14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Desentralisasi Menurut UU No.32 Tahun 2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah yang mendapatkan kewenangan Pemerintah Pusat ini untuk mengatur rumah tangga daerah disebut otonomi. Secara etimologi, desentralisasi berasal dari bahasa Latin yaitu Decentrum. De berarti lepas dan centrum berarti pusat, sehingga decentrum berarti lepas dari pusat. Dalam hal ini desentralisasi diharapkan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu :
a. Mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan diseluruh daerah b. Memperbaiki alokasi sumber daya produksi melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat Pemerintah yang lebih rendah.
14
15
Pasal
12
ayat
1
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
menyebutkan,“Kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.” Jadi wewenang yang sudah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenag dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Prakarsa sepenuhnya juga diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut penentuan kebjaksanaan, perencanaan, pelaksanaan maupun
yang
menyangkut
segi
pembiayaannya.
Artinya
wewenang
pemerintahan pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah menjadi urusan rumah tangga daerah.
B. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah
Sesuai Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang –undangan. UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas – batas wilayah
16
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Tujuan Otonomi Daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah sesuai undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut : a. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik b. Pengembangan kehidupan demokrasi c. Keadilan d. Pemerataan e. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI f. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat g. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3. Syarat-syarat pembentukan Otonomi Daerah
Syarat-syarat pembentukan daerah sesuai dengan pasal 5, antara lain :
a. Administrasi 1) Untuk provinsi meliputi persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur
17
2) Untuk kabupaten/kota meliputi persetujuan DPD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota b. Teknis, meliputi faktor sebagai berikut : 1) Kemampuan ekonomi 2) Potensi daerah 3) Sosial budaya 4) Sosial politik 5) Kependudukan 6) Luas daerah 7) Pertahanhan 8) Keamanan 9) Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah c. Fisik, meliputi : 1) Paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi 2) Paling sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kabupaten 3) Paling sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kota
4. Dasar hukum diselenggarakan otonomi daerah di Indonesia
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, dasar hukum otonomi daerah yaitu :
a. UUD 1945 pasal 18 b. UU No. 32 tahun 2004 c. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2003
18
5. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah a. Dewan perwakilan rakyat Daerah (DPRD)
DPRD merupakan lembaga yang berperan sebagai badan legislative di daerah baik di provinsi, kabupaten maupun kota. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di dearah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi Pancasila. Dan dipilih melalui pemillu.
b. Pemerintahan Daerah
Pemerintah daerah merupakan lembaga di daerah yang berperan sebagai badan eksekutif daerah. Berdasarkan UUD 1945 pasal 18 ayat 4 pemerintah daerah yang dibentuk di wilayah provinsi, kabupaten dan kota ini dipilih secara demokratis. Dlam menjalankan kewenangannya, pemerintah daerah berhak menetpkan peraturan daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakn otonomi dan tugas bantuan.
6. Syarat-syarat Pembentukan daerah Otonom Wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan sebagai daerah otonom apabila daerah tersebut memenuhi persyaratan (Machfud Sidik, 2002), yaitu : a. Kemampuan ekonomi
19
Untuk menjadi daerah otonom, suatu daerah harus mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai agar jalannya pemerintahn tidak tersendat-sendat dan pembangunan dapat terlaksana dengan baik.
b. Luas daerah Untuk menjadikan daerah otonom diperlukan luas wilayah tertentu, sehingga keamanan dan stabilitas serta pengawasan dari pemerintah daerah dapat dijalani dengan baik. c. Pertahanan dan Keamanan Nasional
Hankam suatu daerah merupakan modal penting utama bagi jalannya sebuah pemerintahan.
d. Syarat-syarat lain
Artinya yaitu segala sesuatu yang memungkinkan daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan dan pembinaan kestabilan politik serta persatuan dan keatuan bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
7. Asas-asas Otonomi Daerah
Asas otonomi daerah :
a. Asas Sentralisasi adalah pemusatan seluruh penyelenggaraan pemerintah Negara dengan pemerintah pusat
20
b. Asas Desentralisasi adalah segala pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah c. Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah. d. Asas Pembantuan adalah asas yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada yang memberi tugas.
8. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom a. Kewenangan Politik
Adanya otonomi daerah, rakyat melalui DPRD memiliki kewenangan memilih kepala daerah sendiri
b. Kewenangan Administrasi
Menyangkut keuangan pemerintah pusat dengan memberikan uang kepada daerah untuk mengelola karyawan dan organisasi
C. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Penyusunan APBD merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyelenggaraan fungsi daerah. Oleh karena itu, haruslah disusun
21
dan dipertimbangkan dengan seksama yang dalam pelaksanaannya haruslah sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Menurut Abdul Halim (2012:33), dalam bukunya “ Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah”, menyatakan bahwa APBD adalah: “Rencana kegiatan pemerintah daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan menunjukan adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal dan biaya yang merupakan target maksimal untuk suatu periode anggaran” Berdasarkan pasal 64 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1974. Tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, yang dinyatakan oleh Abdul Halim (2012:21) , APBD dapat didefinisikan sebagai berikut: “APBD sebagai rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, dimana satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyekproyek daerah dalam tahun anggaran tertentu, dan pihak lain menggambatkan
perkiraan
penerimaan
dan
sumber-sumber
penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud” Jadi, kesimpulannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan
22
ditetapkan
dengan
peraturan
daerah.
