8
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini diuraikan teori-teori yang dapat menjadi dasar dan mendukung penelitian ilmiah ini. Teori yang dibahas juga mencakup teori mengenai analisis strategi; manajemen strategi; pemasaran; segmentasi, penentuan target, dan penempatan posisi; baur pemasaran; customer relationship management (manajemen hubungan pelanggan); serta merek.
2. 1. Analisis Strategi
Pada dasarnya, strategi merupakan sebuah kata yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan setiap keputusan atau tindakan yang diambil saat ini sebagai upaya untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Mengacu pada Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 8), strategi merupakan sebuah pola dasar dari tujuan saat ini dan yang sedang direncanakan, pemberdayaan sumber daya, dan interaksi dari sebuah perusahaan dengan pasar, kompetitor, dan faktor lingkungan lainnya. Strategi yang dibuat dengan baik terdiri dari lima komponen yaitu ruang lingkup, tujuan, pengalokasian sumber daya, identifikasi atas keunggulan bersaing, dan sinergi. Anthony dan Govindarajan (2007, 56) mengungkapkan bahwa meskipun ada banyak definisi strategi yang berbeda-beda, namun ada kesepakatan umum bahwa strategi
9
mendeskripsikan arah umum yang hendak dicapai perusahaan sesuai rencana awal untuk memperoleh tujuannya. Menurut Jacobides (2010, 77), membuat strategi bukanlah hal yang mudah. Karakteristik lingkungan bisnis saat ini dapat dikatakan sebagai situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak dapat diberhentikan begitu saja, dan rupanya tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Pada dasarnya, sifat dari sebuah industri terus mengalami perubahan dengan sangat cepat dan perusahaan melihat perubahan dari pesaingnya, penyedia barangnya, dan juga pelanggannya pada tingkat kecepatan yang sangat tinggi. Pada saat strategi akan dibuat, manajemen perusahaan harus dapat melakukan analisis terhadap industri sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Kemudian, dilakukan penilaian atas kelebihan dan kekurangan dari kompetitor perusahaan. Berdasarkan pengetahuan mengenai analisis industri dan analisis persaingan yang dimiliki, selanjutnya manajemen perusahaan akan menciptakan strategi posisi yang berbeda dari pesaingnya, dimana perusahaan dapat memiliki kinerja yang lebih baik dari pesaingnya tersebut dengan menciptakan keunggulan bersaing. 2.1.1 Analisis PESTEL Peningkatan turbulensi yang terjadi di pasar dan industri secara global mendorong perusahaan untuk membuat pemeriksaan eksternal, karena telah menjadi bagian yang vital dari proses strategi manajemen (David, 2003, 113). Tujuan diadakannya pemeriksaan eksternal adalah untuk membuat daftar kesempatan terbatas yang dapat memberi keuntungan bagi perusahaan dan juga ancaman yang harus dihindari sehingga perusahaan dapat memberi
10
tanggapan dengan menciptakan strategi untuk memperoleh keuntungan dari kesempatan eksternal ataupun mengurangi dampak dari ancaman yang mungkin terjadi. Secara rinci, Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 86-92) menjelaskan
bahwa
pemeriksaan
eksternal
dapat
dilakukan
dengan
menganalisa enam buah faktor eksternal yaitu faktor demografi, faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor regulasi, dan faktor lingkungan. Faktor demografi yang dapat memberi pengaruh besar pada pemasar adalah umur dari populasi, dampak AIDS pada populasi, tingkat pertumbuhan populasi, peningkatan imigrasi, dan penurunan tingkat pernikahan. Sedangkan dari segi sosial budaya, tren yang terjadi mengarah pada hal yang berhubungan dengan nilai, sikap, dan perilaku individu pada sebuah lingkungan masyarakat, seperti etika bisnis dan kesehatan. Faktor ekonomi merupakan faktor yang sulit untuk dipengaruhi, seperti perubahan pendapatan individu, perubahan tingkat suku bunga, perubahan pengeluaran pemerintah atas hasil kebijakan fiskal pemerintah, dan pengeluaran konsumen. Pada komponen tren secara makro, tren politik dan legal, khususnya yang menghasilkan regulasi atau deregulasi dapat memberikan dampak yang kuat pada pasar. Inovasi dari teknologi dapat menciptakan
sebuah
pasar
baru,
seperti
perkembangan
teknologi
telekomunikasi dan komputer mendorong pertumbuhan yang sangat pesat pada industri telekomunikasi, komputer, dan hiburan. Sedangkan untuk faktor
11
lingkungan, kesempatan bisnis sedang mengarah pada produk yang ramah lingkungan. 2.1.2 Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats) Analisis SWOT, salah satu alat yang sangat menguntungkan dan esensial bagi setiap bisnis, apapun jenis dan ukurannya, didefiniskan sebagai penilaian sistematis dan terperinci mengenai seluruh faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi sebuah bisnis, pada sebuah titik waktu tertentu. Hal ini memberikan arti bahwa faktor yang diidentifikasi oleh analisis SWOT dapat terus berubah setiap waktu (Healy, 2008, 23). Solomon, Marshall, dan Stuart (2008, 44) berpendapat bahwa analisis SWOT memampukan sebuah perusahaan untuk membangun strategi yang dapat mendukung perusahaan melakukan yang terbaik dalam memanfaatkan kesempatan untuk pertumbuhan dan pada saat yang sama menghindari ancaman dari eksternal yang dapat membahayakan penjualan dan keuntungan perusahaan. Kekuatan merupakan faktor atau kompetensi, yang dapat membantu menciptakan
kesempatan,
berkontribusi
untuk
mencapai
tujuan
dan
mengurangi pengaruh dari ancaman atau menghilangkan semuanya (Healy, 2008, 23). Sumber dari kekuatan adalah sesuatu yang dapat dikerjakan dengan baik oleh perusahaan atau sebuah atribut yang dapat meningkatkan persaingan dalam pasar, seperti keahlian atau kemampuan yang penting dalam bersaing, asset fisik yang bernilai, asset sumber daya manusia dan modal intelektual yang bernilai, asset perusahaan yang bernilai, asset lain yang tidak berwujud
12
dan memiliki nilai, sebuah pencapaian atau atribut yang menempatkan perusahaan pada sebuah posisi yang unggul dalam pasar, dan aliansi persaingan yang bernilai (Thomson, Strickland, dan Gamble, 2010, 106). Kelemahan merupakan faktor yang dapat mengurangi kemampuan untuk mencapai kesempatan, mengurangi kemampuan untuk memperoleh tujuan, atau memperbesar kemungkinan munculnya ancaman (Healy, 2008, 24). Thomson, Strickland, dan
Gamble (2010, 111) menyatakan bahwa
sumber dari kelemahan adalah sesuatu yang dijalankan dengan kurang baik oleh perusahaan atau sebuah kondisi yang menempatkan perusahaan pada posisi yang tidak baik di pasar, seperti keahlian dan modal intelektual yang tidak baik; kekurangan asset fisik, organisasi, dan juga yang tidak berwujud yang penting untuk bersaing; kemampuan bersaingan yang tidak baik pada area kunci. Thomson, Strickland, dan Gamble (2010, 111) berpendapat bahwa kesempatan dalam sebuah pasar merupakan faktor besar dalam membentuk strategi perusahaan, karena manajer tidak dapat menentukan strategi yang tepat pada situasi perusahaan tanpa mengidentifikasi kesempatan pasar dan menilai tingkat pertumbuhan dan potensi laba terlebih dahulu. Kesempatan merupakan faktor yang dapat membantu mengurangi biaya atau menambah besar pengawasan atas input, membantu meningkatkan proses melalui teknologi yang lebih baik atau meningkatkan konsumen melalui pasar baru, meningkatkan jumlah atau variasi dari hasil yaitu jumlah penjualan (Healy, 2008, 25).
