5
BAB II LANDASAN TEORI
A. PNEUMONIA Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan pneumonia sebagai inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit). Pneumonia yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk, sedangkan peradangan paru disebabkan nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, dan obat-obatan) disebut pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014). Pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologis dibagi menjadi empat kelompok yaitu: 1. Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP) yaitu pneumonia yang didapat dari masyarakat. 2. Pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP) yaitu pneumonia yang terjadi setelah 48 jam perawatan di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah sakit. 3. Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia akibat regurgitasi cairan saluran cerna ke paru, terjadi pada penderita penurunan kesadaran seperti penyalahgunaan obat, kejang, gangguan serebrovaskular, atau dalam pengaruh pembiusan. 4. Pneumonia pada penderita immunocompromised merupakan pneumonia yang terjadi pada seseorang dengan defek sistem imun humoral dan selular (Marrie, 2008). Faktor risiko pneumonia komunitas meliputi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, diabetes melitus, keganasan, kelainan neurologis kronik, dan kelainan hepar kronik. Faktor risiko lain yang signifikan adalah tinggal di tempat padat seperti penjara, penampungan tuna wisma, dan panti. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat faktor risiko independen seperti alkoholisme, asma, imunosupresi, dan usia lanjut (≥71 tahun). Aspirasi merupakan faktor risiko mayor infeksi pneumokokus.
1. Etiologi Pengetahuan terhadap patogen penyebab pneumonia komunitas dijadikan dasar pemilihan terapi antibiotik empirik yang berdampak penting terhadap prognosis
6
penderita (Johansson et al., 2010). Sebagian besar kasus pneumonia komunitas disebabkan infeksi bakteri. Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, dan Moraxella catarrhalis merupakan agen penyebab dari 50% kasus pneumonia komunitas dengan S. pneumoniae sebagai penyebab tersering di semua kelompok usia. Organisme Gram negatif akhir-akhir ini makin terlihat sebagai etiologi mayor. Mycoplasma pneumoniae, Chlamidia pneumoniae, dan spesies Legionella merupakan organisme atipik penyebab pneumonia. Mycoplasma pneumoniae dan infeksi Legionella jarang didapatkan pada usia tua, berkebalikan dengan H. influenza (Patterson dan Loebinger, 2012). Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 menunjukkan penyebab terbanyak pneumonia komunitas di ruang rawat inap dari bahan sputum adalah kuman Gram negatif (Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa), sedangkan Gram positif (S. pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus) ditemukan dalam jumlah sedikit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014). Virus merupakan agen penyebab yang sering dihubungkan dengan pneumonia komunitas dan jarang teridentifikasi. Virus influenza merupakan penyebab tersering pneumonia virus dan sering terinfeksi sekunder bakteri. Hal ini diduga karena infeksi virus akan menekan sistem imun dan mengganggu fungsi silia dalam membersihkan organism (Darei dan Mintz, 2006). 2. Respons imun terhadap infeksi Patogen yang masuk host akan menginisiasi interaksi kompleks antara molekul patogen dengan sensor host, bertujuan menginduksi respons imun yang sesuai melalui kerja dinamis sel imun bawaan dan molekul mediatornya. Sistem imun pada mamalia diklasifikasikan menjadi sistem imun bawaan dan adaptif (Kumar et al., 2013; Toews, 2008). a. Sistem imun bawaan Peranan utama sistem imun bawaan adalah mengenali dan mengeliminasi patogen, merupakan lini pertama pertahanan tubuh yang sangat efektif (Kumar et al., 2013; Si-Tahar et al., 2009). Komponen efektor imun bawaan terdiri dari peptida antimikroba (α dan β defensin), mannosa binding protein, lisozim, laktoperoksidase, opsonisasi, aktivasi komplemen, interferon, dan fagosit. Komponen selularnya meliputi
7
sel dendritik, makrofag, neutrofil, sel natural killer (NK), basofil, sel mast, dan eosinofil (Bals dan Hiemstra, 2004). Pathogen-associated
molecular
patterns
(PAMPs)
diekspresikan
mikroorganisme dan penting untuk ketahanan hidupnya, meliputi lipopolisakarida (LPS) dari bakteri Gram negatif, lipopeptida dari bakteri Gram positif, dan doublestranded RNA (dsRNA) dari virus tertentu (Si-Tahar et al., 2009; Toews 2008). Deteksi host terhadap PAMPs merupakan dasar pengenalan patogen dalam imunitas antiinfeksi. Pengenalan patogen melibatkan interaksi PAMPs dengan reseptor selular disebut pattern recognition receptors (PRRs) yang terdiri dari nucleotide-oligomerization domain-like receptors (NLR), retinoic acid-inducible gene (RIG)-I-like helicases, dan toll-like receptors (TLRs). Pattern recognition receptors diekspresikan makrofag, sel dendritik, sel mast, neutrofil, eosinofil, sel NK, sel epitel, dan fibroblast (Abbas dan Lichtman, 2004). Toll-like receptors merupakan kelompok PRRs yang akhir-akhir ini paling banyak dipelajari, terdapat minimal sepuluh tipe yang diketahui berperan dalam proses pengenalan mikroba di permukaan sel maupun endosom. Toll-like receptor-4 mengenali endotoksin dan LPS bakteri gram negatif, sedangkan TLR-2 mengenali lipoprotein atau lipopeptida, lipoarabinomanan, lipoteichoic acid, peptidoglikan, dan zimosin. Proses pengenalan PAMPs memicu fagositosis sistem imun bawaan dan respons imun adaptif selular maupun humoral (Si-Tahar et al., 2009). Gambar 1 menjelaskan tentang mekanisme imun bawaan dan adaptif.
