BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Dasar-Dasar Perpajakan
II.1.1 Definisi Pajak Banyak para ahli mengemukakan berbagai macam batasan atau definisi tentang pajak. Menurut Siti Resmi (2003), disebutkan bahwa “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara yang berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h. 5-6). Pengertian Pajak menurut Adriani dalam Zain (2003), dikemukakan bahwa “ Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h. 10). Kemudian menurut Smeets dalam Waluyo (2005), dikatakan bahwa “ Pajak adalah prestasi langsung kepada pemerintah yang terutang melalui normanorma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah” (h. 5).
9
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pendapat–pendapat para ahli perpajakan dan Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut olah Negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur.
II.1.2 Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi. Suandy (2006) mengemukakan ”minimal ada dua tujuan atau fungsi pajak yaitu: 1.
Fungsi Budgeter/Financial Pajak mempunyai fungsi budgeter yaitu memasukkan uang sebanyakbanyaknya ke kas Negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran Negara. 10
2.
Fungsi Regulerend/Fungsi Mengatur Dalam hal Pajak mempunyai fungsi regulerend maka pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam perannya sebagai berikut: a. Pemberian insentif pajak (misalnya pemberian insentif pajak untuk sektor otomotif guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi) b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam Negeri. c. Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam Negeri” (h. 9-10).
II.1.3 Pembagian dan Pengelompokkan Pajak Pajak dibagi dalam beberapa golongan, sifat dan lembaga pemungutnya. Menurut Mardiasmo (2003) ”pengelompokkan pajak dibagi atas: 1. Pajak Menurut Golongan a. Pajak Langsung Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan, dan biasanya terhutang untuk suatu periode atau masa. Contoh Pajak Langsung adalah Pajak Penghasilan (PPh).
11
b. Pajak Tidak Langsung Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, dan biasanya terhutang setiap saat kejadian atau transaksi. Contoh Pajak Tidak Langsung adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Bea Balik Nama. 2. Pajak Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh Pajak Subjektif adalah Pajak Penghasilan (PPh). b. Pajak Objektif Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh Pajak Objektif adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 3. Pajak Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dalam hal ini di Negara kita dipungut oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan cukai (DJBC) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh Pajak Pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai, Bea Cukai, Bea Masuk. 12
b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga Daerah baik di Tingkat I maupun II ( Propinsi maupun Kabupaten/Kota). Pajak Daerah terbagi atas: Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi contohnya yaitu Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Pajak Kabupaten/Kota contohnya yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan” (h 5-6).
II.1.4 Syarat-Syarat Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith yang disitir oleh Waluyo & Ilyas (2007) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada: 1.
Keadilan (Equality) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan
penghasilan
yang
dinikmatinya
masing-masing,
dibawah
perlindungan pemerintah. Dalam asas ”equality” ini tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi di antara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan besarnya pajak yang sama pula. 2.
Kepastian (Certainty) Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus pasti (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). 13
Dalam asas ”certainty” ini kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek dan objek pajak, besarnya pajak yang terutang, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya harus pasti. 3.
Kemudahan (Confinience of Payment) Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu
saat
sedekat-dekatnya
dengan
saat
diterimanya
penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak. 4.
Ekonomi (Economic of Collection) Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mugkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pajak yang diperoleh.
II.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak Hukum pajak mengatur tentang stelsel pemungutan pajak, asas pemungutan pajak dan sistem pemungutan pajaknya. Mardiasmo (2006) menyatakan ”pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel, yaitu: 1.
Stelsel Nyata (Riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek atau penghasilan yang sungguhsungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak atau periode pajak. Dengan demikian besarnya pajak baru dapat dihitung pada akhir tahun atau periode pajak, karena penghasilan riil baru dapat diketahui setelah tahun pajak atau periode pajak berakhir.
14
2.
Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan (fiksi). Anggapan yang dimaksud di sini dapat bemacam-macam jalan pikirannya tergantung peraturan perpajakan yang berlaku. Anggapan tersebut dapat berupa anggaran pendapatan tahun berjalan atau diasumsikan penghasilan tahun pajak berjalan sama dengan penghasilan tahun pajak yang lalu.
3.
Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel riil dengan stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak atau periode pajak penghitungan pajak menggunakan stelsel fiktif dan pada akhir tahun pajak atau akhir periode dihitung kembali berdasarkan stelsel riil. Kelemahan dari stelsel campuran adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi karena penghitungan pajak dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir tahun atau periode pajak. Asas pemungutan pajak dibedakan atas:
1.
Asas domisili (Asas Tempat Tinggal) Dalam asas ini pemungutan pajak berdasarkan pada domisili atau tempat tinggal Wajib Pajak dalam suatu Negara. Negara di mana Wajib Pajak bertempat tinggal berhak memungut pajak terhadap Wajib Pajak tanpa melihat dari mana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh, baik dari
dalam
Negeri
maupun
Luar
Negeri
dan
tanpa
melihat
kebangsaan/kewarganegaraan Wajib Pajak tersebut.
15
2.
Asas Sumber Dalam
asas
ini
pemungutan
pajak
didasarkan
pada
sumber
pendapatan/penghasilan dalam suatu Negara. Menurut asas ini, Negara yang menjadi sumber pedapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan Wajib Pajak. 3.
Asas Kebangsaan Dalam asas ini, pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan dari Wajib Pajak, tanpa harus melihat darimana sumber pendapatan/penghasilan tersebut maupun di Negara mana tempat tinggal (domisili) dari Wajib Pajak yang bersangkutan” (h. 24-31). sistem pemungutan pajak terdiri dari tiga sistem yaitu:
1.
Official Assessment System (OAS) Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b. Wajib Pajak bersifat pasif. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak.
2.
Self Assessment System (SAS) Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 16
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3.
Withholding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak” (h. 8-9).
II.2
Pemeriksaan Pajak
II.2.1 Definisi Pemeriksaan Pajak Menurut Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Pasal 1 angka 24) dan juga (Pasal 1 angka 1) Keputusan Menteri Keuangan No.545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, disebutkan bahwa pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, serta mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
17
II.2.2 Jenis Pemeriksaan Pajak Menurut Priantara, dilihat dari tempat dilaksanakannya pemeriksaan, maka ”pemeriksaan pajak dapat dibedakan menjadi: 1. Pemeriksaan kantor yang berupa Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK). Dalam pemeriksaan kantor, pemeriksaan dilakukan dengan cara mengundang wajib pajak ke kantor pemeriksa guna memberikan keterangan atau bukti tertulis. Dalam hal ini, pemeriksa tidak diperkenankan mengunjungi tempat usaha wajib pajak. Dengan demikian, pemeriksaan kantor lebih bersifat untuk mendapatkan kejelasan atas suatu masalah, terutama yang terdapat dalam SPT (Surat Pemberitahuan). Untuk itu, pemeriksaan cukup dilakukan di kantor pemeriksa. Pemeriksaan kantor hanya berlaku untuk lingkup pemeriksaan sederhana. 2. Pemeriksaan Lapangan yang terdiri dari Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) dan pemeriksaan lengkap. Pemeriksaan lapangan dilakukan ditempat wajib pajak, baik di kantor, di tempat aktivitas bisnis, di gedung, atau ditempat aktivitas lain dari wajib pajak. Sedangkan pemeriksaan lengkap pasti menggunakan pemeriksaan lapangan. Maka dari itu, pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sebenarnya karena pemeriksa dapat dengan leluasa menerapkan metode dan teknik pemeriksaan sesuai dengan kebutuhan” (h. 34).
18
II.2.3 Tujuan Pemeriksaan Pajak Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.02/2000 tanggal 22 Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaaan Pajak, khususnya dalam Pasal 2 ayat (2), pemeriksaan di bidang pajak dilakuakn dengan tujuan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak serta untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Dengan demikian, pemeriksaan dapat dilakukan apabila: a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi. c. Surat Pemberitahuan tdak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan. d. Surat Pemberitahuan memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. e. Terdapat indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada huruf (c) yang tidak dipenuhi. Di dalam Pasal 2 ayat (3) ditentukan bahwa pemeriksaan yang dilakukan berkaitan dengan tujuan lainnya, yaitu untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan meliputi: a. Pemberian NPWP secara jabatan. b. Penghapusan NPWP. c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. d. Wajib Pajak mengajukan keberatan.
