BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini diuraikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, serta beberapa literatur mengenai metode AHP guna untuk memutuskan rekomendasi yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang ada 2.1 Tinjauan Umum Perusahaan PT. Toyota – Astra Motor merupakan ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk) yang diresmikan pada tanggal 12 April 1971 sebagai Distributor kendaraan merk Toyota di Indonesia, PT. Toyota – Astra Motor merupakan gabungan dari tiga perusahaan antara lain : PT. Multi Astra (Pabrik Perakitan, PT. Toyota Mobilindo (Pabrik Komponen Bodi), PT. Toyota Engine Indonesia (Pabrik Mesin). PT. Toyota – Astra Motor dalam proses operasionalnya dikelompokan menjadi 2 struktur direktorat, yaitu direktorat Marketing dan direktorat Finance and Administration Support (FASS). Direktorat Marketing merupakan direktorat yang terdiri dari beberapa divisi dan departemen, dimana setiap divisi mempunyai peran masing – masing dalam mendukung kegiatan proses bisnis itu sendiri.
7
8
Dalam tugas akhir ini, penulis akan membahas salah satu fungsi utama dari direktorat Marketing khususnya pada Divisi Vehicle Logistic Division di Departemen PIO (Port Installation Optional). PIO merupakan Departemen yang bertugas untuk melaksanakan kegiatan produksi berupa pemasangan aksesoris dari setiap kendaraan Toyota sebelum dijual ke main dealer seluruh Indonesia. Ruang lingkup kerja dari Departemen PIO dibagi menjadi dua area yang berbeda yaitu di Sunter dan di Cibitung. Untuk area PIO Sunter sendiri proses produksi pemasangan aksesoris dilakukan pada kendaraan (CKD) model Toyota Avanza dan Toyota Rush, sedangkan di PIO Cibitung hampir semua model Toyota proses pemasangan aksesorisnya dilakukan disana baik itu kendaraan (CBU) model Alphard, Vellfire, Hiace, FT-86 TRD, New Camry, Hilux, New Corolla Altis & (CKD) model Kijang Innova, Fortuner, Etios, Agya, Vios, Yaris. Proses produksi dalam kegiatan pemasangan aksesoris ini dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pemasangan, PT. AKY yang berada di area PIO Sunter dan PT. SMI berada di area PIO Cibitung. Sistem informasi yang diterapkan dapat digambarkan pada gambar 2.1 secara singkat sebagai berikut :
INPUT
PROSES
OUTPUT
Part accessories & Semi finish good vehicle
Installation Process & Inspection (QC)
Finish Good Vehicle
Gambar 2.1 Sistem Informasi PIO
9
1
Customer
Domestic Port Installation Option
Dealers
2
CBU
1
Customer
Gambar 2.2. Flow Process Vehicle 2.2 Tempat Kerja Pengertian (Definisi) Tempat Kerja dalam K3 secara umum merujuk pada 2 (dua) sumber yaitu : Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta OHSAS 18001:2007 Occupational Health & Safety Management System. Pengertian (Definisi) Tempat Kerja menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1970 ialah tiap ruangan atau lapangan baik terbuka atau tertutup, bergerak maupun menetap dimana terdapat tenaga kerja yang bekerja atau sering dimasuki orang bekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci sebagai berikut :
10
1. Tempat kerja baik di darat, di permukaan air, di dalam tanah, di dalam air maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. 2. Tempat kerja dimana dibuat, dicoba, dipakai atau yang menggunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan ataupun instalasi berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran ataupun peledakan. 3. Dibuat, diolah, digunakan, dijual, diangkut ataupun disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, ataupun bersuhu tinggi. 4. Dikerjakan pembangunan (konstruksi), perbaikan, perawatan, pembersihan ataupun pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan bawah tanah, dsb atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan. 5. Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu ataupun hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan. 6. Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam ataupun bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak ataupun mineral lainnya baik di permukaan maupun di dalam bumi ataupun di dasar perairan. 7. Dilakukan pengangkutan barang, binatang ataupun manusia baik di darat, melalui terowongan, di permukaan air, di dalam air maupun di udara. 8. Dikerjakan bongkar muat barang muatan pada kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun, ataupun gudang.
