BAB II LANDASAN TEORI
A. Peminangan 1. Pengertian Peminangan Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, dalam bahasa Arab disebut Khithbah. Peminangan adalah upaya ke arah terjadinya perjodohan antara pria dan wanita. Meminang disebut juga melamar. Menurut etimologi meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi peminangan ialah upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita atau seorang lakilaki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.1 Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada
ikatan
suami
istri
dengan tujuan agar setelah memasuki
perkawinan didasarkan kepada penelitian, kesadaran dan kesadaran masing-masing.2 Poerwadarminta menyatakan bahwa meminang berarti meminta anak gadis supaya menjadi istrinya, pinangan permintaan hendak memperistri, sedangkan orang yang meminang disebut peminang. Adapun peminangan adalah perbuatan meminang. 3 Khitbah merupakan pernyataan yang jelas atas keinginan menikah, dan merupakan langkah-langkah menuju pernikahan meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti ketetapan yang merupakan dasar dalam jalan penetapan dan oleh karena itu seharusnya dijelaskan dengan keinginan yang benar dan kerelaan penglihatan. Islam
1
Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm., 24. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, hlm., 74. 3 W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm., 753. 2
14
15
menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat- sifat orang yang dicintai.4 Sayyid Sabiq menerangkan bahwa khitbah adalah upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di masyarakat. Khitbah merupakan pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan kepada pasangan yang akan menikah untuk saling mengenal. 5 Menurut Imam Asy-Syarbiniy, khitbah adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk menikah dengannya. 6 Pengertian lain yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailiy, bahwa khitbah adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan secara langsung atau melalui keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang di khitbah atau keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan wanita yang dipinang telah terikat dan implikasi hukum dari adanya berlaku diantara mereka.7 Khitbah merupakan pendahuluan perkawinan, di syari’atkan sebelum adanya ikatan suami istri dengan tujuan agar ketika perkawinan
dilaksanakan
berdasarkan
pada
penelitian
dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Selamet abidin dan aminudin juga menyebutkan bahwa yang di maksud dengan peminangan adalah permintaan dari npihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk dijadikan calon istrinya menurut ketentuan atau kebiasaan yang sudah di tentukan di daerahnya.8
4
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Amzah, Jakarta, 2010, hlm., 66. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz 2, Dar al-Fikr, cet ke-1, Beirut, 2006, hlm., 462. 6 Asy-Syarbiniy, Syamsuddin Muhammad Ibnu al-Khatib, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’aniy AlFazil Minhaj, Juz 3, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1997, hlm., 183. 7 Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 9, Dar al-Fikr, Damaskus, 1997, hlm., 6492. 8 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Jilid I, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm., 41. 5
16
Dari beberapa definisi telah di kemukakan oleh para ahli fiqh diatas, dapat disimpulkan bahwa khitbah merupakan proses awal yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak (laki-laki maupun perempuan) untuk menyampaikan keinginan menikah berdasarkan tata cara yang berlaku secara umum dengan penuh kesadaran sebelum terjadi perkawinan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan mereka dapat saling menyesuaikan karakter dan bertoleransi ketika telah terikat dalam perkawinan, sehingga tujuan mulia perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah dapat tercapai.
2. Dasar Hukum Peminangan Peminangan sangat dianjurkan agar kedua mempelai dapat saling mengenal satu sama lain. Ini berarti peminangan lebih banyak manfaat daripada madlaratnya. Semua hal tentang kehidupan telah diatur secara jelas Baik dalam Al Qur’an maupun Hadits begitu juga berbagai hal
tentang peminangan. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an
Surah Al Baqarah ayat 235 sebagai berikut:
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka
17
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”9 Mayoritas Ulama menyatakan bahwa peminangan tidak wajib. Namun merupakan pendahuluan yang hampir pasti dilakukan. Karena didalamnya terdapat pesan moral dan tata krama untuk mengawali rencana membangun rumah tangga yang diharapkan sakinah, mawaddah wa rahmah. 10 Laki-laki yang hendak meminang wanita dibolehkan untuk melihat kepada hal-hal yang telah umum dan memang diperbolehkan untuk dilihat. Ini bisa dilakukan tanpa sepengetahuan calon mempelai perempuan dan tanpa berkhalwat atau berduaan saja dengan wanita tersebut, juga harus disertai dengan muhrimnya.11 Hadits menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang namun ada batas- batas yang boleh dilihat. Jumhur ulama menetapkan yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan yang merupakan batasan aurat bagi perempuan. Alasan melihat wajah karena dapat melihat kecantikannya sedangkan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kesuburan badannya. Sedangkan menurut pendapat Al Awza‟iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging, menurut Daud Zhahiri boleh melihat semua badan karena Hadits Nabi tidak menyebutkan batas-batasannya. Adapun waktu diperbolehkan melihat perempuan itu hanya pada saat peminangan saja. Peminangan adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan, baik pihak laki-laki maupun perempuan boleh saja membatalkan pinangan tersebut. Hubungan antara laki-laki dan 9
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, Semarang, 1989, hlm., 38 10 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013, hlm., 80. 11 Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, Gema Insani, Jakarta, 2006, hlm., 645.
18
perempuan dalam masa peminangan adalah sebagaimana hubungan lakilaki dan perempuan asing.12 Permasalahan khitbah
disinggung bersamaan dengan iddah
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini seorang wanita yang sedang dalam masa iddah wafat maupun iddah talak diharamkan untuk melakukan akad pernikahan. 13 Lalu, bagaimanakah jika wanita sedang dalam masa Iddah menerima pinangan. Dari sinilah kemudian muncil pembahasan mengenai hukum peminangan. Ali al-sabuniy mencoba menjelaskan hukum khitbah dalam Tafsir Ayat al-Ahkamnya dengan membagi kedalam 3 bagian : Pertama, hukum wanita yang boleh di khitbah yaitu wanita yang tidak sedang terikat dalam perkawinan dengan pengecualian tidak dikhitbah orang lain. Kedua, hukum wanita yang tidak boleh di khitbah; yaitu wanita yang sedang dalam ikatan perkawinan. Ketiga, hukum wanita yang boleh di khitbah; yaitu wanita yang sedang dalam masa iddah. Penjelasan diatas mencoba menegaskan bahwa apa yang disinggung oleh al-Qur’an lebih mengarah kepada syarat-syarat wanita yang boleh atau tidak boneh dipinang, bukan pada hukum peminangan itu sendiri. Meskipun peminangan atau khitbah banyak disinggung dalam al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW, akan tetapi tidak ditemukan secara jelas perintah ataupun larangan untuk melakukan khitbah. Oleh karenanya tidak ada ulama yang menghukumi khitbah sebagai sesuatu yang wajib.14 Dengan demikian, hukumnya dikembalikan pada kaidah fiqh “al-Aslu fi al-Asy’yal al-Ibahah, hatta Yadulla al-Dalilu ‘ala alTahrim” dalam arti hukumnya mubah. 15
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009,
hlm.,89. 13
Muhammad Ali al-Sabuniy, Rawal al-Bayan at-Tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an, cet-I, Darul Kutub Islamiyah, Beirut, 2001, hlm., 295. 14 Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm., 38. 15 Jalaludin Abd Rahman al-Suyutiy, al-Sybah wa al-Nazair; fil al-Furu’, Haramain, Surabaya, 2008, hlm., 44.
