BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Potensi internet sebagai media pemasaran dan perdagangan telah banyak dibicarakan akhir-akhir ini, khususnya bagi para pemasar. Pembicaraan tersebut menghasilkan suatu pandangan mengenai e-commerce, khususnya perdagangan melalui internet, yang umumnya dikenal sebagai e-commerce, sebagai suatu bisnis dengan berbagai kemungkinan (Raghav Rao et al., 1998). Menurut pandangan ini, e-commerce menawarkan sejumlah karakteristik nilai tambah baru, misalnya disebutkan bahwa suatu saat e-commerce akan menggantikan cara melakukan bisnis konvensional secara k es eluruhan. Ramalan menunjukkan bahwa 20% dari selu r u h pembelanjaan di supermarket selama dekade berikutnya akan dilakukan melalui saluran elektronik (Burke, 1997). Harga yang lebih murah juga dihasilkan melalui e-commerce, salah satu alasannya adalah misalnya penggunaan tempat yang lebih murah, yang dimungkinkan karena cara ini tidak memerlukan lokasi yang tersentralisasi. Selain itu penggunaan sejumlah perantara juga dapat dikurangi (Peterson, 1997). Awalnya belanja melalui internet kurang diminati. Banyak alasan yang melatar belakangi yang membuat orang tidak tertarik untuk melakukan pembelian secara online diantaranya adalah faktor kepercayaan, dan keamanan.
11
12
Kontribusi penelitian ini terdapat pada pengaruh informational social influence yang positif yang dapat mempengaruhi keputusan konsumen untuk berbelanja online. Adanya kebutuhan untuk memasukkan faktor-faktor sosial, seperti pengaruh sosial, dalam studi perilaku belanja online. lebih lanjut menunjukkan bahwa pengaruh sosial secara signifikan mempengaruhi keyakinan, sikap, dan repurchase intention dari individu untuk berbelanja online (Lee et al, 2011) . Penelitian ini menganalisis lebih lanjut mengenai hasil penelitian empiris yang dari Lee et al (2011) yang menekankan peran moderasi dari pengaruh informasi sosial yang positif antara keyakinan dan sikap, serta sikap dan repurchase intention. Pesan positif dalam forum diskusi online memperkuat kepercayaan konsumen yang sudah ada sebelumnya pada atribut yang relevan dengan belanja online dan meningkatkan kepercayaan diri konsumen dalam berbelanja
2.1.1 The Theory Planned Behavior The theory planned behavior (TPB) (Azjen, 1985, 1991) merupakan pengembangan dari the theory reasoned action (TRA) (Azjen and Fishbein, 1980). Inti dari the theory planned behavior dan the theory reasoned action, adalah niat individu untuk melakukan perilaku tertentu. Dalam the theory reasoned action dan the theory palnned behavior, sikap terhadap perilaku dan norma subyektif pada perilaku dinyatakan mempengaruhi niat, tapi the theory palnned behavior memasukkan unsur kontrol perilaku yang dirasakan dalam mempengaruhi perilaku sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi niat konsumen untuk bertransaksi secara online.
13 Attitude toward behavior
Subjektif Norm
Intention
Behavior
Percieved behavior Control
Gambar 2.1 Model The Theory Plane Behavior, Azjen 1975
Menurut the theory planned behavior, tindakan individu pada perilaku tertentu ditentukan oleh niat individu tersebut untuk melakukan perilaku. Niat itu sendiri dipengaruhi sikap terhadap perilaku, norma subyektif yang mempengaruhi perilaku, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Menurut Azjen (1985), sikap terhadap perilaku merupakan evaluasi positif atau negatif dalam melakukan perilaku. Sikap terhadap perilaku menunjukkan tingkatan seseorang mempunyai evaluasi yang baik atau yang kurang baik tentang perilaku tertentu. Norma subyektif menunjukkan tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan, sedangkan kontrol keperilakuan yang dirasakan menunjukkan mudahnya atau sulitnya seseorang melakukan tindakan dan dianggap sebagai cerminan pengalaman masa lalu disamping halangan atau hambatan yang terantisipasi. The theory reasoned action juga telah digunakan pada banyak penelitian tentang sistem informasi, kebanyakan digunakan sebagai dasar dalam penelitian mengenai penerimaan pengguna dan model penerimaan teknologi (TAM) (Davis, 1989).
