BAB II LANDASAN TEORI
A.
Perbedaan Laporan Keuangan Akuntansi dan Laporan Keuangan Fiskal Manajemen wajib membuat laporan keuangan dalam rangka melaporkan
kondisi perusahaan dalam periode tertentu. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) No. 1 paragraf 7, “laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas”. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagaian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan. Perusahaan menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas menggunakan dasar kas. Menurut Hidayati dan Zulaikha (2003) dasar akrual adalah sebagai berikut Suatu dasar dimana pengakuan penghasilan (revenue) pada saat diperoleh dan untuk mengakui beban yang sepadan dengan revenue pada periode yang sama, tanpa memperhatikan waktu penerimaan kas dari penghasilan yang bersangkutan.
9
10
Sedangkan istilah basis kas adalah pengakuan revenue dan beban atas dasar kas tunai yang diterima. Masalah perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal sama halnya dengan masalah akuntansi pajak, yaitu menyangkut masalah kapan suatu penghasilan diakui sebagai penghasilan dan kapan suatu biaya diakui sebagai pengurang dari penghasilan tersebut. Sebenarnya, masalah ini tergantung pada tahun pajak atau tahun buku wajib pajak, metode akuntansi yang digunakan, serta ketentuan dan konsep yang menjadi acuannya. Prinsip yang dianut oleh akuntansi keuangan adalah konservatif, sehingga kemungkinan kesalahannya cenderung kepada understatement. Dari sudut pandang perpajakan, laporan keuangan yang understatement tersebut, tentunya tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan besarnya pajak terutang.
B.
Laba Akuntansi Laba merupakan salah satu komponen di dalam laporan keuangan yang
sangat penting dalam pengambilan keputusan. Laba akuntansi menurut American Institute Certified Public Accountant (AICPA) yang dikutip Harahap (2007 : 241) adalah “perubahan dalam ekuitas (net asset) dari suatu entiti selama satu periode tertentu yang diakibatkan oleh transaksi dan kejadian atau peristiwa yang berasal bukan dari pemilik”. Sedangkan IAI mendefinisikan laba adalah sebagai berikut : Laba adalah kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.
11
Menurut pengertian akuntansi secara konvensional dinyatakan bahwa laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisir yang dihasilkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan (Muqodim 2005:111). Suwardjono (2005:455) mendefinisikan “laba sebagai pendapatan dikurangi biaya merupakan pendefinisian secara struktural atau sintaktik karena laba tak didefinisi secara terpisah dari pengertian pendapatan dan biaya”. Laba akuntansi dengan berbagai interpretasi diharapkan dapat digunakan antara lain sebagai : 1.
Indikator efisiensi penggunaan dana yg tertanam dalam perusahaan yg diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of retun on invested capital).
2.
Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemen.
3.
Dasar penentuan besar pengenaan pajak.
4.
Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomik suatu negara.
5.
Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tarif dalam perusahaan publik.
6.
Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang.
7.
Dasar kompensasi dan pembagian bonus.
8.
Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan.
9.
Dasar pembagian dividen.
Pengertian laba akuntansi menurut Harahap (2007) adalah “perbedaan antara revenue yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada periode tertentu
12
dihadapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut”. Dari definisi tersebut, laba mengandung lima sifat, yaitu : 1.
Laba akuntansi didasarkan pada transaksi yang benar-benar terjadi, yaitu timbulnya hasil dan biaya untuk mendapatkan hasil tersebut.
2.
Laba akuntansi didasarkan pada postulat ”periodik” laba itu, artinya merupakan prestasi perusahaan itu pada periode tertentu.
3.
Laba akuntansi didasarkan pada prinsip revenue yang memerlukan batasan tersendiri tentang apa yang termasuk hasil.
4.
Laba akuntansi memerlukan perhitungan terhadap biaya dalam bentuk biaya historis yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan hasil tertentu.
5.
Laba akuntansi didasarkan pada prinsip maching artinya hasil dikurangi biaya yang diterima/dikeluarkan dalam periode yang sama.
Dari pengertian laba di atas, laba akuntansi dapat dibedakan menjadi sebagai berikut: 1.
Laba kotor Laba kotor (gross profit) adalah selisih antara pendapatan dari penjualan bersih dengan harga pokok penjualan.