19
Syaikh Nada Abu Ahmadmengatakan bahwa pendapat yang dipercaya oleh para pengikut Syafi’i yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hukum khitbah adalah Sunnah, sesuai perbuatan dan Nabi Saw ketika meminang Aisyah bin Abu Bakar. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum khitbah sama dengan hukum pernikahan, yaitu wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. 16 Meminang dihukumi sunnah apabila pria yang akan meminang termasuk pria yang sunnah untuk menikah, makruh apabila pria yang akan meminang makruh untuk menikah, dikarenakan hukum sarana mengikuti hukum tujuan. Khitbah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i sebelum habis masa iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah memiliki empat istri. Khitbah menjadi wajib bagi orang yang khawatir dirinya terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera meminang dan menikah. Sedangkan khitbah dihukumi mubah jika wanita yang dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk melamar. 17
3. Syarat-Syarat Peminangan a. Syarat Mustahsinah Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya
sebelum
melangsungkan
peminangan.
Syarat
mustahsinah tidak wajib untuk dipenuhi, hanya anjuran dan baik untuk dilaksanakan, sehingga tanpa syarat ini peminangan tetap sah. 18 Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
16
Nada Abu Ahmad, Kode Etik Melamar Calon Istri, Bagaimana Proses Meminang Secara Islami, Ter. Nila Nur Fajariyah, al-Khitbah Ahkam wa Adab, Kiswah Media, Solo, 2010, hlm., 15. 17 Ibid., hlm., 15-16. 18 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm., 28.
20
1) Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki yang meminang. Misalnya tingkat keilmuannya, status sosial, dan kekayaan. 2) Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak. 3) Meminang wanita yang jauh hubungan kerabatannya dengan lelaki yang meminang. Dalam hal ini sayyidina Umar bin Khattab mengatakan bahwa pernikahan antara seorang lelaki dan wanita yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani keturunannya. 4) Mengetahui keadaan jasmani, akhlak dan keadaan-keadaan lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.19 b. Syarat Lazimah Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada syarat-syarat lazimah.20 Syarat-syarat tersebut antara lain: 1) Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama ditinggalkan oleh suaminya.21 2) Tidak
diharamkan
untuk
menikah
secara
syara’.
Baik
keharaman itu disebabkan oleh mahram mua’bbad, seperti saudara kandung dan bibi, maupun mahram mu’aqqt (mahram sementara) seperti saudara ipar. Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang harap dinikahi terdapat dalam firmah Allah SWT Surat an-Nisa’ ayat 22-23. 3)
Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian suami maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy
19
Ibid., hlm., 28-30. Ibid., hlm., 30. 21 Amir Syarifuddin, Op.Cit.,hlm., 51. 20
21
maupun ba’in. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235:
Artinya : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik).22 Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa Iddah secara sendirian maka ketentuannya adalah sebagai berikut : a) Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa boleh melakukan pinangan secara kinayah (sindiran) karena hak suami sudah tidak ada. b) Tidak dalam talaq raj’iy. Ulama sepakat bahwa haram meminang wanita yang dalam masa Iddah karena talaq
22
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Raudhatul Jannah, Jakarta, 2009. Hlm., 38.
22
raj’iy karena suami wanita tersebut masih memiliki hak atas dirinya. c) Pendapat ulama mengenai hukum wanita yang sedang dalam talaq ba’in sugra maupun talaq ba’in qubra terbagi dua, yaitu: pertama, ulama hanafiyah mengharamkan pinangan pada wanita yang sedang dalam talaq ba’in sugra karena suami masih punya hak untuk kembali kepada istri dengan akad
baru.
Sedangkan
dalam
talaq
ba’in
qubra,
keharamannya disebabkan karena kekhawatiran dapat membuat wanita itu untuk berbohong tentang batas akhir iddahnya, dan bisa jadi lelaki yang meminang wanita tersebut merupakan penyebab dari kerusakan perkawinan yang sebelumnya. Kedua, jumhur ulama berpendapat bahwa khitbah anita yang sedang dalam masa Iddah talaq ba’in diperbolehkan, berdasarkan keumuman dari surat al-baqarah ayat 235 dan bahwa sebab adanya talak ba’in, suami tidak lagi berkuasa atas istri karena perkawinan diantara mereka telah putus. Dengan demikian, khitbah secara sindiran ini tidak mengindikasikan adanya pelanggaran atas hak suami yang mentalak.23 d) Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan orang lain adalah haram, karena menyakiti hati dan menghalangi hak peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan menggangu ketentraman. Memang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram apabila perempuan tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan walinya jelas-jelas telah mengizinkannya. Peminangan tetap diperbolehkan apabila: pertama, wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara terang-terangan maupun sindiran. Kedua, laki-laki kedua tidak tahu bahwa 23
Wahbah az-Zuhailiy, Op.Cit., hlm., 6497-6499.
23
wanita tersebut telah dipinang oleh orang lain. Ketiga, peminangan pertama membolehkan lelaki kedua membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita tersebut.24 Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda pendapat, yaitu: pertama, menurut mayoritas ulama, pernikahan tetap sah, karena meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh difasahk sekalipun mereka telah melanggar ketentuan khitbah. Kedua, imam Abu Dawud berpendapat bahwa pernikahan dengan peminang harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum melakukan persetubuhan.25 Ketiga, pendadapat ini berasal dari kalangan malikiyah yang menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan
tersebut
belum
terjadi
persetubuhan,
maka
perkawinan tersebut harus dibatalkan. Perbedaan
pendapat
diantara
ulama
tersebut
diatas
disebabkan karena perbedaan dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan bahwa larangan tidak menybabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa
perkawinan
tidak
sah
dan
harus
dibatalkan
beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.26
24
M. A. Tihami dan Sohal Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2009, hlm., 27-29. 25 Abdul Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm., 78. 26 Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm., 54.