14
2.1.2 Technology Acceptance Model ( TAM ) TAM diperkenalkan oleh Davis (1986), yang merupakan adaptasi dari TRA (Theory of Reasoned Action) yang disesuaikan untuk memodelkan penerimaan pengguna terhadap sistim informasi. Tujuan dari TAM adalah untuk menyediakan penjelasan mengenai penerimaan komputer secara umum, sehingga mampu menjelaskan perilaku pengguna meliputi cakupan dan populasi yang luas. Idealnya satu model dapat membantu bukan hanya untuk memprediksi akan tetapi juga menjelaskan, sehingga para peneliti dan praktisi dapat mengidentifikasi mengapa sistim tertentu bisa tidak diterima dan mengejar langkah-langkah perbaikan. Tujuan kunci dari TAM adalah untuk menyediakan sebuah dasar untuk melacak dampak dari faktor-faktor luar terhadap keyakinan intern, sikap, dan niat. TAM diformulasikan dalam sebuah usaha untuk mencapai tujuan-tujuan ini dengan mengidentifikasi sejumlah kecil variabel mendasar yang disarankan oleh penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penentu kognitif dan penentu afektif penerimaan komputer dan menggunakan TRA sebagai teori latar belakang untuk memodelkan hubungan teoritikal diantara variabel-variabel ini. Beberapa adaptasi terhadap dasar pendekatan TRA dibuat, didukung oleh teori dan bukti-bukti yang tersedia, berdasarkan tujuan untuk TAM TAM berpendapat bahwa dua keyakinan tertentu, perasaan manfaat (Perceived Usefulness) dan kemudahan penggunaan (Ease Of Use) adalah relevansi utama untuk perilaku penerimaan komputer.
15
Gambar 2.2 Technology Acceptance Model
Perasaan manfaat (U) didefinisikan sebagai kemungkinan pandangan pengguna bahwa menggunakan sistim aplikasi khusus akan meningkatkan kinerja dia dalam konteks organisasinya. Kemudahan penggunaan (EOU) mengacu pada derajat dimana pengguna prospektif mengharapkan target sistim yang akan digunakan bebas upaya lanjut,
/
masalah.
Sebagaimana akan dibahas
lebih
beberapa penelitian telah menemukan variabel yang sama dan bisa
dikaitkan dengan sikap dan penggunaan.
Selain
itu, analisis faktor
menyarankan bahwa U dan EOU secara statistic berada di dimensi yang berbeda (Swanson, 1974). Menurut
penelitian,
telah
ditemukan
kaitan
antara
sikap
pengguna terhadap penerimaan akan teknologi baru. (Venkatesh & Davis, 1996). Dan para peneliti telah mencoba untuk menemukan faktor yang mempengaruhi penerimaan individual terhadap teknologi informasi (IT) dengan tujuan untuk meningkatkan pengguannya. TAM adalah salah model yang paling banyak digunakan dalam penelitian dalam penerimaan teknologi informasi (Gahtani, 2001) dan telah dibuktikan mampu untuk menjelaskan keinginan dan sikap terhadap sistim informasi dibandingan dengan teori
16
penerimaan teknologi lainnya seperti TRA (Theory
of
Reasoned
Action)
dan TPB (Theory of Planned Behaviour) (Mathieson, 1991). Pada penelitian mengenai pengukuran penerapan ERP di perusahaan (Gyampah & Salam, 2003), TAM digunakan karena merupakan model penerapan teknologi yang sudah cukup mapan dibandingkan dengan model penerapan teknologi yang lain. Contoh yang lebih detail mengenai penggunaan TAM dalam mengukur bagaimana penerimaan sebuah teknologi dijelaskan pada gambar dibawah ini (Al- Somali, Gholami, & Clegg, 2009) :
Gambar 2.3. Extended Technology Acceptance Model
Pada gambar, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi Perceived Ease of Use ( PEOU), Perceived Usefulness (PU) dan Attitude Toward Use (ATT), sehingga faktor ini yang menjadi sasaran untuk meningkatkan penerimaan terhadap teknologi.
