BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Bakti Teori Bakti adalah Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya.Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. B. Teori Motivasi Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar individu (Sudrajat, 2008). Victor H.Vroom (1964) dalam Sudrajat
(2008), mengemukakan “Teori Harapan” dimana
motivasi
merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan adanya harapan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, maka yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya itu.
8
9
C. Konsep Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah:
"Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Menurut Rochmat Soemitro dalam Thomas Sumarsan (2012:3) adalah : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (Kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R dalam Thomas Sumarsan (2012:4) adalah : Menurut Santoso Brotodihardjo yang dikutip oleh Waluyodalam bukunya Perpajakan Indonesia(2010, h.2) edisi kesembilan, adalah sebagaiberikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
10
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai penghasilan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut : 1. Pajak dipungut oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor Negara (pemungut pajak/ administrator pajak). 3. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. 5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas Negara/anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif). 2. Fungsi Pajak Thomas Sumarsan (2012 : 5) mengemukakan pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
11
pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 1. Fungsi Penerima (Budgetair) Pajak berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas Negara, yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk
pembiayaan
pembangunan,
uang
dikeluarkan
dari
tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara para pelaku ekonomi. Fungsi mengatur ini sering menjadi tujuan pokok dari sistem pajak, paling tidak dalam system perpajakan yang benar tidak terjadi pertentangan dengan kebijaksanaan Negara dalam bidang ekonomi dan sosial. Sebagai alat untuk
12
mencapai tujuan tertentu di luar bidang keuangan, terutama banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Azas Pengenaan Pajak Terdapat beberapa azas yang dapat dipakai oleh Negara sebagai azas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Azas utama yang paling sering digunakan oleh Negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah : 1. Azas Domisili atau disebut juga azas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan azas ini Negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di Negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di Negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi Negara yang menganut azas ini, dalam system pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan azas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di Negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world wide income concept).
13
2. Azas Sumber, Negara yang menganut azas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber- sumber yang berada di Negara itu. Dalam azas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara itu. Contoh : tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang di dapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia. 3. Azas Kebangsaan atau azas nasionalitas atau disebut juga azas kewarganegaraan (Nationality/Cityzenship Principle). Dalam azas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan azas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam azas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan azas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan azas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
14
Pembagian pajak menurut golongannya adalah sebagai berikut : 1. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Sebagai contoh pajak penghasilan. 2. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebagai contoh pajak pertambahan nilai. Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri – ciri prinsip : a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
yang
selanjutnya
dicari
syarat
objektifnya,
dalam
arti
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pembagian pajak menurut pemungutan : a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
15
Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan dan lain – lain.
4. Syarat Pemungutan Pajak Thomas Sumarsan (2012:7), tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu : 1. Pemungutan pajak harus adil Seperti hal nya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundangundangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya : a. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak b. Pajak diberlakukan bagi setiap warga Negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak c. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran 2. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
16
maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. 3. Pemungutan pajak harus efisien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi perhitungan maupun dari segi waktu. 4. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalan pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh : a. Bea materai disederhanakan menjadi 2 macam tarif b. Tariff PPN disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10 %
17
5. Cara Pemungutan Pajak Thomas Sumarsan (2012:13), mengemukakan cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel : a. Stelsel nyata (Riil Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni
setelah
penghasilan
yang
sesungguhnya
telah
dapat
diketahui.Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan (Fictieve Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat diterapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa hatus menunggu pada akhir tahun. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus
18
menambah kekurangannya.Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali.
6. Sistem Pemungutan Pajak Thomas Sumarsan (2012:14) menjelaskan sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi : a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding System
19
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Secara umum jenis-jenis pajak dapat dibagi menjadi : 1. Pajak Penghasilan (PPh), 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), 3. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), 4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan 5. Pajak Lainnya. Menurut Prabowo (2002) berdasarkan penerimaannya maka pajak dibedakan menjadi Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sedangkan Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dalam pembahasan ini selanjutnya akan lebih difokuskan pada pajak Penghasilan (PPh) sebagai salah satu sumber utama penerimaan pajak bagi negara.