13
Berbagai faktor dalam lingkungan eksternal perusahaan dapat menjadi ancaman bagi keuntungan, kemampuan bersaing, dan prospek pertumbuhan, seperti kehadiran teknologi yang lebih murah atau lebih baik, produk baru atau yang telah diperbaiki oleh pesaing diperkenalkan ke pasar, masuknya pesaing asing dengan biaya yang lebih murah ke dalam pasar perusahaan, regulasi baru yang lebih memberatkan perusahaan dibanding pesaingnya, rentan terhadap peningkatan tingkat bunga, potensi terjadinya hostile takeover, perubahan demografi yang tidak diharapkan, perubahan dalam tingkat pertukaran asing yang merugikan, pergolakan politik pada negara asing dimana perusahaan memiliki fasilitas di negara tersebut (Thomson, Strickland, dan Gambel, 2010, 113). 2.1.3 Five Competitive Forces Pada dasarnya, strategi dibuat agar perusahaan dapat bertahan dan mengikuti persaingan yang ada dalam sebuah industri. Sering kali persaingan yang dievaluasi terlalu sempit, yaitu hanya dari rival, namun persaingan juga dapat dilihat dari empat sisi lain yaitu konsumen, penyedia barang, perusahaan baru, dan barang substitusi. Persaingan yang diperluas dapat menentukan struktur industri dan membentuk interaksi persaingan dalam industri tersebut (Porter, 2008, 79). Pada saat perusahaan dapat mengerti kekuatan persaingan dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, maka dapat mengerti sumber keuntungan industri saat ini dan juga memberikan sebuah kerangka untuk mengantisipasi dan mempengaruhi persaingan. Perusahaan juga harus
14
mengerti struktur industri karena penting untuk menentukan posisi dalam persaingan (Porter, 2008, 80). Lebih lanjut, Anthony dan Govindarajan (2007, 68) menyatakan bahwa melalui observasi analisa indutri, diketahui bahwa semakin kuat lima kekuatan persaingan, maka semakin rendah keuntungan yang dapat diperoleh dalam industri, strategi kunci unit bisnis dalam sebuah industri berbeda dengan industri lain sesuai kekuatan dari lima kekuatan persaingan, dan pemahaman yang mendalam mengenai industri dapat membantu perusahaan menyusun strategi yang efektif. Threat of New Entrant
Bargaining Power of Suppliers
Rivalry among Competitor
Bargaining Power of Buyers
Threat of Substitute Product or Services Gambar 2.1 Five Competitive Forces Sumber: Porter (2008, 80)
2.1.3.1 Threats of New Entrants (Ancaman dari pendatang baru) Pada dasarnya, pendatang baru dalam sebuah industri membawa kapasitas baru dan keinginan untuk memperbesar pangsa pasar dengan memberikan tekanan pada harga, biaya, dan tingkat
15
investasi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing. Pendatang baru memberikan ancaman pada keuntungan yang tersedia dalam industri, sehingga bila terdapat ancaman dalam tingkat yang tinggi, maka perusahaan yang sudah berada pada industri tersebut harus dapat menurunkan harga atau meningkatkan investasi untuk menghilangkan pesaing baru. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat ancaman adalah barriers to entry (hambatan untuk memasuki sebuah industri) yang ditentukan oleh skala ekonomis dari sisi penyedia barang, skala manfaat dari sisi permintaan, biaya yang diperlukan oleh konsumen untuk beralih ke produk lain, modal yang dibutuhkan, keuntungan perusahaan yang sudah ada dalam industri dari segi ukuran, akses yang tidak sama ke jalur distribusi, dan kebijakan pemerintah (Porter, 2008, 80).
2.1.3.2 The Power of Supplier (Kekuatan penyedia barang) Kekuatan penyedia barang dapat memberikan keuntungan melalui penetapan harga yang lebih tinggi, pembatasan kualitas jasa, atau pengalihan biaya ke pihak lain yang terdapat dalam industri. Kelompok penyedia barang memiliki kekuatan apabila lebih terkonsentrasi daripada industri, tidak terlalu tergantung pada industri untuk pendapatannya, ada biaya untuk beralih antar penyedia barang,
16
produk yang ditawarkan berbeda, dan tidak ada substitusi untuk produk yang ditawarkan (Porter, 2008, 82).
2.1.3.3 The Power of Buyer (Kekuatan Pembeli) Kekuatan konsumen dapat memberikan keuntungan melalui penetapan harga yang lebih rendah dan permintaan untuk kualitas barang dan jasa yang lebih baik. Pembeli memiliki kekuatan bila dapat melakukan negosiasi, terlebih bila mereka berada dalam industri dengan tingkat sensitifitas harga yang tinggi dan dapat memberi tekanan untuk memperoleh penurunan harga. Sebuah kelompok pembeli memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi apabila ada sedikit pembeli atau pembelian yang dilakukan oleh masing-masing pembeli tergolong dalam jumlah yang sangat banyak, produk industri tidak berbeda, dan biaya untuk beralih ke vendor lain tergolong kecil (Porter, 2008, 83).
2.1.3.4 Threat of Substitute (Ancaman dari barang substitusi) Substitusi memberikan fungsi yang sama dalam bentuk yang berbeda dan ketika ancaman akan adanya substitusi tinggi, maka keuntungan industri akan mengalami penurunan, karena akan memberi batas pada penetapan harga. Apabila industri tidak dapat membedakan diri dalam kinerja produk, pemasaran, atau hal lainnya, maka industri akan mengalami penurunan laba atau keuntungan. Ancaman dari
17
substitusi produk tergolong tinggi apabila menawarkan harga yang menarik bagi konsumen bila dibandingkan dengan produk sebelumnya dan biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk beralih ke produk substitusi tergolong rendah (Porter, 2008, 84).
2.1.3.5 Rivalry among Competitor (Persaingan diantara kompetitor) Persaingan diantara kompetitor dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti diskon harga, pengenalan produk baru, kampanye iklan, dan peningkatan pelayanan. Persaingan yang tinggi dapat membatasi keuntungan yang bisa dihasilkan dari industri tersebut. Tingkat intensitas persaingan dapat ditentukan dari banyak kompetitor dan masing-masing memiliki kekuatan yang sama, pertumbuhan industri rendah, hambatan untuk keluar dari industri tergolong tinggi, dan pesaing memiliki komitmen yang tinggi untuk terus berada dalam industri (Porter, 2008, 85).
2.2 Manajemen Strategi
Strategi perusahaan adalah rencana tindakan dari manajemen untuk menjalankan bisnis dan mengelola operasi, yang mencakup pergerakan sesuai persaingan dan pendekatan bisnis yang digunakan oleh pihak manajemen untuk mengembangkan bisnis, menarik perhatian dan menyenangkan konsumen, bersaing
18
dengan sukses, menjalankan operasi dan memperoleh tingkat kinerja perusahaan yang sudah ditargetkan (Thomson, Strickland, dan Gamble, 2010, 6). Menurut Anthony dan Govindarajan (2007, 56), setiap perusahan yang terorganisir dengan baik memiliki satu atau lebih strategi meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Perusahaan membuat strateginya dengan mencocokan kompetensi inti yang dimiliki dengan kesempatan yang tersedia pada industri. Strategi dapat ditemukan pada dua tingkat perusahaan, corporate level strategy (strategi untuk perusahaan secara keseluruhan) dan business unit strategy (strategi untuk unit bisnis dalam perusahaan).