2.
Laba operasi Laba operasi (operating expenses) adalah selisih antara laba kotor dengan beban operasi. Secara umum beban operasi adalah seluruh beban operasi kecuali beban bunga dan pajak penghasilan. Sehinga
13
laba operasi dapat juga disebut laba sebelum bunga dan pajak (earning before interest and taxes/EBIT). 3.
Laba sebelum pajak penghasilan Laba sebelum pajak penghasilan (earning before taxes/EBT) merupakan hasil dari laba operasi yang ditambah/dikurangi dengan pendapatan/beban lain-lain.
4.
Laba bersih Laba bersih (net income) merupakan hasil pengurangan antara laba sebelum pajak penghasilan dengan beban pajak penghasilan dan disesuaikan dengan pos-pos luar biasa. Pos-pos luar biasa adalah penghasilan atau beban yang timbul dari kejadian atau transaksi yang secara jelas berbeda dari aktivitas normal perusahaan dan karenanya tidak diharapkan untuk sering kali terjadi atau terjadi secara teratur.
5.
Laba per saham Laba per saham (earnings per share) adalah keuntungan yang diberikan kepada pemegang saham untuk setiap lembar saham yang dipegangnya. Laba per saham didapat dengan membagi laba bersih dengan jumlah saham yang beredar.
Sehingga, pengertian laba yang dianut oleh struktur akuntansi sekarang ini adalah laba yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya secara akrual.
14
C.
Laba Fiskal Pajak merupakan sumber penghasilan terbesar di negara ini. Setiap warga
Negara atau yang biasa disebut wajib pajak, wajib menyetorkan dan melaporkan pajaknya kepada Negara. Begitu juga dengan perusahaan, oleh karena harus terlebih dahulu diketahui berapa laba fiskalnya. Pajak adalah adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya yang diatur dengan undang-undang dengan tidak memdapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk (Andriani dalam Aritonang, 2007). Wajib pajak badan di dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya diwajibkan melakukan pembukuan. Penyelenggaraan pembukuan bertujuan untuk penghasilan netto atau rugi secara fiskal. Berdasarkan pasal 28 Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Dasar kas yang digunakan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah dasar kas campuran bahkan mendekati dasar akrual, sesuai penjelasan pasal 28 (5) Undang- Undang No. 28 tahun 2007 tentang KUP. Dalam menentukan besarnya pajak yang terutang perusahaan harus menghitung laba fiskal. Menurut IAI dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46, “laba fiskal (taxable profit) diartikan sebagai laba
15
selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan”. Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaanya membedakan penghasilan menjadi dua yaitu penghasilan yang merupakan objek pajak dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. Penghasilan yang merupakan objek pajak pun dibedakan menjadi dua, yaitu penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan yang tidak bersifat final. Selain itu peraturan perpajakan membagi beban menjadi dua, yaitu beban yang boleh dikurangkan (deductible expenses) dan beban yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible expenses). Pengelompokan penghasilan dan beban oleh peraturan perpajakan mengakibatkan laba akuntansi berbeda dengan laba fiskal. Dalam rangka menghitung laba fiskal perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap laba akuntansi sebelum pajak penghasilan berdasarkan ketentuan peraturan UndangUndang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya yang lebih dikenal dengan istilah rekonsiliasi fiskal. Proses rekonsiliasi fiskal untuk mendapatkan laba fiskal adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan/pendapatan diklasifikasikan antara penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang merupakan objek pajak. 2. Dari penghasilan yang merupakan objek pajak, tentukan penghasilan mana yang pengenaan pajaknya bersifat final, selebihnya merupakan
16
penghasilan yang merupakan objek pajak yang tidak termasuk penghasilaan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 3. Biaya/pengeluaran diklasifikasikan antara biaya/pengeluaran yang boleh dikurangkan dengan
biaya/pengeluaran yang tidak boleh
dikurangkan. 4. Selisih antara penghasilan yang merupakan objek pajak tidak termasuk penghasilan
yang
pengenaan
pajaknya
bersifat
final
dengan
biaya/pengeluaran yang boleh dikurangkan merupakan laba atau rugi fiskal. Sehingga, laba dalam pengertian Pajak Penghasilan adalah laba yang berdasarkan ketentuan
dalam
Undang-undang
Pajak
Penghasilan
serta
peraturan
pelaksanaannya. Laba demikian biasa disebut Laba Fiskal.
