BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan analisis runtun waktu, diantaranya konsep tentang kestasioneran, fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial, macam-macam model linear pada runtun waktu, langkah-langkah iteratif dalam pembentukan model Box-Jenkins, serta prinsip parsimoni.
2.1 Kestasioneran Kestasioneran data merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis runtun waktu, karena dapat memperkecil kekeliruan model. Jika data tidak stasioner, maka harus dilakukan transformasi stasioneritas. Gejala non-stasioner ditunjukkan oleh adanya trend pada plot data runtun waktu, jika trendnya linier maka transformasi dilakukan melalui proses diferensi (selisih data-data yang berurutan). Sedangkan jika tidak linier, maka terlebih dahulu harus dilakukan transformasi linieritas trend melalui proses logaritma natural. Berdasarkan deskripsinya, bentuk kestasioneran ada dua, yaitu stasioner kuat (strickly stationer) atau stasioner orde pertama (primary stationer) dan stasioner lemah (weakly stationer) atau stasioner orde kedua (secondary stationer). Istilah stasioner digunakan untuk stasioneritas tingkat dua dan mengharapkan asumsi normalitas terpenuhi.
8
9
Ciri-ciri dari stasioner lemah adalah rata-rata hitung, yaitu: E(Zt) = µ, dan kovariansnya adalah konstan serta autokovariansnya merupakan fungsi dari lag, ρk = f(k). Sedangkan ketidakstasioner data diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu: 1) Tidak stasioner dalam rerata hitung, jika trend tidak datar (tidak sejajar sumbu waktu) dan data tersebar pada “pita” yang meliput secara seimbang trendnya. 2) Tidak stasioner dalam varians, jika trend datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola melebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya (pola terompet). 3) Tidak stasioner dalam rerata hitung dan varians, jika trend tidak datar dan data membangun pola terompet. Untuk mempermudah dalam memahami ciri-ciri dari stasioner, disajikan plot data di bawah ini : 1. Untuk data tidak stasioner dalam rerata hitung (trend naik atau turun)
0.600
0.500
Value crest
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000 1 6 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6
Case Number
Gambar 2.1
10
2. Untuk data tidak stasioner dalam varians 80.0
70.0
Value ozone
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0 1 3 5 7 9 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 3 5 7 9 1 3 5 7 9
Case Number
Gambar 2.2
3. Untuk data tidak stasioner dalam rerata hitung dan varians
Value connect
40000
30000
20000
10000
1 6 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 0 0 1 1 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6
Case Number
Gambar 2.3
2.2 Fungsi Autokorelasi dan Autokorelasi Parsial 2.2.1 Fungsi Autokorelasi Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Jika tidak terdapat autokorelasi dalam data, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut random atau tidak terdapat suatu pola apapun. Dalam proses stasioner dipenuhi sifat: E(Z ) = µ
dan kov( Z t , Z t −k ) = γ k
(2.1)
dimana µ dan γ k untuk semua k adalah konstan. Disini µ adalah rerata proses
11
itu dan γ k autokovarian pada lag k. Proses ini mempunyai variansi konstan, yaitu: Var (Z) = σ z2 = γ 0
(2.2)
untuk semua bilangan bulat k, berlaku :
γ −k = γ k
(2.3)
Karena
γ k = Cov (Z t , Zt-k ) = Cov (Zt-k , Zt ) = Cov (Zt-k , Zt-k+k ) = Cov (Zt , Zt-(-k) ) =γ -k sehingga yang perlu ditentukan adalah nilai-nilai γ k untuk k ≥ 0. Himpunan
