7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Dividen 1. Pengertian Dividen Keuntungan investasi dapat berupa dividen. Menurut Dyekman (2001:439), pengertian dividen adalah sebagai berikut : “Dividen adalah distribusi laba kepada para pemegang saham dalam bentuk aktiva atau saham perusahaan penerbitan dan pembayaran oleh perusahaan join saham kepada pemegang saham atas penyediaan modal sahamnya. Dividen merupakan distribusi keuntungan perusahaan”. Jadi, dividen adalah bagian dari laba perusahaan yang dibagikan kepada para pemegang saham yang jumlahnya ditetapkan oleh para direksi dan disahkan oleh RUPS.
2. Bentuk-bentuk Dividen a. Dividen Kas Merupakan bentuk dividen yang paling lazim dipergunakan oleh
pihak
perusahaan.
Bagi
suatu
perusahaan
dividen
ini
menyebabkan penurunan laba yang dibagi dan nilai kas, kewajiban lancar untuk hutang dividen diakui pada tanggal pengumuman dividen. Kewajiban ini dihapus ketika kewajiban dividen dikirimkan kepada para pemegang saham.
8
b. Dividen Harta Dividen Harta merupakan pembagian dividen kepada para pemegang saham yang dapat dibayarkan dengan aktiva selain kas. Sering kali aktiva yang akan disitribusikan sekuritas perusahaan lain yang dimiliki oleh perusahaan. Dividen harta biasanya hanya terjadi dalam perseroan yang bersifat tertutup. Dividen harta dinilai dengan nilai terbawa, jika nilai pasar yang wajar tidak dapat ditentukan.
c. Dividen Saham Adalah merupakan suatu pembagian yang dialakukan oleh perusahaan berupa tambahan saham perusahaan kepada para pemegang
saham
sebagai
dividen
saham.
Dividen
saham
memungkinkan perusahaan untuk tetap menggunakan aktiva bersih yang dihasilkan dari laba bersih dan bersamaan dengan itu menawarkan tambahan saham kepemilikan kepada pemegang saham.
d. Dividen Likuidasi Dividen ini merupakan peluang bagi investasi yang dibukukan dengan mengurangi modal setoran.
9
3. Kebijakan Dividen ( Dividend Policy) Oleh beberapa ahli, kebijakan dividen didefinisikan sebagai berikut: Menurut Emery ( 2004:504 ) mengatakan bahwa : “A Firm’s dividend policy is an established guide for the firm to determine the amount of money, it will pay out as dividend”. Menurut Wetson dan Copeland (2006:119) dinyatakan bahwa : “Kebijakan dividen mencangkup pembagian laba antara pemegang saham dan investasi kembali perusahaan. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana paling penting untuk membiayai pertumbuhan perusahaan, tetapi dividen merupakan arus kas yang disisihkan untuk pemegang saham”. Jadi, kebijakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk deviden atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dividend smoothing sebagai kebijakan dividen karena dividend smoothing dianggap dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan dengan pemberian dividen yang stabil setiap tahunnya. Hal terbaik yang dapat dikatakan adalah bahwa nilai dividen tergantung pada lingkungan pengambil keputusan. Oleh karena lingkungan tersebut berubah sewaktu-waktu, seorang manajer dihadapkan dengan tidak relevannya dividen pada waktu tertentu dan dalam waktu tertentu
10
menjadi sesuatu yang utama atau penting. Dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai dividen payout ratio, dihasilkan beberapa teori yang sampai saat ini dijadikan sebagai referensi dan literatur untuk penelitianpenelitian selanjutnya. Pendapat dan teori tersebut digunakan sebagai pedoman dan acuan, teori mana yang relevan dan sesuai dengan kebijakan atau kondisi masing-masing perusahaan dan negara. Beberapa teori yang relevan dalam kebijakan deviden adalah smoothing theory, clientele effect theory, tax preference theory, dividend irrelevance theory, bird in the hand theory, residual theory of dividens, teori signal atau isi informasi dividen (information content of dividend). a.
Smoothing Theory Teori ini dikembangkan oleh Lintner (1956). Teori ini mengatakan bahwa jumlah dividen bergantung akan keuntungan perusahaan sekarang dan dividen tahun sebelumnya.
b.