11
9. Dilakukan penyelaman, pengambilan benda ataupun pekerjaan lain di dalam air. 10. Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah ataupun perairan. 11. Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan. 12. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara ataupun suhu udara yang tinggi ataupun rendah. 13. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan benda, terkena lemparan benda, terjatuh ataupun terperosok, hanyut ataupun terlempar. 14. Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur ataupun lubang. 15. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian (yang berhubungan) dengan tempat kerja tersebut. Sedangkan
pengertian
(definisi)
tempat
kerja
menurut
OHSAS
18001:2007 ialah lokasi manapun yang berkaitan dengan aktivitas kerja di bawah kendali organisasi (perusahaan). 2.3 Bahaya 2.3.1 Pengertian Bahaya Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau berpotensi terhadap terjadinya kejadian kecelakaaan berupa cedera, penyakit, kematian, kerusakan atau kemampuan melaksanakan fungsi operasional yang telah ditetapkan (Tarwaka, 2008).
12
Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Karena hadirnya bahaya maka diperlukan upaya pengendalian agar bahaya tersebut tidak menimbulkan akibat yang merugikan (Soehatman Ramli, 2010). Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan. Bahaya tersebut disebut potensial, jika faktorfaktor tersebut belum mendatangkan kecelakaan. Jika kecelakaan terjadi, maka bahaya tersebut sebagai bahaya nyata (Suma’mur,1981). 2.3.2 Sumber Bahaya Menurut Syukri Sahab (1997) kecelakaan dan penyakit akibat kerja terjadi karena adanya sumber-sumber bahaya di lingkungan kerja. Sumber bahaya berasal dari : 1) Bangunan, peralatan, dan instalasi. Bahaya dari bangunan, peralatan, dan instalasi perlu mendapat perhatian. Konstruksi bangunan harus kokoh dan memenuhi syarat. Disain ruangan dan tempat kerja harus menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Pencahayaan dan ventilasi harus baik. Tersedia penerangan darurat yang diperlukan. Jalan dan gang harus diberi marka yang jelas. Pada tempat yang memerlukan dipasang rambu sesuai keperluan. Tersedianya jalan penyelamatan diri yang diperlukan lebih dari satu pada sisi yang berlawanan. Pintu harus membuka keluar untuk memudahkan keluar untuk memudahkan penyelamatan diri.
13
Instalasi harus memenuhi persyaratan keselamatan kerja baik dalam desain maupun konstruksi. Sebelum penggunaan harus diuji terlebih dahulu serta diperiksa oleh suatu tim ahli. Kalau diperlukan modifikasi harus sesuai dengan persyaratan bahan dan konstruksi yang ditentukan. Sebelum operasi harus dilakukan percobaan operasi untuk menjamin keselamatannya serta dioperasikan oleh operator yang memenuhi syarat. Dalam industri digunakan berbagai peralatan yang mengandung bahaya. Apabila tidak dipergunakan dengan semestinya serta tidak dilengkapi dengan alat pelindung dan pengaman, peralatan itu bias menimbulkan macam-macam bahaya seperti : kebakaran, sengatan listrik, ledakan, luka atau cidera. Agar peralatan ini aman dipakai maka perlu pengaman yang telah diatur oleh peraturan - peraturan dibidang keselamatan kerja. Untuk peralatan yang rumit pengoperasiannya perlu disediakan semacam petunjuk sebagai daftar periksa pengoperasiannya. 2) Bahan Bahaya dari bahan meliputi berbagai risiko sesuai dengan sifat bahan antara lain : a) Mudah terbakar b) Mudah meledak. c) Menimbulkan alergi atau iritasi. d) Bersifat racun. e) Radioaktif. f) Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh. g) Mengakibatkan kelainan pada janin. h) Menyebabkan kanker.