17
2.1.3 Perceived Value Menurut Wooduff (1997), konsep perceived value dapat berbeda keadaannya tergantung pemikiran customer tentang value. Pada penelitian ini, customer dapat mempertimbangkan value di waktu yang berbeda, seperti saat keputusan pembelian atau saat sebelum/sesudah menggunakan suatu produk. Lalu digambarkan juga, customer dapat berimajinasi mengenai apa yang mereka inginkan (nilai yang dikehendaki). Customer belajar untuk berpikir tentang value dalam bentuk pilihan dan kinerja yang dikehendaki, konsekuensi atau resiko dari penggunaan produk dalam sebuah situasi dan pendapat mereka atau perasaan tentang experience value (nilai pengalaman) dalam menggunakan sebuah produk (nilai yang diterima). Menurut Kotler (2008), nilai yang dipikirkan pelanggan (perceived value) adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya tawaran tertentu dan alternatif-alternatif lain yang dipikirkan. Nilai pelanggan total (total customer value) adalah nilai moneter yang dipikirkan atas sekumpulan manfaat ekonomis, fungsional, dan psikologis, yang diharapkan oleh pelanggan atas tawaran pasar tertentu. Sedangkan biaya pelanggan total (total customer cost) adalah sekumpulan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan, dan membuang tawaran pasar tertentu, termasuk biaya moneter, waktu, energi, dan psikis. Proses evaluasi tersebut melibatkan suatu pertukaran antara apa yang diterima untuk konsumen (yaitu customer total value, product value, service value, employees value dan image value) dan apa yang telah dikorbankan (yaitu customer total cost, monetary
18
cost dan non-monetary cost yang mencakup biaya waktu, biaya energi dan biaya mental). Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, memperoleh value yang tinggi adalah tujuan dasar dan titik tumpuan untuk segala transaksi jual beli (Hollbrook, 1994 pada Patterson, 1997). Untuk itu, penting bagi para manajer jasa untuk memahami keinginan konsumen serta memberikan pelayanan jasa yang berkualitas sehingga jasa yang diberikan dapat menghasilkan value yang positif. Menurut Vargo dan Lusch’s (2004), nilai (value) yang digunakan adalah evaluasi dari suatu pengalaman pelayanan, yaitu penilaian dari individu atau konsumen dari seluruh total fungsional dan hasil pengalamam emosional. Value tidak dapat ditetapkan dari operator selular, tetapi value merupakan definisi atau persepsi dari konsumen pengguna layanan. Zeithaml
(1988)
telah
menyelidiki
konsep
mengenai
value,
dan
mengemukakan empat definisi konsumen mengenai product value, yaitu: 1). Value berarti produk yang memiliki harga rendah, 2). Value berarti apapun yang konsumen inginkan ada di dalam produk, 3). Value berarti kualitas yang konsumen dapat dari harga yang mereka bayar, 4). Value berarti apa yang konsumen dapat dari apa yang telah mereka berikan. Jadi, perceived value dapat didefinisikan sebagai penilaian konsumen secara keseluruhan terhadap kegunaan suatu produk, berdasarkan persepsi atas apa yang telah dirasakan dan apa yang telah konsumen berikan (Caruana and Fenech, 2005). Menurut Sheth et al. (1991) dalam Cheng et al. (2009), consumption value didefinisikan sebagai faktor yang menjelaskan atau menyatakan alasan konsumen dalam memilih suatu produk atau jasa dan menggunakannya. Lima kategori
19
consumption value: functional, social, emotional, epistemic, dan conditional value yang mempengaruhi customer choice behavior (perilaku pilihan konsumen). Namun dalam penelitian ini conditional value tidak digunakan, karena dianggap sudah mewakili teori atau kasus keempat nilai lainnya. Sweeney dan Soutar (2001) mengembangkan model
perceived value untuk memahami persepsi
konsumen dengan lebih baik mengenai nilai yang dirasakan atas barang dan jasa yang dibeli melalui empat dimensi, yaitu: 1. Customer Perceived Sacrifices (pengorbanan yang dirasakan) mengacu pada hasil yang diperoleh dari barang atau jasa yang dikonsumsi dalam kaitannya dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. 2. Emotional Value (Nilai Emosional) Nilai yang mengacu pada kegunaan yang diperoleh dari perusahaan yang menghasilkan produk atau jasa tersebut dan melibatkan hal-hal yang terkait dengan tingkatan emosi yang dirasakan secara langsung, seperti timbulnya perasaan senang dan bahagia selama mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. 3. Functional Value ( Nilai Fungsional) Nilai yang mengacu pada kegunaan yang diperoleh dari kualitas yang dirasakan dan kinerja yang diharapkan dari produk atau jasa. 4. Social Value (Nilai Sosial) Nilai yang mengacu pada kegunaan social yang diperoleh dari produk atau jasa, misalnya adanya persepsi dan kesan yang baik yang ditimbulkan dari penggunaan barang atau jasa tersebut serta keberadaan perusahaan penghasil barang atau jasa tersebut diakui secara baik oleh masyarakat.
