BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Konsep Pajak
II.1.1 Pengertian, Unsur dan Fungsi Pajak Pada dewasa ini perusahaan membutuhkan laporan operasional dan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, sumber yang paling efektif dan dapat diandalkan adalah laporan keuangan. Keefektifan administrasi pajak memerlukan adanya sistem pembukuan yang sehat dan dapat dipercaya. Reliabilitas pembukuan untuk pajak merupakan persyaratan mutlak yang tak bisa ditawar lagi. Pajak secara umum dapat diartikan sebagai iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan untuk membiayai keperluan negara. Ada beberapa definisi mengenai pengertian Pajak, diantaranya akan diuraikan dibawah ini: Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2001) adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (h 1) Kemudian Andrian dalam Waluyo dan Ilyas (2000) menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. (h 4) Djajadiningrat dalam Resmi (2005) mendefinisikan pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal-balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. (h 5) Dari definisi-definisi diatas tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur : 1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Selain daripada definisi dan unsur-unsur pajak yang tersebut diatas pajak juga mempunyai fungsi yang sangat dominan dalam pemerintahan kita yaitu : 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintahan untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut
ditempuh
dengan
cara
ekstensifikasi
maupun
intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain. 2. Fungsi Regulerend (Mengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan–tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi mengatur adalah : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlombalomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor adalah 0%, dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga akhirnya dapat memperbesar devisa negara. d. Pajak Penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain, dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan). e. Pembebasan Pajak Penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh sehubungan dengan transaksi dengan anggota, dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia. f. Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.
II.1.2 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25 Waluyo dan Ilyas (2000) mendefinisikan “Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus disetorkan dan atau dibayarkan sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulannya dalam tahun pajak berjalan.” (h 204) Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2001) pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dikemukakan sebagai pelunasan/angsuran pajak tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan.
Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) Pasal 25 menyatakan demikian: 1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan : a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. 2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. 3) Dihapus. 4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. 5) Dihapus.
6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu : a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. 7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. 8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini. Ketentuan pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan: 1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh pasal 25) 2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24). Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut SPT PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut (yang tidak Bersifat final) serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24, dibagi banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Penghasilan Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak menganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian
masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial) Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiaban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain : 1. Teori Asuransi
Adalah termasuk dalam tugas negara untuk melindungi rakyat dan segala kepentingannya : keselamatan dan keamanan jiwa, dan juga harta bendanya. Sepertinya halnya dalam perjanjian asuransi (pertanggungan), untuk melindungi orang dan kepentingan tersebut diperlukan pembayaran premi. Dalam hubungan negara dengan rakyatnya, pajak inilah yang dianggap sebagai premi yang sewaktu-waktu harus dibayar oleh masing-masing. Meskipun teori ini hanya sekedar untuk memberi dasar hukum kepada pemungut pajak, namun beberapa ahli menentangnya. Mereka berpendapat bahwa perbandingan antara pajak dan perusahaan asuransi tidaklah tepat, karena : o Dalam hal timbul kerugian, tidak ada penggantian secara langsung dari negara, o Antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidaklah terdapat hubungan langsung. 2. Teori Kepentingan Teori ini dalam ajarannya yang semula hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugastugas pemeritah, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang beserta harta bendanya. Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah jika biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada mereka. 3. Teori Daya Pikul Teori ini mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu
perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk kepentingan tersebut diperlukan biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Teori ini menekankan pada asas keadilan, bahwasanya pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut daya pikul seseorang. Daya pikul sesseorang dapat diukur berdasarkan besarnya penghasilan dengan memperhitungkan besarnya pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Dalam Pajak Penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, daya pikul untuk pengeluaran atau pembelanjaan dinyatakan dengan sejumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 (dua) pendekatan yaitu : o Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh sseorang. o Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan material yang harus dipenuhi. 4. Teori Kewajiban Pajak atau Teori Bakti Berlawanan dengan ketiga teori sebelumnya, yang tidak mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini mendasarkan pada paham Organische Staatsleer. Paham ini mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan tidaklah akan ada individu. Oleh karenanya maka persekutuan (yang menjelma menjadi negara) berhak atas satu dan yang lain. Akhirnya setiap orang menginsyafi bahwa menjadi suatu kewajiban asli untuk
membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak. 5. Teori Daya Beli Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya melihat pada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak. Dalam melakukan pemungutan pajak kita mengenal tata cara pemungutan pajak yaitu yang terdiri dari : 1.
Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel : a. Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayarkan selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesunggunya. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. 2.