14
Setiap bahan kimia berbahaya harus dilengkapi dengan Lembar Data Keselamatan Kerja (LDKB) atau Material Safety Data Sheet (MSDS). LDKB ini dapat diminta kepada pemasok dengan memasukannya dalam kontrak pembelian bahan. 3) Proses Bahaya dari proses sangat bervariasi tergantung teknologi yang digunakan. Proses yang digunakan di industri ada sederhana tetapi ada proses yang rumit. Ada proses yang berbahaya dan ada pula proses yang kurang berbahaya. Dari proses itu kadang-kadang timbul asap, debu, panas, bising, dan bahaya mekanis seperti : terjepit, terpotong, tertimpa bahan. Hal ini dapat berakibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dalam proses banyak bahan kimia yang digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong. Ada bahan kimia yang merupakan hasil sampingan. Sebagian bahan tersebut termasuk bahan kimia berbahaya seperti bahan mudah terbakar, meledak, iritan, dan beracun. 4) Cara kerja Bahaya dari cara kerja dapat membahayakan tenaga kerja itu sendiri dan orang lain disekitarnya. Cara kerja yang demikian antara lain ; a) Cara mengangkat dan mengangkut, apabila dilakukan dengan cara yang salah dapat mengakibatkan cidera dan yang paling sering adalah cidera pada tulang punggung. Juga sering terjadi kecelakaan sebagai akibat cara mengangkat dan mengangkut. b) Cara kerja yang mengakibatkan hamburan debu dan serbuk logam percikan api serta tumpahan bahan berbahaya.
15
c) Memakai alat pelindung diri yang tidak semestinya dan cara memakai yang salah. 5) Lingkungan kerja terdiri dari : faktor lingkungan fisik, kimia, biologik, ergonomik, psikologik yang dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja serta penurunan produktivitas dan efisiensi kerja. a) Bahaya yang bersifat fisik seperti ruangan yang terlalu panas,terlalu dingin, bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan, radiasi. Keadaan tempat kerja yang terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah, karena kehilangan cairan dan garam. Bila panas dari lingkungan berlebihan suhu tubuh akan meningkat yang akan menimbulkan gangguan kesehatan. Pada keadaan yang berat suhu tubuh sangat tinggi yang mengakibatkan pingsan atau kematian. Keadaan ruangan yang terlalu dingin juga akan menyebabkan tenaga kerja sering sakit sehingga akan menurunkan daya tahan tubuhnya. (1) Kebisingan mengganggu konsentrasi, komunikasi, dan kemampuan berpikir. Kebisingan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan daya dengan mula-mula bersifat sementara tetapi kemudian akan bersifat permanen. Nilai ambang batas kebisingan adalah 85 db A untuk tenaga kerja yang bekerja 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. (2) Pencahayaan penting untuk efisiensi kerja. Pencahayaan yang kurang memadai atau menyilaukan akan melelahkan mata. Kelelahan mata akan menimbulkan rasa kantuk dan hal ini
16
berbahaya
bila
tenaga
kerja
mengoperasikan
mesin-mesin
berbahaya sehingga dapat menyebabkan kecelakaan. Untuk pengaturan intensitas pencahayaan telah diatur dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 7 Tahun 1964. (3) Getaran yang berlebihan menyebabkan berbagai penyakit pada pembuluh darah, syaraf, sendi, tulang punggung. (4) Radiasi panas akan menyebabkan suhu tubuh meningkat dan akibatnya sama dengan ruang kerja yang panas. Selain itu terdapat berbagai radiasi seperti radiasi dari bahan radioaktif, radiasi sinar X, dan radiasi gelombang mikro yang dapat menimbulkan berbagai penyakit pada tenaga kerja. b) Bahaya yang bersifat kimia berasal dari bahan-bahan yang digunakan maupun bahan yang dihasilkan selama proses produksi. Bahan ini terhambur ke lingkungan karena cara kerja yang salah, kerusakan dari peralatan atau instalasi digunakan dalam proses kerja. Bahaya yang timbul sesuai dengan sifat bahan yang terhambur ke lingkungan kerja tersebut. Bahan kimia dapat menimbulkan gangguan baik lokal maupun sistemik. Gangguan lokal adalah kelainan yang timbul di tempat bahan kimia kontak dengan tubuh, yaitu kulit dan selaput lendir yang menimbulkan gejala sistemik. Jalan masuk bahan kimia kedalam tubuh adalah : melalui kulit, pernafasan, dan pencernaan. Gejala yang timbul bias bersifat akut atau kronis tergantung pada pola pemaparan. c) Bahaya biologik disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari serangga maupun dari binatang lain yang ada di tempat kerja. Berbagai macam