Clientele Effect Theory Teori ini diungkapkan oleh Black and Scholes.
Teori
mengatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda
akan
memiliki
preferensi
yang
berbeda
terhadap
kebijaksanaan dividen perusahaan. Sebagai contoh, kelompok investor dengan tingkat pajak yang tinggi akan menghindari dividen, karena dividen mempunyai tingkat pajak yang lebih tinggi dibandingkan
11
dengan capital gain. Menurut teori ini dividen tertentu akan menarik segmen tertentu kemudian tugas perusahaan (manajemen keuangan) adalah melayani segmen tersebut. Kebijakan dividen yang berubahubah akan mengacaukan efek klien tersebut, menyebabkan harga saham berubah.
c.
Tax preference theory Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswarny (1979) yang menyatakan investor tidak terlalu menyukai dividen karena dividen tidaklah tax deductible. Teori ini merujuk kepada pengenaan pajak yang diberlakukan bagi setiap investor yang mendapat capital gain atau dividen. Pada umumnya besarnya pajak yang diberlakukan berbeda, dimana pajak untuk dividen lebih besar dibandingkan pajak untuk capital gain. Selain itu, pajak atas capital gain baru dapat dibayar jika capital gain telah direalisasi. Dengan demikian, apabila investor tidak segera merealisasikan capital gain-nya, berarti investor menunda pembayaran pajaknya. Sudah tentu present value (PV) pembayaran pajaknya akan turun. Dengan dua alasan ini (pajak lebih rendah serta dapat ditundakan) maka Litzenberger dan Ramaswarny (1979) menyatakan pandangan negatif dividen bagi value perusahaan.
12
d. Dividend Irrelevance Theory Teori ini dikembangkan oleh Miller dan Modigliani (1985) dalam papernya Dividend Irrelevance Preposisition. Paper tersebut menjelaskan bahwa dalam dunia pajak, dan tidak diperhitungkannya biaya transaksi serta dalam kondisi pasar yang sempurna, maka kebijakan dividen tidak akan memberikan pengaruh apapun pada harga pasar saham tersebut. Menurut MM kebijakan dividen sebenarnya tidak relevan untuk dipersoalkan.
e.
Bird in the Hand Theory Teori ini mengatakan pembayaran dividen mengurangi ketidakpastian karena dividen diterima saat ini, sedangkan capital gain diterima di masa mendatang. Gordon mengemukakan bird in the hand theory yang mengatakan bahwa dengan mendapatkan dividen (a bird in the hand) adalah lebih baik daripada saldo laba (a bird in the bush) karena pada akhirnya saldo laba tersebut mungkin tidak akan pernah terwujud sebagai dividen di masa depan (it can fly away).
f. Residual Theory Of Dividens Menurut teori dividen residual, dividen ditentukan dengan cara: a) mempertimbangkan kesempatan investasi perusahaan,
13
b) mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk menentukan besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi, c) memanfaatkan laba ditahan untuk memenuhi kebutuhan akan modal sendiri tersebut semaksimal mungkin dan, d) membayar dividen hanya jika ada sisa laba. Kebijakan dividen residual dengan demikian membayarkan dividen hanya jika ada sisa kas setelah perusahaan mendanai semua usulan investasi yang mempunyai NPV (Net Present Value) positif. g. Teori Signal atau Isi Informasi Dividen (Information Content Of Dividend) Teori ini dikemukakan oleh Miller dan Modigliani. Ada kecenderungan harga saham akan naik jika ada pengumuman kenaikan dividen, dan harga saham akan turun jika ada pengumuman penurunan dividen. Ada argumen lain yang lebih masuk akal. Dividen itu sendiri tidak menyebabkan kenaikan (penurunan) harga, tetapi prospek perusahaan, yang ditunjukkan oleh meningkatnya (menurunnya) dividen yang dibayarkan, yang menyebabkan perubahan saham. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai teori signal atau isi informasi dividen. Menurut teori ini, dividen mempunyai kandungan informasi, yaitu prospek perusahaan di masa mendatang.