D.
Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dengan Laba Fiskal (Book Tax Gap) Laba akuntansi menurut IAI dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
berarti “laba bersih atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi dengan beban pajak”. Di sisi lain, penghasilan kena pajak atau laba fiskal menurut istilah
perpajakan
berarti laba atau rugi selama satu periode yang
dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan. Manajemen menghitung laba perusahaan untuk dua tujuan setiap tahunnya, yaitu tujuan untuk pelaporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi
17
keuangan dan pelaporan pajak berdasarkan peraturan pajak untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak atau laba fiskal. Peraturan pajak di Indonesia mengharuskan laba fiskal dihitung berdasarkan metoda akuntansi yang menjadi dasar perhitungan laba akuntansi, yaitu metoda akrual, sehingga perusahaan tidak perlu melakukan pembukuan ganda untuk dua tujuan pelaporan laba tersebut, karena setiap akhir tahun perusahaan diwajibkan melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menentukan besarnya laba fiskal dengan cara melakukan penyesuaianpenyesuaian terhadap laba akuntansi berdasarkan peraturan pajak. Rekonsiliasi fiskal di akhir perioda pembukuan menyebabkan terjadi perbedaan antara laba fiskal dan laba akuntansi. Perbedaan tersebut disebabkan oleh ketentuan pengakuan dan pengukuran yang berbeda antara standar akuntansi keuangan dan peraturan pajak. Penyebab perbedaan tersebut secara umum dikelompokan ke dalam perbedaan permanen (permanen differences) dan perbedaan sementara atau waktu (temporary or timing differences). 1.
Beda Temporer Beda temporer muncul ketika keuangan akuntansi dan catatan
akuntansi pajak ekonomi peristiwa dalam periode yang berbeda (Jackson, 2009). Beda temporer yaitu perbedaan antara dasar pengenaaan pajak (tax base) dari suatu asset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada asset atau kewajiban yang berakibat pada perubahan fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada asset dipulihkan atau kewajiban dilunasi atau dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat harus
18
diakuinya asset dan / atau kewajiban pajak tangguhan (Waluyo,2008). Perbedaan temporer ini terjadi pada kondisi : a.
Penghasilan atau beban yang harus diakui untuk menghitung laba fiskal atau laba komersial dalam periode yang berbeda.
b.
Goodwill/ goodwill negatif yang terjadi pada saat konsolidasi.
c.
Perbedaan nilai tercatat dengan tax base dari suatu asset atau kewajiban pada saat pengakuan awal.
d.
Bagian dari biaya perolehan saat penggabungan usaha yang bermakna akuisisi dilokasikan ke asset atau kewajiban tertentu atas dasar nilai wajar, perlakuan akuntansi demikian tidak diperkenankan dalam Undang-Undang perpajakan. Perbedaan temporer dibagi menjadi 2, yaitu: 1)
Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) Perbedaan temporer kena pajak adalah perbedaan temporer
yang menimbulkan satu jumlah kena pajak (taxable amounts) dalam perhitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat asset dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut
dilunasi (settled). Pajak penghasilan yang akan
dibayarkan atas jumlah kena pajak di masa depan dilaporkan di neraca sebagai kewajiban pajak tangguhan (deferred tax liabilities). Contoh dari taxable temporary differences adalah masa manfaat aktiva. Di mana masa manfaat aktiva menurut Pasal
19
11 ayat (6) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000 lebih singkat dibandingkan menurut akuntansi komersial. Akibatnya, biaya depresiasi yang diakui dalam laporan keuangan komersial lebih kecil dibandingkan dengan laporan keuangan fiskal. 2)
Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan adalah
perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam perhitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat asset dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled). Manfaat pajak penghasilan (penghematan) yang diharapkan akan terealisasi dari pengurangan di masa depan dilaporkan di neraca sebagai aktiva pajak tangguhan (deferred tax asset). Contoh dari perbedaan ini adalah perbedaan yang timbul akibat pembentukan cadangan yang dilakukan perusahaan dalam menyusun laporan keuangan komersial, misalnya cadangan piutang tak tertagih. Biaya cadangan ini diakui dalam laporan keuangan komersial namun tidak diakui di dalam laporan keuangan fiskal. Contoh sederhana dari perbedaan temporer ini yaitu adanya penilaian persediaan yang berbeda melalui metode penilaian persediaan
20
atau adanya perbedaan metode yang digunakan dalam menghitung penyusutan asset tetap berwujud. 2.