19
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan bersih. f. Pencocokan data dan atau alat keterangan. g. Penentuan Wajib Pajak yang berlokasi di daerah terpencil. h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai. i. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain, selain hal-hal tersebut. Salah satu pemeriksaan di bidang pajak adlah pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka penagihan pajak. sebgaimana ditentukan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/ PJ. 75/ 2002 tanggal 17 Juli 2002, pemeriksaan semacam itu dapat dilakukan terhadap 1.000 penunggak pajak skala nasional, atau 500 penunggak pajak skala regional, atau 100 penunggak pajak pajak skala lokal yang data mengenai harta objek sitanya tidak tersedia atau data mengenai harta objek sitanya tersedia namun jumlahnya tidak mencukupi untuk pelunasan tunggakan pajak yang dimiliki. Tujuan pemerksaan tersebut adalah untuk memperoleh data, keterangan, dan bukti yang berkaitan dengan: 1. Harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dimiliki pada tahun berjalan. 2. Proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan LPP, KKP, dan/atau Berita Acara Hasil Pemeriksaan. 3. Kegiatan penagihan aktif yang dilakukan. 4. Upaya hukum dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
20
II.2.4 Pelaksana Pemeriksaan Pajak Pemeriksa Pajak adala Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yan ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dan diberi
tugas,
wewenang,
serta
tanggung
jawab
untuk
melaksanakan
pemeriksaaan pajak. Hal ini sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 1.2 Keputusan Menteri Keuangan No. 545/ KMK.04/ 2000 tanggal 22 Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Dengan demikian, tidak semua aparat pemerintah yang ada dalam jajaran Direktorat Jenderal Pajak adalah pemeriksa pajak. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh satu orang pemeriksa pajak atau lebih. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf (a) dari Keputusan Menteri Keuangan No.545/KMK.04/2000
tersebut,
dinyatakan
bahwa
pemeriksaan
harus
dilaksanakan oleh pemeriksa pajak yang: 1. Telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. 2. Bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersikap terbuka, sopan, dan objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela. 3. Menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sebenarnya tentang Wajib Pajak.
21
II.3
Surat Ketetapan Pajak Surat Ketetapan Pajak diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berdasarkan keputusan DJP, kewenangan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dilimpahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Menurut Mardiasmo (2006) ”Surat Ketetapan Pajak ada 4, yaitu: 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang menetukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. Denda yang harus dibayar yaitu sebesar 2% per bulan (maksimal 24 bulan) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekeurangan pajak tersebut. Sanksi administrasi berupa kenaikan tidak dikenakan apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak, dengan syarat DJP belum mulai melakukan tinadakan pemeriksaan. 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat keputusan yang menetukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih beesar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. 22
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang atau tidak ada kredit pajak.
II.4
Sengketa Pajak Menurut Undang-Undang No.14 Tahun 2002, sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundaang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
II.5
Keberatan Menurut Purwito dan Komariah (2007), dikemukakan bahwa ”keberatan adalah suatu upaya penyelesaian sengketa perpajakan atas ketidaksetujuan terhadap penerbitan keputusan tertulis atau suatu Ketetapan Pajak yang dibuat oleh pejabat yang berwenang melalui suatu proses permohonan tertulis yang menurut anggapan Wajib Pajak/Pengguna Jasa Kepebeanan/Pabrikan Barang Kena Cukai sebagai masalah yang masih memerlukan klasifikasi lebih lanjut” (h. 72). Keberatan termasuk dalam peradilan administrasi tidak murni atau disebut juga peradilan doleansi. Maksud dari peradilan adminstrasi tidak murni adalah peradilan dimana pihak yang mengadili termasuk sebagai salah satu pihak yang bersengketa. 23
Surat Keberatan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu : 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil. 5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses pengajuan keberatan yang dilakukan Wajib Pajak adalah : 1. Diajukan tertulis. 2. Diajukan dalam bahasa Indonesia. 3. Mencantumkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang jelas. 4. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak kecuali jika ada keadaan diluar kekuasaannya (force majeur). 5. Tetap memenuhi kewajiban perpajakannya. Apabila poin 1-4 tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam pengajuan keberatannya, maka pengajuan tersebut tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan. Sedangkan syarat poin 5 dimaksudkan untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan surat keberatan. 24
Setelah surat keberatan diterima, Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak. Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan Wajib Pajak tersebut dianggap diterima. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak atas surat keberatan dapat berupa : 1. Menerima seluruhnya. 2. Menerima sebagian. 3. Menolak. 4. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
II.6
Banding Menurut Undang-Undang No.14 Tahun 2002, Pasal 1 angka 6, Banding adalah upaya hukum yang dapat dilaksanakan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Upaya Banding merupakan upaya hukum pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa perpajakan, namun tidak tertutup kemungkinan, apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, terdapat
upaya
hukum
untuk
mengajukan
Peninjauan
Kembali
(PK).