Penyelenggaraan
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD. Setiap penganggaran penerimaan dan pengeluaran dalam APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran.
Anggaran
belanja
daerah
diprioritaskan
untuk
melaksanakan kewajiban pemerintah daerah sebagaimana ditetapkann dalam peraturan perundang-undangan.
D. Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Menurut Darise (2007 : 43), “Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang – undang Nomor 33 Tahun 2004, sumber – sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :
23
1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah 3. Hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan 4. Lain – lain pendapatan asli daerah yang sah
Khusus pajak dan retribusi dasar hukum pemungutannya berdasarkan Undang- undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang – undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, sedangkan aturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 tentang Retribusi Daerah.
a.
Pajak Daerah
Pajak Daerah merupakan bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbesar, kemudian disusul dengan pendapatan yang berasal dari retribusi daerah. Adapun yang dimaksud dengan Pajak Daerah hampir tidak ada bedanya dengan pengertian pajak pada umumnya, menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah yaitu: “Merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah (Daerah) tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk dan dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
yang
digunakan
untuk
24
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.” Sedangkan menurut Lukman (2006) dalam “sistem dan prosedur pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah” pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah mengatakan bahwa Pajak adalah: “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai peneyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembagunan daerah.” Dari kedua definisi tentang pajak daerah tersebut diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada pemerintah untuk kas Negara yang digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum yang bersifat wajib dan dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik berdasarkan undang-undang yang berlaku. Seperti halnya dengan pajak, pada umumnya pajak daerah mempunyai peranan ganda yaitu:
1) Sebagai sumber pendapatan dari pemerintah daerah (Budgetary) 2) Sebagai alat pengatur (Regulatory)
25
Dalam hal-hal tertentu suatu jenis pajak dapat lebih bersifat sebagai sumber pendapatan daerah, tetapi dapat pula sebagai suatu jenis pajak tertentu lebih merupakan alat untuk mengatur alokasi dan retribusi suatu kegiatan ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah tertentu. Hal ini terkait dengan pendapatan pajak yang berbeda bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam Lampiran IIIa dan Lampiran IVa Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Menurut aturan tersebut, jenis pendapatan pajak untuk provinsi meliputi objek pendapatan berikut :
1) Pajak kendaraan bermotor 2) Pajak kendaraan di air 3) Bea balik nama kendaraan bermotor 4) Bea balik nama kendaraan di air 5) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 6) Pajak air permukaan 7) Pajak rokok
Selanjutnya macam-macam pajak yang dipungut di daerah Kabupaten/Kota dan menjadi sumber pendapatan daerah Kabupaten/Kota diantaranya :
26
1) Pajak hotel 2) Pajak restoran 3) Pajak hiburan 4) Pajak reklame 5) Pajak penerangan jalan 6) Pajak pengambilan bahan galian golongan c 7) Pajak lingkungan 8) Pajak mineral bukan logam dan batuan 9) Pajak parkir 10) Pajak sarang burung walet 11) Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan 12) BPHTB
b. Retribusi Daerah
Disamping pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli daerah adalah Retribusi Daerah. Menurut Darise (2007:71) Retribusi Daerah adalah : “Pungutan daerah sebagai bayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”.
