke produk digunakan penggerak aktifitas tingkat unit (unit level activity drivers), hal ini disebabkan karena ini merupakan faktor yang menyebabkan perubahan biaya sebagai akibat perubahan unit yang diproduksi. Contoh penggerak tingkat unit yang secara umum digunakan untuk membebankan overhead antara lain adalah: unit yang diproduksi, jam tenaga kerja langsung, jam mesin dan bahan baku langsung. Setelah mengidentifikasi penggerak (driver) tingkat unit, lalu menetapkan tingkat keluaran aktivitas yang diukur oleh penggerak tersebut, yaitu apakah berdasarkan aktivitas aktual yang diharapkan (expected activity level) dan aktivitas normal (normal activity level). Expected activity level adalah output aktivitas yang diharapkan dicapai oleh perusahaan pada tahun yang akan datang, sedangkan normal activity level adalah output aktivitas rata-rata yang merupakan pengalaman perusahaan dalam jangka panjang. Aktivitas normal mempunyai keunggulan berupa penggunaan tingkat aktivitas yang sama dari tahun ke tahun, sehingga pembebanan overhead ke produk tidak begitu berfluktuasi. Pembebanan overhead pada metode tradisional dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Tarif Pabrik Menyeluruh Pembebanan overhead ke produk secara tradisional dapat menggunakan tarif pabrik menyeluruh. Dengan menggunakan tarif ini, biaya overhead pertama sekali diakumulasi dalam kelompok besar pabrik secara menyeluruh. Overhead dibebankan pada kelompok hanya dengan menjumlahkan semua biaya overhead yang diharapkan terjadi di pabrik selama setahun. Semua biaya overhead adalah 15
untuk pabrik, maka pembebanan kepada kelompok dilakukan sangat akurat. Tahap selanjutnya menghitung tarif pabrik menyeluruh dengan menggunakan satu penggerak tingkat unit, biasanya adalah jam tenaga kerja langsung atau jam mesin. 2. Tarif Departemental Dasar pemikiran tarif departemental ini adalah untuk menghindari pembebanan rata-rata seperti yang digunakan pada tarif pabrik menyeluruh. Tarif departemental berasumsi bahwa beberapa departemen mungkin lebih intensif overhead dibandingkan dengan yang lain, sehingga produk yang menghabiskan waktu lebih banyak pada departemen akan dibebankan overhead yang lebih besar dari yang menghabiskan waktu yang lebih sedikit.
II.3.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Tradisional II.3.3.1 Kelebihan Kelebihan dengan penerapan metode tradisional adalah sebagai berikut: Lebih mudah dalam melakukan pembebanan biaya overhead karena hanya memperhatikan variable utama seperti unit yang diproduksi, jam tenaga kerja langsung, tenaga kerja langsung (rupiah), jam mesin dan bahan baku langsung. II.3.3.2 Kekurangan Kekurangan dengan penerapan metode tradisional adalah sebagai berikut: 1. Perhitungan pembebanan biaya overhead kurang tepat yang disebabkan beberapa hal seperti: proporsi biaya overhead yang tidak berkaitan
16
dengan unit terhadap jumlah biaya overhead adalah besar dan tingkat keanekaragaman produknya besar. 2. Dalam menerapkan metode tradisional pada perhitungan biaya, seringkali menimbulkan adanya distorsi biaya sehingga mempengaruhi proses pembuatan keputusan. Menurut Zulfikarnashrullah (2008), terdapat beberapa faktor sumber distorsi pada sistem biaya tradisional, antara lain: 1. Beberapa biaya dialokasikan ke produk, padahal sebenarnya tidak mempunyai hubungan kausal dengan produk yang dihasilkan. 2. Biaya yang sebenarnya mempunyai hubungan dengan produk yang dihasilkan diabaikan. 3. Penetapan biaya produk terbatas pada suatu himpunan output perusahaan, sementara itu perusahaan menghasilkan multiproduk. II.4 Metode Activity Based Costing II.4.1 Pengertian Activity Based Costing (ABC) Menurut Carter dan Usry yang diterjemahkan oleh Krista (2006:496) ABC adalah, “Suatu sistem perhitungan biaya dimana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang memasukkan satu atau lebih faktor yang berkaitan dengan volume (non-volume-related factor)”. Hansen et al. (2006:153) mendefinisikan ABC sebagai berikut, “Sistem biaya berdasarkan aktivitas (Activity-Based Costing-ABC) pertama–tama menelusuri biaya
17
aktivitas dan kemudian produk. Asumsi yang mendasari adalah bahwa aktivitas– aktivitas memakai sumber – sumber daya dan produk, sebagai gantinya, memakai aktivitas”. Armanto Witjaksono (2006) menyatakan beberapa definisi ABC: 1. Suatu proses identifikasi aktivitas yang menyebabkan biaya dan menentukan cost driver setiap aktivitas untuk setiap produk dan jasa yang berbeda. 2. Salah satu upaya meningkatkan akurasi informasi biaya dari sistem akuntansi biaya tradisional, dimana ABC berusaha meminimalkan fenomena peanut butter costing. 3. Penerapan ABC dimulai dengan identifikasi secara mendetail mengenai aktivitas yang dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa melalui tiga tahap: a) Identifikasi activity driver, yakni aktivitas atau transaksi yang menyebabkan timbulnya biaya. b) Kaitkan biaya yang timbul dengan setiap aktivitas. c) Jumlahkan seluruh biaya aktivitas pada kedua poin diatas. Menurut Garisson, Noreen, dan Brewer yang diterjemahkan oleh Nuru Hinduan (2006:440) mendefinisikan ABC adalah, “Metode perhitungan biaya (costing) yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategis dan keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap”.