17
penyakit dapat timbul seperti infeksi, alergi, dan sengatan serangga maupun gigitan binatang berbisa yang menimbulkan berbagai penyakit serta bisa menyebabkan kematian. d) Bahaya psikologik seperti gangguan jiwa yang dapat terjadi karena keadaan lingkungan sosial tempat kerja yang tidak sesuai dan menimbulkan ketegangan jiwa pada tenaga kerja, seperti keharusan mencapai target produksi yang terlalu tinggi diluar kemampuan, hubungan atasan dan bawahan yang tidak serasi. Gangguan jiwa ini dapat timbul dalam bentuk gangguan fisik seperti tekanan darah yang meningkat. Keadaan ini dikenal sebagai penyakit psikosomatik. Stres di tempat kerja bias memperlihatkan gejala massal yang dikenal dengan hysteria massal. e) Gangguan yang bersifat fatal karena beban kerja yang terlalu berat, peralatan yang digunakan tidak serasi dengan tenaga kerja. Pengaturan kecepatan ban berjalan misalnya yang perlu diatur sesuai dengan kecepatan operator melayaninya agar tidak stres. 2.3.3 Jenis Bahaya Menurut Soehatman Ramli (2010) jenis bahaya ada 5 (lima) yaitu : a) Bahaya mekanis Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda bergerak dengan gaya mekanika baik yang digerakkan secara manual penggerak. Misalnya : gerinda, bubut, potong, press, tempa pengaduk. Bagian yang bergerak pada mesin mengandung bahaya seperti gerakan mengebor, memotong, menempa, menjepit, menekan. Gerakan
18
mekanis ini dapat menimbulkan cedera atau kerusakan seperti tersayat, terjepit, terpotong, dan terkupas. b) Bahaya listrik Bahaya listrik bersumber dari energi listrik yang dapat mengkibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik, dan hubungan arus pendek. Di lingkungan kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik dari jaringan listrik, maupun peralatan kerja atau mesin yang menggunakan listrik. c) Bahaya kimiawi Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan kimia antara lain : (1) Keracunan oleh bahan kimia yang bersifat beracun (toxic). (2) Iritasi oleh bahan kimia yang memiliki sifat iritasi seperti asam keras, cuka air aki. (3) Kebakaran dan peledakan. Beberapa jenis bahan kimia memiliki sifat mudah terbakar dan mledakmisalnya golongan senyawa hidrokarbon seperti minyak tanah, premium, LPG. (4) Polusi dan pencemaran lingkungan. d) Bahaya fisis Bahaya yang berasal dari faktor fisis antara lain : (1) Bising yang dapat mengakibatkan bahaya ketulian tau kerusakan indera pendengaran. (2) Tekanan (3) Getaran (4) Suhu panas atau dingin.
19
(5) Cahaya atau penerangan. (6) Radiasi dari bahan radioaktif, sinar ultra violet, dan sinar infra merah. e) Bahaya biologis Di berbagai lingkungan kerja terdapat bahaya yang bersumber dari unsur biologis seperti flora dan fauna yang terdapat di lingkungan kerja atau berasal dari aktivitas kerja. Potensi bahaya ini ditemukan dalam industri makanan, farmasi, pertanian dan kimia, pertambangan, minyak dan gas bumi. 2.3.4 Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya merupakan suatu proses yang dapat dilakukan untuk mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat kerja. Suatu bahaya di tempat kerja mungkin tampak jelas dan kelihatan, seperti: sebuah tangki berisi bahan kimia, atau mungkin juga tidak tampak dengan jelas atau tidak kelihatan, seperti: radiasi, gas pencemar di udara (Tarwaka, 2008). Identifikasi bahaya merupakan suatu proses aktivitas yang dilakukan untuk mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat kerja. Menurut Tarwaka (2008), proses identifikasi bahaya adalah : 1) Membuat daftar semua objek (mesin, peralatan kerja, bahan, proseskerja, sistem kerja, kondisi kerja) yang ada di tempat kerja. 2) Memeriksa semua objek yang ada di tempat kerja dan sekitarnya.