Asas Pemungutan Pajak a. Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c. Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak luar negeri. 3.
Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada aparatur perpajakan (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan pemungutan pajak sepenuhnya ada pada aparatur perpajakan. Sistem ini akan berhasil dengan baik kalau aparatur perpajakan baik kualitas maupun kuantitas telah memenuhi kebutuhan. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus. 2) Wajib Pajak bersifat pasif. 3) Utang timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Dalam tata cara ini kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat sendiri, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk : o Menghitung sendiri pajak yang terutang o Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang o Membayar sendiri jumlah pajak yang harus dibayar o Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang o Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang. Tata cara ini berhasil dengan baik, kalau masyarakat sendiri mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi. Ciri-cirinya : 1)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri,
1) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, 2) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana telah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU KUP) dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 sebagaimana telah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh), tetap berdasarkan sistem self assessment. Dalam sistem tersebut, masyarakat diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment, maka apabila dalam waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak, maka jumlah pembayaran yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Dengan demikian, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah (rampung). Dalam sistem pemajakan self assessment dengan penetapan pajak terutang oleh Wajib Pajak sendiri, pelunasan pajak dilakukan selama tahun
berjalan dan kalau masih ada kekurangan dilunasi setelah akhir tahun bersama dengan penyampaian atau sebelum batas waktu akhir (25 Maret) penyampaian SPT Tahunan. Pelunasan pajak selama tahun berjalan dapat dilakukan melalui sistem membayar sendiri (self payment) dan potongan atau pungutan pajak oleh pihak lain (withholding system). Pelunasan sendiri oleh Wajib Pajak selama tahun berjalan dilakukan dengan membayar angsuran bulanan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 (misalnya 1/12 dari PPh terutang menurut SPT tahun yang lalu setelah dikurangi dengan kredit pajak). Potongan pajak selama tahun berjalan oleh pihak ketiga dilakukan setiap ada penghasilan yang diterima Wajib Pajak (misalnya dividen, bunga dan sewa) yang dibayarkan oleh pemotong. Pemotongan ini dilakukan setiap saat apabila Wajib Pajak menerima penghasilan (misalnya berupa dividen, bunga dan royalti). Selain pemotongan pajak, dilakukan juga pemungutan pajak yang dilaksanakan setiap Wajib Pajak melakukan transaksi dengan badan pemungut pajak (misalnya impor atau pembayaran dari bendaharawan pemerintah). Pembayaran PPh Pasal 25 (angsuran pembayaran pajak yang dilakukan setiap bulan oleh wajib pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh) merupakan pembayaran dimuka terhadap utang pajak penghasilan yang akan dihitung sendiri (self assessment) oleh wajib pajak pada akhir tahun pajak (melalui penyampaian SPT). Secara substansial, sebetulnya sistem pemotongan dan pemungutan pajak berakibat sama bagi wajib pajak dan pemotong atau pemungut pajak. Istilah potongan dipakai untuk menunjukkan objek yang dikenakan potongan, yaitu penghasilan (bruto) yang dibayarkan atau diterimakan oleh pemotong pajak.
Beberapa kategori yang penghasilan itu misalnya dividen, bunga, sewa, royalty, gaji dan upah. Karena adanya suatu aliran penghasilan (income stream), sebagai bagian dari mekanisme transaksi financial tersebut, penyedia pembayaran menahan sebagian penghasilan sehingga penerima penghasilan tidak menerima seluruh jumlah penghasilannya. Sementara itu, pungutan pajak menunjuk kepada suatu praktek pengenaan pajak atas potensi penghasilan yang terkandung dalam suatu transaksi, misalnya impor barang modal, bahan baku, pembelian barang dagangan (untuk dijual kembali) dan penerimaan kontrak pemborongan. Berbeda dengan pemotongan pajak, umumnya (kecuali untuk jasa pemborongan) pungutan pajak dapat berakibat penambahan pembayaran oleh yang bertransaksi (misalnya pada impor barang, pembelian barang dagangan). Setiap menerima penghasilan yang dipotong pajak (misalnya bunga), perusahaan akan mencatat adanya potongan pajak penghasilan. Pada akhir tahun pajak, sesuai dengan sistem self assessment, wajib pajak diminta untuk menghitung sendiri utang pajak penghasilannya. Setelah mengkreditkan angsuran pajak (PPh Pasal 25), potongan (PPh Pasal 21 dan Pasal 23), pungutan pajak (PPh Pasal 22) dan pajak luar negeri (kalu ada; PPh Pasal 24) kekurangannya harus disetor wajib pajak sebelum tanggal 25 pada bulan akhir pemasukan SPT.