18
Menurut Ekadjaja (2007), Activity-Based Costing (ABC) adalah sebagai berikut: “Suatu sistem perhitungan biaya yang pada saat ini memperoleh popularitas, yang dimana biaya overhead (operasional) adalah biaya yang dihasilkan dari sejumlah aktivitas yang memang diperlukan untuk suatu kegiatan pabrikan dan proses bisnis, namun karena aktivitas–aktivitas tersebut menyerap biaya resources, dan produk– produk (project atau proses–proses) membutuhkan aktivitas tersebut, biaya atas produk tersebut dapat dikaitkan dengan biaya atas resources tersebut”. Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2010:948) mendefinisikan, “Activity-Based Costing is a cost accounting system that focuses on the activities performed in manufacturing a specific product”. Artinya Activity-Based Costing adalah suatu sistem dalam akuntansi biaya yang berfokus pada aktivitas yang dilakukan dalam proses manufaktur dari suatu produk. Berdasarkan definisi–definisi diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa metode Activity-Based Costing (ABC) adalah suatu metode atau cara perhitungan serta pengalokasian biaya yang terjadi dari proses produksi dengan secara lebih tepat karena tidak hanya berpatokan pada faktor volume, namun memperhatikan faktor–faktor lain seperti jam kerja dan luas pabrik.
II.4.2 Konsep Dasar Activity – Based Costing Menurut Carter (2006), dalam menerapkan Activity-Based Costing menggunakan dasar yang disebut pemicu (cost driver) yang digunakan untuk mengalokasikan biaya overhead. Pemicu sumber daya (Resource driver) adalah dasar yang digunakan untuk mengalokasikan biaya dari suatu sumber daya ke berbagai akivitas yang berbeda. Sedangkan pemicu aktivitas (activity driver) adalah suatu dasar yang digunakan untuk
19
mengalokasikan biaya dari suatu aktivitas ke produk, pelanggan, atau objek biaya final lainnya. Menurut Raharja (2009), “sistem Activity-Based Costing timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk menghasilkan produk secara akurat”. Hal tersebut didorong oleh : 1. Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective. 2. Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya overhead pabrik dalam product cost menjadi lebih tinggi dari primary cost. 3. Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategy. Musyidi (2008:286), “Perbedaan yang mendasar antara sistem kalkulasi harga pokok produksi tradisional dan sistem ABC adalah dalam hal orientasi dasar perhitungan. Dalam sistem tradisional hanya mendasarkan pada unit produk, sedangkan dalam sistem ABC menggunakan dasar unit produk atau dasar non-unit activity drivers”. Menurut Armanto Witjaksono (2006) menyatakan bahwa Activity-Based Costing adalah metode akuntansi yang menghubungkan beberapa elemen, antara lain: •
Biaya (cost) Biaya dapat diklasifikasikan sebagai: a. Biaya produk yaitu biaya yang berkaitan dengan proses manufaktur produk. i.
Biaya langsung (traceable product cost)
ii.
Biaya tidak langsung (indirect product cost)
20
b. Biaya periode yaitu biaya yang terjadi berkaitan dengan periode atau waktu tertentu. •
Aktivitas (activity) Aktivitas adalah suatu kelompok kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi atau suatu proses kerja.
•
Sumber Daya (resources) Sumber daya yang dimaksudkan adalah pengeluaran (expenditure) organisasi seperti gaji, utilitas, depresiasi.