27
Menurut
Abdul
Halim
(2012:102)
jenis
retribusi
dapat
dikelompokan menjadi 3 ( tiga ) macam sesuai dengan objeknya. Objek retribusi adalah berbagai jenis pelayanan atau jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Jasa pelayanan yang dapat dipungut retribusinya hanyalah jenis-jenis jasa pelayanan yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk dijadikan objek retribusi. Jasa–jasa pelayanan tersebut diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1) Retribusi yang dikenakan jasa umum
Retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan
pemerintah
daerah
untuk
tujuan
kepentingan
dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek pendapatan yang termasuk dalam kategori retribusi jasa umum untuk pemerintah provinsi adalah sebagai berikut :
a) Retribusi pelayanan kesehatan b) Retribusi pengujian kendaraan bermotor c) Retribusi penggantian beban cetak peta d) Retribusi pelayanan tera/tera ulang e) Retribusi pelayanan pendidikan
Sedangkan
retribusi
jasa
kabupaten/kota adalah sebagai berikut :
a) Retribusi pelayanan kesehatan
umum
untuk
pemerintah
28
b) Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan c) Retribusi penggantian beban cetak KTP dan beban cetak akta catatan sipil d) Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat e) Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum f)
Retribusi pelayanan pasar
g) Retribusi pengujian kendaraan bermotor h) Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran i)
Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus
j)
Retribusi pengolahan limbah cair
k) Retribusi beban cetak peta l)
Retribusi pelayanan pendidikan
m) Retribusi pelayanan tera/tera uang n) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi
2) Retribusi yang dikenakan pada jasa usaha
Retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial. Retribusi jasa usaha untuk pemerintah provinsi meliputi :
a) Retribusi pemakaian kekayaan daerah b) Retribusi jasa usaha tempat pelelangan c) Retribusi jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa
29
d) Retribusi jasa usaha pelayanan kepelabuhan e) Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olah raga f)
Retribusi jasa usaha pengolahan limbah cair
g) Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah h) Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir i)
Retribusi penyebrangan di air
Sedangkan retribusi jasa usaha untuk pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a) Retribusi pemakaian kekayaan daerah b) Retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan c) Retribusi jasa usaha tempat pelelangan d) Retribusi jasa usaha terminal e) Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir f)
Retribusi jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa
g) Retribusi jasa usaha rumah potong hewan h) Retribusi penyebrangan di air i)
Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus
j)
Retribusi jasa usaha pelayanan kepelabuhan
k) Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olah raga l)
Retribusi jasa usaha pengolahan lmbah cair
m) Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah
30
3) Retribusi yang dikenakan pada perizinan tertentu
Retribusi perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan SDA, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi perizinan tertentu untuk pemerintah provinsi yaitu sebagai berikut :
a) Retribusi izin trayek b) Retribusi izin usaha perikanan
Sedangkan jenis retribusi perizinan tertentu untuk pemerintah kabupaten/kota yaitu sebagai berikut :
a) Retribusi izin mendirikan bangunan b) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol c) Retribusi izin gangguan d) Retribusi izin trayek e) Retribusi izin usaha perikanan
c.
Hasil pengeloaan kekayaan daerah yang dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan
31
daerah yang dipisahkan. Menurut Abdul Halim (2012:104) jenis pendapatan ini diperinci menurut objek pendapatan yang mencakup :
1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN 3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat
d. Lain – lain pendapatan asli daerah yang sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain – lain milik pemerintah daerah. Transaksi ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang disebut di atas. Menurut Abdul Halim (2012:104) jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut :
1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan 2) Jasa giro 3) Pendapatan bunga 4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah 5) Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan, pengadaan barang, dan jasa oleh daerah
32
6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing 7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan 8) Pendapatan denda pajak 9) Pendapatan denda retribusi 10) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan 11) Pendapatan dari pengembalian 12) Fasilitas sosial dan fasilitas umum 13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan 15) Hasil pengelolaan dana bergulir
E. Dana Perimbangan 1. Pengertian Dana Perimbangan Menurut Darise, (2007 : 83) “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusat dan antara Pemerintah Daerah”. Otonomi daerah hingga saat ini masih memberikan berbagai permasalahan. Kondisi geografis dan kekayaan alam yang beragam, defferesial potensi daerah, yang menciptakan perbedaan kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya, atau yang biasa disebut fiscal
33
gap (celah fiskal). Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien. Dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan
desentralisasi,
dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan (UU No. 33/2004). Menurut (Halim, 2002) dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Keuangan Daerah” dijelaskan bahwa “Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah”. 2. Jenis Dana Perimbangan Menurut undang–undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengalokasikan sejumlah dana dari APBN sebagai dana perimbangan yaitu: a. Dana Bagi Hasil (DBH) b. Dana Alokasi Umum (DAU) c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
34
F. Dana Bagi Hasil (DBH) 1. Pengertian Dana Bagi Hasil Meurut Darise, (2007 : 83) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Kementrian Keuangan, Dana Bagi Hasil dialokasikan berdasarkan prinsip by origin, dimana daerah penghasil penerimaan negara mendapatkan bagian (persentase) yang lebih besar dan daerah lainnya dalam satu provinsi mendapatkan bagian (persentase) berdasarkan pemerataan. sedangkan penyaluran Dana Bagi Hasil dilakukan berdasarkan prinsip by actual, dimana besarnya Dana Bagi Hasil yang disalurkan kepada daerah, baik daerah penghasil maupun yang
mendapat
alokasi
pemerataan
didasarkan
atas
realisasi
penyetoran Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun anggaran berjalan. 2. Dana Bagi Hasil Pajak Dana Bagi Hasil Pajak dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu dalam APBN yang bersumber dari penerimaan pajak yang diperoleh Pemerintah sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan undang- undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005. Tujuan utama dari DBH Pajak
35
adalah dalam rangka memperkecil kesenjangan penerimaan dari sektor perpajakan antara Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penyempurnaan mekanisme perhitungan dan penyediaan data DBH Pajak perlu didukung oleh instansi teknis terkait di tingkat pusat maupun daerah agar penerimaan pajak dan DBH lebih optimal. Kebijakan adanya DBH Pajak ini dilatarbelakangi oleh: a. kebutuhan pendanaan daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan daerah itu sendiri; b. keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam pengumpulan dana secara mandiri; c. adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan
pertimbangan
tertentu
pemungutannya
harus
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di daerah; d. memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah; e. memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program Pemerintah Pusat; f. memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.