24
4. Tata Cara Peminangan Peminangan
dilaksanakan
sebelum
berlangsungnya
akad
perkawinan. Hal ini sudah menjadi budaya yang berkembang di masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Diantaranya pihak laki-laki mengajukan pinangan kepada pihak perempuan dan bahkan adakalanya pihak perempuan yang mengajukan pinangan terhadap pihak laki-laki. Syari’at menetapkan aturan-aturan tertentu dalam pelaksanaan peminangan ini.27 Sebelum mengajukan pinangan perlu diketahui dengan jelas tentang
peminangan
diperbolehkan.
Pasal
yang 12
diperbolehkan KHI
dan
menjelaskan
yang pada
tidak
prinsipnya
peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Selain itu terdapat pula larangan pinangan terhadap wanita yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (2), (3) dan (4) yakni sebagai berikut:28 c. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj‟iah, haram dan dilarang untuk dipinang. d. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan secara jelas dari pihak wanita. e. Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan syarat wanita yang boleh dipinang yaitu: a. Wanita yang dipinang bukan istri seseorang. b. Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan orang lain. c. Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah raj’i, karena bekas suami masih bisa merujukinya. 27
Ibid., hlm., 50 Tim Redksi Nuansa Aulia Kompilasi Hukum Islam (KHI), CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm., 78. 28
25
d. Wanita dalam masa iddah wafat hanya boleh dipinang dengan sindiran (kinayah) e. Wanita dalam masa iddah bain shughro oleh bekas suaminya. f. Wanita dalam masa iddah bain kubro boleh dipinang bekas suaminya setelah menikah dengan laki-laki lain lalu bercerai. Dalam peminangan laki-laki yang meminang dapat melihat wanita yang dipinangnya. Melihat perempuan yang dipinang, hukumnya sunnah. Ini berarti sangat istrinya akan dapat
dianjurkan.
Dengan
melihat
calon
diketahui identitas maupun pribadi wanita
yang akan dikawininya.29 Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
ﻋﻠﻴﻪ
ﺻﻠﻰ
:
ﻋﻨﻪ
, ,
,
)
) ,
(
,
Artinya: Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat, maka ia dapat melihatnya, agar dapat mendorongnya untuk menikahinya maka laksanakanlah” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim)30 Setelah perempuan itu memenuhi kriteria yang boleh dipinang, selanjutnya laki-laki boleh mengajukan sendiri pinangannya atau dapat pula dengan seorang perantara yang dapat dipercaya. Diperbolehkan bagi laki-laki yang akan meminang wanita yang masih dalam masa iddah dengan sindiran seperti “saya suka dengan wanita sepertimu”. Imam Ibnul Qayyim berkata “diharamkan meminang wanita dalam 29 30
hlm., 416
Ahmad Rofiq, Op Cit, hlm., 82. Al Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995,
26
iddahnya dengan terang-terangan, walaupun iddah tersebut adalah iddahnya seorang wanita yang ditinggal wafat suaminya”.31 Diharamkan pula meminang wanita yang masih dalam pinangan laki-laki lain. Barangsiapa yang meminang seorang perempuan kemudian telah diterima, maka orang lain dilarang meminangnya sampai ada pembatalan pinangan yang pertama. Haram hukumnya seorang muslim meminang wanita yang masih berada dalam pinangan orang lain karena itu dapat merusak hak peminang pertama dan dapat menimbulkan permusuhan di antara manusia. Ini merupakan larangan yang sangat ditegaskan dalam agama, bahkan perbuatan tersebut mengandung dosa besar dan ancaman siksa yang berat. Seorang muslim harus menjaga kehormatan diantara kaum muslimin yang lain karena hal ini sangat mulia. Maka janganlah seseorang meminang wanita pinangan orang lain, janganlah membeli barang yang telah ditawar orang lain, dan janganlah menyakiti walau dengan apa pun juga.32 Dijelaskan Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya, bahwa Ibnu Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud dengan larangan tersebut adalah jika seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedangkan peminang
kedua
adalah
baik,
maka
pinangan
semacam
ini
diperbolehkan.33
5. Pendapat Masyarakat tentang Peminangan Peminangan merupakan langkah awal menuju kearah perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita. Islam mensyaritkannya agar masing-masing calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami pribadi mereka. Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh
31
Zainuddin ali, Op Cit, hlm., 9 Saleh al-Fauzan Op. Cit, hlm., 648 33 Tihami, Sohari Sahrani, Op. Cit, hlm., 29 32
27
seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belum berakibat hukum. Pada prinsipnya peminangan belum berakibat hukum.34 Dalam kaitan peminangan ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada waktu upacara tunangan, calon mempelai laki-laki memberikan sesuatu pemberian seperti perhiasan atau cendera hati lainnya sebagai kesungguhan niatnya untuk melanjutkannya ke jenjang perkawinan. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar. Mahar adalah pemberian yang di ucapkan dalam akad nikah. Sementara pemberian ini, termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah.35 Akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda dengan pemberian dalam bentuk mahar. Apabila peminangan tersebut berlanjut ke jenjang perkawinan memang tidak menimbulkan masalah, tetapi jika tidak, diperlukan penjelasan tentang status pemberian itu. Apabila pemberian tersebut sebagai hadiah atau hibah, jika peminangan tidak dilanjutkan dengan perkawinan, maka si pemberi tidak dapat menuntut kembalinya pemberian itu. Persoalan sekarang, bagaimana apabila hal tersebut terjadi. Sebaiknya petunjuk Rasulullah saw dipedomani, akan tetapi apabila ternyata timbul masalah, maka musyawarah untuk mencari perdamaian adalah alternatife yang harus ditempuh, karena damailah pilihan yang Qur’ani.36 Sepanjang perdamaian tersebut tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal. Dengan demikian, dapat diambil kompromi antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai satu sama lain. Oleh karena itu, syariat Islam menghendaki pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan kedua pasangan manusia yang akan melangsungkan pernikahan, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah muncul 34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
35
Ibid., hlm., 67. Ibit, hlm., 69.
hlm., 67 36
28
masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syari’at Allah dan sendisendi ajaran agama Islam yang lurus.
B. Pemberian Hadiah Dalam Peminangan 1. Ketentuan Hadiah Dalam Islam Hibah artinya pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharap balasan apa pun. Jumhur ulama mendefinisikannya sebagai akad
yang mengakibatkan harta seseorang tanpa ganti rugi yang
dilakukan selama keadaan masih hidup kepada orang lain secara sukarela.37 Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah disebutkan, hadiah itu dimaksudkan untuk mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia. Dan maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan
yang
serupa.
Suatu hadiah dapat menjadikan orang yang
memberi dapat menimbulkan kecintaan pada diri
penerima
hadiah
kepadanya. Selain itu tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.38 Hukum menarik kembali
hadiah yang telah diberikan adalah
haram, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Janganlah kamu membelinya dan janganlah menarik kembali sedekahmu itu, karena orang yang menarik kembali sedekahnya seperti seekor anjing yang menjilat ludahnya”39
37
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm., 76. 38 Syaikh Kamil Muhammad, Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008, hlm., 655. 39 Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Darussunnah, Jakarta, 2013, hlm., 18.