Permohonan tersebut harus disertai novum (bukti baru) dan alasan-alasan yang
25
bukan merupakan alasan yang telah disampaikan terdahulu dalam persidangan Pengadilan Pajak.
II.6.1 Syarat Pengajuan Banding Pengajuan permohonan Banding harus memenuhi ketentuan formal seperti diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2002, seperti: 1. Diajukan kepada Pengadilan Pajak dalam Bahasa Indonesia. 2. Diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya keputusan yang dibanding. 3. Terhadap 1 (satu) Keputusan hanya dapat diajukan 1 (satu) permohonan banding. 4. Disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding. 5. Melampirkan salinan Keputusan yang dibanding. 6. Telah membayar setengah (50%) dari jumlah pajak yang terutang.
II.6.2. Persiapan Persidangan Dalam hal persiapan persidangan, Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya Surat Banding atau Surat Gugatan. Ketua Pengadilan Pajak dalam hal pelaksanaan sidang, menunjuk Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim atau Hakim Tunggal untuk memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, Ketua
26
menunjuk salah seorang Hakim sebagai Hakim Ketua yang memimpin pemeriksaan Sengketa Pajak.
II.6.3 Pemeriksaan Dalam Sidang Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pemeriksaan dalam sidang meliputi : 1. Pemeriksaan dengan acara cepat (kort geding). Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Hakim Tunggal atau Majelis yang terdiri dari Hakim Ketua, Anggota dan Panitera. Persidangan dibuka oleh Hakim Tungggal/Ketua Majelis Hakim dan menyatakan sidang terbuka untuk umum sehingga kepada siapapun yang ingin melihat atau mengikuti jalannya sidang diperkenankan hadir. Kalimat ”terbuka untuk umum” ini harus dinyatakan oleh pemimpin sidang saat pembukaan sidang. Dalam sidang acara cepat, akan diteliti mengenai pemenuhan ketentuan formal mulai dari Pasal 35, 36,37 dan 38 disertai dengan pemeriksaan atas bukti-bukti berupa Surat Setoran Pajak/Surat Setoran Pabean Cukai dan Pajak, serta akta notaris asli. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan untuk lebih menekankan adanya kecepatan, kesederhanaan dan biaya murah dalam berperkara di Pengadilan Pajak.
27
2. Pemeriksaan dengan acara biasa. Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis dan terbuka untuk umum. Sidang acara biasa dilaksanakan setelah sidang acara cepat diputus dapat diterima pemenuhan formalitas pengajuan banding oleh Majelis Hakim. Penyidangan dari putusan acara cepat ke acara biasa memerlukan waktu selama 3 (tiga) bulan, tergantung dari padatnya jadwal persidangan majelis. Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena jabatan, Hakim Ketua dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan didengar keterangannya dalam persidangannya. Saksi diambil sumpah atau janji dan didengar keterangannya dalam persidangan oleh terbanding atau tergugat. Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu) hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya yang ditetapkan.
II.6.4 Pembuktian Alat bukti dalam persidangan dapat berupa : 1. Surat atau tulisan. 2. Keterangan ahli. 3. Keterangan para saksi. 4. Pengakuan para pihak. 5. Pengetahuan Hakim.
28
II.6.5 Dasar Pengambilan Putusan Putusan di Pengadilan Pajak diambil berdasarkan: 1. Hasil penilaian pembuktian 2. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan 3. keyakinan anggota sidang Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh ketua sidang, dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
II.6.6 Jenis Putusan Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa: 1. Menolak. 2. Mengabulkan sebagian.. 3. Mengabulkan seluruhnya. 4. Menambahkan pajak yang harus dibayar. 5. Tidak dapat diterima. 6. Membetulkan salah tulis dan/atau salah hitung. 7. Membatalkan. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
29