•
Obyek Biaya (cost object) Objek biaya adalah tujuan akhir yang dijadikan alasan mengapa perhitungan harga pokok harus dilakukan.
Dari keempat elemen tersebut, Garrison & Noreen memberikan kaitan antar keempatnya sebagai berikut:
Cost Object
Activities
Consumption of Resources
Cost
Gambar II.1 The Activity-Based Costing model Sumber: Garrison & Noreen
21
II.4.3 Cost Driver Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2010:948) mendefinisikan, “Cost driver is any factor or activity that has a direct cause-effect relationship with the resources consumed”. Artinya cost driver adalah faktor atau aktivitas yang memiliki hubungan sebab akibat secara langsung dengan sumber daya yang dikonsumsi. Rudianto (2006:275) mendefinisikan, “Pemicu biaya adalah faktor – faktor yang menyebabkan perubahan biaya aktivitas. Cost driver merupakan faktor yang dapat diukur, yang digunakan untuk membebankan biaya ke aktivitas dan dari aktivitas ke aktivitas lainnya, produk, atau jasa”. Menurut Tunggal (2009), “cost driver merupakan faktor–faktor seperti jam mesin, bed yang ditempati, jam kerja komputer, jam terbang yang menyebabkan adanya biaya overhead”. Albrecth, Stice, Stice, dan Swain mendefinisikan (2008:836), “Cost driver is a numerical measure used to reflect the amount of a specific cost that is associated with a particular activity”. Artinya pemicu biaya adalah pengukuran secara numerik atau angka yang digunakan untuk mencerminkan jumlah biaya secara spesifik yang terkait dengan aktivitas yang umumnya terjadi. II.4.4 Langkah–Langkah Untuk Menerapkan Perhitungan Biaya berdasarkan Aktivitas (Activity–Based Costing). Menurut Garisson dan Noreen (2008) tahapan dalam menerapkan ABC terdiri dari 2 kelompok tahapan , yaitu:
22
1. First–stage allocation (alokasi tahap pertama) Pada tahap ini dilakukan proses pembebanan biaya overhead ke kelompok biaya aktivitas (activity cost pool) . kegiatan pada tahap ini meliputi: a. Mengidenfikasikan dan Mendefinisikan Aktivitas. Pada tahap ini adalah mengidentifikasikan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam melakukan proses produksi dari awal hingga produk jadi. Identifikasi aktivitas dilakukan dengan membuat suatu daftar dari semua fungsi pekerjaan dalam perusahaan dan dilakukan proses pengamatan ataupun wawancara dengan pihak yang terkait.
Aktivitas dalam sebuah perusahaan dapat diklasifikasikan dalam 5(lima) tingkatan, yaitu: •
Unit–level activities Adalah biaya yang meningkat saat satu unit barang diproduksi dan dilakukan untuk setiap unit produksi. Biaya tingkat ini merupakan biaya yang selalu dibebankan secara proporsional dan akurat terhadap volume. Contohnya adalah biaya listrik, biaya air, biaya tenaga kerja. ketiga contoh tersebut cenderung digunakan secara proporsional dengan jumlah unit yang diproduksi.
•
Batch – level activities Adalah biaya yang disebabkan oleh jumlah batch yang diproduksi atau dijual tanpa memperhatikan berapa unit yang ada di dalam batch tersebut. Contohnya adalah aktivitas membuat order produksi,
23
pengaturan peralatan, dan pengaturan pengiriman kepada konsumen. Biaya pada tingkat batch tergantung pada jumlah batch yang diproses daripada jumlah yang diproduksi, jumlah unit yang dijual atau pengukuran volume yang lain. Contohnya adalah biaya untuk pengaturan mesin untuk memproses batch sama tanpa memperhatikan jumlah unit dalam batch tersebut. •
Product–level activities Adalah biaya yang terjadi untuk mendukung sejumlah produk yang berbeda yang dihasilkan. Biasanya biaya ini lebih berkaitan dengan produk yang spesifik dan tidak memperhatikan berapa batch atau berapa unit yang diproduksi atau dijual. Contohnya adalah aktivitas dalam merancang produk, mengiklankan produk dan biaya untuk manajer serta staf produksi.