2.2.1 Strategi pada tingkat perusahaan Strategi pada tingkat perusahaan mengenai upaya perusahaan untuk menjadi benar di antara gabungan berbagai bisnis, mencakup dimana perusahaan akan bersaing dan bagaimana persaingan pada industri tersebut (Anthony dan Govindarajan, 2007, 58). Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 10) memaparkan bahwa pada tingkat perusahaan, keputusan mengenai lingkup perusahaan dan pemberdayaan sumber daya di antara divisi atau bisnis adalah fokus utama dari strategi perusahaan. Upaya yang dilakukan untuk membangun dan mempertahankan kompetensi perusahaan yang membedakan dari perusahaan lain pada tingkat perusahaan fokus pada mendapatkan sumber daya manusia, keuangan dan teknologi yang superior, merancang struktur organisasi yang efektif, dan mencari sinergi antar berbagai bisnis perusahaan.
19
2.2.2 Strategi pada tingkat unit bisnis Menurut Thomson, Strickland, dan Gamble (2010, 39), strategi unit bisnis difokuskan pada tindakan dan pendekatan yang digunakan untuk dapat menghasilkan kesuksesan kinerja dari sebuah bagian bisnis. Selain berkonsentrasi pada strategi unit bisnis, manajer yang bertanggung jawab juga memiliki dua buah strategi lain yang berhubungan yaitu melihat strategi dari bagian yang berada di bawahnya untuk memastikan dan menyesuaikan dengan keseluruhan strategi bisnis dan juga memperoleh persetujuan strategi bisnis dari pihak yang berada di bagian dewan komisaris. Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 10) berpendapat bahwa pada tingkat unit bisnis, strategi difokuskan pada bagaimana unit bisnis bersaing dalam industri dengan isu utama adalah mengenai keunggulan bersaing yang dapat dipertahankan. Pendapat tersebut diperkuat oleh Anthony dan Govindarajan (2007, 66) yang menyatakan bahwa setiap unit bisnis harus memiliki keunggulan bersaing untuk mencapai misinya. Berdasarkan hal tersebut, muncul tiga pertanyaan yang dianggap memiliki hubungan dalam membangun keunggulan bersaingan unit bisnis, yaitu mengenai struktur industri dari unit bisnis, cara unit bisnis memanfaatkan struktur industri tersebut, dan dasar yang akan dijadikan sebagai keunggulan bersaing dari unit bisnis.
20
2.2.2.1 Generic Competitive Advantage Strategy Porter (1980, dalam Gurau 2007) menjelaskan bahwa ada tiga buah strategi yang dapat dijadikan dasar keunggulan bersaing sebuah perusahaan dalam menghadapi persaingan, yaitu cost leadership, differentiation, dan focus. Cost leadership adalah strategi dimana perusahaan dapat memproduksi dengan biaya yang lebih rendah daripada pesaing lainnya yang berdampak pada kemampuan lebih yang dimiliki perusahaan untuk mengawasi laba dan pangsa pasar karena perusahaan mampu menetapkan harga yang lebih menarik bagi konsumen dibanding pesaing lainnya. Perusahaan memiliki target konsumen yang memiliki kebutuhan dasar yang sederhana dengan kualitas barang dan jasa yang tidak terlalu tinggi. Menciptakan
differentiation
adalah
kunci
dari
strategi
pemasaran dan perusahaan melakukan berbagai upaya termasuk sumber daya manusia dan keuangan untuk dapat menghasilkan barang atau jasa yang berbeda bagi konsumen (Soberman, 2003, 130). Differentiation dapat dicapai dengan dasar keahlian atau kompetensi yang dimiliki perusahaan yang menjadi keunggulan bersaing bila dibandingkan dengan kompetitor, seperti kualitas barang dan jasa yang baik atau membentuk proposi pasar yang unik. Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat menetapkan harga premium, sehingga dapat memperoleh
laba
yang
lebih
besar
dengan
harapan
dapat
meningkatkan kesetiaan konsumen sehingga secara tidak langsung
21
membentuk halangan bagi pesaing lain yang ingin masuk ke dalam pasar (Porter, 1980, dalam Gurau 2007). Focus merupakan strategi perusahaan yang menekankan upaya pada satu atau lebih segmen pasar yang kecil, sehingga perusahaan mampu membangun pengetahuan yang lebih dalam mengenai segmen yang ada, dan juga menciptakan halangan untuk masuk dengan reputasi yang dimiliki. Perusahaan juga harus dapat memiliki keahlian spesialisasi yang tinggi dalam memenuhi kepuasan konsumen dalam pasar ini karena memiliki kebutuhan dan keinginan yang spesifik (Porter, 1980, dalam Gurau 2007).
2.2.2.2 Growth Strategies Sering kali, gabungan penjualan dan laba dari unit bisnis perusahaan dan produk di pasar tidak memenuhi tujuan pertumbuhan dan keuntungan jangka panjang perusahaan. Terdapat perbedaan antara apa yang diharapkan perusahaan apabila situasi saat ini tetap dibiarkan berlanjut dan apa yang sebenarnya diharapkan terjadi. Oleh karena itu, perusahaan harus mengambil keputusan mengenai sebuah strategi untuk mengembangkan perusahaan dan menghasilkan pertumbuhan pada masa mendatang (Walker, Mullins, dan Larreche, 2008, 41). Ada empat strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan. Pertama, market penetration (penetrasi pasar) yang bertujuan untuk
22
meningkatkan pangsa pasar untuk produk atau jasa yang sudah ada saat ini pada pasar saat ini melalui upaya pemasaran yang lebih besar. Penetrasi pasar mencakup meningkatkan jumlah penjual perorangan, meningkatkan
pengeluaran
untuk
iklan,
menawarkan
promosi
penjualan yang lebih luas, dan meningkatkan upaya untuk publikasi (David, 2003, 165). Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 42) menyatakan
bahwa
meskipun
perusahaan
sudah
memperoleh
pendapatan dari produk yang sudah ada di pasar saat ini, peningkatan pertumbuhan dapat terjadi dengan membuat konsumen saat ini menjadi lebih setia dan lebih fokus pada pembelian mereka, menggunakan barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak, lebih sering, atau menggunakannya dengan cara yang baru. Kedua, market development (pengembangan pasar), strategi memasarkan produk yang sudah ada, dengan modifikasi kepada konsumen di area pemasaran yang berhubungan dengan menambah jalur distribusi atau merubah konten iklan dan promosi (Pearce and Robinson, 2007, 206). Menurut Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 42), penjualan produk yang sudah ada ke segmen atau negara baru dapat berupa penciptaan program pemasaran yang ditujukan pada pihak yang bukan merupakan pengguna atau yang menggunakan produk pada saat tertentu saja. David (2003, 166) mengutarakan bahwa strategi ini dapat menjadi strategi yang efektif untuk diterapkan pada saat ada jalur distribusi baru yang dapat diandalkan, tidak mahal,
23
dan memiliki kualitas yang baik; pada saat perusahaan sukses dengan apa yang diterapkan dan memiliki sumber daya yang dibutuhkan; pada saat perusahaan memiliki kelebihan kapasitas produksi, dan pada saat dasar industri perusahaan mulai menjadi global. Ketiga,
product
development
(pengembangan
produk),
perusahaan atau unit dapat membuat produk baru untuk pasar yang sudah ada atau membangun produk baru untuk pasar yang baru (Wheelen dan Hunger, 2006, 190). Strategi ini meliputi modifikasi dari produk yang sudah ada yang dapat dipasarkan kepada konsumen saat ini dan sering kali diadopsi ke daur hidup produk saat ini atau untuk memperoleh keuntungan dari reputasi atau merek favorit. Ide dari strategi ini adalah untuk menarik konsumen yang sudah memiliki kepuasan kepada produk baru sebagai hasil dari pengalaman positif dengan perusahaan (Pearce and Robinson, 2007, 208). Tujuan utama dari kebanyakan pengembangan pasar dan produk adalah untuk mengamankan pertumbuhan jumlah dan laba pada masa depan, karena semakin cepat perkembangan teknologi dan semakin ketatnya persaingan global (Walker, Jr., Mullins, and Larreche, 2008, 180). Terakhir, diversification (diversifikasi). David (2003, 167) membagi strategi diversifikasi menjadi tiga jenis yaitu concentric (menambah barang atau jasa yang baru dan berhubungan), horizontal (menambah barang atau jasa yang baru namun tidak berhubungan untuk konsumen saat ini), dan conglomerate (menambah barang atau
24
jasa yang baru namun tidak berhubungan). Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 43) menjelaskan bahwa strategi ini memiliki tingkat risiko yang lebih besar daipada strategi lainnya karena sering kali mencakup pembelajaran atas sistem operasi yang baru dan harus berhubungan dengan kelompok konsumen yang tidak dikenal sebelumnya.
