BAB II LANDASAN TEORI A.
Revenue Sharing 1. Pengertian Revenue Sharing Menurut Slamet Wiyono (2005 : 57) Revenue sharing berasal dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti: hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue Sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue (pendapatan) adalah semua penerimaan, baik maupun bukan tunai yang merupakan hasil dari penjualan barang atau jasa dalam jangka tertentu atau penerimaan dana sebagai hasil dari suatu investasi. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga tersebut.
Unsur yang terdapat didalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut.
Perbankan syari’ah memperkenalkan sistem bagi hasil revenue sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana. Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil yang mendasarkan pada revenue (pendapatan) dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha tersebut. 2.
Alasan Penerapan Revenue Sharing Secara umum di dalam perbankan syariah landasan sistem yang ideal yang digunakan dalam sistem operasinya adalah sistem profit and loss sharing, sistem ini yang dapat dijadikan ciri khusus bank syariah yang membedakan dengan sistem bank konvensional. Sebagai pengganti dari mekanisme bunga, sebagian ulama berpendapat bahwa dalam pembiayaan proyek-proyek individual, instrument yang paling baik adalah bagi hasil. Walaupun setelah banyak pembiayaan yang diberikan, mereka mengakui bahwa ketika mereka bergerak dari pembiayaan proyek individu ke pembiayaan lembaga, mekanisme bagi hasil menjadi kurang efisiensi untuk melakukan semua fungsi seperti yang dilakukan oleh perbankan modern, yang berdasarkan pada mekanisme tingkat bunga (Zainul Arifin, 2000 :29) Pemberlakuan sistem revenue sharing (Muhammad, 2005: 243) didasarkan kepada kenyataan bahwa :
1. Perhitungan pendapatan dibagi dengan pendekatan ini lebih mudah, khusus untuk produk pembiayaan bagi hasil, cara ini akan sangat membantu bank, di mana bank tidak memerlukan petugas yang memiliki spesifikasi khusus tentang bisnis tertentu untuk dapat melakukan kontrol terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan nasabah. 2. Diasumsikan bahwa para nasabah belum terbiasa menerima kondisi berbagi hasil dan berbagi resiko. Di mana bila bank mengalami kerugian nasabah akan menanggung resiko kerugian tersebut, berarti berkurangnya dana mereka yang ditabung atau disimpan pada bank. 3. Pada sistem ini kemungkinan tingkat perhitungan bagi hasil yang diterima pemilik dana akan lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga pasar yang berlaku. Kondisi ini akan mempengaruhi
para
pemilik
dana
untuk
mengarahkan
investasinya kepada bank syariah yang nyatanya justru mampu memberikan hasil yang optimal. 4. Penyaluran dana kepada sektor usaha menunjukan adanya berbagai macam usaha yang mempunyai karakteristik biaya yang berbeda. Bank sebagai shahibul maal kedua atau pemegang amanah shahibul maal pertama menghadapi kesulitan untuk mengakui biaya-biaya usaha yang dikeluarkan para nasabah pengusaha sebagai mudharib. Padahal biaya-
biaya yang sulit diverifikasi inilah yang kemudian menjadi pengurang seluruh pendapatan yang akan dibagi hasilkan.
B.
Bagi Hasil Mudharabah
1.
Pengertian Mudharabah Istilah “Mudharabah” secara etiomologi berasal dari kata arab “ adhdharbu fil ardhi” yang berarti berpergian dengan urusan dagang, maka ia berhak mendapatkan keuntungan karena usaha dan kerjanya. Definisi mudharabah yang representative sebagai jalan tengah bagi kelengkapan definisi dari berbagai mazhab tersebut menurut Syafi’i (2001 : 95) adalah Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kalalaian si pengelola. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka, jika usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola
dana,
seperti
penyalahgunaan dana.
penyelewengan,
kecurangan,
dan
Adapun karakteristik Mudharabah adalah : a. Bank sebagai agen investasi (chanelling) dalam mudharabah muqayyadah dibahas dalam laporan perubahan investasi di off balance sheet, sedangkan bank sebagai pihak yang ikut menanggung resiko dalam mudharabah muqayyadah dibahas dalam pos kewajiban terikat. b. Pembiayaan mudharabah dapat diberikan dalam bentuk kas dan atau non kas yang dilakukan secara bertahap atau sekaligus. c. Pengembalian pembiayaan mudharabah dapat dilakukan bersamaan dengan distribusi bagi hasil atau pada saat diakhirnya akad mudharabah. d. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu bagi laba (profit sharing)dan pendapatan (revenue sharing). e. Pada prinsipnya
dalam pembiayaan mudharabah tidak
dipersyaratkan adanya jaminan, namun agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
2.