29
Berdasarkan hadits di atas menunjukkan pengharaman menarik kembali suatu pemberian, tanpa harus melihat pada perumpamaan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat antara makruh dan haram.40 Kata "hibah" berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memeberi kepada tangan orang yang diberi. Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.41 Dengan demikian, hibah ini berbeda dengan wakaf karena wakaf bukan tamlik (pemberian hak milik). Hibah juga bukan peminjaman karena peminjaman ialah pemberian manfaat, bukan pemberian hak milik. Hibah juga berbeda dengan wasiat karena wasiat adalah pemberian hak milik harta sesudah si pemberi wasiat itu meninggal, bukan saat itu juga. Demikian pula hibah bukan jual beli karena jual beli adalah tamlik dengan imbalan, sedangkan hibah adalah tamlik tanpa imbalan. Para fuqaha mengingatkan bahwa hibah tidak menuntut imbalan, tidak pula menolak imbalan. Jadi hibah boleh dengan imbalan, boleh juga tanpa imbalan. Dengan demikian seseorang boleh saja menghibahkan sesuatu kepada menghibahkan
orang pula
lain
dengan
syarat
si
penerima
hibah
sesuatu kepadanya, atau melakukan sesuatu
untuknya.42 Syarat-syarat hibah yang harus dipenuhi yaitu: a. Ijab oleh penghibah dan qabul oleh penerimanya. Untuk ini cukup apa apa saja yang menunjukkan adanya kerelaan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. b. Penghibah dan penerimanya harus berakal, baligh, dan berkehendak karena hibah harus dilakukan dengan ijab dan qabul serta penerimaan. Sedangkan orang yang tidak sempurna (akal dan 40
Ibid, hlm., 658 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14, PT. Al-Ma'arif, Bandung, 1988, hlm., 167. 42 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far shadiq, Lentera, Jakarta, 2009, hlm., 646. 41
30
umurnya) dan orang- orang yang dipaksa tidak sah melakukan ijab dan qabul. Tidak pula penerimanya. c. Orang
yang
menerima
hibah
haruslah
orang
yang
boleh
menggunakan barang yang dihibahkan. Untuk itu, hibah mushaf untuk non muslim tidak sah. d. Tidak sah menghibahkan sesuatu yang belum ada, seperti buah pohon yang belum muncul. Sebab hibah ialah penyerahan saat itu juga. e. Mereka sepakat bahwa penerimaan marupakan syarat, tetapi mereka berselisih pendapat, apakah ia syarat sah nya hibah ataukah syarat mengikat. f. Fuqaha sepakat bahwa barang yang dihibahkan boleh berupa benda dengan wujud nyata, boleh juga berupa sesuatu yang umum. g. Tidak disyaratkan pengetahuan tentang ukuran dan jumlah yang dihibahkan.43 h. Orang
yang
memberi
yaitu
pemilik
benda
yang
akan
dihibahkan disyaratkan harus merdeka, dewasa, berakal, tidak dipaksa, tidak mempunyai hutang, dan pengelolaan hartanya tidak dilarang. i. Barang yang dihibahkan, yaitu suatu barang yang menjadi objek hibah. j.
Orang yang menerima hibah, yaitu oarang yang menerima barang hibah dari orang yang memberi hibah.
k. Ucapan hibah, yaitu sesuatu yang diucapkan dari orang yang memberi hibah yang menunjukkan terjadinya hibah dengan format yang ditetapkan. l. Tidak boleh menghibahkan suatu benda yang diperoleh dengan jalan ghasab; Penerima barang hibah yang diperoleh dengan jalan ghasab wajib mengembalikan barang tersebut kepada orang yang berhak memilikinya, meskipun orang yang memberikan hibah telah 43
Ibid, hlm., 647
31
meninggal dunia. Selain itu kita pun tidak boleh menghibahkan sesuatu yang menjadi jaminan. m. Pemberian hibah harus ditulis dan disaksikan orang lain; Adanya saksi dalam pemberian hibah disyaratkan agar hibah tidak menimbulkan konflik di antara orang-orang yang berhubungan dengannya. n. Pemberian hibah tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan umum yang berkenaan dengan warisan.44 Berdasarkan pasal 1666 dan pasal 1667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW): “hibah adalah pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak pada saat pemberi hibah tersebut masih hidup”.45 Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta kembali dalam keadaan apa pun sekalipun antara saudara atau suami isteri kecuali jika pemberian hadiah itu adalah dari seorang ayah kepada anaknya.46 Artinya pemberian merupakan salah satu bentuk komitmen dalam menjalin hubungan seseorang sebagai aktualisasi nilai silaturrahim dalam hubungan sosial.