D. Definisi Pajak Penghasilan (PPh) Pajak penghasilan (PPh) terakhirdiatur dalam Undang-Undang Nomor 36Tahun 2008, yang diamandemenberdasarkan Undang-Undang Nomor 7Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 10Tahun 1994, dan Undang-Undang Nomor17 Tahun 2000.Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak Negara yang
20
dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.
1. Wajib Pajak Penghasilan Wajib Pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Wajib PajakOrang Pribadi/Perorangan dan Wajib Badan.
Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu: 1. Orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan atau Orang yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia serta berniat untuk tinggal di Indonesia. 2. Karyawan/karyawati yang memperoleh penghasilan di luar penghasilan sehubungan dengan penghasilan dan pekerjaannya. 3. Orang-orang yang wajib menyampaikan laporan pajak pribadi (LP2P) serta kuasa (trustee) atas warisan yang terbagi. Sedangkan Wajib Pajak Badan adalah : 1. Perseroan Terbatas (PT), 2. Perseroan Komanditer (CV), 3. Persekutuan, 4. Firma (Fa), 5. Kongsi, 6. Koperasi, 7. Yayasan atau Lembaga,
21
8. Perseroan atau Perkumpulan lainnya, 9. Badan Usaha Milik Negara dan Daerah, serta 10. Bentuk Usaha Tetap di Indonesia oleh Badan atau Perusahaan yang tidak didirikan atau berkedudukan di Indonesia (Weston and Copeland, 1995).
2. Bukan subyek pajak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut: a. Badan perwakilan negara asing. b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. c. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF. d. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
3. Obyek Pajak Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
22
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut. Pengertian
penghasilan
dalam
Undang-undang
PPh
tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau
23
dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. 4. Penghasilan Yang Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan
Pasal
4
Penghasilan,Penghasilanyang
ayat tidak
(3)
Undang-Undang
termasuk
sebagai
objek
Pajak Pajak
Penghasilan adalah : 1. a) Bantuan atau sumbangan. b) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurussatu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badanpendidikan atau badansosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh MenteriKeuangan; sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Warisan. 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti sahamatau sebagai pengganti penyertaan modal. 4.Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yangditerimaatau diperoleh dalam bentuk natura ataupun kenikmatan darai Wajib Pajak ataupemerintah. 5. Pembayaran darai perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan denganasuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, danasuransi beasiswa.
24
6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagaiWajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, BadanUsaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dari penyertaanmodal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukn di Indonesia. 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkanoleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pagawai, danpenghasilan yang ditanamkan dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan olehMenteri Keuangan. 8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yangmodalnya
tidak
terbagi-bagi
atas
saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firmadan kongsi. 9. Bunga obliasi yang diterima atau diperoleh dari perusahaan reksa dana. 10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagianlaba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha ataukegiatannya di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : (i)Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalamsektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan (ii) Sahamnyatidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia. 5. Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pajak penghasilan orang pribadi adalah pajak yang dikenakan terhadapsubjek pajak orang pribadi atas penghasilanyang diterima atau
25
diperolehnya dalamtahun pajak atau dapat pula dikenakan pajakuntuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajaksubjektifnya dimulai atau berakhirdalam tahun pajak.
6.
Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak penghasilan yang berkenaanatas pekerjaan, jabatan jasa, dan
kegiatanyang dilakukan oleh Wajib Pajak OrangPribadi Subjek Pajak Dalam Negeri yangdisebut dengan PPh Pasal 21, yaitu pajakpenghasilan berupa gaji, upah, honorarium,tunjangan, dan pembayaran lain.