2. 3. Pemasaran
Kotler dan Keller (2009, 45) mendefinisikan pemasaran sebagai sebuah fungsi organisasi dan satu set proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai kepada konsumen dan untuk menjaga hubungan dengan konsumen untuk dapat memperoleh manfaat bagi perusahaan dan pihak lain yang berkaitan dengan perusahaan. Pemasaran merupakan sebuah fungsi organisasi dan sebuah
proses
gabungan
dalam
menciptakan,
mengkomunikasikan,
dan
menyampaikan nilai kepada konsumen dan untuk menjaga hubungan dengan konsumen yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan seluruh pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut (American Marketing Association, dalam McDaniel et al. 2007, 4). Quester, McQuiggan, Perreault, McCarthy (2004, 7) menyatakan bahwa pemasaran terdapat dalam tingkat makro dan mikro, sehingga pemasaran memiliki dua buah definisi, yaitu sebagai penciptaan dan penyampaian standar kehidupan dan
25
pemasaran memiliki arti yang lebih luas daripada pengiklanan dan penjualan. Dalam bentuk makro, pemasaran berhubungan dengan keseluruhan sistem produksidistribusi sedangkan pada tingkat mikro, pemasaran berhubungan dengan konsumen dan perusahaan yang melayani mereka. Definisi tersebut menekankan pada pentingnya keuntungan dari pertukaran yang dapat memenuhi tujuan dari pihak yang membeli dan pihak yang menjual ide, barang, dan jasa, baik individu maupun perusahaan (Kerin, Berkowitz, Hartley, dan Rudelius, 2003, 9). Solomon, Marshall, dan Stuart (2009, 31) mengungkapkan bahwa ide dasar dari definisi pemasaran yang rumit adalah memberikan nilai kepada setiap pihak yang terkena dampak dari sebuah transaksi. Bagian yang penting dari pemasaran adalah memenuhi kebutuhan yang berbeda dari seluruh pihak yang terkait dengan perusahaan. Kegiatan pemasaran memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan kegunaan, yang merupakan keseluruhan manfaat yang diperoleh ketika pembeli menggunakan barang atau jasa. Pusat dari kegiatan pemasaran, baik kegiatan yang besar atau kecil, adalah hubungan pertukaran, dimana pembeli mendapatkan sebuah objek, pelayanan, atau ide yang memuaskan kebutuhannya dan penjual memperoleh sesuatu yang sesuai dengan nilai tersebut.
2.4
Segmentasi, Penetapan target, dan Penempatan posisi
Kotler dan Keller (2009, 247) menyatakan bahwa pada dasarnya perusahaan tidak dapat berhubungan dengan seluruh konsumen pada pasar yang besar, luas, dan
26
berbeda-beda. Akan tetapi, perusahaan dapat membagi pasar tersebut menjadi kelompok konsumen atau segmen dengan perbedaan keinginan dan kebutuhan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perusahaan harus dapat mengidentifikasi segmen pasar yang dapat dilayani dengan efektif dan keputusan tersebut membutuhkan pemahaman yang dalam tentang perilaku konsumen dan pemikiran strategi yang efektif. Perusahaan selalu menghadapi risiko, seperti segmen pasar yang tidak lagi sesuai untuk dimasuki perusahaan ataupun ada pesaing yang menyerbu ke dalam pasar tersebut (Kotler dan Keller, 2009, 268). Jain dan Ramdas (2005, 362) berargumentasi bahwa untuk dapat bersaing secara efektif pada lingkungan yang terus berubah dengan cepat, adalah hal yang penting apabila perusahaan dapat mengurangi waktu dan biaya dengan melakukan penempatan posisi berulang kali, namun membuat sebuah pendekatan proaktif dalam memposisikan produk.
2.4.1 Segmentasi Segmen merupakan target pasar memungkinkan untuk dimasuki oleh perusahaan sehingga perusahaan dapat bersaing dalam pasar tersebut. Segmentasi menawarkan sebuah perusahaan sebuah kesempatan untuk mennghasilkan produk yang lebih baik dan sesuai dengan nilai yang menjadi syarat bagi pembeli. Sehingga segmentasi pasar merupakan proses dalam menempatkan pembeli dalam pasar sebuah produk menjadi kelompok yang lebih kecil dimana anggota dalam setiap segmen dapat menunjukkan tanggapan yang sama atas strategi penempatan posisi dari sebuah produk.
27
Kesamaan dari pembeli dapat dilihat dari jumlah dan frekuensi pembelian, kesetiaan terhadap sebuah barang, bagaimana produk tersebut digunakan, dan berbagai pengukuran lainnya (Cravens and Piercy, 2006, 99-100). Menurut Hooley, Piercy, and Nicoulaud (2008, 206) segmentasi pasar merupakan mengidentifikasi dasar yang paling produktif untuk membagi sebuah pasar, mengenali konsumen dalam segmen yang berbeda dan membangun penjelasan atas segmen tersebut. Segmentasi pasar memiliki peran kunci dalam strategi pemasaran dari hampir seluruh organisasi yang sukses dan merupakan alat pemasaran yang kuat karena beberapa alasan. Alasan penting lainnya adalah hampir seluruh pasar mencakup kelompok orang atau
kelompok dengan kebutuhan dan
keinginan yang berbeda. Segmentasi pasar membantu pemasar untuk mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen tersebut. Selain itu, karena segmen pasar berbeda dalam segi ukuran dan potensi, segmentasi membantu pengambil keputusan untuk lebih akurat mengetahui tujuan pemasaran dan mengalokasikan sumber daya dengan lebih baik. Pada akhirnya, diharapkan kinerja perusahaan dapat dievaluasi dengan lebih baik McDaniel, Lamb, Hair (2007, 187). Segmentasi pasar meningkatkan orientasi terhadap konsumen dengan menjaga bisnis memiliki hubungan yang dekat dengan konsumen sehingga dapat menghasilkan program pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (Alber, 2003; Beane dan Dennis, 1987; Freytag dan Clarke, 2001; dalam Dibb dan Simkin 2009, 376).