20
Pada akhirnya sampailah pada satu kesimpulan, nilai yang dipikirkan atau dirasakan oleh konsumen diperoleh dari pemikiran konsumen apakah yang diberikannya sesuai dengan apa yang telah diterimanya. Persepsi nilai dari masing-masing konsumen berbeda-beda, karena masing-masing konsumen mempunyai harapan atau keinginan yang berbeda-beda dari suatu produk. 2.1.4 Perceived usefulness Perceived usefulness merupakan salah satu faktor dari Technology Acceptance Model (TAM). TAM dikembangkan berdasarkan pada Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein (1980; Fishbein dan Ajzen, 1975). Theory of Reasoned Action (TRA) merupakan model yang sangat berpengaruh di bidang psikologi sosial mengasumsikan bahwa pembentukan behavioral intention (yang menentukan terjadinya perilaku nyata) dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku dan norma-norma subyektif. Sikap terhadap perilaku mengacu pada kepercayaan bahwa suatu perilaku membawa pada suatu hasil tertentu. Contohnya, memakai telepon genggam bisa membuat seseorang
mudah
berkomunikasi
dengan
orang
lain.
Norma
subyektif
menggambarkan kepercayaan individu akan opini orang lain ataupun pengaruh orang lain yang mendorong untuk melakukan suatu perilaku. Perceived usefulness pada model Technology Acceptance Model (TAM) merujuk pada kesadaran dan pandangan subjektif individu terhadap manfaat yang didapatkan dengan menggunakan sebuah teknologi baru. Dengan demikian, perceived usefulness didefinisikan sebagai derajat keyakinan individu bahwa penggunaan teknologi baru akan meningkatkan produktivitas, performa, tingkat efektivitas kerja (Davis, 1989).
21
2.1.5 Perceived ease of Use Perceived ease of use merupakan salah satu faktor dari Theory Acceptance Model (TAM). Theory Acceptance Model (TAM) dikembangkan berdasarkan pada Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh oleh Ajzen dan Fishbein (1980; Fishbein dan Ajzen, 1975). Theory of Reasoned Action (TRA) yang merupakan model yang sangat berpengaruh di bidang psikologi sosial mengasumsikan bahwa pembentukan behavioral intention (yang menentukan terjadinya perilaku nyata) dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku dan normanorma subyektif. Sikap terhadap perilaku mengacu pada kepercayaan bahwa suatu perilaku membawa pada suatu outcome tertentu. Contohnya, memakai handphone bisa membuat seseorang mudah berkomunikasi dengan orang lain. Norma subyektif menggambarkan kepercayaan individu akan opini orang lain ataupun pengaruh orang lain yang mendorong untuk melakukan suatu perilaku. Penyederhanaan yang dilakukan membuat model Theory Acceptance Model (TAM) yang dihasilkan menjadi sangat umum dan terbatas kemampuannya dalam menjelaskan pendapat dan perilaku terhadap suatu sistem informasi atau teknologi baru (Davis, Bagozzi, Warshaw., 1989). Lebih dari itu, model ini kurang bermanfaat dalam konteks penerimaan terhadap teknologi dalam masyarakat luas, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi lebih banyak dan lebih kompleks. 2.1.6 Trust Lau dan Lee (1999) mendefinisikan kepercayaan sebagai kesediaan individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain dengan resiko tertentu. Kesediaan ini mencul karena adanya pemahaman individu tentang pihak lain yang
22
didasarkan pada masa lalunya, adanya harapan piha lain akan memberikan sumbangan yang positif (walaupun ada juga kemungkinan pihak lain memberikan sumbangan yang negatif). Literatur kepercayaan di identifikasi dari berbagai dimensi. Dari dimensi ini rasa kejujuran (kredibilitas) mengindikasikan kepastian konsumen dalam bisnis, ketulusan, kenyataan, dan janji (Gundlach dan Murphy, 1993). Gefen (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai kesediaan untuk membuat dirinya peka kedalam tindakan yang diambil oleh pihak yang dipercaya yang didasarkan pada keyakinan. Kepercayaan suatu multidimensi yang kompleks dan spesifik (McKnight dan Chervany, 2002). Sebagai tambahan manfaat untuk bisnis secara umum, kepercayaan telah ditunjukan untuk mempunyai arti penting. Sebagai contoh kepercayaan adalah stau faktor kritis dalam stimulant transaksi secara online. Kepercayaan muncul hanya ketika