{γ k : k = 0,1,...} disebut fungsi autokovarian. Autokorelasi pada lag k didefinisikan sebagai:
ρk =
kov( Z t , Z t − k )
[Var ( Zt ).Var ( Zt −k )]
1/ 2
=
γk γ0
(2.4)
dan independen dengan skala pengukurannya. Fungsi autokorelasi (fak), dibentuk dengan himpunan
{ρk : k = 0,1,...}
dengan ρ 0 = 1 . Pada prakteknya, nilai ρ k
ditaksir oleh rk , yaitu : n
C γˆ kov( Z t , Z t − k ) rk = k = k = = C0 γˆ0 [Var ( Z t ).Var ( Z t − k )]1/ 2
∑ (Z t =1
t
− Z )( Z t − k − Z )
∑ (Z t =1
dengan:
(2.5)
n
t
− Z)
2
rk
= koefisien autokorelasi untuk lag dari periode ke k
Z
= rata-rata dari nilai observasi
Zt
= observasi pada periode waktu t
Zt −k
= observasi pada periode waktu t-k
12
Gambar 2.4 adalah contoh dari suatu fungsi autokorelasi (fak) dari suatu data runtun waktu. 1
0
k
2
-
Gambar 2.4 Fungsi autokorelasi pada suatu data Z t
Untuk menguji apakah suatu data runtun waktu yang digunakan berautokorelasi digunakan statistik Q Box-Pierce. Langkahnya sebagai berikut: 1) Hipotesis H0 : ρ1 = ρ 2 = … = ρ k = 0
(Tidak terdapat autokorelasi pada data)
H1 : minimal ada satu ρ k ≠ 0
(Terdapat autokorelasi pada data)
2) Statistik Uji m ) Q = n∑ rk2 (at ) k =1
(2.6)
3) Kriteria Uji 2 Tolak H0 jika nilai Q lebih besar dari χ tabel, dengan taraf nyata 5 % dan
derajat kebebasan (m-p-q) dengan
m = jumlah lag yang diuji n = jumlah pengamatan p = jumlah parameter yang ditaksir dari model autoregresif (jenjang AR)
13
q = jumlah parameter yang ditaksir dari model rata-rata bergerak (jenjang MA) rk = autokorelasi sampel.
2.2.2 Fungsi Autokorelasi Parsial Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi, autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi parsial (fakp). Fungsi autokorelasi parsial (fakp) menunjukkan tingkat keeratan antara Zt dan Z t − k dengan syarat menghilangkan pengaruh dari lag 1, 2, dan seterusnya sampai k-1. Fungsi autokorelasi parsial ditulis dengan notasi {φ kk ; k = 1,2, K} , yakni himpunan autokorelasi parsial untuk berbagai lag k. Koefisien autokorelasi parsial lag ke k dapat ditentukan dengan,
φ kk =
| Pk∗ | | Pk |
(2.7)
14
∗ dimana Pk adalah matriks autokorelasi k × k , dan Pk adalah Pk dengan kolom
ρ1 ρ 2 terakhir diganti dengan M , atau rumus di atas bisa juga ditulis sebagai berikut: ρ k
1
ρ1
ρ1
1 M
M
φkk =
ρ2 ρ1
K ρk −2 K ρ k −3
M
M
ρk −1 ρ k − 2 ρ1 1 ρ1 1
ρ k −3 K ρ1 ρ2 K ρk −2 ρ1 K ρ k −3
M
M
M
ρ k −1 ρk − 2
ρ k −3 K
ρ1 ρ2 M
ρk . ρk −1 ρk −2
M
M
ρ1
1
(2.8)
2.3 Macam-Macam Model Linier pada Runtun Waktu Salah satu pengelompokan model-model runtun waktu dapat diberikan sebagai berikut (Rosadi, 2006): a)
Model stasioner, yakni suatu model yang semua sifat statistiknya tidak berubah dengan pergeseran waktu (yakni bersifat time invariant). Dalam aplikasi, sifat statistik yang sering menjadi perhatian adalah rata-rata, variansi serta ukuran keeratan yakni fungsi kovariansi, suatu model yang memenuhi sifat ini disebut sebagai proses stasioner lemah. Pada model stasioner, sifat-sifat statistiknya pada masa yang akan datang dapat diramalkan berdasarkan data historis yang telah terjadi di masa yang lalu. Beberapa model stasioner (khususnya sering disebut model linear dan homoskedastik) diantaranya model
Autoregressive (AR), model Moving
Average (MA), dan Autoregressive-Moving Average (ARMA), dan lain-lain.
15
Model non-stasioner, yakni model yang tidak memenuhi sifat model stasioner di atas. Beberapa model nonstasioner diantaranya model Integrated Autoregressive (ARI), model Integrated Moving Average (IMA), model Autoregressive Integrated-Moving Average (ARIMA), dan lain-lain.