28
Menurut Kotler dan Keller (2009, 253), ada empat dasar yang sering kali digunakan dalam menentukan segmen pada pasar konsumen. Pertama, geographic segmentation (segmentasi geografis) yang merupakan pembagian pasar menjadi beberapa unit geografis yang berbeda seperti negara, negara bagian, regional, kota, dan lain-lain. Kedua, demographic segmentation (segmentasi demografis) yang merupakan pembagian pasar menjadi kelompok-kelompok yang didasarkan pada variabel seperti umur, ukuran keluarga, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras, generasi, kebangsaan, dan kelas sosial. Variabel dalam segmentasi demografis sangat popular dengan pemasar karena sering kali dikaitkan dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketiga, psychographic segmentation (segmentasi psikografis) yang merupakan pembagian menjadi kelompok-kelompok yang berbeda dengan dasar kepribadian, gaya hidup, atau nilai yang dimiliki. Keempat, behavioral segmentation (segmentasi keperilakuan) pembagian pembeli menjadi kelompok-kelompok yang didasarkan pada pengetahuan, sikap terhadap produk, penggunaan atas produk, dan respon terhadap produk.
2.4.2. Penetapan Target Target pasar merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas orang atau organisasi, dimana sebuah organisasi merancang, menjalankan, dan mempertahankan baur pemasaran untuk dapat memenuhi kebutuhan dari kelompok tersebut, serta juga menghasilkan pertukaran yang memuaskan bagi
29
kedua pihak (McDaniel, Lamb, dan Hair, 2007, 200). Craven dan Piercy (2006, 100) mengemukakan pendapat bahwa penetapan target pemasaran mencakup evaluasi dan pemilihan satu atau lebih segmen yang nilai persyaratannya sesuai dengan kemampuan perusahaan atau organisasi. Perusahaan tertarik hanya dengan sebagian orang atau organisasi dalam pasar produk, tergantung dengan bagaimana penetapan target atas pasar tersebut. Ada tiga strategi umum untuk memilih target pasar. Pertama, undifferentiated targeting strategy (strategi penetapan pasar yang tidak dibedakan) yang merupakan pendekatan pemasaran yang melihat pasar sebagai sebuah pasar besar tanpa pembagian segmen sehingga menggunakan sebuah baur pemasaran. Kedua, concentrated targeting strategy (strategi penetapan target sesuai konsentrasi), strategi yang digunakan untuk memilih sebuah segmen dari pasar sebagai upaya menetapkan target pemasaran. Ketiga, multisegment targeting strategy (strategi penetapan target untuk banyak segmen), sebuah strategi yang memilih dua atau lebih segmen pasar yang sudah terbentuk dan membangun sebuah baur pemasaran baru (McDaniel, Lamb, Hair, 2007, 201-203).
2.4.3. Penempatan posisi Penempatan posisi merupakan tanggapan dan sikap konsumen terhadap merek yang ada di pasar. Ada sebuah penjelasan yang jelas bahwa penempatan posisi terbentuk dari bagaimana manajer pemasaran ingin target pasarnya melihat baur pemasaran sehingga dapat membantu manajer mengerti
30
bagaimana
konsumen
menerima
produk
yang
dipasarkan
(Quester,
McQuiggan, Perreault, McCarthy, 2004, 167). Thomadsen (2007, 792) berpendapat bahwa pada saat melakukan penempatan posisi, manajer pemasaran harus mengetahui bagaimana pengaruh dari perbedaan produk terhadap persaingan. Hal ini didukung oleh Hooley, Piercy, and Nicoulaud, (2008, 206) yang menyatakan bahwa prinsip yang esensial dari penempatan posisi sesuai persaingan adalah bagaimana konsumen dalam pemasaran yang berbeda dapat menerima perusahaan, produk, maupun merek yang bersaing. Konsep dalam menempatkan posisi merupakan keinginan manajemen untuk memposisikan produk terhadap konsumen dalam target pasar dan menjadi makna umum yang dimengerti oleh konsumen, dengan relevansi terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen. Konsep dalam menempatkan posisi yang dapat berupa functional (produk yang dapat membantu menuntaskan masalah yang dialami konsumen), symbolic (kebutuhan internal pembeli untuk peran dalam sebuah posisi, keanggotaan sebuah kelompok, atau identifikasi ego), experiential (menyediakan kesenangan, variasi atau stimulasi kognitif), harus dapat dihubungkan dengan kebutuhan dan keinginan konsumen (Craven and Pierce, 179).
31
2.5. Baur Pemasaran
Pemasaran harus dapat dimengerti tidak dalam konteks sebatas melakukan penjualan, namun memuaskan kebutuhan konsumen (Armstrong dan Kotler, 2007, 5). Solomon, Marshall, dan Stuart (2009, 51) menjelaskan bahwa pada saat pemasar harus menentukan jalan yang terbaik untuk memasarkan barang atau jasa sesuai dengan pertimbangan dan kebutuhan pelanggan, pemasar membutuhkan banyak alat untuk melakukan analisa. Alat analisa strategi yang diperlukan oleh pemasar adalah marketing mix (baur pemasaran), yang terdiri dari alat yang digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan respon yang diharapkan dari pelanggan. Konsep baur pemasaran merupakan ide dasar dari pemasaran dan ilmu pemasaran membutuhkan klasifikasi yang kuat untuk baur pemasaran, tidak hanya untuk menstimulasi integrasi dan purification dari ilmu tersebut, tapi juga untuk pengukuran yang berarti mengenai upaya dan dampak dari baur pemasaran tersebut (Waterchoot dan Bulte, 1992). Elemen dari baur pemasaran ini dikenal dengan 4P, yaitu product (produk), price (harga), place (tempat), dan promotion (promosi).
2.5.1 Produk Armstrong dan Kotler (2007, 199-202) menjelaskan bahwa produk merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke sebuah pasar untuk perhatian, pembelian, penggunaan, atau konsumsi yang dapat memuaskan sebuah keinginan atau kebutuhan. Produk tidak hanya sekedar barang yang
32
dapat dikenali oleh panca indera (dilihat, didengar, dirasakan, diraba, ataupun dibaui), namun mencakup objek secara fisik, jasa, acara, orang, tempat, organisasi, ide, ataupun gabungan dari hal tersebut. Produk terbagi dalam dua kelas, didasarkan pada jenis konsumen yang menggunakannya, yaitu consumer products (produk konsumen) dan industrial product (produk industri). Produk konsumen terdiri dari convenience products yaitu barang dan jasa yang sering kali dibeli oleh pelanggan secara berkala, dengan upaya dan perbandingan yang minimum, shopping products yaitu barang dan jasa yang tidak dibeli pelanggan secara berkala, dan pelanggan melakukan perbandingan pada kualitas, harga, gaya, dan kesesuaian, specialty products yaitu barang dan jasa dengan karakterisitik yang unik atau identifikasi merek untuk sebuah kelompok pembeli yang memiliki keinginan untuk membuat upaya khusus dalam melakukan pembelian, dan unsought products yaitu produk yang tidak diketahui oleh pelanggan atau diketahui namun tidak dipikirkan oleh konsumen untuk membelinya. Pada saat perusahaan membuat strategi untuk produk, harus disadari bahwa pada kenyataannya, produk memiliki siklus hidup, yang terdiri dari introduction (pengenalan), growth (pertumbuhan), maturity (dewasa atau matang), dan decline (penurunan). Konsep siklus hidup dari sebuah produk ini harus diketahui karena dapat memberi nilai tambah dalam menciptakan strategi pemasaran (Peter dan Donnely, 2007, 88). Solomon, Marshall, dan Stuart (2009, 300) menjelaskan bahwa pada tingkat pengenalan, upaya yang dilakukan adalah agar pembeli mencoba
33
produk baru, penjualan mulai mengalami peningkatan namun dalam tingkat yang rendah sehingga perusahaan belum dapat memperoleh keuntungan. Pada tingkat pertumbuhan, penjualan meningkat secara tajam, keuntungan perusahaan pun meningkat bahkan bisa mencapai tingkat tertinggi. Pada tingkat kedewasa, penjualan mencapai tingkat tertinggi dan kemudian mulai menurun secara perlahan, keuntungan perusahaan menipis dan perusahaan mulai mencari pengguna baru. Pada tahap penurunan, penjualan dan keuntungan perusahaan akan terus mengalami penurunan dan perusahaan bisa menurunkan harga.