h. Agency Theory Menurut teori ini konflik terjadi pihak-pihak yang berkaitan di perusahaan. Sebagai contoh, manajer disewa oleh pemegang saham
14
untuk menjalankan perusahaan agar tujuan pemegang saham bisa tercapai. Tetapi manajer bisa saja mempunyai agenda tersendiri yang tidak selalu konsisten dengn tujuan pemegang saham, misalnya perusahaan mempunyai kelebihan kas dengan NPV positif (free cash flow), yang didefenisikan sebagai kelebihan kas setelah semua investasi dengan NPV positif didanai. Kas tersebut akan lebih baik jika dibagikan ke pemegang saham, dan pemegang saham akan memanfaatkan kas tersebut dengan cara mereka sendiri. Selain itu, digunakan juga teori keuangan akan menjelaskan bagian yang akan dibagikan oleh perusahaan sebagai dividen bagi para pemegang saham.
i. Teori Keuangan Menurut teori keuangan, dividen atau investasi kembali tidak sama dengan laba setelah pajak. Dalam teori keuangan, jumlah dana yang bisa dibagikan sebagai dividen bisa dinyatakan sebagai berikut:
D = E + Penyusutan – Investasi pada A.T – Penambahan M. Keterangan: D
= Dividen
E
= Earning After Tax (Laba Setelah Pajak)
A.T = Aktiva Tetap M.K = Modal kerja
15
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa dana yang bisa dibagikan sebagai dividen merupakan kelebihan dana yang diperoleh dari operasi perusahaan (yaitu E + penyusutan) diatas keperluan investasi untuk menghasilkan laba dimasa yang akan datang (yaitu investasi aktiva tetap dan modal kerja).
Hanya saja, untuk
menyederhanakan analisis sering diasumsikan bahwa investasi pada aktiva tetap akan diambilkan dari dana penyusutan, dan modal kerja dianggap tidak berubah (sehingga tidak perlu menambah modal kerja). Apabila asumsi ini dipergunakan, maka bisa dimengerti kalau besarnya dividen ditentukan oleh laba setelah pajak (E) dan maksimal dividen yang bisa dibagikan adalah sama dengan E. Itulah mengapa EAT digunakan sebagai ukuran jumlah maksimal dana yang dibagikan sebagai dividen.
4. Pendekatan Kebijakan Dividen Terdapat 2 (dua) pendekatan di dalam membahas masalah dividen (Gitosudarmo, 2002: 227 ) yaitu: a.
Sebagai Kebijaksanaan Pembelanjaan Jangka Panjang Pendekatan ini berpandangan bahwa semua laba sesudah pajak yang diperoleh perusahaan adalah merupakan sumber dana jangka panjang. Pengumuman atas pembagian laba sebagai dividen berarti pengurangan terhadap sumber dana jangka
panjang yang
dapat dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan. Oleh karena itu, pembagian dividen berakibat penekanan terhadap perkembangan
16
usaha. Pendekatan ini berpendapat di dalam membentuk biaya kapital yang rendah didapat dari pembentukan struktur modal yang sebagian besar dana diperoleh dari modal sendiri.
b.
Sebagai Kebijaksanaan untuk Memaksimumkan Nilai Perusahaan Pendekatan ini berpendapat bahwa kebijaksanaan dividen mempunyai pengaruh yang kuat terhadap harga pasar dari saham yang beredar. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk membagikan dividen sebagai realisasi dari harapan investor dalam mengeluarkan uangnya untuk membeli saham tersebut.
5. Kebijaksanaan Pembayaran Dividen Dalam kebijaksanaan pembayaran dividen pada garis besarnya adalah (Gitosudarmo, 2002: 227): a.
Stable Dividend Policy (Kebijaksanaan Dividen yang Stabil) Pada kebijaksanaan ini, besarnya dividen yang dibayarkan selalu stabil dalam jumlah yang tetap, walaupun terjadi fluktuasi dalam laba bersih.
b.
Fluctuating Dividen Policy (Kebijakan Dividen yang Fluktuasi) Pada kebijaksanaan ini, besarnya dividen yang dibayarkan didasarkan pada tingkat keuntungan pada setiap akhir periode. Apabila tingkat keuntungan tinggi, maka besarnya dividen yang
17
dibayarkan relatif tinggi, dan sebaliknya bila tingkat keuntungan rendah, maka besarnya dividen yang dibayarkan juga rendah, atau dapat dikatakan besarnya selalu proporsional dengan tingkat keuntungannya.
c.