2.3.1 Model Stasioner 2.3.1.1 Model Autoregressive (AR) Bentuk umum model AR tingkat p atau AR (p) yaitu: Z t = φ1Z t −1 + φ2 Z t − 2 + ... + φ p Z t − p + at dimana a ~ N (0, σ 2 ) t a iid
(2.9)
Persamaan di atas dapat ditulis dengan φ ( B ) Z t = at dengan
φ ( B) =1 − φ1B − φ2 B 2 − ... − φ p B p
(2.10)
2.3.1.2 Model Moving Average (MA) Bentuk umum model MA tingkat q atau MA (q) adalah: iid
Z t = at + θ1at −1 + θ 2 at − 2 + ... + θ q at − q ; dimana at ~ N (0, σ a2 )
(2.11)
Persamaan di atas dapat ditulis dengan:
Z t = θ ( B) at ; dengan θ ( B) = 1 + θ1 B + θ 2 B 2 + ... + θ q B q
(2.12)
2.3.1.3 Model Autoregressive-Moving Average (ARMA) Bentuk umum proses ARMA adalah: Z t = φ1Z t −1 + φ2 Z t − 2 + ... + φ p Z t − p + at + θ1at −1 + θ 2 at − 2 + ... + θ q at − q
(2.13)
atau
φ ( B) Z t = θ ( B)at
(2.14)
16
Model ARMA dapat ditulis sebagai model MA yaitu: Z t = Ψ ( B)at ataupun sebagai model AR, yaitu:
π ( B) Z t = at , dimana
Ψ ( B) = φ −1 ( B)θ ( B) dan π ( B) = θ −1φ ( B)
Pada umumnya penentuan model peramalan sementara didasarkan pada fungsi autokorelasi (fak) dan fungsi autokorelasi parsial (fakp) mengikuti aturan sebagaimana dijelaskan sebagai berikut (Wei, William. W. S., 1994): 1. Proses AR(p) yaitu jika fak menurun perlahan secara eksponensial atau membentuk gelombang sinus dan fakp terpotong setelah lag p. 2. Proses MA(q) yaitu jika fak terpotong setelah lag q atau fakp menurun perlahan secara eksponensial atau membentuk gelombang sinus. 3. Proses ARMA (p,q) yaitu fak terpotong setelah lag (q-p) dan fakp terpotong setelah lag (p-q).
2.3.2 Model Non-Stasioner Pada sub bab sebelumnya, telah disajikan model-model untuk data yang stasioner. Sedangkan pada kenyataannya, kebanyakan data runtun waktu adalah tidak stasioner. Pada sub bab ini akan diperkenalkan model-model untuk data yang non-stasioner, sekaligus cara untuk menstasionerkannya. Untuk deret data yang non-stasioner, maka harus dilakukan penyelisihan (differensi). Cara yang digunakan dalam melakukan differensi adalah dengan menggunakan operator differensi yaitu ∇ = (1 − B) .
17
Misal Wt = Z t − Z t-1 , maka differensi pertama dari Z t didefinisikan sebagai berikut : ∇Z t = Wt = Z t − Z t-1
Sedangkan differensi kedua dan seterusnya didefinisikan sebagai berikut : ∇ 2 Z t = ∇Wt = differensi kedua dari Z t M
∇ d Z t = ∇ d-1 Wt = differensi ke-d dari Z t
(2.15)
Differensi ini dilakukan terus sampai diperoleh data yang stasioner, akan tetapi pada umumnya dua kali differensi sudah membuat data menjadi stasioner.
2.3.2.1 Model Integrated Autoregressive ARI (1,1) Model ARI (1,1) mempunyai bentuk: Z t = (1 + φ1 ) Z t-1 − φ1 Z t-2 + at
(2.16)
dimana φ1 < 1 dan Wt = φ1 Wt-1 + at adalah proses AR(1) yang stasioner dengan Wt = Z t − Z t −1
2.3.2.2 Model Integrated Moving Average IMA (1,1) Model IMA (1,1) ini mewakili banyak runtun waktu, terutama yang muncul dalam bidang ekonomi dan bisnis. Dalam bentuk persamaan differensi, model IMA (1,1) ditulis sebagai berikut : Z t = Z t-1 + at − θ1at-1
(2.17)
dimana Wt = at − θ1at-1 adalah proses MA(1) yang stasioner dengan Wt = Z t − Z t −1 .