36
Proporsi DBH Pajak yang diterima oleh daerah ditentukan berdasarkan formula persentase tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. DBH Pajak bersumber dari: 1) PPh Pasal 21 dan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/Pasal 29
Wajib Pajak orang Pribadi Dalam Negeri; 2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 3) Cukai Hasil Tembakau (dialokasikan sejak tahun 2009). Sesuai dengan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB sudah dialihkan menjadi pajak daerah terhitung mulai 1 Januari 2011. Pembagian Bagi Hasil Pajak dilakukan dengan menggunakan prosentase sebagaimana terinci pada skema gambar berikut : Gambar 2.1 Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak
Sumber : Kementerian keuangan
37
3. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA). Dana Bagi Hasil sumber Daya Alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Perhitungan Dana Bagi Hasil SDA dilakukan berdasarkan Penerimaan Negara bukan Pajak dari masing-masing jenis sumber daya alam yang menurut ketentuan undang-undang Nomor 33 tahun 2004 dibagihasilkan kepada daerah. Selanjutnya PNBP SDA dimaksud dibagi hasilkan ke daerah secara triwulan sesuai dengan proporsi dana bagi hasil SDA yang diatur dalam ketentuan undang-undang No. 33 Tahun 2004.
G. Dana Alokasi Umum (DAU) 1. Pengertian Dana Alokasi Umum Menurut Darise (2007 : 84) Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Sebagai equalization grant, DAU merupakan instrumen transfer yang alokasinya ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah, sekaligus memeratakan kemampuan antar daerah.
38
Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Alokasi DAU dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Tahun Anggaran 2011, Presiden memutuskan dan menetapkan peraturan DAU, yang berbunyi demikian : pasal 1
c. Dana Alokasi Umum dalam Praturan Presiden ini adalah Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undangundang Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 d. Dana Alokasi Umum terdiri dari : 1) Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi 2) Dana Alokasi Umum untuk daerah kabupaten/kota e. Jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2011 ditetapkan sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam
39
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011
Karena DAU merupakan komponen terbesar pembentuk anggaran pemerintah daerah, maka cara perhitungan jumlah dana yang akan dialokasikan, metode distribusi, dan mekanisme administrasi menjadi sangat penting untuk diketahui secara transparan oleh pemerintah daerah. Perlu diingatkan bahwa karena DAU adalah transfer dana dari satu tingkat pemerintah ke tingkat pemerintah lainnya maka pengaruh langsung DAU sebenarnya terbatas pada sektor publik. Jadi kesimpulannya, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Sebagai equalization grant, DAU merupakan instrumen transfer yang alokasinya ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah, sekaligus memeratakan kemampuan antar daerah. Tujuan Dana Alokasi Umum adalah untuk mengatasi ketimpangan ketimpangan
fiskal
keuangan
horizontal
antar
antara
pemerintah
pemerintah
pusat
daerah
dan
karena
ketidakmerataan sumber daya yang ada pada masing-masing daerah
40
Penggunaan Dana Alokasi Umum ditetapkan oleh daerah dimana pada bagian ini dianggarkan jumlah DAU menggunakan formula yang menggunakan beberapa aspek seperti luas daerah, jumlah penduduk, indeks harga bangunan, dan jarak tingkat kemiskinan.
2. Tujuan dan Fungsi Dana Alokasi Umum Ada beberapa alasan perlunya dilakukan pemberian Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat ke daerah, yaitu : 1) Untuk mengatasi permasalahan ketimpangan fiskal Vertikal. Hal ini disebabkan sebagian besar sumber-sumber penerimaan negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak yang bersifat lokal dan
mobilitas
yang
rendah
dengan
karakteristik
besaran
penerimaan relatif kurang signifikan. 2) Untuk menanggulangi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Hal ini disebabkan karena kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sebagai variasi, tergantung kepada kondisi daerah dan sangat tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki daerah tersebut. 3) Untuk menjaga standar pelayanan minimum di setiap daerah tersebut. 4) Untuk stabilitas ekonomi. Dana Alokasi Umum dapat dikurangi disaat perekonomian daerah sedang melaju pesat, dan dapat ditngkatkan ketika perekonomian sedang lesu.