2. Praktek Pemberian Hadiah dalam Peminangan Selama proses peminangan berlangsung, dianjurkan bagi kedua calon dengan disertai keluarga masing-masing untuk melakukan pertemuan. Pertemuan tersebut seharusnya dilakukan secara sopan dan dalam batas-batas yang telah ditetapkan agama. Selain untuk mempererat jalinan silaturahmi, pertemuan tersebut juga digunakan
44
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, Gema Insani Press, Jakarta, 2004,
hlm., 251. 45
Irma Devita Purnamasari, Hukum Waris, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2012, hlm., 74. Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Kencana, Jakarta, 2012, hlm., 164 46
32
untuk memberi kesempatan bagi kedua calon pasangan tersebut untuk saling lebih mengenal. Dianjurkan pula bagin pihak laki-laki untuk memberikan hadiah kepada pihak perempuan selama hal itu tidak memberatkan pihak laki-laki. Pemberian hadiah ini tidak diniatkan sebagai tali pengikat namun hanyalah untuk semakin mempererat silaturahmi diantara kedua belah pihak.47 Akan tetapi terkadang salah satu pihak antara peminang dan wanita terpinang menggunakan cara pengikat atau pembebanan materi. Fuqaha sepakat jika mahar telah diserahkan maka jika pinangan itu dibatalkan boleh memintanya kembali. Mahar tidak bisa dimiliki kecuali adanya akad nikah karena mahar merupakan bagian dari hukum nikah, hukum tidak akan timbul kecuali setelah adanya akad. Selama akad belum dilaksanakan secara sempurna, mahar menjadi milik peminang secara murni, maka baginya boleh meminta kembali dalam segala kondisi. Dengan demikian, jika mahar yang diserahkan masih ada, wajib dikembalikan. Jika barangnya sudah tidak ada atau rusak maka diganti. Wanita terpinang belum berhak memiliki apa yang telah diterima karena akad yang menyebabkannya dan menyebabkan nafkah belum terealisasikan.48 Adapun hadiah menurut ulama Hanafiyah seperti hukum hibah (pemberian). Bagi peminang boleh meminta kembali jika barangnya masih ada. Jika barangnya rusak maka peminang tidak berhak meminta kembali. Ulama
Syafi’iyah berpendapat
hadiah
tersebut
wajib
dikembalikan secara utuh jika masih ada. Atau dikembalikan harganya jika barang tersebut telah rusak. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa bagi orang yang membatalkan pinangannya tidak berhak meminta kembali hadiah yang telah diberikan baik hadiahnya itu masih ada ataupun tidak. Yang berhak meminta kembali hadiah adalah pihak yang tidak menggagalkan pinangan. Pendapat ini lebih rasio dan logis karena 47
Ilham Abdullah, Kado Buat Mempelai, Absolut, Yogyakarta, hlm., 237. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Amzah, Jakarta, 2011, hlm., 30. 48
33
pembatalan peminangan itu
berarti menyakiti dan mencela wanita
terpinang. Layaknya wanita ini jangan dibebani dua beban, yakni sakitnya dipisah dan tuntutan pengembalian hadiah.49 Apabila pertunangan itu batal, para ulama fiqh mengemukakan dua jawaban yaitu: a. Jika pembatalan dari pihak laki-laki yang meminang, maka laki-laki itu tidak boleh mengambil kembali hadiah pertunangan yang telah diberikannya kepada wanita yang akan dipinang. b. Jika pembetalan pertunangan berasal dari pihak wanita maka ia harus mengembalikan laki-laki
hadiah
pertunangan
itu
kepada
yang meminangnya. Jika hadiah itu telah rusak, dia
harus menggantinya dengan harga sebanding dengan hadiah itu, kecuali jika pihak laki-laki telah merelakannya.50 Dengan demikian hadiah pertunangan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengikat rasa cinta untuk menguatkan hubungan antara lakilaki peminang dan perempuan yang dipinang. Hadiah pertunangan ini hukumnya boleh jika tidak menyulitkan kadua belah pihak, sebab Allah tidak membebankan sesuatu diluar kemampuannya.
3. Historisitas Praktik Pemberian Hadiah dalam Islam Hibah artinya pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharap balasan apa pun.51 Jumhur ulama mendefinisikannya sebagai akad yang mengakibatkan harta seseorang tanpa ganti rugi yang dilakukan selama keadaan masih hidup kepada orang lain secara sukarela. Sehingga hibah menjadi salah satu media dalam menjalin hubungan sesama Manusia yang merupakan menifestasi dari hubungan dengan pencipta. Jika baik hubungan dengan manusia lain, maka baik pula 49
Ibid, hlm., 31 Husein Syahatah, Op. Cit, hlm., 252. 51 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, PT. Ichtisar Baru Van Hoeve, jakarta, 1996, hlm., 540. 50
34
hubungan dengan penciptanya. Karena itu Hukum Islam sangat menekankan kemanusiaan dan kemaslahatan. Berangkat dari hal tersebut tidak terlepas kepada kepercayaan terhadap nenek moyang dan leluhur yang mendahului. Tradisi berasal dari kata “traditium” pada dasarnya berarti segala sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi merupakan hasil cipta dan karya manusia objek material, kepercayaan, khayalan, kejadian, atau lembaga yang di wariskan dari sesuatu generasi ke generasi berikutnya. Seperti misalnya adat istiadat, kesenian dan yang digunakan. Sesuatu yang di wariskan tidak berarti harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai mati.52 Bagi para pewaris setiap apa yang mereka warisi tidak dilihat sebagai “ tradisi ”. Tradisi yang diterima akan menjadi unsur yang hidup didalam kehidupan para pendukungnya. Ia menjadi bagian dari masa lalu yang di pertahankan sampai sekarang dan mempunyai kedudukan yang sama dengan inovasi- inovasi baru. Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Memang pernikahan dalam Islam itu tidak memberatkan mempelai, akan tetapi dengan adanya tradisi seperti ini yang melekat dan sudah turun temurun dan masih bertahan sampai sekarang. Walaupun tradisi tersebut merupakan beban bagi mempelai pria tapi mereka semua sadar, bahwa setiap makhluk diciptakan dengan cara berpasang-pasangan. Begitu juga manusia, Jika pada makhluk lain dalam berpasangan tidak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, maka lain halnya dengan manusia. Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk hidup bersama
52
Lamijan, Prihatin Terhadap Memudar.__________ 2013, hlm., 75.
Budaya
Gotong
Royong
yang
Semakin
35
pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat, tradisi, maupun sosial kemasyarakatan. Dengan demikian Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupan harus sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari keimanan kepadanya, kehendak Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disampaikan melalui nabinya, (al-Quran) dan penjelasan yang diberikan oleh nabi mengenai wahyu Allah tersebut, (al-Hadis).53 Adat telah mendorong munculnya diskusi yang berkelanjutan sejak awal sejarah Islam tentang apakah ia dapat dipertimbangkan menjadi salah satu sumber penetapan hukum dalam Islam. 54 Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Rasulullah.55
C. Konsep Mahar Dalam Islam 1. Pengertian Mahar Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba‟, ujr, ‘ uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima. Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.56 Dalam kitab-kitab fiqh
meskipun mahar hukumnya wajib
namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah. Oleh
53
Amir Syarifudin, Usul Fikih, Kencana, Jakarta, 2009, hlm., 232. Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, hlm., 5. 55 Satria Efendi, Usul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2009, hlm., 156. 56 Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hlm., 84 54
36
karena itu dapat disimpulkan bahwa mahar yaitu pemberian khusus yang bersifat
wajib
berupa uang atau barang yang diserahkan
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan akibat berlangsungnya akad nikah. Oleh karena itu, pemberian wajib yang diberikan mempelai laki-laki tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah akad nikah tidak disebut mahar namun dinamakan nafaqah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan juga tidak dinamakan mahar.57 Adapun secara terminologi dapat disebutkan diantaranya: a. Mahar atau maskawin adalah merupakan barang pemberian yang dilakukan seorang laki-laki kepada istrinya di saat dilakukan akad nikah dan merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Apabila seorang lelaki memberikan barang kepada calon istrinya sebelum akad nikah dimulai atau yang dalam masyarakat dinamakan tukon atau peningset, hal semacam ini sama sekali bukan termasuk maskawin atau mahar. Demikian halnya apabila pemberian barang diserahkan oleh seorang laki-laki kepada istrinya setelah akad nikah, maka pemberian tersebut adalah merupakan hadiah.58 b. Menurut Abdullah Nasih ‘Ulwan, mahar adalah harta, sedikit atau banyak, yang diberikan suami kepada istrinya sebagai penghormatan
kepada,
pelepas
kesepiannya,
pemenuhan
terhadap insting ingin memiliki yang ada padanya, dan tunjangan baginya untuk berpindah menuju kehidupan rumah tangga
sehingga
ia
merasa
memiliki
sesuatu
yang
menggembirakan. 59
57
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm., 85 Ibid,. hlm.,85 59 Abdullah Nasih ‘Ulwan, Pengantin Islam : Adab Meminang dan Walimah Menurut alQur’an dan al-Sunnah, Terj. Aunur Rafiq Shaleh, al-Islahy Press, Jakarta, 1983, hlm., 69. 58
37
c. Dalam Pasal I sub d Kompilasi Hukum islam (KHI), mahar adalah pemberian daei calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 60 Selain itu Rasulullah SAW juga membenarkan tradisi orang tua atau orang lain yang berstatus sama dengan orang tuanya untuk diberi hadiah karena saudara perempuannya atau anak perempuannya telah diambil sebagai istri oleh seorang laki-laki. Perbuatan memberi hadiah semacam ini merupakan suatu tindakan yang dipuji Rasulullah SAW sebab beliau mengatakan bahwa pemberian yang paling baik dilakukan oleh seseorang adalah pemberian yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada saudara istri yang telah dinikahinya.61 Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah, karena sesudah itu akan timbul kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar, suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya.