Kombinasi Stable dan Fluctuating Dividen Pada kebijakan kombinasi ini, besarnya dividen yang dibayarkan sebagian ada yang bersifat stabil, tetapi sebagian lagi bersifat proporsional dengan tingkat keuntungan yang dicapai. Apabila perusahaan tidak mendapatkan laba, para pemegang saham masih mendapatkan dividen tetap. Tetapi apabila perusahaan mendapatkan keuntungan tinggi, maka pembayaran dividen juga diberikan tinggi.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembagian Dividen Suatu Perusahaan Menurut Riyanto 1993, faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian dividen suatu perusahaan ialah: a.
Posisi Likuiditas Perusahaan Posisi kas atau likuiditas perusahaan merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan seberapa besar dividen yang akan dibagi. Semakin likuid perusahaan, berarti makin besar kemampuannya untuk membayar
18
dividen.
Bagi
perusahaan
yang
sedang
tumbuh,
mungkin
likuiditasnya tidak terlalu besar, sehingga mempengaruhi perusahaan tersebut didalam membayar dividen kas.
b.
Kebutuhan Dana untuk Membayar Hutang Setiap perusahaan pasti memiliki hutang yang berbeda-beda tingkat jatuh temponya. Pada saat jatuh tempo, perusahaan diharuskan untuk membayar hutangnya tersebut. Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan hutangnya akan diambil dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, yang berarti bahwa akan semakin kecil dividen yang akan dibayarkan perusahaan.
c.
Tingkat Perluasan Perusahaan Makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, maka akan makin besar kebutuhan akan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan tersebut. Semakin besar kebutuhan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan, maka perusahaan akan lebih senang untuk menahan laba yang diperoleh, daripada membagikannya kepada pemegang saham.
19
d.
Pengawasan terhadap Perusahaan Terdapat perusahaan yang lebih senang menggunakan sumber dana intern di dalam membiayai kegiatan operasinya. Alasannya adalah apabila ekspansi perusahaan dibiayai dari penjualan saham baru, maka akan mengurangi kontrol dari kelompok yang dominan di dalam perusahaan. Jika ekspansi perusahaan dibiayai oleh hutang, akan memperbesar risiko finansial. Sehingga apabila perusahaan lebih mempercayakan sumber dana intern dalam membiayai kegiatan perusahaan, biasanya akan mengurangi dividend payout ratio yang akan dibagi.
7. Dividend Smoothing Salah satu kebijakan dividen adalah dividend smoothing. Dividend smoothing adalah jumlah dividen yang tergantung atas keuntungan perusahaan sekarang dan dividen tahun sebelumnya ( Lintner 1956 ). Banyak perusahaan menjalankan kebijakan dividen yang stabil, terutama di USA. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun dan kemudian apabila ternyata pendapatan perusahaan meningkat dan kenaikan pendapatan tersebut nampak mantap dan relatif permanen, barulah besarnya dividen persaham dinaikkan. Dividen yang dinaikkan ini akan dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif panjang. Dalam tulisan Dividend smoothing, Lintner (1956) mewawancarai manajer dari 28 perusahaan dan menemukan bahwa mereka tidak
20
menetapkan dividen independen dalam setiap periode. Sebaliknya, mereka pertama memutuskan apakah mengubah dividen dari tingkat yang ada. Manajer mengaku mengurangi dividen hanya bila mereka tidak punya pilihan lain dan meningkatkan dividen hanya jika mereka yakin bahwa arus kas masa depan dapat mempertahankan tingkat dividen yang baru. Kebanyakan model yang ada dalam dividend smoothing termotivasi baik oleh asimetri informasi dan pertimbangan keagenan. Di antara model informasi asimetris, Kumar (1988) dan Guttman et.al (2007) model menawarkan di mana dividen berfungsi sebagai sinyal informasi pribadi manajer tentang arus kas perusahaan saat ini atau masa depan. Namun, tidak seperti model yang sama digunakan untuk menjelaskan keberadaan dividen (misalnya, Bhattacharya (1979) dan Miller dan Rock (1985)), para penulis ini menunjukkan adanya sebagian (tapi tidak sepenuhnya) mengungkapkan adanya kesetimbangan dividen. Peneliti menemukan bahwa smoothing bervariasi dari waktu ke waktu di tiap-tiap perusahaan. Dividend smoothing telah meningkat selama 50 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini manajer lebih peduli tentang dividend smoothing. Pada waktu penghalusan total payout yang sama telah turun.