Beda Permanen Perbedaan permanen (permanent differences) timbul sebagai akibat
adanya perbedaan pengakuan beban dan pendapatan antara laporan komersial dan harga fiskal sebagai dasar menghitung pajak yang terutang. Sebagai contoh pemberian imbalan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan, sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan, tapi juga tidak dipeerkenankan untuk dibebankan sebagai biaya bagi wajib pajak. Hal ini menimbulkan perbedaan bila di perbandingkan dengan akuntansi komersial. Perbedaan permanen merupakan item-item yang dimasukkan dalam salah satu ukuran laba, tetapi tidak pernah dimasukkan dalam ukuran laba yang lain. Dengan kata lain, jika suatu item termasuk dalam ukuran laba akuntansi, maka item tersebut tidak dimasukkan dalam ukuran laba fiskal dan sebaliknya. Perbedaan permanen disebabkan oleh adanya pengelompokan penghasilan dan beban oleh peraturan perpajakan. Contoh umum yaitu, termasuk biaya restrukturisasi dan sebagian deviden yang diterima dari perusahaan lain. Peraturan perpajakan membagi penghasilan ke dalam dua kelompok yaitu: 1.
Penghasilan yang menjadi objek pajak (taxable income) Penghasilan yang menjadi objek pajak (taxable Income)
dibedakan menjadi dua :
21
a. Penghasilan yang dikenakan pajak final, yang termasuk penghasilan
yang
dikenakan
pajak
bersifat
final
bagi
perusahaan atau badan yaitu: 1) Bunga deposito/tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). 2) Penghasilan bunga dan diskonto dari obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek. 3) Penghasilan penjualan saham yang diperdagangkan di bursa efek. 4) Penghasilan penjualan saham milik perusahaan modal ventura. 5) Penghasilan usaha: a) Penyalur/dealer/agen produk BBM Pertamina. b) Penyalur/distributor rokok. 6) Penghasilan pengalihan hak atas tanah/bangunan bagi yayasan dan organisasi sejenis. 7) Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan/atau bangunan. 8) Imbalan jasa konstruksi: a) Pelaksana konstruksi b) Perencana konstruksi c) Pengawas konstruksi
22
9) Penghasilan wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia berdasarkan pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 10) Penghasilan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran atau penerbangan luar negeri. 11) Penghasilan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran dalam negeri. b. Penghasilan yang tidak dikenakan pajak final. Sedangkan pajak membedakan beban menjadi dua, yaitu: a. Pengeluaran/beban
yang
boleh
dikurangkan
(deductible
expenses) b. Pengeluaran/beban yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible expenses). Pengeluaran atau biaya yang tidak boleh dikurangkan yang diatur dan dijelaskan dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah sbb: 1) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi
kepada
pemegang
polis,
dan
pembagian sisa hasil usaha. 2) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. 3) Pembentukan
atau
pemupukan
dana
cadangan,
kecualicadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan
23
sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan,
yang
ketentuan
dan
syarat-syaratnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 4) Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh
wajib pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. 5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 6) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. 7) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3)
24
huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan pemerintah. 8) Pajak penghasilan. Pajak penghasilan dalam ketentuan ini adalah pajak penghasilan yang terutang oleh wajib pajak yang bersangkutan. 9) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
wajib
pajak
atau
orang
yang
menjadi
tanggungannya. 10) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. 11) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenikmatan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan palaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. 2. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak (nontaxable income) Jenis penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak berdasarkan pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu:
25
a. 1) Bantuan sumbangan , termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. b. Warisan. c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi,
26
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan. 2) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas sahamsaham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama lima tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha. k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
27
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat: 1)
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan
atau
berdasarkan
peraturan
menteri
keuangan. 2)
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
E.