2.5.2 Harga Kotler, et al. (2009, 422) menyatakan bahwa harga merupakan elemen dari baur pemasaran yang menghasilkan pendapatan dan juga menimbulkan biaya. Melalui harga, terjalin komunikasi antara perusahaan dan pasar mengenai nilai yang terkandung dari produk atau jasa yang dihasilkan sehingga perusahaan dapat memposisikan produk atau jasa tersebut kepada konsumen. Secara tradisional, harga merupakan faktor yang paling menentukan keputusan pembeli, namun meskipun pada saat sekarang ini ada faktor lain yang berperan penting, harga tetap menjadi salah satu elemen penting yang menentukan pangsa pasar dan keuntungan perusahaan, khususnya di Asia. Dalam menentukan harga dari sebuah produk, ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu menentukan tujuan dari harga yang dapat terdiri
34
dari tiga kategori yaitu orientasi terhadap keuntungan, orientasi terhadap penjualan, dan status quo; kemudian memperkirakan permintaan, biaya, dan keuntungan. Selanjutnya, menentukan strategi dalam menentukan harga untuk membantu menentukan harga dasar. Strategi tersebut dapat terdiri dari price skimming (kebijakan penentuan harga dimana perusahaan menekankan pada harga yang tinggi saat memperkenalkan produk ke pasar), penetration pricing (kebijakan penentuan harga dimana perusahaan menetapkan harga yang cenderung rendah untuk dapat meraih mass market, dan status quo pricing (harga ditetapkan sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing). Langkah terakhir adalah melakukan taktik untuk fine-tuning harga dasar sehingga perusahaan dapat menyesuaikan dengan persaingan yang terjadi di pasar, perubahan regulasi pemerintah, mengambil keuntungan dari situasi permintaan yang unik, atau memenuhi tujuan promosi dan penempatan posisi produk (Lamb, Hair, dan McDaniel, 2005, 504).
2.5.3 Tempat Tempat menunjukan ketersediaan produk kepada pelanggan pada waktu dan lokasi yang diharapkan. Tempat memiliki hubungan dengan supply chain, keseluruhan perusahaan yang bekerja bersama untuk mendapatkan produk dari produsen kepada konsumen (Solomon, Marshall, dan Stuart, 2009, 52) Lebih lanjut dijelaskan bahwa distribusi merupakan batas akhir untuk kesuksesan pemasaran. Saat ini, banyak konsumen yang tidak percaya bahwa produk yang baru dan sudah diperbaiki merupakan produk yang benar-
35
benar baru dan sudah diperbaiki. Sering kali, peritel pun mencoba memperbesar pangsa pasar melalui strategi harga yang agresif. Iklan dan bentuk promosi lainnya sudah tidak terlalu memberi dampak karena begitu banyak dan tidak berbeda dengan pesaing. Oleh karena itu, pemasar mengetahui bahwa tempat mungkin satu-satunya elemen dalam 4P yang dapat digunakan untuk mendapatkan keunggulan bersaing, khususnya sejak banyak konsumen yang mengharapkan instant gratification dengan cara mendapatkan apa yang memang diinginkan (Solomon, Marshall, dan Stuart, 2009, 486). Strategi pemasar dalam mendistribusikan produk dapat mempengaruhi konsumen pada beberapa hal. Pertama, produk yang diletakan pada tempat yang nyaman untuk dibeli meningkatkan kesempatan untuk dapat ditemukan dan dibeli oleh konsumen. Kedua, produk yang dijual pada tempat yang ekslusif dapat dianggap konsumen sebagai produk yang memiliki kualitas tinggi. Ketiga, menawarkan produk dengan metode tanpa toko, seperti melalui internet atau katalog, dapat menciptakan persepsi konsumen bahwa produk tersebut inofatif, ekslusif, atau ditujukan pada target pasar yang spesifik (Peter dan Donnely, 2007, 45).
2.5.4 Promosi Promosi merupakan sebuah konsep yang menunjukan kombinasi dan jenis komunikasi yang dilakukan perusahaan baik secara perorangan maupun non-perorangan pada periode tertentu. Ada lima elemen dari promosi, empat diantaranya adalah bentuk komunikasi non-perorangan yaitu advertising,
36
sales promotion, public relations, and direct marketing, sedangkan yang terakhir adalah personal selling (penjualan langsung) yang merupakan bentuk komunikasi perorangan. Elemen promosi yang akan dibahas lebih dalam adalah mengenai penjualan langsung, karena obyek penelitian yang digunakan pada kasus ini menerapkan konsep penjualan langsung dalam upaya memasarkan produk.
2.5.4.1 Penjualan langsung Kotler dan Keller (2009, 484) mengemukakan bahwa meskipun 97% dari keseluruhan barang dan jasa dijual melalui toko, namun nonstore retailing telah tumbuh jauh lebih cepat daripada store retailing. Salah satu kategori dari nonstore retailing adalah penjualan langsung. Penjualan langsung merupakan metode pemasaran yang memiliki tingkat pertumbuhan yang signifikan pada penjualan dan patut diperhitungkan karena melibatkan banyak penjualan perorangan (Brodie, Stanworth, dan Watruba, 2002, 67). Peterson dan Watruba (1996, dalam Brodie, Stanworth, dan Watruba, 2002, 67) mendefinisikan penjualan langsung sebagai penjualan tatap muka di luar lokasi ritel yang tetap. Young and Albaum (2003, 253) mengemukakan bahwa penjualan langsung mencakup penjualan antara satu penjual dan satu pembeli yang terjadi di rumah atau tempat kerja penjual maupun pembeli, gereja, atau lokasi lainnya.