2. Dasar Hukum Mahar Islam sangat
memperhatikan dan menghargai
kedudukan
seorang wanita dengan memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak menerima mahar. Sebagaimana Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian 60
Tim Redksi Nuansa Aulia Kompilasi Hukum Islam (KHI), CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm., 113. 61 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm., 85.
38
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”62
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?(20) Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”(21)63 Pada prinsipnya mas kawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai, dimiliki atau dimakan. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar artinya harus berbentuk benda. Menurut Rahmat Hakim sesuatu yang bermanfaat
tidak
dinilai
dengan
ukuran
tetapi bersifat subjektif
sehingga tidak harus berbentuk benda. Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
62
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, Semarang, 1989, hlm., 77. 63 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm., 81
39
a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi jika mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah. b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar barang haram dan tidak berharga. c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya
karena
berniat
akan
mengembalikannya
nanti.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah tetapi akadnya tetap sah. d. Bukan barang yang tidak jelas keadannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.64 Mengenai besarnya mahar para fuqaha telah sepakat bahwa mahar tidak ada batas tertinggi namun berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Mahar merupakan salah satu syarat adanya perkawinan dalam Islam. Pembayaran mahar tidak boleh dengan memaksakan diri yang bahkan tergolong pemborosan. Dalam menetapkan maskawin harus benar-benar memperhatikan kemampuan calon suaminya, calon istri yang baik ialah yang tidak memberatkan calon suaminya dalam menetapkan maskawin atau mahar.65 Tidak ada batasan minimum maupun maksimum bagi kadar maskawin. Istri harus dapat menampakkan bahwa maskawin memiliki nilai maknawi sebagai tanda kasih sayang suami padanya serta sebagai simbol bagi kemuliaan dan keagungannya. Sekarang ini muncul pandangan keliru yang menganggap maskawin bisa diperoleh dengan tawar-menawar. Semakin mahal maskawin merupakan bukti nilai istri. Menganggap istri sebagai sesuatu yang bisa dinilai dengan harta. 66
64
Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hlm., 88. Muhammad Thalib, Op, Cit, hlm., 91. 66 Husein Syahatah , Op. Cit, hlm., 224. 65
40
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan masyarakat. Mahar boleh diberikan dengan kontan atau hutang. Namun disunnahkan membayar kontan sebagian. Ulama fiqh berbeda pendapat tentang mahar yang dihutang. Sebagian berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan secara hutang keseluruhan, dan sebagian yang lain berpendapat boleh ditunda pembayarannya tetapi dianjurkan untuk membayar sebagian mahar ketika akan menggauli istrinya.67 Seorang suami wajib membayar mahar kepada istrinya, walaupun mahar itu baru dijanjikan dan belum dilunasi. Apabila seorang laki-laki telah melakukan akad nikah berarti keduanya telah sah sebagai suami istri dan diperkenankan untuk berhubungan badan meskipun belum membayar mahar sedikit pun.68 Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar. Sebagian berpendapat bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan kesepakatan diantara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan AtsTsauri, Asy-Syafi‟i, Imam Ahmad dan Ishaq. Sedangkan Imam Maliki berpendapat mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar. Sebagian penduduk Kufah berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh kurang dari sepuluh dirham dan mahar wajib hukumnya menurut AlQur‟an dan As-Sunnah. Dari Uqbah bin Amir ia berkata bahwa Rasulullah
pernah bersabda: “sebaik-baik mahar adalah yang paling
meringankan” Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar, lebih atau kurang. 69 Karena
kebiasaan dalam memberikan perhatian sangatlah
beragam dan keinginan-keinginan pun berbeda- beda. Selain itu kesulitan yang ada pada setiap individu berbeda pula, sehingga tidak mungkin diberikan batasan kepada mereka. Tidak diperkenankaan 67
Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hlm., 91. Muhammad Thalib, Op. Cit, hlm., 96. 69 Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm., 437 68
41
berlebih- lebihan didalam memberikan mahar kepada wanita. Karena hal itu menjadi kemuliaan di dunia atau dapat menjadikan ketakwaan di sisi Allah, maka tentu Nabi SAW yang lebih utama di dalam melakukan hal itu daripada kalian. Berlebih-lebihan di dalam memberikan mahar merupakan sesuatu yang dimakruhkan.
3. Macam-macam Mahar Ulama sepakat bahwa berlakunya kewajiban membayar mahar adalah dengan berlangsungnya akad nikah yang sah. Dan wajib membayar seluruh mahar ada dua syarat yaitu hubungan kelamin dan matinya salah seorang diantara keduanya setelah berlangsungnya akad. Hal ini berdasarkan pada QS Al Baqarah ayat 237
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”70 Berdasarkan ayat tersebut di atas, Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam yaitu: a. Mahar Musamma 70
Al Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm., 38
42
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.71 Mahar musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah supaya selesai pelaksanaan kewajiban. Namun dalam keadaan tertentu dapat juga tidak tunai. Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila: 1) Telah bercampur (bersenggama) sebagaimana Firman Allah SWT An Nisa ayat 20:
Artinya:
dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain72, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?73
2) Salah satu dari suami istri meninggal Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi kalau istri dicerai sebelum bercampur hanya
71
M. Abdul mujid dkk, kamus Istilah Fikih, (Jakarta: pustaka firdaus, 1995). hlm.,185. Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan. 73 Al Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm., 119 72
43
wajib dibayar setengahnya.