mereka yang terlibat “dipastikan oleh pihak lainnya, mau dan bisa memberikan kewajibannya". Banyak konsumen tidak cukup mempercayai situs yang ada, untuk memberikan informasi pribadi mereka, dalam rangka melakukan transaksi (Hoffman et al., 1999). Kepercayaan telah digambarkan sebagai suatu tindakan kognitif (misalnya, bentuk pendapat atau prediksi bahwa sesuatu akan terjadi atau orang akan berperilaku dalam cara tertentu), afektif (misalnya masalah perasaan) atau konatif (misalnya masalah pilihan atau keinginan). Mereka yang setuju bahwa termasuk kognifit, tidak setuju jika kepercayaan adalah perhitungan rasional berbasis bukti yang tersedia, atau praktek/perilaku di luar alasan bersama-sama (Alpern, 1997). Banyak definisi yang ternyata tidak akurat. Kepercayaan jelas tidak hanya kepercayaan dimana suatu pihak memiliki keyakinan (walaupun setiap kepercayaan mungkin memiliki
23
elemen kepercayaan seperti halnya kecenderungan orang untuk menempatkan tingkat keyakinan yang tinggi pada kepercayaannya). 2.1.7 Niat Bertransaksi secara online E-commerce di dalam penelitian ini digambarkan sebagai hubungan pertukaran secara online antar konsumen dan toko online, atau web vendor. Penelitian ini mempertimbangkan niat untuk bertransaksi secara online, yaitu membeli barang atau jasa secara online, demikian memanfaatkan Business ke Consumer (B2C) model e-commerce. Satu hal penting dalam penelitian sistem informasi bagaimana dan mengapa individu menerima dan mengadopsi teknologi informasi baru (Agarwal dan Karahanna 2000). Pada tingkatan individu, pemakaian informasi teknologi dipelajari dengan meneliti peran niat sebagai peramal perilaku (Liu et al. 2004; Malhotra et al., 2004). Penelitian ini fokus pada faktor penentu niat seperti sikap, dan pengaruh sosial. Penelitian ini didasarkan pada model psikologi sosial seperti, the theory reasoned action (Ajzen dan Fishbein 1980) dan the theory planned behavior (Ajzen 1985; Ajzen 1991). Niat, sebagai faktor penentu perilaku telah ditetapkan di dalam acuan sistem informasi dan disiplin lain (Ajzen 1991; Taylor dan Todd 1995). Menurut the theory reasoned action, niat meramalkan perilaku. Niat dibentuk oleh sikap dan norma subjektif, yang pada gilirannya adalah membentuk kepercayaan. The theory reasoned action berdasarkan model untuk meramalkan aktivitas perilaku yang di bawah kendali volitional. Volitional mengendalikan alat-alat yang digunakan secara penuh mampu mengendalikan capaian dari suatu aktivitas. Dalam hal nonvolitional mengendalikan aktivitas, the theory reasoned action cocok karena mempunyai komponen tambahan dari
24
kendali tingkah laku dirasa sebagai faktor penentu niat. Model penerimaan teknologi (TAM) suatu adaptasi theory reasoned action menjadi populer di antara peneliti sistem inormasi untuk menentukan antecedent pemakaian sistem melalui kepercayaan tentang dua faktor: penggunaan, dan kemudahan suatu sistem informasi (Davis 1989). Awal Penelitian adopsi E-Commerce secara luas menggunakan technology acceptance model (Gefen et al. 2003; Liu et al. 2004; dan Malhotra et al. 2004). 2.1.8 Konsep Repurchase Behavior Hawkins (2004) berpendapat bahwa pelanggan yang melakukan pembelian ulang berlanjut untuk terus membeli merek yang sama walaupun mereka tidak memiliki keterikatan emosi terhadap merek tersebut. Lebih lanjut, Hawkins (2004) mengungkapkan bahwa pelanggan yang melakukan pembelian ulang memang diinginkan, hanya saja pelanggan yang melakukan pembelian ulang tersebut rawan terhadap tindakan kompetitor. Hal ini dikarenakan mereka membeli merek tertentu hanya dikarenakan suatu kebiasaan atau karena merek tersedia di toko tempat mereka membeli. Pelanggan seperti ini tidak memiliki komitmen terhadap merek. Mereka bukan pelanggan yang loyal terhadap merek. Dengan kata lain, seperti yang dikemukakan Mowen dan Minor (1998), perilaku pembelian ulang berarti konsumen hanya membeli barang secara berulang tanpa ada perasaan tertentu terhadap barang tersebut. Akan tetapi, Aaker (1991) berpendapat bahwa para pemasar perlu mengetahui tingkat pembelian ulang para pelanggannya yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menentukan loyalitas.