II.2
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Badan
II.2.1 Pengertian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Badan dan Prosedurnya
Pelunasan pajak yang dilakukan selama tahun berjalan dilakukan setelah akhir tahun bersama dengan penyampaian atau sebelum batas waktu akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Mardiasmo (2001) mendefinisikan “Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.” (hal. 20) Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana telah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU KUP), Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Surat Pemberitahuan Tahunan wajib pajak badan adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh wajib pajak badan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan pertimbangan efisiensi dan
pertimbangan lainnya. Untuk itulah terdapat prosedur-prosedur yang harus dipenuhui oleh Wajib Pajak yaitu : 1. Wajib Pajak harus mengambil sendiri Surat Pembertahuan di tempat yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (kantor-kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak) dengan menunjukan NPWP. 2. Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengisian formulir SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Wajib Pajak harus menandatangani serta menyampaikan kembali ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan. Apabila SPT disampaikan melalui Pos secara tercatat atau dengan cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak, maka tanda bukti dan tanggal pengiriman SPT yang telah lengkap dapat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. 4. Keterangan dan atau dokumen lain dan bukti-bukti yang harus dilampiri pada SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, antara lain : o Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal.
o Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal. o Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal yang terdapat sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan. o Surat Setoran Pajak Pasal 29 yang seharusnya, dalam hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran PPh Pasal 29. o Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak. o Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak atau besarnya PPh Pasal 25. Tata cara penerimaan dan pengelolaan Surat Pemberitahuan memuat halhal mengenai antara lain penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, harus disampaikan paling lambat 3 (bulan) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Apabila Surat Pemberitahuan terlambat atau tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan atau batas waktu perpanjangan penyampaian
SPT , dikenakan sanksi administrasi sebesar RP 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan. Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar kerena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian negara akan dipidana.
II.2.2 Fungsi Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh adalah sebagai sarana Wajib Pajak untuk menetapkan sendiri besarnya pajak yang terutang dengan cara: 1. Melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah pajak yang terutang; 2. Melaporkan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam satu Tahun Pajak/Bagian Tahunan Pajak; 3. Melaporkan pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak lain dalam suatau Tahunan Pajak (Pasal 3 ayat (1) UU KUP). Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : o Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; o Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; o Harta dan kewajiban;
o Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bagi Wajib Pajak yang telah menghitung, memperhitungkan, Membayar dan melaporkan pajaknya dengan benar sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku, apabila dalam waktu 10 (sepuluh) tahun Direktorat Jenderal Pajak tidak mengeluarkan ketetapan pajak, jumlah (Pasal 13 ayat (4) UU KUP).
II.2.3
Bentuk dan ISi SPT Tahunan PPH Wajib Pajak Badan SPT Tahunan PPH WP Badan Formulir 1771 dan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat (Formulir 1771/$) terdiri dari Induk SPT dam lampiran-lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pasal 3 ayat (6) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU KUP) menyatakan bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayaran, maka dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban diluar kegiatan usaha. Untuk Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta keteranganketerangan lainnya yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat keterangan tentang perkawinan dengan pisah harta dan penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan impor atau ekspor dan Surat Setoran Pajak. Induk SPT dan lampiran-lampirannya, masing-masing diberi Nomor Kode dan Nama formulirnya sebagai berikut:
Kode Formulir No
1771
1771/$
1
1771
1771/$
Nama Formulir
SPT
Tahunan
PPh
Keterangan
WP Induk SPT
Badan 2
1771-I
1771-I/$
Penghitungan
Penghasilan Lampiran I
Neto Fiskal 3
1771-II
1771-II/$
Perincian
Harga
Pokok Lampiran II
Penjualan,
Biaya
Usaha
Lainnya Dan Biaya Dari
Luar Usaha 4
1771-III
1771-III/$
Kredit Pajak Dalam Negeri
5
1771-IV
1771-IV/$ PPh
Final,
Yang
Tidak
Lampiran III
Penghasilan Lampiran IV Termasuk
Objek Pajak 6
1771-V
1771-V/$
Daftar Pemegang Saham/ Lampiran V Pemilik Modal Dan Jumlah Deviden Yang Dibagikan, Daftar Susunan Pengurus Dan Komisaris
7
1771-VI
1771-VI/$ Daftar Penyertaan Modal Lampiran VI Pada Perusahaan Afiliasi, Daftar
Pinjaman
Dari/
Kepada Pemegang Saham Dan Afiliasi
Atau
Perusahaan