20
3) Melakukan wawancara dengan tenaga kerja yang bekerja di tempat kerja yang berhubungan dengan objek-objek tersebut. 4) Mereview kecelakaan, catatan P3K, dan informasi lainnya. 5) Mencatat seluruh hazard yang telah teridentifikasi. 2.3.5 Definisi Keselamatan dan Kesehatan Keselamatan kerja adalah membuat kondisi kerja yang aman dengan dilengkapi alat-alat pengaman, penerangan yang baik, menjaga lantai dan tangga bebas dari air, minyak, nyamuk dan memelihara fasilitas air yang baik Agus, (1989). Menurut Malthis & Jackson (2002), Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum. Pendapat lain menyebutkan bahwa keselamatan kerja berarti proses merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan dalam bekerja Hadiguna (2009). Suma’mur (1981), tujuan keselamatan kerja adalah a) Para pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, b) Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja dapat digunakan sebaikbaiknya. c) Agar semua hasil produksi terpelihara keamanannya d) Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan gizi pegawai. e) agar dapat meningkatkan kegairahan, keserasian dan partisipasi kerja. f) terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
21
g) agar pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja. Husni, L (2005) menyatakan bahwa keselamatan kerja bertalian dengan kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah kecelakaan industri. Kecelakaan industri ini secara umum dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas. Menurut Hadiguna (2009), kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan sampai yang paling berat, dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total. Menurut Undang-undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, Bab I Pasal 2, keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan yang meliputi keadaan jasmani, rohani dan kemasyarakatan, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan-kelemahan lainnya. Menurut Rivai,V (2003) pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan cara a) Mengurangi timbulnya penyakit, b) Penyimpanan catatan tentang lingkungan kerja, c)Memantau kontak langsung, d) Penyaringan genetik. 2.3.6 Sistem Manajeman Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem yang dirancang untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel di tempat kerja agar tidak menderita luka maupun menyebabkan penyakit di tempat kerja dengan mematuhi/ taat pada hukum dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja, yang tercermin pada perubahan sikap menuju keselamatan di tempat kerja Dewi,R (2006). Menurut Argama, (2006), program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
22
(K3) adalah suatu system program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Dessler (1993) mengatakan bahwa program keselamatan dan kesehatan kerja diselenggarakan karena tiga alasan pokok yaitu moral, hukum dan ekonomi. Modjo,R (2007), manfaat penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan antara lain a) Pengurangan Absentisme, b) Pengurangan Biaya Klaim Kesehatan, c) Pengurangan Turnover Pekerja, d) Peningkatan Produktivitas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Ratna (2006) menunjukkan
bahwa
secara
individual
maupun
bersama-sama
program
keselamatan dan kesehatan kerja berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja. 2.4 Analytic Hierarchy Process (AHP) 2.4.1 Pengertian Analytic Hierarchy Process (AHP) menurut Wayan & Ernawati (2007) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun suatu prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi criteria). Karena sifatnya yang multi kriteria, AHP cukup banyak digunakan dalam penyusunan prioritas. Sebagai contoh, untuk menyusun prioritas penelitian, pihak manajemen lembaga penelitian sering menggunakan beberapa kriteria seperti dampak penelitian, biaya, kemampuan SDM, dan juga mungkin waktu pelaksanaan. AHP diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun (1970) di Wharton school dan dipergunakan untuk menyelesaikan
23
permasalahan yang kompleks dimana data dan informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat sedikit. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah kedalam kelompok – kelompoknya dan kelompok – kelompok tersebut menjadi suatu bentuk hirarki. Hirarki dapat didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok – kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Perbedaan antara model AHP dengan pengambilan keputusan lainnya terletak pada jenis input-nya. Model-model yang sudah ada umumnya memakai input yang kuantitatif atau berasal dari data sekunder. Otomatis model tersebut hanya dapat mengolah hal-hal kuantitatif pula. Karena menggunakan input yang kualitatif (persepsi manusia) maka model ini dapat juga mengolah hal-hal kualitatif disamping hal-hal yang kuantitatif. Jadi bisa dikatakan bahwa model AHP adalah suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif, karena memperhitungkan hal-hal kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Konsep Metode AHP merubah nilai-nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif sehingga keputusan keputusan yang diambil bisa lebih obyektif, Misalnya untuk menentukan lokasi SPBU baru, untuk pemilihan supplier pada suatu perusahaan manufaktur, untuk menentukan topik tugas akhir, dan lain – lain.