Rukun dan ketentuan syariah akad mudharabah Rukun mudharabah ada empat, yaitu: 1. Pelaku atau orang yang berakad, terdiri atas: a. Pemilik modal/ shahibul maal atau Rabbul maal b. Pengelola dana/ Mudharib 2. Objek Mudharabah berupa Modal/ maal 3. Ijab Kabul/ Serah terima 4. Nisbah Keuntungan Ketentuan syariah, adalah sebagai berikut : 1. Pelaku a. Pelaku harus cakap hukum dan baligh b. Pelaku akad mudharabah dapat dilakukan sesama atau dengan non muslim b.
pemilik
dana
tidak
boleh
ikut
campur
dalam
pengelolaan usaha tetapi ia boleh mengawasi. 2. Objek Mudharabah (Modal dan Kerja) Objek mudharabah merupakan konsekuensi logis dengan dilakukan akad mudharabah a. Modal 1. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau asset lainnya (dinilai sebesar nilai wajar), harus jelas jumlah dan jenisnya.
2. Modal harus tunai dan tidak utang. Tanpa adanya setoran
modal,
berarti
pemilik
dana
tidak
memberikan kontribusi apapun padahal dana harus bekerja. 3. Modal harus diketahui dengan jelas jumlahnya sehingga dapat dibedakan dari keuntungan. 4. Pengelola
dana
tidak
diperkenankan
untuk
meminjamkan modal kepada orang lain apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas seizin pemilik dana. 5. Pengelola dana memiliki kebebasan untuk mengatur modal menurut kebijaksanaan dan pemikirannya sendiri, selama tidak dilarang syariah. b. Kerja 1. Kontribusi
pengelola
dana
dapat
berbentuk
keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. 2. Kerja adalah hak pengelola dana dan tidak boleh diintervensi oleh pemilik. 3. Pengelola dan harus menjalankan usaha sesuai dengan syariah. 4. Pengelola dana harus mematuhi semua ketetapan yang ada dalam kontrak.
5. Dalam hal ini pemilik dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, pengelola dana sudah menerima modal dan usaha menerima modal dan sudah bekerja maka pengelola dana berhak mendapatkan imbalan/ganti rugi/upah.
c. Ijab kabul Adalah pernyataan dan ekspresi saling rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal,
tertulis,
melalui
korespondensi
atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern. d. Nisbah Keuntungan 1. Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian keuntungan, mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah atas keuntungan yang diperoleh. Pengelola
dana
mendapatkan
imbalan
atas
penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan harus diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak, inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. Jika memang dalam akad tersebut tidak
dijelaskan
masing-masing
porsi,
maka
pembagiannya menjadi 50% dan 50%. 2. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. 3. Shahibul maal tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai nominal tertentu karena dapat menimbulkan riba.
3.
Jenis-jenis Mudharabah Menurut Syafi’i (2001 : 97) mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu : a. Mudharabah Muthlaqah (investasi tidak terikat) adalah akad mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasi, apabila bank sebagai pengelola dana maka dalam akad ini, dana yang diterima disajikan dalam neraca sebagai investasi tidak terikat. b. Mudharabah Muqayadah adalah akad mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara, dan obyek investasi apabila bank sebagai pengelola dana maka dalam akad ini, dana yang diterima disajikan dalam laporan perubahan investasi terikat sebagai investasi terikat nasabah.
Mudharabah
biasanya
diterapkan
pada
produk-produk
pembiayaan dan pendanaan. Menurut Syafi’i (2001 :97) pada sisi penghimpunan dana Mudharabah diterapkan pada : a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya. b. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misal murabahah saja atau ijarah saja.
4.