7. Penghasilan Tidak Kena Pajak(PTKP) Pemerintah
melalui
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
162/PMK.011/2012, telah menetapkanpenyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku mulai 1 Januari 2013. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah faktor pengurangan terhadap penghasilan netto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. Secara yuridis, penyesuaian besarnya PTKP didasarkan pada amanah Pasal 7 ayat (3) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Atas dasar kewenangan ini, dengan memperhatikan tingkat harga kebutuhan pokok dan dampak kontraksi
26
perekenomian global yang mempengaruhi perekonomian nasional, maka Pemerintah menetapkan perlu adanya kebijakan penyesuaian PTKP. Penyesuaian PTKP per 1 Januari 2013 sebesar kurang lebih 53% dari besaran PTKPsebelumnya, disadari akan memberikan dampak pada beberapa aspek perekenomian nasional. Darisatu sisi, penerimaan negara, ceteris paribus, akan turun. Namun di sisi lain, dengan adanya kenaikanPTKP diharapkan dapat memberikan
perlindungan
berpenghasilanrendah.
Lebih
dan lanjut,
keringanan kenaikan
kepada
PTKP
masyarakat
diharapkan
dapat
meningkatkan daya beli masyarakat, yangakan berujung pada pertumbuhan produk domestik bruto. Dalam paper ini, akan dibahas latar belakang penyesuaian PTKP dan analisis dampak penyesuaian besarnya PTKP, baik dari sisi penerimaan negara maupun dari dampaknya pada sisi makro ekonomi nasional. 1.
Dampak penyesuaian PTKP Penyesuaian PTKP per 1 Januari 2013 sebesar kurang lebih 53,4% dari
besaran PTKP sebelumnya, di sadari akan menimbulkan dampak pada beberapa aspek perekonomian. Berikut ini merupakan beberapa dampak yang akan timbul setelah diberlakukannya perubahan PTKP, yaitu: a.
Dampak Pada Penerimaan Negara Kenaikan besaran PTKP secara langsung akan menyebabkan penurunan penerimaan pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 orang pribadi dan pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 karyawan. Penyesuaian PTKP sebesar 53,4% tersebut, berdasarkan perhitungan
27
Kementerian Keuangan berpotensi mengalami penurunan penerimaan pajak bersih sebesar Rp. 13,3 triliun (Bambang Brodjonegoro, 2012).
b. Dampak Pada Beberapa Variabel Makro Ekonomi Kebijakan penyesuaian PTKP merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah guna mengantisipasi potensi timbulnya perlambatan ekonomi nasional
yang
disebabkan
adanya
penurunan
perekonomian
global.Terhadap penyesuaian kenaikan besaran PTKP per 1 januari 2013, telah dilakukan analisis dampak pada beberapa variabel ekonomi. Tabel 2.2, menunjukan hasil analisis pada penyesuaian perubahan kenaikan tarif PTKP tersebut. Tabel 2.1 Dampak Perubahan PTKP pada Variabel Makro Ekonomi Indikator Dampak Volume Konsumsi Rumah Tangga
0,0823
Investasi
0,0185
Penciptaan Lapangan Kerja Baru
0,0031
Pertumbuhan Produk Domestik
0,0087
Sumber: Analisis BKF Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) tahun 2011, rata-rata status rumah tangga Indonesia kawin dengan memiliki 2 orang anak. Dengan demikian kenaikan PTKP ditahun 2013 akan berdampak pada disposable incomerata-rata sebesar RP. 10.575.000 untuk setiap keluarga.Disposable income adalah penjumlahan biaya hidup selama
28
setahun atau nilai pendapatan setelah dikurangi dengan nilai pajak, atau nilai pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat (Sir Wiliam Petty : 1665 ). Kontribusi konsumsi rumah tangga sendiri merupakan faktor penyumbang utama Produk Domestik Bruto (PDB). Berdadsarkan data BPS, atas dasar harga berlaku pada kuartal 1 tahun 2012 konsumsi rumah tangga adalah sebesar Rp. 1.972,4 triliyun, atau sekitar 55% dari PDB. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, kenaikan PTKP tersebut dapat berkontribusi meningkatkan volume konsumsi rumah tangga sebesar 0,0823%. Setiap tambahan permintaan akan barang atau jasa (demad) karena konsumsi meningkat, akan menimbulkan mulplier effect yang berujung pada peningkatan national income. Peningkatan konsumsi rumah tangga menimbulkan kenaikan demand atas produk, baik dalam maupun luar negeri. Peningkatan demand ini akan berdampak pada stimulus bagi tumbuhnya investasi, guna memenuhi permintaan pasar. Selain itu peningkatan disposable income juga berpengaruh pafa saving masyarakat. Melalui penyaluran kredit (credit channeling), ataupun invesetasi langsung (direct investment), peningkatan akumulasi saving bersamaan dengan peningkatan demand masyarakat akan meningkatkan tingkat investasi swasta. Dari model yang digenerater, peningkatan PTKP 2013 tersebut berpotensi meningkatkan investasi swasta sebesar 0,0185%. Sebagai dampak meningkatnya investasi ini akan berdampak pada akan banyak dibukanya lapangan kerja baru. Potensi penciptaan lapangan kerja baru, dengan fiskal
29
stimulus
PTKP
tersebut,
diproyeksikan sebesar
0,0031%.