41
Sedangkan tujuan umum dari Dana Alokasi Umum adalah untuk :
1) Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal 2) Meniadakan
atau
meminimumkan
ketimpangan
fiskal
horizontal 3) Menghitung sebagian atau seluruh mafaat/biaya kepada daerah yang menerima manfaat tersebut Sebagai bahan edukasi bagi pemerintah daerah agar
secara intensif
menggali sumber-sumber penerimaannya, sehingga hasil yang diperoleh menyamai bahkan melebihi kapasitasnya
3. Penyusunan Formula dan Perhitungan Dana Alokasi Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 porsi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU adalah bagian 10% untuk Provinsi dan bagian 90% untuk Kabupaten/Kota.
42
Gambar 2.2 Mekanisme Penetapan Alokasi Pagu DAU Nasional
Sumber : Kementerian Keuangan
4. Perhitungan Alokasi DAU
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, kebijakan dalam pengalokasian DAU tahun 2012 adalah sebagai berikut :
a. DAU ditetapkan 26% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Besaran alokasi DAU per daerah sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden. b. Proporsi pembagian DAU adalah sebesar 10% (sepuluh persen) untuk Daerah Provinsi dan sebesar 90% (Sembilan puluh persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota dari besaran DAU secara Nasional. c. Pengalokasian DAU kepada masing-masing daerah menggunakan formula DAU, yaitu dihitung berdasarkan formula atas dasar Celah
43
Fiskal (CF) dan alokasi Dasar (AD). CF suatu daerah merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan Kapasitas Fiskal (KpF), sedangkan AD dihitung berdasarkan Jumlah Gaji PNSD.
5. Bentuk Umum Formula DAU
Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini: DAU = AD + CF Dimana : DAU = Dana Alokasi umum AD
= Alokasi Dasar
CF
= Celah Fiskal
Dimana : CF
= KbF – KpF (celah fiskal merupakan selisih dari
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal). •
Celah Fiskal (CF) merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan Kapasitas Fiskal (KpF), atau dirumuskan:
CF = KbF – KpF
44
•
Kebutuhan Fiskal (KbF):
Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut: KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5iPDRB/kap) Dimana: TBR = Total Belanja Rata-rata APBD IP = Indeks Jumlah Penduduk IW = Indeks Luas Wilayah IPM = Indeks Pembangunan Manusia IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi IPDRB/kapita = Indeks Produk Domestik Regional Bruto perkapita α1, α2, α3, α4, α5 = Bobot dari masing-masing indeks variable α1+α2+α3+α4+α5 = 100%
•
Kapasitas (KpF) :
KpF
= PAD + DBH Pajak + DBH SDA
DBH Pajak
= PBB + BPHTB + PPh + CHT
Keterangan : PAD : Pendapatan Asli Daerah; DBH : Dana Bagi Hasil; PBB : Pajak Bumi dan Bangunan;
45
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; PPh : Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25 dan 29, PPh WPOPDN; CHT : Cukai Hasil Tembakau; SDA : Sumber Daya Alam.
6. Data Perhitugan DAU
Penghitungan alokasi DAU telah menggunakan data yang berdasar pada Pasal 41 PP Nomor 55 Tahun 2005 yang mengamanatkan penggunaan data yang dapat dipertanggungjawabkan yang bersumber dari instansi lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data, termasuk dalam hal penggunaan data dasar penghitungan DAU tahun sebelumnya jika data tidak tersedia.
a. Alokasi Dasar (AD).
Alokasi Dasar dalam penghitungan DAU tahun 2012 dihitung berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan besaran belanja gaji PNSD dengan memperhatikan kebijakankebijakan perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan ke-13, formasi CPNSD tahun 2011, dan kebijakankebijakan lain terkait penggajian. Adapun data dasar yang digunakan adalah data gaji induk bulan Juni 2011 yang terdiri dari komponen
46
Gaji Pokok, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Jabatan, Tunjangan PPh, Tunjangan Beras. Untuk lebih mengoptimalkan peranan formula celah fiskal (CF) dalam perhitungan DAU maka panja menyepakati untuk membatasi Porsi AD terhadap DAU secara nasional sebesar 49% (empat puluh sembilan persen) untuk provinsi dan 48% (empat puluh delapan persen) untuk kabupaten/kota. Komponen Alokasi Dasar dalam DAU tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan belanja gaji PNSD, terlebih untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi (Penjabaran dari pasal 32, UU No.33 Tahun 2004).
b. Kebutuhan Fiskal (KbF) 1) Data Jumlah Penduduk yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). 2) Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana prasarana per satuan wilayah. Data luas wilayah yang akan digunakan untuk penghitungan alokasi DAU meliputi data luas wilayah daratan (administratif) yang bersumber dari Departemen Dalam Negeri dan data luas wilayah perairan (laut) yang bersumber dari Bakosurtanal. Data luas wilayah daratan dan perairan dimaksud sudah mencakup daerah pemekaran yang secara hukum sudah disahkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang. Luas wilayah perairan laut dihitung 4 mil
47
dari garis pantai untuk kabupaten/kota dan 12 mil untuk provinsi. 3)
IKK digunakan sebagai proxy untuk mengukur tingkat kesulitan geografis suatu daerah, semakin sulit letak geografis suatu daerah maka semakin tinggi pula tingkat harga di daerah tersebut. Data IKK bersumber dari BPS dengan basis Juni 2011.