.
Gambar 1. Mekanisme sistem imun bawaan dan adaptif. Dikutip dari (Abbas dan Lichtman, 2004)
8
b. Sistem imun adaptif Sistem imun adaptif terdiri dari dua tipe yaitu humoral (diperantarai limfosit B) dan selular (diperantarai limfosit T), yang dirancang sebagai pertahanan melawan mikroba
ekstraselular.
Kelengkapan
terpenting
sistem
imun
adaptif
yang
membedakannya dengan sistem imun bawaan adalah struktur spesifik sehingga mampu membedakan antigen dan memiliki memori terhadap paparan antigen sebelumnya seperti terlihat pada Tabel 1 (King, 2012; Abbas dan Lichtman, 2004). Tabel 1. Properti sistem imun adaptif Properti Spesifisitas Memori Spesialisasi Nonreaktivitas terhadap antigen internal
Signifikansi dalam imunitas terhadap mikroba Kemampuan mengenali dan merespons mikroba yang berbeda Memperkuat respons terhadap infeksi berulang atau persisten Mengoptimalkan respons dalam pertahanan melawan mikroba yang berbeda Mencegah agar respons imun tidak mencederai sel dan jaringan host Dikutip dari (Abbas dan Lichtman, 2004)
Limfosit B mengenali antigen asli berupa karbohidrat, protein, dan kelompok kimia sederhana. Reseptor limfosit T hanya mengenali peptida yang berasal dari antigen protein terikat pada permukaan sel major histocompatibility complex (MHC) (King, 2012; Toews, 2008,). Respons imun adaptif terdiri dari tiga fase sekuensial yaitu pengenalan antigen oleh limfosit spesifik, aktivasi limfosit (terdiri dari proliferasi dan diferensiasi menjadi sel efektor), dan efektor (eliminasi antigen). Respons menurun apabila antigen telah dieliminasi dan sebagian besar limfosit terstimulasi antigen mengalami kematian karena apoptosis. Sel yang mampu bertahan bertanggungjawab dalam hal memori. Durasi tiap fase dapat bervariasi untuk respons imun berbeda. Respons imun terhadap antigen spesifik membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari untuk proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan T (King, 2012; Toews, 2008; Abbas dan Lichtman, 2004).
9
Sel dendritik berperan sebagai penghubung antara respons imun bawaan dan adaptif, terdapat di jaringan perifer sebagai sel imatur (Visvanathan et al., 2009). Sel ini mengenali patogen melalui TLRs, setelah teraktivasi akan berubah menjadi matur yang mengekspresikan major histocompatibility complex (MHC) I dan II. Sel dendritik bermigrasi ke limfonodi untuk mengaktifkan sel T naive yang spesifik terhadap antigen, selanjutnya mengalami proliferasi dan diferensiasi ke dalam tipe tertentu dari respons sel T seperti terlihat pada Gambar 2. Sel T helper (Th)-1 memproduksi interferon (IFN)γ dan terutama membantu sel monositik, termasuk makrofag dan sel dendritik, selanjutnya akan membunuh patogen intraselular serta memperkuat opsonisasi dengan bantuan sel B (Lambrecht et al., 2013; Visvanathan et al., 2009).
Gambar 2. Regulasi aktivasi dan respons sel T helper Dikutip dari (Lambrecht et al., 2013) 3. Patogenesis Saluran napas bawah dirancang efektif untuk melindungi dari invasi patogen. Infeksi dapat terjadi apabila mekanisme proteksi terganggu atau tingginya jumlah pathogen (Nair dan Niederman, 2011; Darei dan Mintz, 2006). Predisposisi pneumonia antara lain pada kondisi penurunan atau penekanan batuk, gangguan aktivitas mukosilier, penurunan aktivitas fagositik efektif dari makrofag alveolar dan neutrofil, serta gangguan produksi Ig (Seaton, 2000).
10
Risiko infeksi paru dipengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk merusak permukaan epitel saluran napas. Mikroorganisme dapat mencapai permukaan saluran napas melalui empat cara yaitu inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, dan kolonisasi di permukaan mukosa. Kolonisasi merupakan cara terbanyak, sebagai hasil abnormalitas pertahanan alamiah yang akan mempengaruhi
keseimbangan
antara
replikasi
bakteri
serta
pembersihannya
(Moldoveanu et al., 2009). Pneumonia merupakan konsekuensi kolonisasi di paru, cedera epitel terinduksi patogen, aktivasi inflamasi, dan aktivasi berlebihan dari mekanisme perbaikan jaringan. Kebocoran vaskular dan edema yang disebabkan respons host tersebut menyebabkan patogen mendapat akses masuk ke dalam darah, menyebar sistemik dan menyebabkan sepsis (Eisele dan Anderson, 2014). Infeksi parenkim paru tidak hanya diikuti perubahan fungsi normalnya, tetapi juga memicu respons sistemik terhadap invasi mikroorganisme. Konsekuensi patofisiologis inflamasi dan infeksi berupa penurunan ventilasi pada area terkena. Alveoli yang terisi penuh eksudat inflamasi memungkinkan tidak terjadi ventilasi dan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi yang ekstrim bermanifestasi sebagai hipoksemia (Weinberger, 2008). Infeksi bakterial akut terjadi apabila bakteri berjumlah sangat banyak menyerang pertahanan lokal, memicu inflamasi akut yang melibatkan imunitas bawaan dan adaptif (Moldoveanu et al., 2009). Respons inflamasi lokal dimulai saat invasi patogen mencapai parenkim paru. Sel inflamasi dan cairan akan masuk ke alveoli menghasilkan konsolidasi, diikuti keluarnya