Dari
peningkatan konsumsi dan investasi, maka diharapkan bahwa stimulus fiskal ini dapat berkontribusi meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0,0087%. Hal yang perlu diwaspadai dengan peningkatan demand dalam negeri adalah adanya kenaikan harga (demand pull inflation). Adanya kenaikan harga ini memang biasanya akan berpengaruh pada output yang besarannya dipengaruhi income effect (tambahan disposable income) dan substitution effect (harga komoditas import yang relatif lebih murah karena kenaikan harga domestik). Tingkat dmeand yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar domestik, juga akan berpengaruh pada peningkatan import. Untuk itu kebijakan stimulus fiskal ini dirancang untuk tidak menimbulkan dampak negatif yang justru merugikan perekonomian nasional (BKF: kajian PKPN analisis penyesuaian PTKP 2013). Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012diberikan paling sedikit sebesar: a. Rp. 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp. 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp. 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan d. Rp. 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
30
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Tabel 2.2 Perubahan Besaran PTKP 2013 PTKP PTKP (cfm.PMK162/2012) (cfm UU36/2008) 2012-2013 (Rp) 2009-2012 (Rp) Diri WP orang pribadi 15.840.000 24.300.000 Tambahan untuk WP Kawin Tambahan untuk istri yangpenghasilannya digabung dengan penghasilan suami Tambahan untuk setiap tanggungan
1.320.000
2.025.000
15.840.000
24.300.000
1.320.000
2.025.000
Prosentase Kenaikan
53,4 %
E. Kesadaran Membayar Pajak Kesadaran
perpajakan
adalah
suatu
kondisi
dimana
seseorang
mengetahui,mengakui, menghargai dan menaati ketentuan perpajakan yang berlaku sertamemiliki kesungguhan dan kenginan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya(Muliari, 2011). Kesadaran merupakan hal yang penting untuk mendorongkemauan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Perlu adanyakerelaan
dan
keikhlasan
untuk
membayar
pajak
yang
telah
menjaditanggungannya. Kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanyatergantung kepada masalah-masalah teknis saja yang menyangkut metodepemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan, penyidikan, penerapan sanksisebagai
perwujudan
pelaksanaan
ketentuan
peraturan
perudang-
31
undanganperpajakan, dan pelayanan kepada Wajib Pajak tersebut akan memahuti peraturanperundang-undangan perpajakan. Kesadaran wajib pajak dalam membayar kewajiban pajak akan meningkat bilamana
dalam
Meningkatnya
masyarakat
pengetahuan
muncul perpajakan
persepsi
positif
masyarakat
terhadap
melalui
pajak.
pendidikan
perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap kesadaran wajib pajak untukmembayar pajak. Karakteristik wajib pajak yangdicerminkan oleh kondisi budaya, sosial, danekonomi akan dominan membentuk perilaku wajib pajak yang tergambar dalam tingkatkesadaran mereka dalam membayar pajak. Penyuluhan pajak yang dilakukan secara intensifdan kontinyu akan dapat meningkatkan pemahaman wajib pajak tentang kewajiban membayar pajak sebagai wujud kegotongroyongan nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional (Suryadi,2006). Meskipunsistem pemungutan pajak self assessment systemsudah dijalankan. Namun dalam prakteknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalahgunakan.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya wajib pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran wajib pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuatwajib pajak enggan melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran wajib pajak ini bisa terlihat dari sangatkecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya. (Sadhani, 2004 dalam Tarjo danIndra Kusumawati, 2005).