•
Customer–level activities Biaya ini berkaitan dengan konsumen yang spesifik (khusus) dan di dalamnya
termasuk
aktivitas
seperti
telepon
untuk
penjualan,
pengiriman katalog, dan dukungan teknis yang umum yang tidak terkait pada produk tertentu. •
Organization – sustaining activities. Dilakukan tanpa memperhatikan konsumen mana yang sedang dilayani, produk apa yang sedang diproduksi, berapa batch yang sedang dijalankan, atau berapa unit yang dibuat. Kategori ini termasuk aktivitas seperti kebersihan kantor eksekutif, penyediaan jaringan komputer,
24
pengaturan pinjaman, penyusunan laporan tahunan untuk pemegang saham dan sebagainya. b. Mengalokasikan biaya ke kelompok biaya aktivitas. Pada tahap ini dilakukan pengelompokkan biaya ke dalam kelompok biaya yang ditentukan berdasarkan penggerak biaya (cost driver) yang paling sesuai dengan aktivitas tersebut. Faktor penggerak biaya dapat berupa: volume produksi, jam tenaga kerja langsung, luas lantai, jam mesin, jumlah pengiriman. c. Menghitung tarif aktivitas. Pada tahap ini dilakukan perhitungan besaran tarif aktivitas yang akan digunakan untuk pembebanan biaya overhead ke produk dan pelanggan yang akan dilakukan pada tahap berikutnya. Rumus untuk menghitung besaran tarif aktivitas adalah sebagai berikut:
Tarif aktivitas =
Total Biaya Total Aktivitas
2. Second–stage allocation (alokasi tahap kedua) Pada tahap ini dilakukan proses lanjutan dari tahap pertama dimana tarif aktivitas yang telah dihitung digunakan untuk membebankan biaya ke produk dan pelanggan. Kegiatan pada tahap ini meliputi: a. Membebankan biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas. Pada tahap ini dilakukan pembebanan biaya secara langsung ke objek biaya dengan memperhitungkan tarif aktivitas dengan melihat kaitan dengan unit 25
penggerak yang telah diidentifikasikan pada tahap sebelumnya. Rumus untuk menghitung besaran biaya overhead yang dibebankan adalah sebagai berikut: Overhead yang dibebankan = Tarif aktivitas × Unit penggerak yang dikonsumsi produk
b. Menyiapkan laporan manajemen Tahap ini merupakan tahap terakhir dari penerapan sistem Activity–Based Costing, dimana pada tahap ini setelah semua biaya dihitung maka pihak manajemen dapat menyiapkan laporan manajemen yang dapat digunakan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan. II.4.5 Karakteristik Yang Tepat Dalam Menerapkan Metode Activity-Based Costing (ABC) Menerapkan metode Activity-Based Costing (ABC) bukanlah hal yang dapat dikatakan mudah, namun terkadang kesulitan dalam penerapan tersebut sangatlah sebanding dengan manfaat yang didapatkannya. Menurut Smith, Thorne, dan Hilton (2000:8.23) terdapat beberapa karakteristik dimana metode Activity-Based Costing (ABC) dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila: 1. Overhead costs are a significant portion of total costs, and a large part of overhead is not directly related to production volume. 2. The business has a diverse product range, and individual product’s use of support resources differs from their use of volume-based cost drivers. 3. Production activity involves diverse batch sizes and product complexity. 26
4. There are likely to be high “costs” associated with making inappropriate decisions based in inaccurate product costs. 5. The cost of designing, implementing, and maintaining the ABC system is likely to be relatively low due to sophisticated IT support. Yang dapat diartikan sebagai berikut: 1. Besar biaya overhead memiliki porsi yang signifikan dari keseluruhan total biaya, dan sebagian besar biaya overhead tidak secara langsung berhubungan dengan volume produksi. 2. Bisnis perusahaan memiliki produk yang beragam dan untuk bahan baku produk individu menggunakan penggerak volume biaya yang berbeda. 3. Kegiatan produksi meliputi beragam ukuran batch dan kompleksitas produk. 4. Ada kecenderungan tingginya biaya terkait dengan pengambilan keputusan yang sebenarnya tidak diperlukan, yang didasarkan ketidakakuratan biaya produk. 5. Biaya dari merancang, menerapkan, dan memelihara sistem ABC mungkin relatif rendah karena adanya dukungan TI yang canggih. II.4.6 Kendala Terhadap Penggunaan Activity-Based Costing Keuntungan dari penerapan metode Activity–Based Costing memang dapat berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan yang akan diambil oleh pihak manajemen dalam menentukan strategi bisnis produksi perusahaan. Namun beberapa perusahaan meyakini bahwa penerapan metode perhitungan biaya yang telah digunakan selama ini sudah tepat yaitu metode tradisional karena hanya memiliki biaya overhead yang rendah dan keragaman produk yang terbatas. Ada juga permasalahan dimana 27
perusahaan yakin bahwa metode Activity–Based Costing dapat meningkatkan akurasi perhitugan biaya produk akan tetapi belum dapat diadopsi oleh perusahaannya. Menurut Smith, Thorne, dan Hilton (2000:8.24) terdapat beberapa kendala atau hambatan dalam menerapkan metode Activity–Based Costing, yaitu sebagai berikut: 1. Remain unaware of ABC. 2. Are uncertain about the potential benefits of ABC. 3. Understand the need for change but are concerned about the extensive resource requirement to implement ABC. 4. Are constrained by powerful behavioral factors that cause resistance to change. Yang dapat diartikan sebagai berikut: 1. Masih belum menyadari ABC. 2. Ketidakpastian mengenai keuntungan dari penerapan ABC. 3. Perusahaan
memahami
kebutuhan
akan
perubahan
namun
masih
mempertimbangkan penambahan sumber daya yang dibutuhkan untuk menerapkan ABC. 4. Terbatasi oleh faktor–faktor perilaku kebiasaaan yang menghambat perubahan.