18
2.3.2.3 Model Autoregressive Integrated Moving Average ARIMA (p,d,q) Metode Box-Jenkins sering disebut metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Metode ARIMA adalah metode gabungan autoregresi dengan rata-rata bergerak. Metodologi ARIMA dikembangkan oleh George Box dan Gwilym Jenkins (1976) oleh karena itu pemodelan dan peramalan ARIMA sering disebut dengan metode Box-Jenkins. Metode ARIMA dalam pemodelannya menggunakan pendekatan iteratif pada identifikasi suatu model yang mungkin dari model umum. Model yang terpilih kemudian diperiksa terhadap data historis untuk melihat apakah model secara akurat menjelaskan data. Jika model yang diperoleh belum memuaskan, maka prosesnya akan
diulangi dengan merancang model baru
untuk
memperbaikinya. Proses iteratif berlanjut hingga model yang paling baik diperoleh. Metode Box-Jenkins untuk menganalisis data runtun waktu menggunakan operator back shift, B yang didefinisikan oleh: BZ t = Z t −1
(2.18)
dan operator diferensi, ∇ yang didefinisikan oleh: ∇Z t = Z t − Z t −1
(2.19)
Hubungan keduanya dinyatakan dengan: ∇ = 1− B
Suatu runtun waktu
Zt
2.20)
dikatakan mengikuti model Integrated
Autoregressive Moving Average, jika model dari Z t adalah ARIMA (p,d,q).
19
ARIMA (p,d,q) adalah model runtun waktu yang non-stasioner, tapi setelah d dilakukan differensi ke-d, misal Wt = ∇ Z t menghasilkan model ARMA (p,q)
yang stasioner. Secara umum model ARIMA (p,d,q) dapat diturunkan dari ARMA (p,q) Wt = φ1 Wt-1 + φ2 Wt-2 + ... + φp Wt-p + at − θ1at-1 − ... − θ q at-q
(2.21)
dengan Wt = Z t − Z t-1 (untuk d=1) sehingga model 2.21 dapat ditulis menjadi : Z t = (1 + φ1 ) Z t-1 + (φ2 − φ1 ) Z t − 2 + ... + (φp -φ p −1 )Z t-p − φ p Z t − p −1 + at + θ1at-1 + ... + θ q at-q (2.22)
atau Z t − (1 + φ1 ) Z t-1 + (φ2 − φ1 ) Z t − 2 + ... + φ p Z p = at + θ1at-1 + ... + θ q at-q
(2.23)
atau (1- B )(1 + φ1 + φ2 +…+ φ p ) Z t = θ ( B )at
(2.24)
dengan
Ψ ( B ) = (1 − B )φ ( B )
(2.25)
dinamakan operator autoregresif terubah berderajat 1. Sedangkan untuk operator autoregresif terubah berderajat d adalah :
Ψ ( B ) = (1-B) d φ (B)
(2.26)
Model dengan persamaan (2.23) itulah yang dinamakan dengan model ARIMA(p,1,q).
20
2.4 Langkah-Langkah Iteratif Dalam Pembentukan Model Box-Jenkins Adapun langkah-langkah dalam pembentukan model Box-Jenkins (ARIMA) adalah : 1) Postulasikan klas umum model 2) Identifikasi model yang diselidiki 3) Estimasi parameter dalam model 4) Verifikasi model 5) Penggunaan model yang cocok untuk peramalan.
2.5 Prinsip Parsimoni Dapat dilihat bahwa dalam model peramalan berisi konstanta-konstanta atau parameter-parameter yang nilainya tertentu dan harus diestimasi dari data. Menentukan nilai estimasi dari parameter-parameter tersebut adalah sesuatu yang penting. Fungsi utama dari prinsip parsimoni adalah dalam estimasi nilai parameter-parameter tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip parsimoni menginginkan parameter-parameter dalam model dinyatakan dalam bentuk yang sederhana (variabelnya tidak terlalu banyak). Atau dengan kata lain, prinsip parsimoni menyatakan model yang lebih ekonomis lebih disenangi daripada model dengan parameter banyak. Akan lebih jelas ketika melihatnya pada sebuah contoh. Sebagai ilustrasi, disajikan contoh sederhana berikut. Diberikan model peramalan dalam bentuk
(
)
Z t = η0 + η1∇ + η2∇ 2 + L + η m∇ m X t
(2.26)
21
ketika berhadapan dengan persamaan
seperti di atas, maka sudah cukup
persamaan tersebut dinyatakan dalam bentuk berikut.
(1 + ξ ∇ ) Zt = X t Persamaan terakhir hanya memuat sebuah parameter, yaitu
(2.27) cukup untuk
mengganti m parameter pada persamaan sebelumnya. Inilah yang disebut dengan prinsip parsimoni.