74
dima'afkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janga nlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”75 b. Mahar mitsil (sepadan) Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitar dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.76 Mahar mengikuti mahar saudara perempuan pengantin wanita, jika tidak ada maka mengikuti ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan-keadaan sebagai berikut: 1) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsungnya akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri (bersenggama) atau meninggal sebelum bercampur. 2) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Senada dengan hal tersebut, Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh.
Setelah akad
perkawinan, suami telah halal bergaul dengan istrinya, menurut jumhur ulama sebelum istri menerima pendahuluan mahar yang telah ditetapkan ia boleh menolak memberikan hak-hak suami atas dirinya. Ulama syafi‟iyah berpendapat bahwa jika istri menolak memberikan hak suami
74
Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hlm., 93 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm., 38 76 M. Abdul mujib dkk, Op. Cit, hlm.,185 75
44
dia tidak disebut nusyuz dan oleh karenanya istri masih berhak mendapatkan nafkah dan perumahan dan hak-hak istri yang lainnya.77 Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al Mishbah bahwa surah al-Baqarah ayat 236 yang memuat firman Allah: “Selama kamu belum menyentuh mereka atau mewajibkan atas dirimu untuk mereka suatu kewajiban membayar mahar” sehingga dengan demikian bila maskawin tidak disebut pada saat akad, perkawinan tetap sah.78 Akibat hukum dari perkawinan yang akad nikahnya tanpa menyebut mahar adalah jika terjadi perceraian maka istri berhak atas
hak-hak
mereka, seperti hak nafkah, „iddah, mut‟ah, hak
pembagian harta bersama, hak hadanah atas anak yang belum mumayyiz, dan hak kewarisan jika perceraian itu karena suami meninggal dunia.79 Meskipun mahar dijelaskan bentuk, jenis dan nilainya dalam akad perkawinan, namun bila mahar tersebut tidak diserahkan secara langsung dalam akad yang dipersaksikan dua orang saksi maka bisa saja terjadi perselisihan diantara suami dan istri. Ulama Syafi‟iyah berpendapat jika terjadi perselisihan maka harus disumpah dan kembali kepada mahar mitsil sedangkan nikahnya tidak difasakh, sebagian yang lain mengatakan yang dibenarkan adalah ucapan suami, namun mahar dikembalikan kepada mahar mitsil.80 4. Pelaksanaan Pembayaran dan Pemegang Mahar Pelaksanaan
pembayaran
mahar
bisa
dilakukan
dengan
kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan atau adat masyarakat. Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sehingga sangat bisa dipahami bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian miskin. Oleh karena itu, Islam 77 78
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm., 95. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol 2, cet. 11, Lentera Hati, Jakarta, 2008, hlm
346-347. 79
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm., 136. 80 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm., 97.
45
memberikan
keringanan
kepada
laki-laki
yang
tidak
mampu
memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk dapat mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi solusi terbaik antara kemampuan suami dan hak istri, supaya tidak ada yang merasa dirugikan. Pembayaran mahar dalam Islam dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: a. Secara Tunai Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Menurut Ulama Imamiyah dan Hanbali berpendapat bahwa manakala mahar disebutkan, tapi kontan atau hutangnya tidak disebutkan, maka mahar harus dibayar kontan seluruhnya. Sementara Hanafi mengatakan, tergantung pada ‘urf yang berlaku. Ia harus dibayar kontan, manakala tradisinya seperti itu, dan boleh hutang pula manakala tradisinya seperti itu pula. Maliki mengatakan bahwa akad nikah tersebut fasid, dan harus faskh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah terjadi percampuran, akadnya dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. Namun Syafi’i berpendapat bahwa apabila hutang tersebut tidak diketahui secara detile, tetapi secara global, misalnya akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditetapkan tersebut (sebelum mati atau jatuh talak), maka mahar musammanya fasid dan ditetapkanmahar mitsil.81 b. Secara Hutang Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fikih berpendapat bahwa mahar
itu
tidak
boleh
diberikandengan
cara
dihutang
keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi 81
menganjurkan agar
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Lentera, Jakarta, 2011, hlm., 369.
46
membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fukaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah di tetapakan. Demikian pendapat imam Maliki.82 Mahar dapat dihutang diperbolehkan karena atau perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan tersebut di karenakan pernikahan itu disamakan dengannya. Bagi fukaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak bolehsampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa pernikahan itu adalah ibadah. 83 5. Mahar dalam Pandangan Masyarakat Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pengertian mahar adalah “pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.84 Pada kenyataannya, terutama pada kalangan masyarakat awam sebagian masih banyak yang belum mengerti hakikat dari pemberian maskawin. Diantara mereka beranggapan maskawin atau mahar hanyalah pelengkap sebuah ritual akad nikah semata, kendati mereka menganggap hal ini wajib atau harus diadakan. Oleh karena itu tak sedikit orang membedakan antara maskawin atau mahar dengan adat bawaan (gawan, istilah Jawa). Jika maskawin diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang akan dinikahinya, maka gawan juga diberikan sebagaimana halnya maskawin, tetapi sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa gawan itu diberikan kepada calon isteri biasanya berupa perhiasan emas (kalung, cincin, gelang dll) yang bisa diminta kembali atau selayaknya ia yakini harus 82
Ibid., hlm.,371 Adurahman Ghozali, Fiqh Munakahat., Kencana, Jakarta, 2014, hlm., 91. 84 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm., 97. 83
47
dikembalikan kepada laki-laki yang akan atau telah menikahinya jika dikemudian hari terpaksa harus batal menikah atau bercerai. Segala sesuatu yang dapat dinilai secara material dapat dijadikan mahar. Para ahli Fiqih bersepakat bahwa harta yang berharga dan patut dapat dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena bernilai materian dalam pandangan syara’. Dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan material dan bukan merupakan harta benda yang layak tidak dapat dijadikan mahar. Seperti kata-kata atau janji untuk setia, khamar, bangkai dan sebagainya. Akan tetapi ada pendapat lain bahwa sesuatu yang bermanfaat dapat dijadikan mahar sekalipun tidak dapat dinilai dengan material, seperti pengabdian, pengajaran Al-Qur’an yang juga bermanfaat.85 Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang mempelai pria, meskipun tidak ada permintaan khusus dari mempelai wanita. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut,keluarga dari mempelai pria tetap berusaha mengikut sertakan barang bawaannya pada saat akad nikah, walaupun mempelai pria berasal dari keluarga tidak mampu akan tetapi Sanak saudara dari mempelai pria akan tetap membantu menyumbang untuk membeli seperangkat barang bawaan demi berlangsungnya pernikahan antara mempelai pria dan wanita. Tidak banyak dari para mempelai pria yang dengan mudahnya melangsungkan pernikahan ini,ada sebagian dari mereka yang harus bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan dana pembelian barangbarang bawaan pada saat pernikahan,sehingga pernikahannya ditunda beberapa tahun sampai dia mampu membeli barang-barang tersebut.