mediator inflamasi yang ikut sirkulasi darah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya tanda dan gejala pneumonia. Keseimbangan antara respons inflamasi host dan pertumbuhan mikroba merupakan faktor kunci proses penyakit. Inflamasi seperti pedang bermata dua yang penting untuk resolusi infeksi tetapi juga bertanggungjawab pada kerusakan jaringan (Darei dan Mintz, 2006). Bakteri dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok mayor berdasarkan perbedaan karakteristik pengecatan dinding sel, yaitu Gram positif dan negatif seperti terlihat pada Gambar 3 (Akira et al., 2006). Lipopolisakarida bakteri (atau endotoksin) merupakan molekul amphophilic besar yang melekat pada bagian luar membran bakteri Gram negatif dan dianggap sebagai komponen utama dalam menginduksi terjadinya syok septik pada infeksi bakteri yang berat. Reseptor utama LPS adalah CD14 merupakan marker permukaan sel makrofag, sedangkan lipid A sebagai bagian toksik
11
dari molekul LPS menyebabkan pelepasan sejumlah sitokin proinflamasi serta aktivasi cascade komplemen dan koagulasi (Wilson, 2002). Bakteri terinhalasi dalam jumlah signifikan menghadapi mekanisme pertahanan pertama host berupa pelepasan toksin silier, pneumolisin, endotoksin, dan protease IgA sehingga mengganggu bersihan mukosilier dan membuat bakteri melekat pada epitel. Sel dendritik, makrofag alveolar, dan sel epitel teraktivasi sebagai penanda patogen yang terindentifikasi melalui TLRs. Pengenalan patogen akan mengawali inflamasi, berkembang melalui empat fase yaitu inisiasi, amplifikasi, fagositosis, dan resolusi (Moldoveanu et al., 2009). a. Inisiasi Toll-like receptors merupakan PRRs yang terikat pada membran, mengenali pola molekular spesifik patogen yang dikenal sebagai PAMPs. Toll-like receptors setidaknya memiliki sepuluh tipe yang mengenali mikroba pada permukaan sel atau di dalam endosom, misalnya TLR-4 mengenali endotoksin dan lipopolysaccharide-binding proteins bakteri Gram negatif, sedangkan TLR-2 mengenali bakteri Gram positif dan peptidoglikan (Christaki dan Bourboulis, 2014; Moldoveanu et al., 2009).
Gambar 3. Perbedaan karakteristik dinding sel bakteri Gram positif dan negatif Dikutip dari (Akira et al., 2006) Jalur signaling TLR-4 dalam mengenali LPS terbagi menjadi dua jalur berbeda yaitu LPS-1 dan 2. Jalur LPS-1
merupakan jalur klasik LPS pada lekosit yang
dimediasi molekul adaptor intraselular yaitu myeloid differentiation factor 88 (MyD88), selanjutnya akan mengaktivasi enzim yang memperantarai jalur reseptor IL-1 antara lain
12
IL-1 receptor associated kinase (IRAK)-4 dan IRAK-1 dan secara cepat mengaktivasi NF-κB dan memproduksi sejumlah sitokin proinflamasi. Sebaliknya, jalur LPS-2 dimediasi oleh protein adaptor intraselular berbeda yang disebut toll receptorassociated molecule (TRAM) dan TIR-domain-containing adapter-inducing interferonβ (TRIF), mengaktivasi lambat elemen IFN sehingga menghasilkan IFN tipe I dan menginduksi inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Martin dan Frevert, 2005). b. Amplifikasi Aktivasi sel setelah PAMPs dapat dikenali akan meningkatkan faktor transkripsi seperti NF-κB, produksi hormon pertumbuhan, kemokin, molekul adhesi, dan sitokin proinflamasi seperti IL-8 dan TNF-α. Jalur utama respons inflamasi dikendalikan faktor transkripsi selular NF-κB yang bermigrasi ke nukleus dan membentuk kompleks dengan DNA, menghasilkan ekspresi sitokin proinflamasi (Christaki dan Bourboulis, 2014; Moldoveanu et al., 2009). Neutrofil bermigrasi cepat dari darah menuju tempat infeksi, dimediasi kemoatraktan seperti IL-8, granulocyte chemotactic protein (GCP)-2, leukotrien B4 (LTB4) yang disekresi monosit, makrofag, keratinosit, sel mast, endotel, dan sel imun host lainnya. Pengenalan dan fagositosis neutrofil terhadap mikroorganisme yang menginvasi dimediasi melalui PRRs dan difasilitasi antibodi Fc serta reseptor komplemen yang mengikat komplemen dan mikroba terselimuti antibodi (Christaki dan Bourboulis, 2014). Keseluruhan proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Interleukin-8 bertindak sebagai agen kemotaktik neutrofil, sedangkan TNF-α meningkatkan eskpresi molekul adhesi sel endotel kapiler paru untuk peningkatan adhesi neutrofil. Neutrofil teraktivasi akan melepaskan lebih banyak IL-8 sehingga pada akhirnya akan meningkatkan perekrutan neutrofil. Tumor necrosis factor-α diproduksi secara cepat oleh sel darah teraktivasi dan berperan sebagai
proinflamasi dan
prokoagulan, diperkuat sitokin lain seperti IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, dan IFN-γ. Saat neutrofil dan makrofag alveolar melawan patogen pada jalur nonspesifik, sel dendritik mempresentasikan limfosit T dengan antigen asing yang menyebabkan respons Th1 maupun Th2. Sel T teraktivasi dan sel B akan ikut mempertahankan tubuh terhadap serangan bakteri. Pelepasan hormon pertumbuhan dan sitokin dari sel T teraktivasi
13
selanjutnya akan menstimulasi makrofag (Christaki dan Bourboulis, 2014; Moldoveanu et al., 2009).