21
8. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perusahaan Melakukan Dividen Smoothing Menurut (Lintner (1956) dan Brav et al (2005)) motivasi utama dalam melakukan smoothing adalah keengganan untuk memotong dividen (cutting dividend). Bukti empiris menyatakan bahwa perusahaan meningkatkan dividen lebih sering daripada memotong dividen. Beberapa penelitian yang menunjukkan perusahaan memotong dividen (Healy dan Palepu (1988), Michaely, Thaler dan Womack (1995)). Tujuan perusahaan melakukan dividend smoothing adalah untuk mempertahankan citra perusahaan kepada investor karena dividen menjelaskan tentang laba perusahaan saat ini. Perusahaan akan menaikkan dividen jika dianggap arus kas perusahaan dapat menopang dividen selama beberapa tahun kedepan dan menurunkan dividen jika memang harus dilakukan. Jadi kestabilan dividen dapat meningkatkan citra perusahaan di mata investor yang ingin menanamkan modalnya. Alasan yang mendukung perusahaan menjalankan kebijakan dividen yang stabil adalah : a.
Kebijakan dividen stabil yang dijalankan oleh suatu perusahaan akan dapat memberikan kesan kepada para insentif bahwa perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik di masa-masa mendatang. Apabila pendapatan perusahaan berkurang tetapi perusahaan tidak mengurangi dividen yang dibayarkan maka kepercayaan pasar terhadap perusahaan akan berkurang. Dengan demikian manajemen
22
dapat mempengaruhi harapan para investor dengan melalui kebijakan dividen yang stabil. b.
Banyak pemegang saham yang hidup dari pendapatan yang diterima dari dividen. Golongan ini dengan sendirinya tidak akan menyukai adanya dividen yang tidak stabil. Mereka lebih senang membayar harga ekstra bagi saham yang akan dapat memberikan dividen yang sudah dapat dipastikan. Pada banyak negara terdapat ketentuan dalam pasar modalnya,
bahwa organisasi, yayasan sosial, perusahaan asuransi, bank-bank tabungan,
dana-dana
pensiunan
dan
lain-lain,
hanya
diizinkan
menanamkan dananya dalam saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan yang menjalankan kebijakan stabil.
B. Information Asymmery (asimetri informasi) 1. Definisi information asymmetry Definisi asimetri oleh Pyndick dalam Wasilah (2000) adalah “one side of negotiation process has better information than the other”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa asimetri informasi akan terjadi apabila ada dua belah pihak yang memiliki informasi berbeda ketika akan melakukan proses negosiasi seperti diantara calon penjual dan calon pembeli satu investasi. Supriyono (2000) dalam Atiqah (2008) menjelaskan asimetri informasi sebagai situasi yang terbentuk karena principal (pemegang
23
saham) tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen (manajer) sehingga prinsipal tidak pernah dapat menentukan kontribusi usaha-usaha agen terhadap hasil-hasil perusahaan yang sesungguhnya. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal (para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwaperistiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak
24
pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
2. Jenis-jenis information asymmetry Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: 1. Manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest), 2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan 3. Manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan. Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu: 1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
25
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan
pemegang saham yang
melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
3. Idiosyncratic risk Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur information asymmetric diantaranya adalah menggunakan risiko istimewa (idiosyncratic risk), bid ask spread, dan dispersion of analyst forcast. Tapi disini penulis menggunakan idiosyncratic risk karena masih jarang penulis yang menggunakan pengukuran ini sebagai pengukuran information asymmetry. Di Indonesia sendiri penulis belum menemukan jurnal atau skripsi yang menggunakan idiosyncratic risk sebagai pengukuran information asymmetry. Idiosyncratic risk (risiko istimewa) disebut juga risiko yang tidak sistematis yang merupakan risiko spesifik perusahaan atau industri tertentu dalam portofolio yang tidak berkorelasi dengan tingkat pengembalian pasar agregat. Roll 1988 (dikutip dari “Booth and Xu (2008)), menyatakan bahwa idiosyncratic volatility didorong oleh informasi pribadi, sehingga Roll menyarankan untuk memakai idiosyncratic risk sebagai pengukuran dari
information
(1999)
menyatakan
asymmtery. standar
deviasi
Krishnaswami dan Subramaniam residual
menangkap
asimetri
26
information antara manajer dan pemegang perusahan tentang faktor-faktor spesifik perusahaan dengan asumsi bahwa kedua belah pihak mempunyai informasi yang baik tentang faktor-faktor ekonomi yang luas. Sebuah volatilitas residual yang lebih tinggi akan menunjukkan tingkat asimetri informasi dan investor yang lebih tinggi. Idiosyncratic risk bukanlah pengukuran yang sempurna karena hanya mengamsumsikan pasar informasi yang dibagi oleh para manajer dan pasar. Tapi, idiosyncratic risk mampu menangkap informasi spesifik perusahaan. Penulis menggunakan idiosyncratic risk karena penulis belum melihat ada penelitian yang memakai idiosyncratic sebagai pengukuran asimetri informasi di Indonesia.