25
2.1.9 Konsep Repuchase Intention Menurut Hume et al (2006) definisi niat pembelian ulang (repurchase intention) adalah keputusan konsumen untuk terlibat dalam aktivitas di masa depan dengan seorang penyedia jasa dan bentuk aktivitas tersebut di masa depan. Lebih lanjut, Hume dkk (2006) berpendapat bahwa niat pembelian ulang merupakan hasil dari sikap (attitude) konsumen terhadap performa jasa yang dikonsumsinya. Dari penelitian Hume dkk (2006) diketahui pada konsumen yang memiliki kebutuhan yang kuat terhadap kebutuhan emosional terhadap suatu jasa, maka kebutuhan emosionalnya tersebut akan menjadi kunci pendorong terhadap pembelian ulang dan frekuensinya melakukan pembelian ulang. Hume dkk (2006) berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa kunci pendorong dari pembelian ulang konsumen adalah kepuasan dan persepsi konsumen terhadap nilai-nilai (values).
2.2 Internet Menurut sejarah keberadaan internet pertama kali berasal dari ARPA (United States Department of Defense Advanced Research Projects Agency) pada tahun 1963 yang merupakan jaringan eksperimen milik pemerintah Amerika Serikat berbasis komunikasi data paket. Jaringan ini dinamakan ARPANET dengan tujuan diciptakan untuk menhubungkan para periset ke pusat-pusat komputer di departemen tersebut sehingga mereka dapat bersama-sama memanfaatkan sarana komputer seperti disk space, data base, serta fungsi lainnya. Dengan terus berkembangnya zaman dan teknologi, jaringan yang tadinya dikenal
26
dengan nama ARPANET berganti menjadi Interconnection Networking atau yang biasa kita sebut dengan Internet. Internet merupakan sebuah jaringan komputer yang terdiri dari berbagai macam jaringan komputer yang terdapat di seluruh dunia yang menghubungkan jaringan yang satu dengan jaringan lainnya dan komputer yang satu dengan komputer lainnya (Hornby, 2000, pp.680). Internet saat ini merupakan sumberdaya informasi terbesar di dunia yang berisikan berbagai macam bentuk terobosan dalam komunikasi, interaksi sampai berbisnis sehingga secara langsung perkembangan internet telah mempengaruhi perkembangan ekonomi saat ini. Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan konvensional atau tatap muka, kini sangat mudah dan sering dilakukan secara online melalui internet. Transaksi jual beli yang dilakukan secara online ini disebut e-commerce. 2.2.1 Website Website adalah kumpulan file World Wide Web (WWW) yang merupakan kumpulan situs-situs internet secara global yang terdapat pada halaman utama suatu web browser. Sederhananya adalah website merupakan kumpulan halaman informasi yang disediakan melalui jalur internet sehingga bisa diakses di seluruh dunia selama kita terkoneksi dengan jaringan internet. Komponen dari website ini terdiri dari gambar-gambar, teks, animasi ataupun suara-suara yang biasanya dikemas secara menarik yang bertujuan untuk menarik perhatian para pengguna internet agar mengunjungi situs tersebut. Pada dasarnya situs internet berfungsi sebagai media untuk menyampaikan suatu informasi baik berupa berita, ekspresi kreatifitas, maupun info-info komersil. Penggunaan situs internet sebagai media
27
promosi suatu produk barang/jasa menjadi pilihan yang sangat baik saat ini yang dimana perkembangan teknologi informasi terus meningkat setiap tahunnya. 2.2.2 Teknologi Web Teknologi web diawali dengan web 1.0 merupakan teknologi yang pertama kali digunakan pada aplikasi World Wide Web. Pada awalnya teknologi ini hanya berupa web statis menggunakan Hyper Text Markup Language (HTML) yang bersifat kaku, satu arah dan tidak interaktif yang sangat berbeda dengan berbagai web yang sedang berkembang saat ini. Teknologi web yang kita rasakan saat ini adalah teknologi web 2.0 yang dimana merupakan generasi ke-2 dari generasi web sebelumnya. Dalam Maness (2008) istilah web 2.0 pertama kali dicetuskan dan diperkenalkan oleh Tim O’Reilly dan Dale Dougherty pada tahun 2004 untuk menggambarkan model tend dan bisnis yang bertahan dari kehancuran pasar sektor teknologi pada masa tahun 1990an. Sedangkan Fountain dan Constantinides (2008) mendefinisikan web 2.0 kepada sekumpulan aplikasi open-source, interaktif dan aplikasi usercontrolled online yang memperluas pengalaman, pengetahuan dan kekuatan pasar dari para pengguna sebagai peserta dalam proses bisnis dan sosial. Pada intinya teknologi web 2.0 membuat kita sebagai user dapat berinteraksi dengan apa yang sedang kita kerjakan didalam browser secara langsung dan dapat disampaikan secara realtime kepada pengguna lainnya. Beberapa contoh website yang menggunakan teknologi web 2.0 saat ini seperti, Youtube, Wikipedia, Facebook, Myspace, Scribd, dan Twitter. Teknologi web yang selanjutnya akan kita masuki adalah teknologi web 3.0 yang biasa disebut juga dengan web semantic. Web semantic adalah
28
sekelompok metode dan teknologi yang memungkinkan mesin untuk mengerti makna (semantic) informasi pada world wide web. Konsep ini pertama kali ditemukan oleh Tim Barners-Lee sang penemu World Wide Web pada tahun 2001. Saat itu Tim Barners-Lee menggambarkan web 3.0 sebagai mesin yang dapat memiliki kemampuan membaca web sama seperti layaknya yang dilakukan manusia saat ini. Walaupun masih belum sepenuhnya terealisasi, web 3.0 telah memiliki beberapa standar operasional untuk bisa menjalankan fungsinya dalam menampung metadata seperti Resource Description Framework (RDF) dan Web Ontology Language (OWL).