24
2.4.2 Uji Kecukupan Data dan Keseragaman Data Menurut Gustitia Putri, dkk (2010) Uji kecukupan data berfungsi untuk mengetahui apakah data yang diperoleh sudah mencukupi untuk diolah. Sebelum dilakukan uji kecukupan data terlebih dahulu menentukan derajat kebebasan s = 0.05 yang menunjukkan penyimpangan maksimum hasil program. Selain itu juga ditentukan tingkat kepercayaan 95% dengan k = 2 yang menunjukkan besarnya keyakinan pengukur akan ketelitian data, artinya bahwa rata – rata data hasil pengukuran diperbolehkan menyimpang sebesar 5% dari rata – rata sebenarnya (Barnes,1980). Rumus uji kecukupan data, yaitu :
N =( ’
√
) ……….………..…………..(2.1)
Dimana : N’ = Jumlah pengukuran yang diperlukan N = Jumlah pengukuran yang telah dilakukan K = Tingkat keyakinan s = Tingkat ketelitian Xi = Data pengukuran ke - i Data dianggap telah mencukupi jika memenuhi persyaratan N’ < N, dengan kata lain jumlah data secara teotitis lebih kecil daripada jumlah data pengamatan (Wignjosoebroto,2000). Menurut Meri Andriani (2014), Tingkat ketelitian (s) yang digunakan adalah tergantung dari tingkat kepercayaan yang dipakai, yaitu:
25
a. Tingkat kepercayaan : 90% maka harga s = 0,10 b. Tingkat kepercayaan : 95% maka harga s = 0,05 c. Tingkat kepercayaan : 99% maka harga s = 0,01 Sedangkan untuk tingkat keyakinan (K) yang digunakan adalah tergantung dari tingkat kepercayaan yang dipakai, yaitu: a. Tingkat kepercayaan : 90% maka harga k = 1 b. Tingkat kepercayaan : 95% maka harga k = 2 c. Tingkat kepercayaan : 99% maka harga k = 3 Uji keseragaman data menurut Meri Andriani (2014), Uji keseragaman data bertujuan untuk mengetahui apakah data hasil pengamatan tersebut seragam atau tidak seragam. Adapun langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut (Wignjosoebroto, 2008) : a) Menghitung nilai rata-rata dari data yang ada
̅=
…………………………………..……... (2.2)
b) Hitung standar deviasi :
σ=√
̅
………………………….. (2.3)
26
Keterangan: Xi = Data pengukuran ke – i ̅ = Nilai rata-rata
σ = Standar deviasi N = Jumlah data pengamatan c) Membuat uji keseragaman data dengan menentukan batas kontrol atas dan bawah. BKA = ̅ + K.σ …...……………………………………….…… (2.4) BKB = ̅ – K.σ …………………………………...………..…… (2.5) Keterangan: BKA = Batas Kontrol Atas BKB = Batas Kontrol Bawah ̅ = Nilai rata-rata
σ = Standar deviasi Ketentuan: a. Jika Xi min > BKB dan Xi max < BKA maka data seragam b. Jika Xi min < BKB dan Xi max > BKA maka data tidak seragam
27
2.4.3 Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process (AHP) (a) Decomposition Decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh menjadi
unsur-unsurnya ke bentuk
hirarki
proses pengambilan
keputusan, dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Struktur hirarki keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai complete dan incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara hirarki keputusan incomplete kebalikan dari hirarki yang complete. Bentuk struktur dekomposisi yakni seperti pada gambar berikut: Tingkat pertama : Tujuan keputusan (Goal) Tingkat kedua : Kriteria-kriteria Tingkat ketiga : Alternatif-alternatif
Gambar 2.3 Struktur Hirarki AHP
28
Hirarki masalah disusun digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam sebuah system dengan memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat.
(b) Comparative Judgement Comparative Judgement adalah penilaian yang dilakukan berdasarkan kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Comparative Judgement merupakan inti dari penggunaan AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan prioritas dari elemen-elemennya. Hasil dari penilaian tersebut akan diperlihatkan dalam bentuk matriks pairwise comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala 1 yang menunjukkkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme importance). (c) Synthesis of Priority Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vektor method untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur-unsur pengambilan keputusan. (d) Logical Consistency Logical Consistency dilakukan dengan mengagresikan seluruh eigen vektor yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki dan selanjutnya diperoleh suatu vektor composite tertimbang yang menghasilkan urutan pengambilan keputusan.