Pembiayaan Mudharabah a. Pengertian Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan atau financing, adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pelaku sendiri maupun kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Menurut Syafi’i (2001:160) pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
“Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian
fasilitas
penyediaan
dana
untuk
memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan merupakan suatu pinjaman dana yang diberikan bank Islam kepada masyarakat atau lembaga yang membutuhkan untuk keperluan investasi yang telah direncanakan. b. Pembiayaan Mudharabah Hilang Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang sebelum dimulainya usaha, karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya kelalaian pihak mudharib maka kerugian tersebut mengurangi pembiayaan mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank. Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang setelah dimulainya usaha tanpa adanya kelalaian atau kesalahan
pengelola
dana
maka
kerugian
tersebut
diperhitungkan pada saat bagi hasil. c. Permasalahan–permasalahan Dalam Pembiayaan Mudharabah Berdasarkan teori perbankan syariah kontemporer, prinsip mudharabah dijadikan sebagai alternative penerapan sistem bagi hasil. Dalam praktiknya, ternyata signifikan bagi hasil dalam memainkan operasional investasi dana bank perannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan syariah hal ini terjadi karena beberapa masalah, diantaranya :
1. Standar moral Terdapat
anggapan
berkembang
bahwa
kebanyakan
standar
komunitas
moral
yang
muslim
tidak
memberikan kebebasan pengguna bagi hasil sebagai mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argumen yang mendorong bank untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi yang diberikan. Demikian itu
membuat
operasional
perbankan
berjalan
tidak
ekonomis dan efisien. Berdasarkan hal-hal ini bank syariah menggunakan pembiayaan bagi hasil yang diberikan setelah melakukan pemantauan
yang
mendalam
terhadap
bisnis
yang
dijalankannya, dan hanya akan diberikan kepada rekanan yang kompeten dalam mengelola bisnis, jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan adalah profitable, serta pembiayaan usaha tersebut umumnya jangka pendek. 2. Ketidak efektifan modal pembiayaan bagi hasil Pembiayaan bagi hasil mudharabah tidak menyediakan berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Walau demikian pembiayaan bagi hasil yang diterapkan dalam bentuk mudharabah merupakan alat yang
terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek. 3. Berkaitan dengan pengusaha Sistem bagi hasil untuk membantu perkembangan usaha lebih banyak melibatkan pengusaha secara langsung dari pada sistem lainnya di bank konvensional. Bank syariah memerlukan informasi yang lebih rinci tentang aktivitas bisnis yang dibiayai dan besar kemungkinan pihak bank turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis mitranya, pada sisi lain, keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih menuntut kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam penggunaan dana yang dipinjamkan. 4. Segi biaya Pemberian pembiayaan sistem bagi hasil memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pihak lain. Bank syariah
kemungkinan
besar
meningkatkan
kualitas
pegawainya dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang dipinjam untuk mencermati lebih teliti dari pada teknis peminjaman pada bank konvensional. Hal ini akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para banker dalam menjaga efisiensi kinerja perbankannya
yang
secara
langsung
akan
berimbas
terhadap
pengembalian dana pinjaman dan akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakaian dan tersebut. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh para banker yang digunakan untuk menjaga efektifitas operasional perbankan syariah kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang ditanggung oleh mitra ketika mengembalikan dana pinjaman bagi hasil. 5. Segi teknis Problem teknis menyangkut penggunaan sistem bagi hasil tampaknya berkaitan dengan pihak bank, nasabah, dan
perhitungan
keuntungan.
Bank
membutuhkan
pengetahuan yang luas mengenai perilaku aktivitas ekonomi yang berguna untuk memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan investor dan komitmen dalam sistem bagi hasil juga mengalami kesulitan untuk diterapkan, karena perhitungan sistem bagi hasil harus mengikuti apa yang terjadi secara aktual dalam bisnis.
6. Kurang menariknya sistem bagi hasil dalam aktifitas
Dalam dunia bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem bagi hasil tidak diakui secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia pengusaha oleh pihak bank terhadap urusan manajemen pengusaha. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan berdasarkan bunga, dimana modalnya aman terjaga. 7. Permasalahan efisiensi Kesanggupan para pemberi pinjaman untuk turut menangung resiko kemungkinan akan mendorong investasi lebih
berisiko.
Meskipun
kesanggupan
ini
akan
mengurangi penekanan biaya-biaya yang berguna untuk efisiensi kelangsungan bisnis pada tingkat kepentingan tertentu akan cukup mengesankan.
d. Sebab Berakhirnya Mudharabah Apabila akad mudharabah berakhir sebelum jatuh tempo dan pembiayaan mudharabah tidak langsung dibayarkan oleh pengelola dana maka pembiayaan mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada mudharib.