37
Ingram dan LaForge (1992, dalam O’Harra, 1993) menjelaskan bahwa penjualan langsung merupakan proses interpersonal, yang berorientasi pada pelanggan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan perusahaan pada jangka panjang. Menurut O’Harra (1993, 68) Ada beberapa program penjualan langsung yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, yaitu telemarketing, face-to-face encounters (pertemuan tatap muka), dan trade show (pameran). Lebih lanjut, O’Harra (1993, 68) menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari proses penjualan langsung, yaitu aktivitas sebelum penjualan yang mencakup menentukan kualifikasi calon konsumen, aktivitas saat terjadi penjualan dimana terdapat kebutuhan untuk menggabungkan pendapatan dan hasil puncak yang diperoleh saat penutupan penjualan, dan aktivitas setelah penjualan yang fokus pada permintaan servis dan permintaan yang diulangi. Dalam banyak situasi, penjualan langsung merupakan jalan terbaik untuk melakukan komunikasi dengan konsumen yang sudah menjadi pelanggan perusahaan maupun yang menjadi target potensial bagi perusahaan. Penjual perorangan yang efektif tidak hanya menjual barang kepada konsumen, namun membantu konsumen dalam melakukan pembelian dengan mengerti kebutuhan konsumen dan menjelaskan keunggulan dan kelemahan dari produk yang ditawarkan, yang akan menghasilkan kepuasan konsumen dan hubungan jangka
38
panjang yang baik (Quester, McQuiggan, Perreault, McCarthy, 2004, 517). Mengacu pada penelitian Joshi dan Randall (2001, dalam Jaramillo dan Grisaffe, 2009, 169), dalam lingkungan penjualan langsung, orientasi terhadap pelanggan memiliki pengaruh positif pada kinerja penjual perorangan, karena cenderung akan mengabaikan taktik penjualan yang merugikan pelanggan dan membangun sebuah hubungan yang mengarah pada peningkatan kepuasan konsumen dalam jangka panjang. Hal ini didukung oleh Rackham dan de Vicentis (1999, dalam Pelham, 2009, 22) yang memiliki argumen bahwa penjualan yang dilakukan saat ini harus dapat menghasilkan nilai bagi konsumen, tidak hanya dikomunikasikan, karena semakin banyak pelanggan yang mencari produk berdasarkan kustomisasi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Pentingnya sales-force yang berorientasi pada perilaku konsumen telah diuji dalam berbagai penelitian (Franke & Park, 2006; Pettijohn, Pettijohn, dan Taylor, 2007; Predmore dan Bonnice, 1994; Ramsey dan Sohi, 1997; dan Williams, 1998) yang menunjukkan pengaruh positif salesperson adaptive selling, customer orientation, listening behaviors dalam menciptakan hubungan konsumen yang efektif (Pelham, 2009, 22). Ada tiga hubungan tradisional penjualan langsung seperti yang terdapat pada gambar 2.2. Pada struktur penjualan langsung dibawah,
39
perusahaan penjualan langsung menyediakan perlengkapan penjualan produk dan pelatihan mengenai penjualan kepada penjual perorangan yang merupakan perwakilan dari perusahaan yang akan menjual barang kepada konsumen melalui demonstrasi produk secara langsung (Ferrell, Gonzales-Padron, Ferrell, 2010, 158).
Perusahaan Penjualan Langsung
Pelatihan produk dan penjualan, Laporan penjualan, motivas, dan proses permintaan
Merek
Pelanggan
Perwakilan Penjualan Langsung
Gambar 2.2 Hubungan Tradisional pada Penjualan Langsung Sumber: Ferrell, Gonzales-Padron, Ferrell (2010, 158)
Dalam perusahaan penjualan langsung, terdapat dua jenis struktur organisasi yang dikenal dengan single level dan multi level (Bordie, Stanworth, dan Watruba, 2002, 67). Sparks dan Schenk (2006, 161) mendeskripsikan pemasaran multi tingkat sebagai jaringan dari anggota penyalur yang memperoleh penghasilan melalui penjualan produk dan perekrutan anggota. Anggota mengoperasikan jaringan distribusi dengan cara membeli persediaan berupa barang yang memiliki merek dari perusahaan dan kemudian menjual kembali barang
tersebut
kepada
konsumen.
Sebagai
insentif
untuk
40
meningkatkan pertumbuhan perusahaan, anggota memperoleh komisi atas penjualan barang yang dilakukan oleh member baru yang direkrut oleh anggota tersebut.
2.6
Manajemen Hubungan Pelanggan
Baran, Galka, Strunk (2008, 6) menyatakan bahwa manajemen hubungan pelanggan merupakan automasi dari proses bisnis yang terintegrasi secara horizontal mencakup bagian yang berhubungan dengan penjualan dari pelanggan (manajemen hubungan, konfigurasi produk), pemasaran (manajemen kampanye), dan pelayanan pelanggan melalui beberapa jalur yang terhubung (telepon, e-mail, web, dan interaksi langsung).
Manajemen
hubungan
pelanggan
didefinisikan
sebagai
praktek
menganalisa dan menggunakan data pemasaran dan peningkatan teknologi komunikasi untuk menentukan praktik perusahaan dan metode yang dapat memaksimalkan nilai dari setiap individu pelanggan kepada perusahaan. Sedangkan dari sudut pandang strategi bisnis, manajemen hubungan pelanggan adalah proses strategis dalam memilih pelanggan yang dapat dilayani oleh perusahaan untuk memperoleh laba dan membentuk interaksi antara perusahaan dan pelanggan (Kumar dan Reinartz, 2006, 5). Zeithaml, Bitner, dan Gremler (2009, 176) mengungkapkan bahwa manajemen hubungan merupakan filosofi dalam menjalankan bisnis, sebuah orientasi strategis, yang fokus pada menjaga dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan
41
saat ini sehingga dapat terjalin hubungan yang akan terus berjalan dengan sebuah perusahaan daripada beralih secara terus menerus ke penyedia barang lainnya untuk mencari nilai yang terbaik. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa fokus pemasaran yang awalnya tertuju pada transaksi antara penyedia barang dan pembeli memiliki potensi untuk berevolusi menjadi hubungan antara perusahaan dan pelanggan, dimana pada awalnya pelanggan adalah orang yang tidak dikenal, yang dikenal, teman, dan rekan. Oleh karena itu, melalui manajemen hubungan pelanggan ini diharapkan perusahaan dapat memperoleh, memuaskan, mempertahankan, dan memperbesar nilai pelanggan. Tujuan dari setiap strategi manajemen hubungan pelanggan adalah untuk mengembangkan hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan, dan banyak perusahaan yang melakukannya dengan menghilangkan biaya hubungan tersebut atau meningkatkan pendapatan yang diperoleh dari hubungan dengan pelanggan. Sehingga tujuan inti dari manajemen hubungan pelanggan adalah keuntungan pelanggan (Buttle, 2004, 56). Lovelock dan Wirtz (2007, 381) menjelaskan tujuan dari manajemen hubungan pelanggan dari dua sudut pandang. Melalui sudut pandang pelanggan, sistem manajemen hubungan pelanggan yang berjalan dengan baik dapat menggabungkan
customer
interface
yang
memberikan
customization
dan
personalization. Sedangkan melalui sudut pandang perusahaan, sistem manajemen hubungan pelanggan membuat perusahaan dapat lebih baik dalam memahami konsumen, membagi segmen konsumen, target promosi dan penjualan silang, bahkan mengimplementasikan sistem yang dapat memberi tanda kepada pelanggan apabila berada dalam bahaya karena kegagalan produk.
2.7
42
Merek Proses pemasaran merek merupakan inti dari komunikasi pemasaran dan
kesuksesan dari sebuah merek tergantung pada bagaimana pemilik merek tersebut mengkomunikasikannya kepada publik. Merek merupakan produk dari sebuah perusahaan yang digunakan untuk membedakan perusahaan dari pesaingnya dengan mengkaitkan barang dan jasa tersebut kepada nilai dan asosiasi lain yang dapat dikenali dan memiliki nilai positif bagi pelanggan (Egan, 2007, 79). Melalui definisi ini, cara untuk menciptakan merek adalah dengan memilih sebuah nama, logo, simbol, desain kemasan, atau karakteristik lain yang dapat mengidentifikasi produk dan membedakannya dari produk lain (Keller 2008, 2). Mengacu pada Solomon, Marshall, dan Stuart (2008, 289), ada sepuluh karakteristik yang dapat membuat merek menjadi sukses. Pertama, manfaat yang diberikan merek melebihi keinginan konsumen. Kedua, merek tetap relevan. Ketiga, strategi menentukan harga didasarkan pada persepsi konsumen terhadap nilai. Merek memiliki posisi yang baik, merek yang konsisten, dan merek yang memiliki portfolio dan hirarki yang masuk akal menjadi karakteristik keempat, kelima, dan keenam. Selanjutnya, karakteristik ketujuh adalah melalui merek dapat terkoordinir kegiatan untuk membangun ekuitas. Kedelapan, manajer merek mengerti arti merek bagi konsumen. Merek memberikan dukungan yang dapat bertahan pada jangka panjang dan perusahaan dapat mengawasi sumber dari ekuitas merek menjadi karaktersitik yang kesembilan dan kesepuluh.