85
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Qahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Amzah, Jakarta, 2009, hlm., 183.
48
D. Penelitian Terdahulu Untuk menghindari kesamaan tema dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menyajikan beberapa karya tulis skripsi yang relevan dengan judul yang penulis teliti, di antaranya Skripsi Ahmad Sofyan Effendi (042111096) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Pembayaran Mahar Di Desa Tahunan Kec. Tahunan Kab. Jepara”.86 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek pembayaran mahar di Desa Tahunan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara dilakukan dengan memberikan barang yang belum lunas. Apabila disandarkan pada jenis mahar, maka pada perkawinan dengan mahar yang belum lunas di Desa Tahunan akan memunculkan dua kemungkinan jenis mahar, yakni mahar musamma apabila mahar benar-benar merupakan keinginan mempelai pria dan mahar mitsil apabila jumlah dan ketentuan mahar ditentukan oleh mempelai perempuan. Namun demikian, praktek tersebut tetap saja
berpeluang
memunculkan
kemadlaratan
sehingga kurang sesuai dengan kaidah hokum Islam, yakni kemadlaratan harus dihilangkan. Skripsi
Nur Kholifah
(062111050),
Fakultas
Syari’ah
IAIN
Walisongo yang berjudul “Analisis Pendapat Ahmad al-Dardiri tentang Status Pemberian Akibat Pembatalan Peminangan”.87 Dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada waktu upacara peminangan, yaitu calon laki-laki memberikan sebagian mas kawin atau pemberian lainya kepada calon perempuan
seperti
perhiasan
dan
yang lainnya sebagai tanda bahwa
seseorang tersebut sungguh-sungguh berniat untuk melanjutkan jenjang pernikahan. Pemberian ini termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah. Barang pemberian yang menyangkut mas kawin maka boleh diambil kembali
86
Skripsi Ahmad Sofyan Effendi (042111096) “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Pembayaran Mahar Di Desa Tahunan Kec. Tahunan Kab. Jepara” Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo Semarang. 87 Skripsi Nur Kholifah (062111050) , “Tinjauan Pendapat Ahmad al-Dardiri tentang Status Pemberian Akibat Pembatalan Peminangan” Fakultas Syari’ah , IAIN Walisongo Semarang.
49
karena hal ini sama seperti sesuatu yang belum sempurna menurut Ahmad al-Dardiri. Skripsi Mursito (NIM: 2101061), Fak.Syari'ah IAIN Walisongo yang berjudul “Analisis Pendapat Al-Syafi'i Tentang Persengketaan Penerimaan Mahar”.88 Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa menurut al-Syafi'i, apabila suami
isteri
bersengketa
mengenai
masalah
penerimaan
mahar, si isteri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan telah memberi mahar, maka yang dipegangi adalah kata- kata isteri.Kewajiban ini sangat mungkin dilalaikan oleh calon suami sehingga mungkin saja untuk menghindari dari kewajiban itu, ia kemudian mengatakan bahwa telah memberi mas kawin kepada perempuan itu. Dalam posisi ini wanita sebagai tertuduh maka sudah selayaknya diterima pengakuannya sebagai alat bukti utama. Skripsi
Ahmad
Safi’i
(05350124)
UIN
Sunan
Kalijaga
Yogyakarta berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemberian Uang Antaran Dalam Pinangan Di desa Silo Baru Kec. Air Joman Kab. Asahan Sumatera Utara”.89 Uang antaran adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan yang diwujudkan berupa uang di luar mahar. Pemberian ini dimaksudkan agar seorang perempuan yang diberi uang antaran tersebut bersedia menjadi istrinya. Adat pemberian uang antaran yang berlaku dalam masyarakat tersebut perlu kajian ulang agar mendapat hukum yang jelas. Skripsi Gatot Susanto (05350110) UIN Sunan Kalijaga berjudul “Konsep Pemberian Palaku (Mahar) Dalam Adat Perkawinan Di Desa Pangkalan Dewa Kab. Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah (Perspektif Hukum Islam)”.90 Pada umumnya palaku ditentukan kadar nilai dan 88
Skripsi Mursito (NIM: 2101061), “Tinjauan Pendapat Al-Syafi'i Tentang Persengketaan Penerimaan Mahar” Fak.Syari'ah, IAIN Walisongo Semarang. 89 Skripsi Ahmad Safi’i (05350124), “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemberian Uang Antaran Dalam Pinangan Di desa Silo Baru Kec. Air Joman Kab. Asahan Sumatera Utara” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 90 Skripsi Gatot Susanto (05350110), “Konsep Pemberian Palaku (Mahar) Dalam Adat Perkawinan Di Desa Pangkalan Dewa Kab. Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah (Perspektif Hukum Islam)” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
50
bentuknya oleh pihak calon mempelai wanita. Palaku yang terlalu besar menyebabkan pihak laki-laki tidak dapat menjangkau. Hal ini bertentangan dengan hukum islam yang yang melarang untuk mempermahal atau menyulitkan mahar. Jurnal ilmiah karya Baiq Septia Anggraeni Fakultas hukum Universitas Mataram berjudul “Kedudukan Mahar Antara Gadis dan Janda Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat studi Kasus di Sekarbela Kel. Karang Pule Kec. Sekarbela Kota Mataram”.91 Dalam penelitian ini di temukan, kedudukan mahar antara gadis dan janda yang di tentukan sudah menjadi tradisi adat yang berlaku pada masyarakat sekarbela kelurahan karang pule. Adapun faktor yang membedakannya yaitu: faktor pengalaman dan kebudayaan. Kesimpulanya yaitu kedudukan mahar adalah wajib. Mengenai besarnya mahar janda dan gadis memang berpedoman kepada
berbeda
dengan
sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang di
anjurkan islam. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka setidaknya dapat diketahui bahwa judul skripsi yang
dikaji penulis memiliki pokok
permasalahan yang berbeda dengan beberapa judul yang telah diuraikan. Keunggulan skripsi ini adalah membahas tentang kebiasaan masyarakat yang memberikan hadiah-hadiah saat peminangan yang berupa benda dan perhiasan, yang ketika akad pernikahan hadiah tersebut dijadikan sebagai mahar.
91
Jurnal Ilmiah Baiq Septia Anggraeni, “Kedudukan Mahar Antara Gadis Dan Janda Menurut Hukum Islam Dan Hukum Adat studi Kasus Di Sekarbela Kel. Karang Pule Kec. Sekarbela Kota Mataram” Universitas Mataram.