Persistensi Laba Akuntansi Definisi persistensi laba akuntansi menurut Wijayanti (2006) adalah
“revisi dalam laba akuntansi yang diharapkan di masa mendatang (expected future earnings) yang diimplikasi oleh inovasi laba tahun berjalan (current earnings)”. Persistensi laba merupakan salah satu alat ukur kualitas laba dimana laba yang berkualitas dapat menunjukan kesinambungan laba, sehingga laba yang persisten cenderung tidak terlalu berfluktuatif disetiap periode. Selain itu laba akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang memiliki sedikit atau tidak mengandung gangguan persepsian (perceived noise), dan dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya (Chandrarin, 2003 dalam Djamaluddin, dkk., 2008). Menurut Penman (2001) dan Revsine (2002) dalam Leonardo (2007) persistensi laba sering kali dikategorikan sebagai salah satu pengukuran kualitas laba karena persistensi laba mengandung unsur predictive value sehingga dapat
28
digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi kejadiankejadian di masa lalu, sekarang dan masa depan. Predictive value adalah salah satu komponen relevansi selain feedback value dan timeliness. Relevansi adalah salah satu karakter kualitatif laporan keuangan (Dechow dan Dichev, 2002 dalam Djamaludin, dkk. 2008). Besarnya perbedaan laba Akuntansi dengan laba fiskal dianggap sebagai sinyal kualitas laba. Semakin besar perbedaan yang terjadi, semakin rendah kualitas laba yang artinya semakin rendah persistensinya. Terkait dengan hal ini, Hanlon (2005) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki perbedaan temporer kena pajak cenderung memiliki per tax income yang tidak persisten. Ia juga membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki komponen akrual yang menyebabkan pre tax income menjadi kurang persisten di masa datang. Laba yang berkualitas adalah laba yang mencerminkan kelanjutan laba (sustainable earnings) di masa depan, yang ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kasnya. Selain itu laba akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang memiliki sedikit atau tidak mengandung gangguan persepsian (perceived noise), dan dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya (Chandrarin, 2003 dalam Djamaluddin, dkk., 2008). Salah satu penyebab rendahnya kualitas laba akuntansi adalah dikarenakan adanya manajemen laba (earnings management). Manajemen laba dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, mengubah serta memilih metode akuntansi,
29
dan merekayasa saat transaksi dengan menggeser periode biaya atau pendapatan. Manajemen juga dapat memilih berbagai metode akuntansi yang dianggap paling baik bagi manajemen.
F.
Penyebab Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan
fiskal adalah karena terdapat perbedaan pengakuan prinsip; perbedaan metode dan prosedur akuntansi; perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya (Resmi, 2009:331) Secara garis besar prinsip dasar akuntansi pajak penghasilan adalah sebagai berikut : a. Pajak penghasilan tahun berjalan yang kurang bayar atau terutang diakui sebagai Kewajiban Pajak Kini (Hutang Pajak) sedangkan yang lebih dibayar disebut Aktiva Pajak Kini (Piutang Pajak), b. Konsekuensi pajak
mendatang yang dapat didistribusikan
perbedaan
temporer kena pajak diakui Kewajiban Pajak Tangguhan, sedangkan efek perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian belum dikompensasikan diakui Aktiva Pajak Tangguhan, c. Pengukuran kewajiban dan aktiva pajak didasarkan peraturan pajak berlaku. d. Perbedaan metode dan prosedur akuntansi menurut Resmi (2009: 331) adalah: i.
Metode penilaian persediaan. Akuntansi komersial membolehkan memilih beberapa metode penghitungan harga perolehan persediaan.
30
Sementara itu menurut perpajakan hanya memperbolehkan metode FIFO dan Average untuk penilaian persediaan. ii.
Metode
penyusutan
dan
amortisasi.
Akuntansi
komersial
memperbolehkan memilih metode penyusutan seperti metode garis lurus, jumlah angka tahun, saldo menurun, metode jumlah unit produksi dan lainnya. Sementara berdasarkan perpajakan hanya mengakui metode garis lurus dan saldo menurun untuk kelompok harta berwujud jenis non bangunan, sedangkan harta berwujud bangunan dibatasi hanya bisa menggunakan metode garis lurus
G.
Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan pihak lain yang dapat
digunakan sebagai bahan kajian yang berkaitan dengan persistensi laba. Hanlon (2005) dalam penelitian yang berjudul ”The Persistence and Pricing of Earnings, Accruals, and Cash Flow When Firm Have Large Book-Tax Differences” yang menggunakan sampel sebanyak 4.048 perusahaan industri yang telah go public selama periode tahun 1994 sampai tahun 2000, menyimpulkan bahwa: a.
Perusahaan dengan large positive book-tax differences memiliki persistensi laba yang lebih rendah dari perusahaan dengan small booktax differences.
31
b.
Perusahaan dengan large negative book-tax differences signifikan secara statistik memiliki persistensi laba yang lebih rendah dari perusahaan dengan small book-tax differences. Peneliti lain yaitu Yulianti (2005) dalam penelitian yang berjudul
”Kemampuan Beban Pajak Tangguhan Dalam Mendeteksi Manajemen Laba” yang meneliti perusahaan yang terdaftar di BEJ selama periode tahun 1999 sampai tahun 2002, menyimpulkan bahwa beban pajak tangguhan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap probabilitas perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Dari kesimpulan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semakin besar beban pajak tangguhan, maka semakin besar pula perusahaan melakukan manajemen laba sehingga laba yang dihasilkan memiliki persistensi yang rendah. Karena beban pajak tangguhan merupakan akibat adanya perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal, maka semakin besar perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal mengindikasikan semakin rendahnya persistensi laba akuntansi yang dilaporkan perusahaan. Pihak lain yang meneliti mengenai persistesi laba Wijayanti (2006) dalam penelitian yang berjudul ”Analisis Pengaruh Perbedaan Antara Laba Akuntansi dan Laba Fiskal Terhadap Persistensi Laba, Akrual, dan Arus Kas” yang menggunakan sampel 40 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ selama periode tahun 2000 sampai tahun 2004, menyimpulkan bahwa: a.
Book-tax differences secara negatif berpengaruh signifikan secara statistik terhadap persistensi laba akuntansi satu periode ke depan.
32
b.
Perusahaan dengan large (negative) positive book-tax differences signifikan secara statistik memiliki persistensi laba lebih rendah dari perusahaan dengan small book-tax differences. Suranggane (2007) dengan penelitian yang berjudul ”Analisis Aktiva
Pajak Tangguhan Dan Akrual Sebagai Prediktor Manajemen Laba: Kajian Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ” yang meneliti perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode tahun 2003 sampai tahun 2005, menyimpulkan bahwa aktiva pajak tangguhan tidak berpengaruh pada terjadinya manajemen laba. Dari kesimpulan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa aktiva pajak tangguhan sebagai akibat dari perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal tidak mempunyai pengaruh terhadap persistensi laba. Djamaluddin, Wijayanti, dan Rahmawati (2008) dengan penelitian yang berjudul ”Analisis Perbedaan Antara Laba Akuntansi dan Laba Fiskal Terhadap Persistensi Laba, Akrual, dan Arus Kas pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta” yang menggunakan sampel 20 bank yang terdaftar di BEJ selama periode tahun 2000 sampai tahun 2005, menyimpulkan bahwa perusahaan dengan large positive (negative) book-tax differences tidak terbukti secara statistik mempunyai persistensi laba akuntansi yang lebih rendah dibanding perusahaan dengan small book-tax differences. Wiryandari dan Yulianti (2009) pada penelitian yang berjudul ”Hubungan Perbedaan Laba Akuntansi & Laba Pajak dengan Perilaku Manajemen Laba dan Persistensi Laba” yang menggunakan sampel 161
33
perusahaan yang tergabung dalam industri manufaktur, jasa dan retail yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2001 sampai tahun 2006, menyimpulkan bahwa perusahaan dengan book-tax differences besar akan memiliki laba satu periode ke depan yang kurang persisten dibanding perusahaan dengan book-tax differences kecil. Martani dan Aulia (2009) dalam penelitian yang berjudul ”Pengaruh Book Tax Gap terhadap Persistensi Laba” yang menggunakan sampel 83 perusahaan yang tergabung dalam industri manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode tahun 2001 sampai tahun 2006, menyimpulkan bahwa : a.