2.3 E-commerce 2.3.1 Definisi E-commerce E-commerce merupakan konsep dagang berupa prosedur dan mekanisme jual-beli yang terdapat pada internet. Menurut definisinya, e-commerce merupakan suatu konsep yang menjelaskan proses pembelian, penjualan dan pertukaran produk, servis dan informasi melalui jaringan komputer yaitu internet (Turban, 2002). Menurut Kalakota, dalam Handojo (2009) e-commerce dapat dilihat dari 4 macam sudut pandang, antar lain : 1. Sudut pandang komunikasi, e-commerce merupakan pengiriman barang, servis, informasi atau pembayaran melalui jaringan komputer. 2. Sudut pandang bisnis proses, e-commerce merupakan aplikasi teknologi yang dapat melakukan transaksi bisnis dan arus kerja yang otomatis. 3. Sudut pandang servis, e-commerce merupakan peralatan yang dapat memenuhi keinginan perusahaan, pelanggan dan manajemen untuk
29
memotong biaya servis selama pengembangan kualitas barang dan peningkatan kecepatan layanan pengiriman. 4. Sudut pandang online, e-commerce menyediakan kemampuan untuk memebeli dan menjual produk dan informasi melalui internet dan layanan online lainnya. Selain itu Turban dan King (2002, menyebutkan terdapat dua sudut pandang lain yang dapat digunakan untuk mendefinisikan e-commerce, yaitu : 1. Sudut pandang kolaborasi, e-commerce sebagai fasilitator yang digunakan untuk memungkinkan terlaksananya proses kolaborasi pada suatu organisasi baik antar organisasi maupun inter organisasi. 2. Sudut pandang komunitas, e-commerce merupakan tempat berkumpul bagi anggota suatu komunitas untuk saling belajar, berinteraksi, bertransaksi dan berkolaborasi. 2.3.2 Klasifikasi E-commerce E-commerce dapat diklasifikasikan kedalam beberapa aspek. Tetapi menurut Handojo, Yulia dan Gunadi (20009), secara umum e-commerce dapat diklasifikasikan kedalam tiga tipe, antara lain : •
B2C (Business to Customer), dalam tipe ini transaksi online berhubungan langsung antara pelaku bisnis dengan pelanggan secara individual, contoh : pesanan buku online, pembelian tiket pesawat terbang.
•
B2C (Business to Business), dalam tipe ini bisnis membuat transaksi online dengan bisnis lainnya., contoh : layanan online, pembelian bahan bakar.
30
•
B2E (Business to Employee), dalam tipe ini informasi dan servis dibuat secara online untuk para pekerja, contoh : pelatihan online dan perbankan online.
2.3.3. Belanja Online Belanja online atau belanja daring pertama kali dilakukan di Inggris pada tahun
1979
oleh
Michael
Aldrich
dari
Redifon
Computers.