43
Lebih lanjut, Solomon, Marshall, dan Stuart (2008, 287) menjelaskan bahwa merek sangat penting karena merek yang baik dapat membangun koneksi emosi dengan konsumen, merek yang kuat tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen secara rasional, namun menciptakan reaksi emosi. Delgado-Ballester dan MunueraAleman (2005) menyatakan bahwa membangun merek yang kuat merupakan tujuan dari sebagian besar perusahaan karena dapat memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan, seperti mengurangi persaingan dalam tindakan pemasaran, margin yang lebih besar, kerja sama yang lebih kuat, serta kesempatan dan dukungan untuk melakukan brand extension. Melalui merek, ada tiga tujuan yang dapat dicapai yaitu identifikasi produk, pengulangan penjualan, dan penjualan produk baru (Lamb, Hair, dan Daniel 2005, 273). Oleh karena itu, membangun dan mengelola ekuitas merek dengan benar sangat penting bagi kebanyakan perusahaan (Liaogang, Gao, dan Liu, 2007, 77).
2.7.1. Brand Management (Manajemen Merek) Mengacu pada Berthon, Ewing, dan Napoli (2008, 29), manajemen merek adalah proses menciptakan, mengkoordinasikan, dan mengawasi interaksi yang terjadi antara perusahaan dan pihak lain yang terkait dengan perusahaan, seolah-olah terdapat konsistensi antara visi sebuah perusahaan dan kepercayaan dari pihak lain yang terkait dengan perusahaan mengenai sebuah merek. Pebisnis dan investor mengenali merek sebagai asset perusahaan yang memiliki nilai paling tinggi. Merek memberikan konsumen sebuah identitas, menstimulasi pikiran, dan memperkaya pengalaman hidup mereka (Roll,
44
2006). Lebih lanjut, Kwun (2010, 183) menjelaskan bahwa dalam memperkenalkan sebuah merek, tingkat kegagalan yang dapat terjadi cukup tinggi dan juga dibutuhkan investasi yang besar, sehingga banyak perusahaan yang fokus pada nama merek saat memasuki sebuah pasar dan bertumbuh dengan sukses. Boyle (2007, 126) mengemukakan bahwa manajemen merek dapat ditingkatkan melalui keterlibatan di berbagai kegiatan seperti menciptakan sebuah produk baru, mengeksplorasi alternatif bentuk komunikasi pemasaran, membangun hubungan yang baik dengan konsumen, dan meyakinkan ekuitas antara harga merek dengan nilai konsumen. Perusahaan harus menekankan fokus yang lebih besar terhadap upaya mereka dalam menciptakan sebuah brand image yang memiliki kelas tersendiri dalam sebuah pasar. Hal ini didasarkan pada seiring bertumbuhnya merek dan perusahaan, penekanan manajerial harus berubah untuk membuat sebuah merek yang dapat dikenang, meyakinkan bahwa asosiasi merek yang positif dapat selalu diingat oleh konsumen dan meningkatkan hubungan antara brand image dan produk lain dalam portfolio perusahaan. Oleh karena itu, upaya pemasaran seharusnya lebih ditekankan secara langsung terhadap membangun dan menjaga brand image yang positif dalam pikirian pihak lain yang memiliki hubungan dengan perusahaan (Berthon er al., 2008, 30).
45
2.7.2. Brand Image Mengacu pada Aaker (1996) yang mendefinisikan brand image sebagai persepsi yang diterima konsumen dan pihak lain mengenai sebuah merek dan Keller (1998) yang mengembangkannya menjadi persepsi mengenai sebuah merek yang direfleksikan melalui asosiasi merek yang terdapat pada memori konsumen, maka Smith (2004, 458) mengakui brand image sebagai sebuah model yang dibangun secara multidimensi dan memiliki konsep yang lebih luas daripada asosiasi merek dan asosiasi tersebut dipindahkan dari merek ke dalam memori konsumen. Asosiasi tersebut terbagi menjadi atribut fungsi dari sebuah merek atau atribut simbol dari merek (Burman, Schaefer, dan Maloney, 2008, 158). Silva dan Alwi (2008, 120) menjelaskan bahwa brand image perusahaan yang sangat positif tidak hanya membuat perusahaan memiliki keunggulan bersaing, namun juga mendorong terjadinya pembelian berulang. Brand image menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku konsumen dalam melakukan pembelian. Dikarenakan pentingnya brand image bagi perilaku dari berbagai kelompok, maka perlu diperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi brand image yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu faktor penentu yang berasal dari identitas sebuah merek yang secara langsung berpengaruh terhadap manajemen merek, faktor penentu dari setiap individu seperti motivasi dan pengalaman yang dimiliki mengenai sebuah merek, dan faktor eksternal yang mempengaruhi brand image dari luar perusahaan yang tidak dapat dipengaruhi secara langsung oleh manajemen
46
merek seperti image atas industri (Burman, Schaefer, dan Maloney, 2008, 158).
2.7.3. Brand Equity (Ekuitas Merek) Shiffman dan Kanuk (2007, 224) menyatakan bahwa ekuitas merek merupakan nilai yang terkandung dalam nama merek yang terkenal, dimana nilai tersebut berakar dari persepsi konsumen mengenai keunggulan merek, penilaian sosial yang dimiliki konsumen apabila menggunakan merek, serta kepercayaan dan identifikasi konsumen atas merek. Sedangkan Duncan (2005, 93) berpendapat bahwa ekuitas merek merupakan nilai tidak nyata dari sebuah perusahaan diluar nilai fisik perusahaan tersebut. Menurut Aaker (1991, dalam Chattopadhyay, Shivani, dan Krishnan, 2010, 68) ekuitas merek adalah konsep
multi dimensi yang terdiri dari brand loyalty, brand awareness,
perceived quality, brand association, other proprietary brand assets. Mengacu pada Peter dan Olson (2005, 137), ekuitas merek fokus pada nilai dari merek untuk pemasar dan konsumen. Dari sudut pandang pemasar, ekuitas merek dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar, arus kas yang lebih banyak, dan pangsa pasar yang lebih besar. Sedangkan dari sudut pandang konsumen, ekuitas merek mencakup evaluasi yang baik mengenai merek yang didasarkan pada arti dan kepercayaan yang dapat diterima oleh memori. Hal tersebut dapat menciptakan hubungan konsumen dan merek yang kuat dan baik yang menjadi modal yang penting bagi perusahaan. Keuntungan terbesar yang dapat dihasilkan dari ekuitas merek adalah dapat mempengaruhi
47
pemilihan keputusan konsumen (Erdem, et al., 1999, dalam Chattopadhyay, Shivani, dan Krishnan, 2010, 68). Lebih lanjut, Peter dan Olson (2005, 138) menjelaskan bahwa untuk menghasilkan ekuitas merek, dapat diperoleh melalui tiga cara. Cara yang pertama adalah membangun ekuitas merek dengan meyakinkan bahwa pada dasarnya merek menghasilkan konsekuensi yang positif dan secara konsisten mengiklankan konsekuensi yang penting tersebut. Cara kedua adalah meminjam ekuitas merek dengan memperluas nama merek yang positif ke produk lain. Cara ketiga adalah membeli ekuitas merek dengan membeli merek yang sudah memiliki ekuitas.