Gambar 4. Sekuestrasi neutrofil dan kerusakan paru diinduksi bakteri pada infeksi saluran napas bawah. Keterangan: (1) Bakteri berinteraksi dengan sel dalam alveoli termasuk sel epitel alveolar dan makrofag, (2) menginduksi sekresi sitokin dan kemoatraktan neutrofil, (3) Sitokin meningkatkan ekspresi sel molekul adhesi pada endotel kapiler, (4) memperantarai perpindahan neutrofil ke dalam rongga alveolar berdasarkan gradien kemotaktik, (5) perpindahan neutrofil memproduksi protease, reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS), (6) berperan pada sel terinfeksi dan menginduksi kematian sel yang nekrotik. Secara bertahap, proses tersebut akan menyebabkan cedera paru luas.
Dikutip dari (Craig et al., 2009) c. Fagositosis Fagositosis merupakan proses dimana partikel dikenali, diikat pada permukaan sel, dan mengalami internalisasi ke dalam membran plasma vakuola intraselular atau fagosom. Sel fagosit mamalia yaitu leukosit PMN (dikenal sebagai neutrofil), sel dendritik, monosit, dan makrofag. Pada saat mikroorganisme memasuki bagian steril tubuh, sel fagosit akan menarik secara kemotaktik, mengikat mikroorganisme, mencerna, dan mematikannya (March et al., 2013). Mikroorganisme yang menginvasi dimatikan dan dibersihkan melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama melibatkan makrofag alveolar dan kemampuannya
14
membebaskan faktor kemotaktik di sekitar neutrofil dan mengawali respons imun. Mekanisme kedua terjadi saat bakteri memicu sel T, mengeluarkan sitokin yang menstimulasi kapasitas fagositik dan bakterisidal makrofag alveolar. Setelah fagositosis, mikroorganisme dalam fagosom akan dimusnahkan melalui nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oxidase-dependent dan myeloperoxidase-dependent reactive oxygen species atau peptida antimikroba dari granula sitoplasma (Christaki dan Bourboulis, 2014; Moldoveanu et al., 2009). Peran neutrophil extracellular traps (NETs) dalam memperkuat aktivitas fagositik dan memproduksi molekul antimikroba sering dibicarakan dan sampai saat ini masih dalam penelitian. Neutrophil extracellular traps terdiri dari histon, kromatin, granula azurofilik, dan protein sitosolik yang mengikat dan menghancurkan patogen. Neutrophil extracellular traps mampu mengikat gram negatif maupun positif, dapat dengan mudah menghancurkan faktor virulensi bakteri dan membunuh bakteri secara ekstraselular karena tingginya kadar protease serin (Christaki dan Bourboulis, 2014; Kumar dan Sharma, 2010). Dua model NETs yang dikeluarkan di rongga ekstraselular melibatkan mekanisme kematian sel karena dikeluarkan dari neutrofil mati atau melibatkan ekstrusi material kromatin bersama dengan protease serin dari neutrofil intak. Mekanisme pertama terjadi dalam 2-3 jam setelah pajanan myristate phorbol (PMA), Staphylococcus aureus, atau Candida albicans sebagai stimulus. Mekanisme kedua melibatkan pengenalan LPS atau bakteri patogen oleh trombosit atau neutrofil, terjadi sangat cepat dalam beberapa menit setelah pajanan, dan terkait dengan obstruksi vaskular selama terjadinya sepsis (Kumar dan Sharma, 2010). Perangkap
yang
terdapat
dalam
serat
DNA
mencegah
penyebaran
mikroorganisme dan menyediakan faktor antimikroba berkadar tinggi pada tempat infeksi. Proses ini terjadi selama interaksi antara permukaan sel patogen dengan komponen NETs. Fungsi antimikroba ini diperoleh dari protein granula maupun sitoplasma, seperti NE, histon, MPO, katepsin G, proteinase 3 (PR3), laktoferin, kalprotektin dan peptida antimikroba. Aktivitas antimikroba NETs merupakan hasil perpaduan komponen-komponen tersebut. Histon merupakan komponen paling toksik, meskipun mekanisme toksisitasnya masih belum jelas diketahui (Zawrotniak dan Kozik, 2013). Mekanisme pelepasan NETs dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
15
Gambar 5. Mekanisme pelepasan NETs Keterangan: NE= neutrophil elastase, MPO= myeloperoxidase, PAD4= peptidylarginine deaminase 4, PMA= phorbol-12myristate-13-acetate, fMLP= N-formyl-methionyl-leucylphenylalanine
Dikutip dari (Zawrotniak dan Kozik, 2013) d. Resolusi Resolusi terjadi setelah keberhasilan respons host. Fagositosis bakteri komplit disertai penghancuran bakteri oleh ROS, protein penginduksi permeabilitas bakterisidal, laktoferin, elastase, serta NETs akan menurunkan pengaturan sistem pertahanan host. Perbaikan inflamasi paru tergantung pada apoptosis dan pengeluaran sel inflamasi akut oleh makrofag secara adekuat (Moldoveanu et al., 2009). Penelitian terbaru menunjukkan neutrofil mengatur fase resolusi melalui mekanisme berbeda meliputi penangkapan kemokin dan/ atau sitokin serta pembentukan mediator pro-resolving lipid (lipoksin, resolvin, dan protektin). Mediator ini menghentikan infiltrasi neutrofil dan meningkatkan uptake neutrofil apoptotik oleh makrofag. Apoptotik neutrofil juga mengamplifikasi ekspresi CC-chemokine receptor 5 (CCR5) yang akhirnya akan menyebabkan sekuestrasi dan pembersihan CC-chemokine ligand 3 (CCL3) dan CCL5 (Mantovani et al., 2011). 4. Stres oksidatif Radikal bebas meliputi atom, molekul atau ion dengan elektron tidak berpasangan yang bereaksi aktif secara kimiawi dengan molekul lainnya. Radikal bebas seringkali berasal dari molekul O2, nitrogen, dan sulfur sebagai bagian dari kelompok molekul