Aldrich
menyambungkan televisi berwarna saat itu dengan komputer yang mampu memproses transaksi secara realtime melalui sarana kabel telepon. Mulai saat itu Aldrich menjual sistem belanja daring yang ia temukan ke seluruh penjuru Inggris. Dalam jangka waktu setahun belanja daring secara luas digunakan di Inggris dan beberapa negara di Eropa seperti Perancis. Pada awal tahun 1990-an, belanja daring mulai dikenal di dunia, berberapa pelopor dalam internet shopping saat itu seperti Books.com, Amazon.com serta Pizza Hut mulai memanfaatkan internet sebagai media untuk berjualan. Dimana saat itu para pelanggan mulai dapat melakukan pilihan terhadap barang, pemesanan sampai pembayaran dapat dilakukan secara online. Pada tahun-tahun berikutnya sistem belanja daring memiliki beberapa peningkatan terutama pada sistem keamanannya yang dimana pembobolan dan pencurian digital semakin marak. Pada tahun 1996, eBay mulai lahir dan sampai saat ini telah berkembang menjadi salah satu situs transaksi online terbesar di dunia. Untuk awal masuknya di Indonesia, belanja daring tidak memiliki catatan historis yang pasti, tetapi saat ini perkembangan belanja daring mulai terasa disekitar kita. Berbagai pemanfaatan media di dunia maya menjadikan Indonesia
31
sebagai marketplace online yang patut diperhitungkan di mata dunia terutama untuk kawasa Asia Tenggara. Dari berbagai sejarah dan perkembangan belanja online, dapat kita tarik sekimpulan bahwa belanja daring merupakan suatu bentuk perdagangan elektronik yang dimana tempat bertemunya penjual dan calon pembeli terdapat dalam media internet. 2.3.4 Social commerce Social commerce merupakan fenomena baru dalam dunia e-commerce. Dulu pada saat pertama kali muncul peran sosial media merupakan tempat untuk berinteraksi antar sesama pengguna internet. Tetapi kali ini peran sosial media dapat dimanfaatkan sebagai tempat berdagang secara online. Peleburan antara sosial media ini dengan e-commerce disebut social commerce. Menurut Paul Marsden (2010), social commerce merupakan gabungan dari social media dan ecommerce yang lebih kepada kegiatan e-commerce yang menggunakan peran sosial media, media online yang mendukung interaksi sosial dan kontribusi pengguna untuk meningkatkan pengalaman berbelanja online.
Gambar 2.4. Diagram Pengertian Social commerce
32
Sederhananya konsep social commerce mengadaptasi dari konsep word of mouth yang telah diaplikasikan kedalam e-commerce. Pelanggan saat ini mencari cara untuk memanfaatkan keahlian masing-asing, memahami apa yang mereka beli, dan membuat lebih banyak menerima informasi yang akurat untuk keputusan pembelian. Sebagaimana penggunaan internet yang telah berkembang, pembeli telah meningkatkan ekspektasi mereka dari pengalaman interaksi ritel ( Dennison, Bourdage-Braun, Chetuparambil, 2009). Karena itu, para pembeli saat ini mencari keterbukaan dari para penjual. Memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman, wawasan, pikiran dan opini untuk memastikan bahwa penjual menampilkan lebih pada pengalaman sosial dan menambah kredibilitas yang signifikan untuk website tersebut. Menurut DR. Paul Marsden (2010), terdapat 6 dimensi dari social commerce, yaitu : 1. Social Shopping Sosial shopping tools memberikan kemudahan bagi orang-orang untuk membagi/menyebarkan tindakan mereka untuk berbelanja online bersama (synchronous shopping). 2. Ratings & Reviews Merupakan alat social commerce sesungguhnya, rating dan review memberikan kemudahan bagi orang-orang untuk saling bertukar informasi produk serta memberikan informasi kepada orang lain dengan pandangan dan pengalaman kita terhadap produk tersebut.
33
3. Recommendation & Referrals Berbeda dengan rating dan review yang disajikan untuk semua, dari segi kebaikan suatu produk ataupun kekurangannya, recommendation dan refferal lebih kepada mengarahkan orang lain dengan nilai positif baik pengalaman berbelanja maupun produk tersebut sehingga orang dapat menilai ukuran keuntungan dari berbelanja online. 4. Forum & Communities Merupakan pioneer dari sosial media, forum sangatlah populer, berguna dan efektif. Forum terkair dengan e-commerce platform membantu menelusuri produk, pemilihan dan rujukan dengan menyediakan lingkungan yang moderat pada berbagai kategori yang ada. 5. SMO (Social Media Optimization) Toolset yang dirancang dalam konteks social commerce untuk menarik pengunjung ke tujuan e-commerce dengan
mempromosikan dan
mempublikasikan tujuan dan kontennya melalui sosial media. 6. Social Ads & Apps Paid-for ads pada platform sosial media atau berupa aplikasi promosi atau widget yang terdapat pada sosial media tersebut. dalam hal social commerce mengarahkan orang-orang kepada e-commerce