29
2.4.4 Tahapan Analytic Hierarchy Process (AHP) Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Yanthi Hastuty, 2008) : 1. Mendefinisikan permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan 2. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi 3. Penilaian prioritas elemen kriteria dan alternatif 4. Membuat matriks berpasangan 5. Penentuan nilai bobot prioritas 6. Pengujian konsistensi logis 2.4.5 Skala Penilaian Analytic Hierarchy Process (AHP) Skala Penilaian menjadi input dasar model AHP, skala 1 sampai 9 adalaha skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Masing – masing perbandingan berpasangan dievaluasi dalam Saaty’s scale 1 – 9, menurut Yanthi Hastuty (2008) mengutip dari sumber Saaty, T.L The Analytical Hierarchy Process : Plannning, Priority Setting, Resource Allocation. (1990) Page 97. Tabel 2.1 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas
Keterangan
Kepentingan 1
Kedua elemen sama pentingnya (Equal Importance)
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya (Slightly more Importance)
5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya (Materially more Importance)
30
Tabel 2.1 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan (Lanjutan) Intensitas
Keterangan
Kepentingan 7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya (Significantly more Importance)
9
Satu Elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya (Compromise Values)
2, 4, 6, 8
Nilai – nilai antara dua nilai pertimbangan – pertimbangan yang berdekatan (Compromise Values)
Sumber : Yanthi Hastuty (2008) mengutip dari Saaty, T.L The Analytical Hierarchy Process : Plannning, Priority Setting, Resource Allocation. (1990) Page 97.
2.4.6 Matrik Perbandingan Berpasangan Matrik perbandingan yang dipakai model AHP merupakan kriteria diagonal mulai dari kiri atas ke kanan bawah, dan bernilai satu karena yang dibandingkan adalah dua kriteria yang sama. Selain itu sesuai dengan sistematika berpikir otak manusia, matrik perbandingan yang dibentuk bersifat matriks resiprokal misalnya kriteria A lebih disukai dengan skala 3 dibandingkan kriteria B maka dengan sendirinya kriteria B lebih disukai dengan skala 1/3 dibandingkan A (Brodjonegoro dan Utama, 1992). Setelah matrik perbandingan untuk sekelompok elemen telah selesai dibentuk maka langkah berikutnya adalah mengukur bobot prioritas setiap kriteria tersebut dengan dasar persepsi seorang ahli yang telah dimasukkan dalam matrik tersebut. Hasil akhir perhitungan bobot prtioritas tersebut merupakan suatu bilangan desimal dibawah satu dengan total prioritas untuk kriteria – kriteria dalam satu kelompok sama dengan satu.
31
2.4.7 Pengambilan Keputusan Secara Kelompok (Rata – Rata Geometrik) Menurut Agarika (2010), Pengambilan keputusan secara berkelompok dilakukan dengan cara : 1. Menentukan nilai rata – rata geometrik (geometric mean) tiap perspektif, dimana rata-rata ukur (geometrik) merupakan rata-rata yang diperoleh dengan mengalikan semua data dalam suatu kelompok sampel, kemudian diakar pangkatkan dengan jumlah data sampel tersebut. Secara matematis rata-rata ukur (geometrik) dirumuskan seperti berikut ini :
GM
= (Z1 x Z2 x Z3 …… Zn)1/n …………………………(2.6)
Keterangan: GM
= Nilai rata – rata geometrik (Geometric Mean)
Z1,2,3..n
= Nilai partisipan ke – 1 , ke – 2, atau ke - n
n
= Jumlah partisipan
2. Menentukan rangking kriteria dalam bentuk bobot relatif / vector prioritas (disebut juga eigen vector ternormalisasi). dengan rumus sebagai berikut :
Bobot Relatif =
.........................(2.7)
Keterangan : Bobot Relatif
= eigen vektor ternormalisasi
GM
= Nilai rata – rata geometrik (Geometric Mean)
32
2.4.8 Pengujian Konsistensi Logis Menurut Yanthi Hastuty (2008), Saaty’s AHP juga memberikan pertimbangan terhadap pertanyaan mengenai logika konsistensi dari evaluator. Indeks konsistensi (Consistency Index / CI) adalah perhitungan matematis untuk setiap perbandingan berpasangan matrik perbandingan. CI ini menyatakan deviasi konsistensi. Kemudian indeks acak (Random Index / RI), sebagai hasil dari respon acak yang mutlak dibagi dengan CI dihasilkan rasio konsistensi (CRs). Semakin tinggi CR maka semakin rendah konsistensi, demikian juga sebaliknya. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut ditunjukkan sebagai berikut : (Suryadi & Ramdhani, 1998) Hubungan Kardinal
: aij . ajk = aik
Hubungan Ordinal
: Ai > Aj , Aj > Ak maka Ai > Ak
Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut : a. Dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang.