16
yang disebut ROS, reactive nitrogen species (RNS), dan reactive sulphur species (RSS). Sebagai contoh, ROS mencakup radikal bebas seperti anion superoksida (O2 -.), radikal perhidroksil (HO2.), radikal hidroksil (.OH), nitrit oksida, dan spesies lain seperti hidrogen peroksida (H2O2), singlet oxygen (1O2), hypochlorous acid (HOCl), dan peroksinitrit (ONOO-) (Lu et al., 2010). Jalur produksi ROS dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6 Jalur produksi ROS Dikutip dari (Kunwar dan Priyadarsini, 2011) Reactive oxygen species diproduksi selama metabolisme selular dan aktivitas fungsional, pada kadar rendah berperan penting dalam cell signaling, apoptosis, ekspresi gen, dan pertahanan terhadap infeksi. Sejumlah molekul antara lain protein, lipid, RNA, dan DNA yang berukuran sangat kecil serta reaktif dapat terganggu oleh produksi ROS berlebihan (Kunwar dan Priyadarsini, 2011). Keseimbangan antara produksi ROS/RNS dengan pertahanan antioksidan menentukan status redoks intraselular yang berperan mengoptimalkan fungsi sel serta ekspresi gen (FisherWellman dan Bloomer, 2009). Reactive oxygen species memiliki fungsi mikrobisidal tetapi berefek negatif menyebabkan cedera jaringan host. Produksi radikal bebas melibatkan makrofag dan neutrofil untuk mengatasi invasi mikroorganisme, terlihat pada sel host selama aktivasi fagosit atau reaktivitas mikroorganisme beserta produknya terhadap reseptor spesifik. Lipopolisakarida berkontribusi penting terhadap peningkatan ROS, menginduksi acute lung injury (ALI), dan proliferasi abnormal fibroblast paru
17
pada tahap awal penyakit yang berhubungan dengan aktivasi jalur PI3K-Akt (Chen et al., 2014). Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara terbentuknya ROS atau RNS dengan kapasitas organisme untuk menetralisir melalui sistem proteksi antioksidatif, ditandai penurunan kapasitas sistem endogen untuk melawan proses oksidatif secara biomolekular (Pisoschi dan Pop, 2015). Stres oksidatif dapat mengganggu rasio glutathione/glutathione disulphide (GSH/GSSG), menyebabkan aktivasi faktor transkripsi sensitif redoks seperti NF-κB dan HIF-1
yang
mentransmisikan informasi ke sel. Reactive oxygen species mengaktivasi NF-κB melalui fosforilasi IκBs pada residu serin sehingga dapat masuk ke nukleus untuk mengaktifkan transkripsi gen. Sejumlah kinase diketahui dapat memfosforilasi IκBs sehingga menjadi target sinyal oksidatif untuk mengaktifkan NF-κB. Proses ini akan menghasilkan produksi sejumlah mediator inflamasi seperti IL-1β, IL-6, TNF-α, IL-8, dan molekul adhesi. Nuclear factor kappa B juga meregulasi angiogenesis, proliferasi, dan diferensiasi sel (Al-Dalaen dan Al-Qtaitat, 2014). Pneumonia merupakan infeksi paru yang biasanya disebabkan bakteri dan virus. Stres oksidatif merupakan bagian penting dari respons imun bawaan terhadap patogen yang akan meningkatkan produksi mediator inflamasi paru. Efek yang terjadi berupa peningkatan ekspresi intercellular adhesion molecule (ICAM)-1 dan IL-6 serta hipersekresi mukus. Penelitian Chen et al. (2014) menunjukkan pneumonia meningkatkan ROS jaringan paru, berkorelasi dengan derajat beratnya pneumonia. Peningkatan TNF-α dan IL-6 didapatkan bermakna pada pneumonia berat, sehingga didapatkan bukti bahwa stres oksidatif dan kerusakan DNA berperan penting pada patogenesis pneumonia berat. Antioksidan merupakan molekul yang dapat menetralisir radikal bebas dengan cara menerima atau mendonorkan elektron untuk mengeliminasi kondisi radikal tidak berpasangan. Molekul ini dapat bereaksi langsung dengan radikal reaktif dan menghancurkannya sehingga menjadi radikal bebas baru yang tidak terlalu aktif, mampu bertahan lama, dan kurang berbahaya (Kunwar dan Priyadarsini, 2011). Hubungan antara antioksidan dan oksidan diperlihatkan pada Gambar 7.
18
Gambar 7. Hubungan timbal balik antara oksidan dan antioksidan Keterangan: NOS= NO-synthase, ROS= reactive oxygen species, CAT= catalase, SOD= superoxide dismutase, GPx= glutathione peroxidase, GST= glutathione S-transferase, UA= uric acid, GSH= glutathione reduced.