4)
IPM
merupakan
indikator
penting
untuk
mengukur
keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk) atau secara komprehensif dianggap sebagai ukuran kinerja suatu negara/wilayah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. 5)
Data PDRB per kapita yang bersumber dari BPS berbasis Juni 2011, dan diberlakukan kebijakan khusus terhadap PDRB per kapita suatu daerah yang dinilai outlier atau pencilan. Pada data PDRB per kapita yang terlalu tinggi dibandingkan dengan yang lainnya diputuskan untuk ditarik ke tingkat PDRB per kapita setingkat lebih rendah agar tidak berdampak pada komposisi data PDRB per kapita secara keseluruhan.
6)
Total Belanja Rata-rata (TBR) didapat dari APBD realisasi tahun 2010 yang bersumber dari Daerah dan Kementerian Keuangan.
48
Bobot masing-masing variabel adalah sebagai berikut, untuk Provinsi: 9 Indeks Jumlah Penduduk (IP) : 30% 9 Indeks Luas Wilayah (IW) : 13% 9 luas perairan : 35% 9 Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) : 30% 9 Indeks PDRB per Kapita : 15% 9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : 12%
Bobot masing-masing variabel adalah sebagai berikut, untuk Kabupaten/Kota: 9 Indeks Jumlah Penduduk (IP) : 30% 9 Indeks Luas Wilayah (IW) : 13% 9 luas perairan : 40% 9 Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) : 31% 9 Indeks PDRB per Kapita : 15% 9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : 11%
7)
Kapasitas Fiskal (KpF)
Variabel Kapasitas Fiskal yang digunakan dalam penghitungan DAU 2012 adalah data realisasi tahun 2010 yang terdiri dari:
49
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan laporan APBD realisasi tahun 2010 yang bersumber dari Daerah dan Kementerian Keuangan. Bobot untuk provinsi dihitung sebesar 50%, sedangkan untuk Kabupaten/Kota sebesar 60%; b) DBH Pajak termasuk DBH Cukai Hasil Tembakau bersumber dari Kementerian Keuangan. Bobot untuk provinsi
dihitung
sebesar
75%,
sedangkan
untuk
kabupaten/kota sebesar 60%; c) DBH SDA bersumber dari Kementerian Keuangan. Bobot untuk provinsi dihitung sebesar 70%, sedangkan untuk kabupaten/kota
sebesar
52%.
Secara
Sistematika
Penyusunan Formula DAU dapat digambarkan dalam Gambar 2.3 berikut ini : Gambar 2.3 Formula umum DAU Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
Sumber : Kementerian Keuangan
50
H. Dana Alokasi Khusus (DAK) 1. Pengertian Dana Alokasi Khusus Menurut Darise (2007 : 84) Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai prioritas nasional. Kegiatan
khusus
penyediaan/perbaikan
yang
didanai
dan
prasarana
sarana
DAK
adalah
pelayanan
dasar
masyarakat serta kegiatan yang dapat mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. Adapun kebijakan umum pengalokasian DAK adalah sebagai berikut: 1) Mendukung pencapaian prioritas nasional, termasuk program-program prioritas nasional yang bersifat lintas sektor/kewilayahan sesuai dengan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure
framework)
dan
penganggaran
berbasis
kinerja
(performance based budgeting). 2) Membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam membiayai pelayanan publik dalam rangka pemerataan pelayanan dasar dan mendorong pencapaian standar Pelayanan Minimal (sPM).
51
3) Meningkatkan kualitas perhitungan alokasi DAK, serta mempercepat penyusunan petunjuk teknis penggunaan DAK yang ditujukan untuk mendorong penyusunan APBD yang efektif, efisien, dan tepat waktu. 4) Meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di pusat dan daerah sehingga terwujud sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang didanai dari sumber-sumber pendanaan lainnya. 5) Meningkatkan penyediaan data-data teknis yang lebih akurat sebagai basis kebijakan kementerian dan lembaga dalam rangka meningkatkan keserasian dan menghindari duplikasi kegiatan antar Bidang DAK. 6) Mendorong penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu pertimbangan dalam penyusunan kriteria pengalokasian DAK. Penentuan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu (1) penentuan daerah tertentu yang menerima DAK dan (2) penentuan alokasi DAK untuk masing-masing daerah. Penentuan daerah tertentu didasarkan atas tiga kriteria yang dilakukan secara berjenjang, yaitu: Pertama; Kriteria Umum (KU), yang ditentukan berdasarkan kemampuan keuangan daerah (indeks fiskal neto) yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri sipil di daerah. Penerimaan umum APBD terdiri dari PAD, DAU, dan DBH kecuali DBH yang penggunaannya diarahkan (earmarking). Daerah dengan Ku dibawah rata-rata Ku secara Nasional adalah daerah yang menjadi prioritas mendapatkan DAK.