33
b. Dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Menurut Agarika (2010), pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas nilai eigen maksimum. Dengan nilai eigen maksimum, inkonsistensi yang biasa dihasilkan matriks perbandingan dapat diminimumkan. Rumus dari indeks konsistensi adalah sebagai berikut :
……………………..………..(2.8)
CI = Keterangan : CI
= Indek konsistensi (Consistency Index)
λ maks = Nilai eigen maksimum n
= banyaknya elemen (ordo)
Nilai eigen maksimum suatu matriks tidak akan lebih kecil dari nilai n sehingga tidak mungkin ada nilai CI yang negatif. Makin dekat nilai eigen maksimum dengan besarnya matriks, makin konsisten matriks tersebut dan apabila sama besarnya maka matriks tersebut konsisten 100% atau inkonsistensi 0%. Dimana rumus rasio konsistensi (CR) adalah sebagai berikut : CR =
……………………………………...(2.9)
34
Keterangan : CR
= Rasio konsistensi (Consistency Ratio)
CI
= Indeks konsistensi (Consistency Index)
RI
= Indeks acak (Random Indeks)
Jika rasio konsistensi ≤ 0,1 , hasil perhitungan data dapat dibenarkan / konsisten. Daftar RI dapat dilihat pada tabel 2.2 : Tabel 2.2 Random Index Ukuran Matriks Rata – Rata (R.I) 1 0.0 2 0.0 3 0.58 4 0.9 5 1.12 6 1.24 7 1.32 8 1.41 9 1.45 10 1.49 11 1.51 12 1.48 13 1.56 14 1.57 15 1.59 Sumber: Saaty, (1977)
Batasan diterima tidaknya konsistensi suatu matriks sebenarnya tidak ada yang baku, hanya menurut beberapa eksperimen dan pengalaman tingkat inkonsistensi sebesar 10% kebawah adalah tingkat inkonsistensi yang masih dapat diterima. Lebih dari itu harus ada revisi penilaian karena tingkat inkonsistensi yang terlalu besar dapat menjurus pada suatu kesalahan (Brodjonegoro dan Utama, 1992).
35
2.4.9 Perhitungan Bobot Global Bobot Global merupakan bobot secara keseluruhan dari tiap – tiap kategori bahaya dimana perhitungannya adalah jumlah dari hasil perkalian bobot relatif kategori bahaya dikalikan dengan bobot relatif kriteria bahaya dan dikalikan kembali dengan bobot relatif sub kriteria bahaya. Perhitungan bobot global menggunakan rumus persamaan antara lain : Bobot Global = (Bobot Relatif Kategori Bahaya) x (Bobot Relatif Kriteria bahaya) x (Bobot Relatif Sub Kriteria Bahaya)…….. (2.10) 2.4.10 Perhitungan Bobot Konversi (Normalisasi) Bobot konversi merupakan normalisasi dari hasil perhitungan bobot global diatas. Dengan menggunakan rumus persamaan berikut ini : Bobot Konversi =
…………(2.11)
2.4.11 Perhitungan Frekuensi Bahaya Dalam melakukan perhitungan frekuensi bahaya, data yang diambil berupa hasil dari kuesioner. Dalam hal ini, penyebaran kuesioner dilakukan karena untuk mendapatkan data kuantitatif tentang frekuensi bahaya dari macam – macam sub kriteria bahaya. Perhitungan frekuensi bahaya menggunakan rumus persamaan sebagai berikut :
Frekuensi =
………………………..(2.12)
36
2.4.12 Perhitungan Performansi Tingkat Bahaya Perhitungan performansi dibutuhkan untuk mendapatkan nilai dari tingkatan suatu bahaya. Digunakan persamaan sebagai berikut : Performansi = Frekuensi X Bobot Konversi ………………….(2.13)