II.4.7 Kelebihan dan Kekurangan Metode Activity Based Costing (ABC) II.4.7.1 Kelebihan Menurut Rayburn yang diterjemahkan oleh Sugyarto (1999:154) kelebihan dengan penerapan metode Activity–Based Costing adalah sebagai berikut: 28
1. Activity-Based Costing menghasilkan informasi biaya produk yang lebih dapat diandalkan tetapi tetap merupakan sistem alokasi. 2. Activity-Based Costing merupakan alat bantu bagi pihak manajemen untuk membuat keputusan strategis jangka panjang. 3. Activity-Based Costing menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif , yang mengarahkan pada pengukuran profitabilitas produk yang lebih akurat dan kepada keputusan strategik yang lebih baik tentang penentuan harga jual, lini produk, pasar dan pengeluaran modal. 4. Activity-Based Costing memperbaiki adanya distorsi yang melekat dalam informasi biaya tradisional berdasarkan alokasi bertahap yang hanya digunakan penggerak yang dilakukan oleh volume. 5. Activity-Based Costing menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang dipicu oleh adanya aktivitas. II.4.7.2 Kekurangan Menurut Garrison et al.(2008:472) terdapat beberapa kekurangan dengan penerapan metode Activity-Based Costing adalah sebagai berikut: 1. Untuk
menerapkan
Activity-Based
Costing
dibutuhkan
banyak
usaha
pengumpulan data melampaui yang diperlukan. 2. Penerapan Activity-Based Costing membutuhkan sumber daya dan biaya yang cukup besar sehingga perusahaan harus mempertimbangkan antara manfaat dan biaya yang dikeluarkan untuk penerapan apakah sesuai atau tidak.
29
3. Laporan hasil perhitungan dengan metode Activity-Based Costing tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, sehingga perusahaan seringkali membuat 2 (dua) pencatatan untuk laporan internal dan eksternal. II.5
Harga Jual Menurut Weygandt, Kimmel, dan Kieso yang diterjemahkan oleh Khairul Maddy
(2010:341) “Harga adalah nilai pertukaran atas manfaat produk (bagi konsumen maupun bagi produsen) yang umumnya dinyatakan dalam satuan moneter”. Penetapan harga jual produk dapat menggunakan beberapa pendekatan harga, yaitu: 1. Penetapan Harga Biaya Plus (Cost-Plus Pricing Method) Adalah penetapan harga jual dengan menambahkan sejumlah persentase tertentu dari harga pokok sebagai keuntungannya. Harga Pokok + Margin Laba(%) = Harga Jual
2. Penetapan Harga Mark-Up (Mark-Up Pricing Method) Adalah penetapan harga jual dengan menambahkan sejumlah nominal tertentu sesuai dengan harapan keuntungan yang didapat dengan penjualan tersebut. Harga Pokok + Mark Up = Harga Jual
3. Penetapan Harga Break-Even (Break-Even Pricing) Adalah cara penetapan harga jual yang didasarkan pada permintaan pasar dan masih mempertimbangkan biaya. Dapat dikatakan dalam keadaan Break-Even apabila penghasilan yang anda terima sama dengan harga pokoknya. Harga Pokok = Harga Jual
30
4. Penetapan Harga Laba Maksimal (Maximum Profit) Adalah penetapan harga yang bertujuan mencari keuntungan yang maksimal. Keuntungan maksimal akan dicapai pada tingkat dimana marjinal pendapatan (MR) sama dengan marginal biaya (MC).
31