32
Irianto (2005) dalam Widayati dan Nurlis (2010) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak. Terdapat tiga bentuk kesadaran utama terkait pembayaran pajak. Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk pembangunan negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara. Kedua, kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara. Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan. Wajib pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara. Dalam Jatmiko (2006), Sumarso (1998) menyatakan bahwa kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu penyebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Masih dalam Jatmiko (2006), Larche (1980) juga mengemukakan bahwa kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat. Secara empiris juga telah dibuktikan bahwa makin tinggi tingkat kesadaran perpajakan wajib pajak maka akan makin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak (Suyatmin,2004 dalam Jatmiko, 2006).
33
F. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Ada beberapa pengertian kepatuhan wajib pajak yang dikemukakan oleh para ahli antara lain: Menurut Gunadi (2005:4) “Kepatuhan pajak ()tax compliance) adalah bahwa Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengna aturan-aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, atau pun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.” Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut Nurmantu (2003: 148) “Kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua hak dan kewajiban perpajakan seusia dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakannya.” Menurut Nasucha (2004 : 9) “Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.” Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu sikap taat dari Wajib Pajak untuk melaksanakan semua kewajiban dan memenuhi hak perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku.
34
Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material : a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memnuhi keawjiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi undang-undang perpajakan. Dapat disimpulkan juga kepatuhan formal adalah kepatuhan yang dapat dilihat dari penyampaian SPT dan pembayaran pajak yang terutang sudah sesuai jangka waktu yang ditentukan. Sedangkan kepatuhan maeterial dalah kepatuhan yang dapat dilihat dari pemenuhan kewajibannya sendiri (pajak penghasilan 25 atau pajak penghasilan 29) maupun pajak yang dipotong atau dipungut dari pihak lain (pajak penghasilan 21, 22 ,23). 2. Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai ”suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi (Devano, 2006:110) sebagai berikut : a.”Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturanperundang- undangan perpajakan. b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
35
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.” Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
192/PMK.03/2007,wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Kepatuhan Wajib Pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam membayar PPh Pasal 21dan melaporkan SPT Masa sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa : “Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.”
36
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 disebutkan bahwa penyampaian SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Kesimpulannya Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan dan peraturan pelaksanaan yang berlaku. G. Penerimaan Pajak Penghasilan Penerimaan berasal dari kata terima yang berarti mendapat (memperoleh sesuatu), sedangkan penerimaan berarti perbuatan menerima. Maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan pajak merupakan jumlah kontribusi masyarakat (yang dipungut berdasarkan undang-undang) yang diterima oleh negara dalam suatu masa yang akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peningkatan penerimaan pajak merupakan bentuk tanggung jawab sosial negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Langkah pemerintah untuk menigkatkan penerimaan dari sektor perpajakan dimulai dengan melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh pada tahun 1983 hingga saat ini, dan sejak saat itulah, Indonesia menganut sistem self assesment. Hasil dari reformasi perpajakan yang dilakukan menunjukkan peningkatan penerimaan pajak yang , peranan pajak bagi negara melalui kontribusi di APBN masih dibawah 20% per tahun. Setelah dilakukan reformasi perpajakan, peranannya meningkat terus menjadi di atas 20% hingga mencapai 75% tiap tahun. Oleh karena itu, peranan pemerintah melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi terus dilakukan
37
khususnya Pajak Penghasilan (PPh). Mengingat porsi Pajak Penghasilan (PPh) terhadap keseluruhan penerimaan pajak pemerintah masih terbilang rendah dibandingkan pajak lainnya. H. Penelitian Terdahulu Pada bagian ini akan ditampilkan ringkasan penelitian terdahulu yang ditunjukkan melalui tabel 2.1 Tabel 2.3 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Peneliti
Variabel
Alat
Hasil
Analisis Ivana Puspita Dewi (2007)
Liswatin (2005)
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitianini adalah variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat penerimaan PPh. Variabel terikatyang digunakan dalampenelitian ini adalah penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di KPP Batu
Analisis regresi berganda
sikap wajib pajak terhadap kenaikan ptkp, sikap wajib pajak terhadap kesadaran membayar pajak dan sikap wajib pajak terhadap kepatuhan perpajakan memiliki pengaruh yang postif yang signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan.