C. Hubungan Information Asymmetry dengan Dividend Smoothing Teori dividend smoothing terutama didasarkan atas asimetri informasi (Kumar (1988), Brennan dan Thakor (1990), Guttman et.al (2007)) atau pertimbangan pertimbangan keagenan (Allen, Bernardo dan Welch (2000), dan Fudenberg dan Tirole (1995)). Mereka menemukan adanya hubungan antara asimetri informasi dengan dividend smoothing. Sementara penelitian sebelumnya menangkap bahwa terdapat asimetri informasi antara manajer dan investor. Asimetri informasi tersebut terjadi karena manajer mempunyai banyak informasi tentang perusahaan di banding investor (Brennan dan Thakor, 1990). Hasil penelitian Mark dan Michaely ( 2008 dan 2010 ) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang sangat smoothing berbeda sistematis dari
27
perusahaan yang tidak smoothing. Dimulai dengan proxy asimetri informasi, peneliti menemukan bahwa dividend smoothing terkait dengan tingginya tingkat asimetri informasi. Perusahaan yang
melakukan smoothing
cenderung adalah perusahan yang lebih besar dan lebih tua. Jika perusahaan besar dan lebih tua berhubungan dengan informasi produksi yang lebih saat ini dan masa lalu, hal ini menunjukkan perusahaan-perusahaan menghadapi smooth informasi yang lebih tinggi. Penelitian Laurence Booth dan Zhaoxia Xu ( 2008 ) mengatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara information asymmetry dan dividend smoothing. Perusahaan yang mempunyai tingkat asimetri informasi tinggi lebih cenderung untuk melakukan dividend smoothing. Jika perusahaan melakukan asimetri informasi. Hipotesis H1 : terdapat pengaruh yang positif antara information asymmetry terhadap dividend smoothing.
D. Penelitian Terdahulu Penelitian Laurence Booth and Zhaoxia Xu ( 2008 ) yang berjudul “Who Smoothes Dividends” mengatakan bahwa dividend smoothing dan asymmetric
information
mempunyai
pengaruh
yang
positif.
Dia
menggunakan proxi idiosyncratic risk, analyst forecast error, dan dispersion of analyst forecasts. Penelitiannya ini konsisten dengan penelitian Aivazian et
28
al. (2006) dan terinspirasi oleh Khang dan King (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat information asymmetry perusahan semakin cenderung utnuk melakukan dividend smoothing. Hasil penelitian Mark T. Leary dan Roni Michaely (2008) “who smooth dividend” dan tahun 2010 dalam judul “Determinants dividend smoothing : emperical evidende”. Dalam penelitiannya ini mereka menggunakan tax, agency dan asymmetric information sebagai proxy yang berpengaruh terhadap dividend smoothing. Peneliti juga menemukan bahwa perusahaan yang mungkin menderita asimetris informasi adalah perusahaan yang pertumbuhan tinggi, muda, lebih tidak stabil, memiliki lebih sedikit intangible asset, informasi investor, analisis yang jarang.