Variabel permanen Varabel ini menunjukkan nilai yang signifikan terhadap model ∆PTBI maupun pada model ∆NI. Pada model ∆PTBI, koefisien variabel permanen adalah negatif. Sehingga semakin besar nilai permanen akan menyebabkan penurunan pada ∆PTBI. Sedangkan pada model ∆NI, koefisien yang terbentuk juga negatif. Hal ini mungkin dikarenakan oleh komponen penyusun variabel permanen itu sendiri, yaitu item-item yang ditambahkan kembali dalam rekonsiliasi fiskal dan komponen tersebut merupakan non-recurring item.
b.
Variabel temporer Variabel ini menunjukkan nilai yang signifikan baik terhadap model ∆PTBI maupun pada model ∆NI. Perbedaan yang terjadi adalah pada nilai koefisien. Pada model ∆PTBI, koefisien variabel temporer
34
adalah negatif. Sedangkan pada model ∆NI, koefisien yang terbentuk bernilai positif. Koefisien positif pada variabel ini menunjukkan adanya manfaat pajak tangguhan. Dengan kata lain perbedaan temporer
pada
sample
adalah
future
deductible
temporary
differences sehingga terdapat perbedaan nilai koefisien pada kediua model. Jackson (2009) dengan judul penelitian ”Book Tax Differences and Earning Growth” yang menggunakan sample 6,837 perusahaan yang telah berbadan hukum di U.S selama periode tahun 1973 sampai tahun 2006, menyimpulkan bahwa : a. Beda temporer mempunyai hubungan negative terhadap pertumbuhan laba sebelum pajak, sementara perbedaan permanen mempunyai hubungan positif hanya terhadap pertumbuhan laba karena keduanya mempunyai hubungan terhadap perubahan beban pajak. b. Terdapat bukti yang lemah bahwa manajemen laba menambah hubungan antara beda temporer BTD dan perubahan dalam laba sebelum pajak atau hubungan antara permanen BTD dan perubahan beban pajak.
H.
Kerangka Pemikiran Teoritis Secara singkat penelitian ini akan menerangkan apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi Book Tax Gap dan melihat juga pengaruh Book Tax Gap
35
terhadap pertumbuhan laba yang di proksi kan ke dalam persistensi laba. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat kerangka pikir sebagai berikut: PERSISTENSI LABA
BOOK TAX GAP
Temporer (X1)
Perubahan Net Income (Y)
Permanen (X2)
I.
Hipotesis Penelitian Pada penelitian ini, peneliti akan menguji industri barang konsumsi yang
terdaftar di BEI dengan bahasan mengenai Pengaruh Book Tax Gap Terhadap Persistensi Laba. Menurut Penman (2001) dan Revsine (2002) dalam Leonardo (2007), persistensi laba sering kali dikategorikan sebagai salah satu pengukuran kualitas laba. Persistensi laba digunakan oleh Jonas dan Blanchet dalam Hanlon (2005) untuk menilai kualitas laba karena persistensi laba mengandung unsur nilai predictive value sehingga dapat digunakan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi kejadian-kejadian di masa lalu, sekarang dan masa depan. Besarnya perbedaan laba akuntansi dengan laba kena pajak dianggap sebagai sinyal kualitas laba. Semakin besar perbedaan yang terjadi, semakin rendah kualitas laba yang artinya akan semakin rendah persistensinya. Terkait dengan hal ini, Hanlon (2005) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang
36
memiliki perbedaan temporer kena pajak besar cenderung memiliki pre-tax income yang tidak persisten. Hanlon juga membuktikan bahwa perusahaanperusahaan tersebut memiliki komponen akrual yang menyebabkan pre-tax income menjadi kurang persisten di masa mendatang. Berdasarkan pada uraian-uraian diatas, maka hipotesis yang akan dikemukakan pada penelitian ini adalah: H1 : Perbedaan Temporer dan Perbedaan Permanen (Book Tax Gap) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Net Income. H2 : Perbedaan Temporer berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Net Income. H3 : Perbedaan Permanen berpengaruh terhadap signifikan Perubahan Net Income.