Dikutip dari (Durackova, 2010) Antioksidan dapat bersifat endogen atau eksogen, disebut ideal apabila mudah diabsorpsi, mampu meredam radikal bebas, dan chelate redoks logam. Antioksidan pada manusia terdiri dari dua sistem sangat kompleks yaitu enzimatik dan nonenzimatik. Antioksidan enzimatik mayor yang sering ditemukan di paru adalah superoxide dismutase (SOD), katalase, glutathione peroxidases (GSH-Pxs), dan glutathione-Stransferase (GSTs) (Al-Dalaen dan Al-Qtaitat 2014). Pembentukan radikal bebas dihambat antioksidan melalui satu atau lebih mekanisme yaitu mengenali spesies yang menginisiasi peroksidasi, berikatan dengan ion logam sehingga tidak dapat menstimulasi keluarnya reactive species atau dekomposisi lipid peroksidase, quenching .
O2- mencegah pembentukan peroksidase, memecah rantai autooksidatif, dan/ atau
mengurangi konsentrasi O2 terlokalisir (Brewer, 2011). Peran penting stres oksidatif pada pneumonia komunitas diperlihatkan melalui penelitian Castillo et al. (2013) yang menyatakan skor FINE berkorelasi negatif dengan kadar ferric reducing ability of plasma (FRAP) dan positif dengan kadar malondialdehyde (MDA), sehingga disimpulkan pemberian antioksidan sebaiknya dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada penderita pneumonia komunitas yang dirawat.
19
5. Diagnosis pneumonia komunitas Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis, dan laboratorium. a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Diagnosis pasti pneumonia komunitas menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2014) ditegakkan apabila pada foto toraks didapatkan infiltrat atau air bronchogram ditambah beberapa gejala di bawah ini: - batuk - perubahan karakteristik sputum atau purulen - suhu tubuh ≥ 380 Celcius (aksila) atau riwayat demam - nyeri dada - sesak - pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial, dan ronki - leukosit ≥10.000/uL atau <4500/uL Pneumonia komunitas secara klinis dibagi menjadi tipikal dan atipikal. Tipikal disebabkan bakteri seperti S. pneumoniae dan H. influenzae, ditandai demam, batuk produktif, nyeri pleuritik, dan sesak napas. Pemeriksaan fisik didapatkan takipnea, takikardi, dan konsolidasi paru berupa pekak pada perkusi, peningkatan fremitus, egofoni, suara napas bronkial, dan ronki. Pneumonia atipikal disebabkan C. pneumoniae, L. pneumophila, M. pneumoniae ditandai onset gradual dari batuk nonproduktif dan sesak napas. Manifestasi ekstraparu (demam, myalgia, fatigue, dan nyeri telan) lebih dominan pada atipikal, meskipun demikian perbedaan gejala klinis tersebut tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi agen penyebab. Munculnya gejala klinis dapat dipengaruhi kondisi komorbid dan usia tua (Darei dan Mintz, 2006). b. Pemeriksaan radiologis Berdasarkan rekomendasi Infectious Diseases Society of America and American Thoracic Society (IDSA/ATS) diagnosis pneumonia harus memasukkan pemeriksaan foto toraks dimana didapatkan infiltrat, konsolidasi, dan terkadang kavitasi. Konsolidasi terlihat pada lebih dari 90% foto toraks penderita, dapat sulit dilihat pada lobus bawah kiri karena tertutup bayangan jantung. Pneumonia disebabkan M. pneumoniae dan C. pneumophila sering terlihat sebagai infeksi saluran napas kecil (bronkiolitis) daripada
20
konsolidasi lobar, menyebabkan perubahan interstitial yang mudah terlewatkan pada foto toraks berkualitas buruk tetapi mudah teridentifikasi melalui computed tomography (CT) scan sebagai perubahan “tree-in-bud” (Brown, 2012). Opasitas pada foto toraks dianggap sebagai gold standard diagnosis pneumonia, meskipun hal tersebut dapat berkaitan dengan
infeksi, infark, perdarahan, edema,
keganasan, maupun inflamasi disebabkan berbagai proses seperti vaskulitis atau efek samping obat. Sejumlah penelitian menunjukkan penyebab bakterial dan nonbakterial tidak dapat dibedakan berdasarkan foto toraks (Seaton, 2000). c. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada kasus pneumonia tidak berarti menunda pemberian antibiotik yang pemilihannya berdasarkan pengetahuan terhadap jenis patogen dan perkiraan beratnya infeksi (Seaton, 2000). Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan lekosit lebih dari 10.000/ul atau kurang dari 4.500/ul, hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri, dan peningkatan laju endap darah (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan penyebab pneumonia meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur sputum, kultur darah, antigen terhadap S. pneumoniae dan L. pneumophilia dalam urin, serta uji serologi dan molekular terhadap virus influenza, M. pneumoniae, Chlamydophila, dan C. burnetti (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014). Oksigenasi dinilai dengan pulse oxymetri dan pemeriksaan analisis gas darah apabila saturasi di bawah 94% atau didapatkan pneumonia berat. Desaturasi harus segera dikoreksi karena dapat memperberat infeksi. Kebutuhan O2 inspirasi sebesar 35% atau lebih untuk mempertahankan saturasi O2 sekitar 90% menandakan pneumonia berat, demikian juga dengan PaO2 kurang dari 60 mmHg atau PaCO2 lebih dari 50 mmHg. Pemasangan ventilasi mekanik sebaiknya dilakukan pada kondisi ini (Patterson dan Loebinger, 2012; Seaton, 2000). d. Penilaian tingkat keparahan Tingkat keparahan pneumonia menentukan tempat perawatan (rawat inap atau jalan), pemeriksaan mikrobiologi lebih lanjut, dan pemilihan antibiotik awal secara empirik (Steel et al., 2013). Keputusan merawat inap atau merawat jalan penderita