Variabel bebas yang digunakan adalah pengaruh WP terdaftar,sedangkan variabel terikatyang digunakan penerimaan pajak penghasilan
Analisis regresi berganda
Adanya jumlah wajib pajak terdaftar secara signifikan mempengaruhi tingkat penerimaan pajak penghasilan.
38
Variabel independen : Analisis jumlah wajib pajak, regresi HerryantoDan kesadaran wajib pajak, berganda kegiatan sosialisasi Agus Arianto perpajakan, dan pemeriksaan pajak. Toly (2013) Variabel dependen : penerimaan pajak penghasilan. Marisa
I.
Semua variabel bebas yang digunakan yaitu Lingkungan pengendalian, sistem akuntansi dan prosedurpengendalian baik secara parsial maupunbersamasama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan wajibpajak.
Kerangka Konseptual 1.
Pengaruh Kenaikan Tarif PTKP Terhadap Penerimaan Pajak
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sedemikian kali diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir kali pada Pasal 7 UU No. 36 Tahun 2008, sebsear Rp. 24.300.000,00 untuk diri WP, Rp. 2.025.000,00 untuk WP kawin, dan Rp. 2.025.000,00 untuk tanggungan. Jadi, PTKP dapat dikatakan sebagai keringanan yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk berpenghasilan rendah (retribusi pendapatan).Naiknya PTKP berpengaruh positif pada
wajib
pajak
karena
menaikkan
taraf
hidup
wajib
pajak,
sehinggameningkatkan daya beli dan konsumsi msyarakat hingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Peningkatan konsumsi tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak tidak langsung atau pajak pertambahan nilai. “H1: kenaikan tarif PTKP berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Tanah Abang Satu”.
39
2.
Pengaruh Kesadaran Membayar Pajak Terhadap PenerimaanPajak Untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan terdapat beberapa
faktor dinilai berpengaruh pada penerimaan pajak penghasilan yaitu reformasi undang-undang perpajakan seperti kenaikan tarif penghasilan tidak kena pajak (PMK162/PMK.011/2012), kesadaran dalam membayar pajak, dan kepatuhan Wajib Pajak. Dari ketiga faktor tersebut kesadaran merupakan hal yang penting untuk mendorong kemauan membayar pajak sehingga dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan pajak penghasilan dan memenuhi kewajiban perpajakannya. “H2: kesadaran membayar pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Tanah Abang Satu”. 3.
Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Berdasarkan pasal 1 ayat (1) undang-undang nomor 6 tahun 1983
sebagaimana telah diubah dan disempurnakan dengan undang-undang nomor 28 tahun 2007 mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negar bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Untuk meningkatkan penerimaan pendapatan negara terutama perpajakan, pemerintah harus meningkatkan kepatuhan pada setiap Wajib Pajak, karena tingkat kepatuhan Wajib Pajak dinilai menjadi salah satu faktor penting strategi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak
40
negara. Kepatuhan Wajib Pajak diartikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak Patuh mempunyai kesadaran dalam memenuhi kewajiban perpajakannya (Devano, 2006). “H3: kepatuhan wajib pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Tanah Abang Satu.”
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dibuat kerangka konseptual tentang pengaruh kenaikan tarif ptkp, kesadaran membayar pajak dan kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, seperti tampak pada gambar.
Variabel Independen
Variabel Dependen
Kenaikan Tarif PTKP (X1)
Kesadaran membayar pajak (X2)
Kepatuhan Wajib Pajak (X3)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Penerimaan PPh (Y)