52
Kedua; Kriteria Khusus (KK), yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan aspek karakteristik daerah. Karakteristik daerah, meliputi: a) Daerah tertinggal; b) Daerah perbatasan dengan negara lain; c) Daerah rawan bencana; d) Daerah pesisir dan/atau kepulauan; e) Daerah ketahanan pangan; f) Daerah pariwisata Ketiga; Kriteria Teknis (KT), yang ditentukan berdasarkan indikator- indikator teknis yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana yang akan didanai dari DAK. Kriteria ini dirumuskan melalui indeks teknis yang disusun oleh Menteri Teknis terkait. 2. Penetapan Program dan Kegiatan Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan khusus yang di danai dari DAK merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa program yang menjadi prioritas nasional dimaksud dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam RKP tersebut, menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus dan
53
ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya, menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus yang telah ditetapkan tersebut kepada Menteri Keuangan. Gambar 2.4 Penetapan Program dan Kegiatan
Sumber : Kementerian Keuangan
3. Perhitungan Alokasi DAK Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu:
1) Penentuan daerah tertentu yang menerima alokasi DAK 2) Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.
Penentuan daerah tertentu yang mendapat alokasi DAK harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. sementara itu, penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan
54
dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. 4. Administrasi Pengelolaan DAK a. Dana Pendamping
Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pelaksanaan program yang didanai DAK, daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik. Dana Pendamping tersebut wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan. Jika daerah tidak menganggarkan Dana Pendamping, pencairan DAK tidak dapat dilakukan. Dana Pendamping juga dicantumkan dalam Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA-sKPD) atau dokumen pelaksana anggaran sejenis lainnya.
Untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, yaitu selisih antara penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif maka tidak diwajibkan menganggarkan Dana Pendamping
b. Penganggaran
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK, Menteri Teknis menetapkan Petunjuk Teknis pelaksanaan kegiatan DAK untuk masing-masing bidang. selanjutnya, pelaksanaan
55
kegiatan yang didanai DAK harus selesai paling lambat 31 Desember tahun anggaran berjalan dan hasil dari kegiatan yang didanai DAK harus sudah dapat dimanfaatkan pada akhir tahun anggaran tesebut. Sesuai dengan PMK Nomor 216/PMK.07/2010 diatur bahwa daerah wajib menyampaikan rencana penggunaan DAK kepada Menteri/Kepala Badan terkait dengan tembusan Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan, yang memuat pilihan kegiatan, volume dan besaran, serta dana pendamping. Sementara itu, berdasarkan PMK No. 6/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah Pasal 29, daerah penerima DAK dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan merencanakan dan menganggarkan kembali kegiatan DAK dalam APBD Perubahan tahun berjalan apabila akumulasi nilai kontrak pada suatu bidang DAK lebih kecil dari pagu bidang DAK tersebut. optimalisasi penggunaan DAK tersebut dilakukan untuk kegiatan-kegiatan pada bidang DAK yang sama dan sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan. Dalam hal terdapat sisa DAK pada kas daerah saat tahun anggaran berakhir, daerah dapat menggunakan sisa DAK tersebut untuk mendanai kegiatan DAK pada bidang yang sama tahun anggaran berikutnya sesuai dengan petunjuk teknis tahun anggaran sebelumnya dan/atau tahun berjalan. sisa DAK tidak dapat digunakan untuk dana pendamping DAK.
56
c. Pemantauan dan Pengawasan
Pemantauan dan pengawasan dari kegiatan yang dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus ini melibatkan tiga hal penting, yaitu pemantauan teknis, pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan serta penilaian terhadap manfaat kegiatan yang dibiayai oleh DAK tersebut. Menteri Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pengawasan fungsional/pemeriksaan pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan DAK dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan/atau aparat pengawasan intern pemerintah daerah. Apabila dalam pemeriksaan tersebut terdapat penyimpangan dan/atau penyalahgunaan, BPK dan/atau aparat pengawas intern pemerintah daerah menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-u ndangan yang berlaku. Daerah sendiri melalui tim koordinasi melakukan evaluasi terhadap manfaat pelaksanaan DAK yang melibatkan pihak terkait setempat. Sementara itu, untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan DAK di daerah dalam kaitannya dengan penyempurnaan kebijakan DAK, telah diterbitkan surat Edaran Bersama (sEB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas)
Nomor
0239/M.PPN/11/2008/sE
57
1722/MK.07/2008, 900/3556/sJ Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan Dan Evaluasi Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK). sEB dimaksud lebih banyak mengatur tata hubungan dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi DAK yang dilaksanakan antar tingkat pemerintahan
d. Pelaporan
Daerah menyampaikan laporan triwulanan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada Menteri/Kepala Badan terkait dengan tembusan Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan, meliputi gambaran, rencana kegiatan, sasaran, hasil yang telah dicapai, hambatan, serta jumlah realisasi dana. selanjutnya, Menteri Teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK pada akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Dalam Negeri.
I. Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari:
58
1. Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dimana pekerjaan tersebut yang berkaitan dengan pembentukan modal. 2. Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. 3. Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aktiva tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai belanja modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria kapitalisasi aset tetap.
59
Dalam Standar Akuntansi Pemerintah, belanja modal dapat diaktegorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama, yaitu:
a. Belanja Modal Tanah
Belanja modal tanah adalah pengeluaran / biaya yang digunakan
untuk
penyelesaian,
pengadaan
balik
nama
/
dan
pembelian sewa
/
tanah,
pembebasan, pengosongan,
pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
b. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja
modal
peralatan
dan
mesin
adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin, serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan, dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
c. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
60
pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisisiap pakai.
d. Belanja Modal Jalan, Irigasi danJaringan
Belanja
modal
jalan,
irigasi
dan
jaringan
adalah
pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalanirigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. e. Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan /
penggantian /
peningkatan / pembangunan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan. Termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.
61
J. Kerangka Teoritis 1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Abdul Halim (2004) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Menduga power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. PAD memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kemampuan daerah untuk melakukan aktivitas pemerintah dan program-program pembangunan. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat serta menjaga dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat (Noni, 2010). Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja daerah. Pemerintah Daerah yang memiliki PAD tinggi maka pengeluaran untuk alokasi belanja daerahnya juga semakin tinggi (Indah Rahmawati, 2010). Sihite (2009) juga mengemukakan bahwa secara parsial dana bagi hasil (DBH), dana alokasi khusus (DAK) dan pendapatan asli daerah (PAD), masing-masing berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung. Sedangkan secara simultan, ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung.
62
2. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung Maimunah (2006) menguji flypaper effect pada dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja daerah pada Kabupaten/Kota di pulau Sumatera. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu besarnya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Darwanto (2007), menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Secara spesifik ditegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan (adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung. Hal tersebut berarti Pemerintah Daerah dapat memprediksi anggaran Belanja Langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) (Tri Indraningrum, 2011)
63
K. Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu NO
Peneliti (Tahun)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Pengaruh Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Langsung pada kabupaten/kota di Sumatera Utara
Independen: Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dependen: Belanja Daerah
Pengaruh flypaper effect dapat digunakan untuk memprediksi Belanja Daerah periode ke depan, dan tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper pada PAD yang tinggi maupun yang rendah. Secara Parsial DBH, DAK Dan PAD masingmasing berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan, ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung Pertama, DAU mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung. Kedua, PAD secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap belanja langsung secara parsial. Ketiga, DAU dan PAD secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung.
1
Mutiara Maimunah (2006)
2
Sihite (2009)
3
Noni Puspita Sari dan Idhar Yahya (2010)
Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Langsung Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Riau.
Independen: Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dependen: Belanja Langsung
4
Try indraningrum (2011)
Pengaruh pendapatan asli daerah (pad) dan dana alokasi umum (dau) terhadap belanja langsung ( Studi Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah )
Independen: Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dependen: Belanja Langsung
Independen : DBH, DAK. Dan PAD Dependen : Belanja Langsung
64
L. Kerangka Pemikiran Dari uraian sebelumnya, maka dibuat suatu kerangka pemikiran teoritis yang menggambarkan variabel-variabel yang telah dijelaskan sebelumnya Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran
Pendapatan Asli Daerah
(X1) Belanja Langsung
Dana Perimbangan
(X2)
(Y)
Dalam APBD terkandung unsur pendapatan dan belanja, dimana pendapatan yang dimaksud adalah sumber-sumber penerimaan untuk daerah dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sedangkan belanja adalah pengeluaran-pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain
65
Pendapatan Yang Sah. Dana Perimbangan adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Besar-kecilnya transfer yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah
daerah
dalam
bentuk
Dana
Perimbangan
mempengaruhi alokasi belanja langsung. Keberhasilan pengembangan otonomi daerah bisa dilihat dari derajat otonomi fiskal daerah yaitu perbandingan antara PAD dengan total penerimaan APBDnya yang semakin meningkat, diharapkan di masa yang akan datang ketergantungan daerah terhadap transfer dana pusat hendaknya diminimalisasi guna menumbuhkan kemandirian pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan pembangunan.