21
merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan pneumonia komunitas (Darei dan Mintz, 2006). Sistem penilaian keparahan pneumonia yang sering digunakan adalah pneumonia severity index (PSI) dan confusion, urea, respiratory rate, blood pressure and age (CURB)-65. Sejumlah sistem penilaian tambahan telah dikembangkan, termasuk penilaian terhadap penderita yang memerlukan perawatan di intensive care unit (ICU), seperti kriteria IDSA/ATS, systolic blood pressure, multilobar chest radiography involvement, albumin level, respiratory rate, tachycardia, confusion, oxygenation, and arterial pH (SMART-COP), dan severe community acquired pneumonia (SCAP) (Steel et al., 2013; Singanayagam et al., 2009; Darei dan Mintz, 2006). Pneumonia severity index dikembangkan Fine et al. pada tahun 1997 untuk mengidentifikasi penderita pneumonia komunitas berisiko kematian rendah dalam tiga puluh hari, telah divalidasi terhadap 40.000 penderita dalam penelitian Pneumonia Outcome Research Team (PORT) (Singanayagam et al., 2009). Parameter yang dinilai dan pengelompokkan penderita ke dalam kelas risiko dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2014)
merekomendasikan apabila
menggunakan PSI dalam menilai keparahan pneumonia, maka kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap adalah: 1. Skor PSI lebih dari 70 2. Skor PSI kurang dari 70 tetapi dijumpai salah satu dari kriteria sebagai berikut: - Frekuensi napas >30 kali per menit - PaO2/FiO2 <250 mmHg - Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus - Tekanan sistolik <90 mmHg - Tekanan diastolik <60 mmHg 3. Pneumonia pada pengguna NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).
22
Tabel 2. Sistem penilaian PSI Karakteristik Penderita Faktor demografi Umur: Laki-laki Perempuan Perawatan di rumah
Skor Umur (tahun) Umur (tahun) dikurangi 10 Umur (tahun) ditambah 10
Penyakit penyerta Keganasan Penyakit hati Gagal jantung kongestif Penyakit serebrovaskular Penyakit ginjal
30 20 10 10 10
Temuan pemeriksaan fisik Perubahan status mental Frekuensi napas ≥30/menit Tekanan darah sistolik ≤90 mmHg Suhu tubuh <35oC atau ≥40oC Denyut nadi >125/menit
20 20 20 15 10
Temuan laboratorium dan radiologi pH darah arteri <7,35 Blood urea nitrogen >30 mg/dl Sodium <130 mmol/L Glukosa >250mg/dl Hematokrit <30% Tekanan parsial oksigen arteri ≤60 mmHg Efusi pleura
30 20 20 10 10 10 10
Dikutip dari (Darei dan Mintz, 2006) Tabel 3. Stratifikasi risiko kematian dan perawatan berdasarkan PSI Kelas risiko
Jumlah poin
I (Ringan)
II (Ringan) III (Ringan)
(usia < 50 tahun, tidak ada penyakit penyerta dan abnormalitas tanda vital) ≤ 70 71-90
IV (Sedang) V (Berat)
91-130 > 130
Mortalitas 30 hari (%) 0,1
0,6 2,8 8,2 29,2
Perawatan Rawat jalan
Rawat jalan Rawat jalan/ inap Rawat inap Rawat inap
Dikutip dari (Restrepo dan Anzueto, 2009) British Thoracic Society (BTS) mengembangkan CURB-65 pada tahun 2003 yang sekarang telah divalidasi pada 12.000 penderita dari berbagai negara. Tabel 4 dan 5 menunjukkan penilaian dan pengelompokkan penderita ke dalam kelas risiko. Keuntungan CURB-65 lebih mudah digunakan tetapi dapat lalai menilai keparahan pneumonia pada penderita muda dengan komorbid (Steel et al., 2013; Singanayagam et al., 2009).
23
Tabel 4. Sistem penilaian CURB-65 (setiap kriteria memiliki 1 poin) Confusion
Blood urea nitrogen > 20 mg/dL (7 mmol/L) Respiratory rate > 30x/menit Blood pressure (sistolik < 90 mmHg atau diastolik ≤ 60 mmHg) Usia ≥ 65 tahun
Dikutip dari (Marrie, 2008) Tabel 5. Risiko kematian dan perawatan berdasarkan CURB-65 Skor 0 atau 1 2 ≥3
Perawatan Rawat jalan Rawat inap Perawatan intensif
Mortalitas 30 hari (%) 0,7-2,1 9,2 15-40
Dikutip dari (Watkins dan Lemonovich, 2011) 6. Penatalaksanaan pneumonia komunitas Penderita pneumonia komunitas diharuskan beristirahat dan menghindari asap rokok, menjaga kecukupan hidrasi dan nutrisi adekuat dengan suplementasi O2 untuk mempertahankan saturasi 94-98% pada mereka yang tidak berisiko mengalami gagal napas hiperkapnik. Mobilisasi dini dan profilaksis terhadap tromboemboli vena juga direkomendasikan (Patterson dan Loebinger, 2012). Antibiotik empirik berdasarkan prevalensi patogen dan profil resistensi antibiotik lokal sebaiknya diberikan dalam empat jam pertama, dilanjutkan 5-7 hari pada pneumonia komunitas ringan sampai sedang, dan 7-10 hari pada yang berat. Sulih terapi antibiotik dari intravena ke oral sebaiknya dilakukan apabila hemodinamik stabil, terjadi perbaikan klinis, dan fungsi pencernaan normal (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014; Patterson dan Loebinger, 2012). Strategi de-eskalasi direkomendasikan untuk mencegah melonjaknya resistensi bakteri, didefinisikan sebagai pengubahan terapi antibiotik empirik spektrum luas (terapi inisial efektif) menjadi lebih sempit setelah penilaian ulang dalam 72 jam inisiasi terapi bergantung pada perolehan data mikrobiologi. Antibiotik yang tepat memiliki spektrum lebih sempit, efikasi tinggi, toksisitas minimal, dan ekonomis (Khasawneh et al., 2014).