5. Pengakuan dan Pengukuran Mudharabah Pengakuan pembiayaan mudharabah berdasarkan PSAK No. 105 (2007 : 22) adalah sebagai berikut :
Pengakuan penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi penghasilan usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan mengakui pendapatan dari proyek hasil usaha. Pengukuran investasi mudharabah diatur dalam PSAK No. 105 (2007 : 13) adalah sebagai berikut : a. Investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sejumlah yang dibayar. b. Investasi mudharabah dalam bentuk non kas diukur sebesar nilai wajar pada saat penyerahan : 1. Jika nilai wajar lebih tinggi dari pada nilai tercatatnya diakui, maka selisihnya diakui sebagai keuntungan tangguhan dan diamortisasi sesuai jangka waktu mudharabah. 2. Jika nilai wajar lebih rendah dari pada nilai tercatatnya, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
6.
Manfaat dan Resiko Mudharabah A. Manfaat mudharabah menurut Syafi’i (2001 : 98) adalah sebagai berikut: 1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. 2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, kecuali disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank. 3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah. 4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati dalam mencari usaha
yang
benar-benar
halal,
aman
dan
menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan. 5. Prinsip bagi hasil mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerimaan pembayaran (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
B. Risiko mudharabah Menurut Syafi’i (2001 : 98) risiko yang terdapat dalam mudharabah terutama dalam penerapan pembiayaan, relative tinggi. Diantaranya : 1. Nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. 2. Lalai dan terdapat kesalahan yang disengaja 3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabah tidak jujur.
7.
Metode Bagi Hasil Mudharabah Pengertian bagi hasil menurut Z Dunal (2004: 86) adalah sebagai berikut : Kesepakatan mengenai besarnya masing-masing porsi bagi hasil yang diperoleh pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib) yang terutang dalam akad atau perjanjian yang telah disepakati di muka sebelum dilaksanakan kerjasama. Secara teknis, prinsip bagi hasil terselenggara melalui penyertaan modal atas dasar profit dan loss sharing, profit dan loss sharing serta revenue sharing jika dalam suatu pembiayaan keuntungan usaha dari keuntungan bersih, dengan demikian pemilik modal merupakan mitra, bukan sebagai pihak yang
meminjam dana. Hal ini terbentuk dalam suatu kerja sama antara pemilik modal dengan pengelola dana dalam melaksanakan proyek usaha dengan landasan saling membantu atau saling membutuhkan. Metode bagi hasil mudharabah yang dikemukakan oleh Rizal yaya (2009 : 126) dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu : “Metode bagi laba (profit sharing) dan metode bagi pendapatan (revenue sharing)”.
a. Metode bagi laba (profit sharing) Perhitungan bagi hasil yang mendasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana b. Metode bagi pendapatan (Revenue sharing) Perhitungan bagi hasil yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah, pada dasarnya identik dan sama dengan makna gross profit sharing yang biasa dinamakan laba bruto, yaitu pendapatan dikurangi harga pokok barang yang dijual
Konsep bagi hasil dalam bank syariah menurut IBI (2003) adalah sebagai berikut : a. Pengelola / bank syariah dana tersebut dalam pool of fund, selanjutnya bank akan menginvestasikan dana tersebut
kedalam usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi aspek syariah. b. Kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup kerja sama, nominal, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut. Menurut Syafi’i (2001 :139) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagi hasil yaitu : 1. Faktor langsung (direct factors) Di antara faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah : a. Investment rate merupakan persentase aktual dan yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas. b. Jumlah dana yang tersedia merupakan jumlah dana dari berbagai
sumber
dana
yang
tersedia
untuk
diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan metode : 1. Rata-rata saldo minimum bulanan 2. Rata-rata saldo harian Investment rate dikalikan dengan jumlah dana akan menghasilkan dana aktual yang digunakan.
c.
Nisbah bagi hasil (profit sharing ratio) 1. salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian. 2. Nisbah antara satu bank dan bank lainnya dapat berbeda. 3. Nisbah juga dapat dari waktu ke waktu. 4. Nisbah juga berbeda dari satu account dan account lainnya
2. Faktor Tidak Langsung (inderect factors) Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah: 1. Bank
dan
nasabah
melakukan
share
dalam
pendapatan dan biaya. Pendapatan yang dibagi hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya. 2. Jika semua biaya ditanggung bank, hal ini disebut revenue sharing.
Tabel 2. 1 Perbandingan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional BANK SYARIAH
BANK KONVENSIONAL
Besar kecilnya bagi hasil yang Besar diperoleh bergantung pada : 1. Pendapatan mudharib 2. Nisbah bagi hasil antara bank dan mudharib
kecilnya
bunga
yang
diperoleh bergantung pada : 1. Tingkat
bunga
yang
berlaku saat ini. 2. Nilai tukar mata uang asing
(Sumber : syafi’i, 2001 : 145) Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkup kerja.
8.
Contoh Kasus Mudharabah (Rizal Yaya 2009 :129) Tanggal 1 Agustus 20XA Bank Murni Syariah (BMS) menyetujui pemberian fasilitas mudharabah muthlaqah PT Haniya yang bergerak dibidang SPBU dengan kesepakatan sebagai berikut : Plafon
: Rp 1.450.000.000
Objek bagi hasil
: Pendapatan (Gross Profit Sharing)
Nisbah
: 70% PT Haniya dan 30% BMS
Jangka waktu
: 10 bulan (jatuh tempo 10 juni 20XB)
Pelunasan
: Pengembalian pokok di akhir periode
Keterangan
: Modal dari BMS diberikan secara tunai tanggal 10 Agustus 20XA pelaporan dan pembayaran bagi hasil oleh nasabah dilakukan setiap tanggal 10 mulai bulan september.
Saat Penandatanganan akad Mudharabah Jurnal pada tanggal 1 Agustus atau saat akad mudharabah ditandatangani terdiri atas jurnal pembukaan rekening administratif komitmen pembiayaan PT Haniyah 01/08/XA Db. Kontra Komitmen Administrasi pembiayaan Kr. Kewajiban komitmen Administrasi pembiayaan
1.450.000.000
1.450.000.000
Penyerahan investasi mudharabah Pada tanggal 10 Agustus 20XA, BMS mencairkan pembiayaan sebesar Rp. 1.450.000.000 untuk investasi mudharabah 05/10/XA Db. Pembiayaan mudharabah
1.450.000.000
Kr. Kas/ Rekening nasabah
1.450.000.000
Tabel 2.2 Penerimaan Bagi Hasil Mudharabah
NO
Bulan
Jumlah Laba Bruto
Porsi Bank 30%
Tanggal Pelaporan
Tanggal Pembayaran
(RP)
(RP)
Bagi Hasil
Bagi Hasil
1
Ags XA
20.000.000
6.000.000
10 Sep
10 sep
2
Sep XA
50.000.000
15.000.000
10 Okt
10 Okt
3
Okt XA
45.000.000
13.500.000
10 Nov
10 Nov
4
Nov XA
40.000.000
12.000.000
10 Des
10 Des
5
Des XA
60.000.000
18.000.000
10 Jan
10 Jan
6
Jan XA
50.000.000
15.000.000
10 Feb
10 Feb
7
Feb XA
40.000.000
12.000.000
10 Mar
10 Mar
8
Mar XA
50.000.000
15.000.000
10 Apr
10 Apr
9
Apr XA
55.000.000
16.500.000
10 Mei
10 Mei
10
Mei XB
60.000.000
18.000.000
10 Jun
10 jun
(Sumber : Rizal Yaya, 2009 : 129)
10/09/XA Db. Kas/Rekening nasabah
6.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/10/XA Db. Kas/Rekening nasabah
6.000.000
15.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/11/XA Db. Kas/Rekening nasabah
15.000.000
13.500.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/12/XA Db. Kas/Rekening nasabah
13.500.000
12.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/01/XB Db. Kas/Rekening nasabah
12.000.000
18.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/02/XB Db. Kas/Rekening nasabah
18.000.000
15.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/03/XB Db. Kas/Rekening nasabah
15.000.000
12.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/04/XB Db. Kas/Rekening nasabah
12.000.000
15.000.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/05/XB Db. Kas/Rekening nasabah
15.000.000
16.500.000
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
10/06/XB Db. Kas/Rekening nasabah Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah
16.500.000
18.000.000 18.000.000
Saat akad berakhir Alternatif 1 : Nasabah pembiayaan mampu mengembalikan modal mudharabah Misalkan : Pada tanggal 10 Juni 20XB, saat jatuh tempo, PT. Haniya melunasi pembiayaan mudharabah sebesar Rp 1.450.000.000. maka jurnal transaksi tersebut adalah sebagai berikut: 10/06/XB Db. Kas/ Rekening nasabah Kr. Pembiayaan mudharabah
1.450.000.000 1.450.000.000
Alternatif 2 : Nasabah pembiayaan tidak mampu mengembalikan modal mudharabah Misalkan : pada tanggal 10 Juni 20XB, saat jatuh tempo, PT Haniya tidak mampu melunasi pembiayaan mudharabah, maka jurnal pada saat jatuh tempo tersebut adalah sebagai berikut: 10/06/XB Db. Piutang mudharabah Kr. Pembiayaan mudharabah
1.450.000.000 1.450.000.000