24
B. INTERLEUKIN-6 Interleukin-6 disekresi oleh sejumlah sel yaitu limfosit T, makrofag, sel endotel, dan sel epitel. Peningkatan kadar IL-6 pada reaksi inflamasi terjadi lebih awal dibandingkan sitokin lain dan memiliki waktu paruh lebih panjang (20-60 menit) sehingga sangat berguna sebagai marker aktivasi sitokin proinflamasi. Sejumlah penelitian menemukan korelasi positif antara kadar IL-6 serum saat masuk rumah sakit dengan kematian pada penderita pneumonia komunitas, sehingga IL-6 memiliki nilai prediktif independen pada kematian pneumonia komunitas (Andrijevic et al., 2014). 1. Struktur dan biosintesis Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik, berperan pada imunoregulasi dan sistem imunitas di berbagai sel dan jaringan. Sitokin ini tidak hanya terlibat dalam proses inflamasi dan infeksi, tetapi juga dalam proses regulasi metabolik, regeneratif, dan neurologis. Interleukin-6 termasuk dalam kelompok sitokin family IL-6, seperti IL11, oncostatin M (OSM), leukemia inhibitory factor (LIF), ciliary neurotropic factor (CTNF), cardiotrophin-1 (CT-1), dan cardiotrophin-like cytokine, ditandai dengan protein gp130 (Scheller et al., 2011). Gen IL-6 terletak dilengan pendek kromosom 7p15-p21 terdiri dari lima ekson dan empat intron. Pembentukan gen IL-6 homolog dengan gen G-CSF sehingga bentuk gen IL-6 menyerupai G-CSF. Protein IL-6 manusia merupakan protein molekular dengan berat molekul 21-28 kDa dipengaruhi proses paskatranslasi seperti glikosilasi dan fosforilasi. Peptida IL-6 berisi 212 asam amino (aa), 28 aa diantaranya dipecah sehingga dihasilkan protein matur dengan 184 aa, terdiri dari dua potensial N-glycosilation (N dan O gylcosylated) dan 4 sistein residu. Struktur protein IL-6 terlihat pada Gambar 8, dibentuk 4 helices terdiri dari 4 antiparalel helices (berwarna) dan dihubungkan dengan connecting loop (abu-abu). Site I, II, dan III merupakan tempat ikatan dengan IL-6 (Heinrich et al., 2003).
25
Gambar 13. Struktur IL-6 Keterangan: gp130, glycoprotein 130 Dikutip dari (Heinrich et al., 2003) 2. Mekanisme kerja Sejumlah sel dilaporkan dapat menghasilkan IL-6, yaitu sebagian besar sel imun, sel endotel, sel otot polos dan skeletal, adiposit, sel β pankreas, hepatosit, sel mikroglia, dan astrosit. Interleukin-6 disintesis setelah terjadi infeksi atau kerusakan jaringan baik karena luka bakar atau trauma dan mengaktifkan respons imun akut (Scheller et al., 2011). Mekanisme kerja IL-6 melalui jalur classic signaling dan trans-signaling seperti terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Mekanisme kerja IL-6 Keterangan: gp130= glycoprotein 130, ADAM17= a disintegrin and metalloprotease 17, sIL-6R= soluble IL-6 receptor
Dikutip dari (Scheller et al., 2011)
26
a. Jalur classic signaling Jalur classic signaling terjadi pada sel yang mengekspresikan IL-6 receptor (IL6R) dan gp130. Kompleks heksamer aktif terbentuk ketika terjadi ikatan IL-6/IL-6Rα/gp130 berafinitas tinggi dengan stoichiometri 2:2:2. Interleukin-6 berikatan dengan IL-6R pada site I membentuk heterodimer, selanjutnya berikatan di site II dengan gp130 membentuk trimer dan tidak dapat mengirimkan sinyal. Dua trimer berikatan di site III IL-6 dengan gp130 Ig like domain (IgD) sehingga terbentuk heksamer aktif (Brasier, 2010). b. Jalur trans-signalling Jalur trans-signaling terjadi pada sel yang tidak mempunyai IL-6R dan mengekspresikan gp130. Mekanisme ini ditandai ikatan soluble IL-6 (sIL-6) dengan IL6 bebas membentuk kompleks agonis IL-6/sIL-6R, kemudian berikatan dengan gp130. Aktivitas kompleks IL-6/sIL-6R/gp130 dihambat soluble form gp130 (sgp130) sehingga terjadi ikatan IL-6/sIL-6R/sgp130 yang bersifat menghambat trans-signaling, bukan classic signaling (Brasier, 2010). 3. Peran IL-6 pada pneumonia Andrijevic et al. (2014) meneliti peran IL-6 dalam memprediksi kematian dalam 30 hari pada penderita pneumonia komunitas yang dirawat. Interleukin-6 memiliki korelasi bermakna dengan skor risiko (PSI, CURB-65, dan modified early warning score/MEWS) dalam memprediksi kematian, dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 87% pada cut-off 20,2 pg/ml. Peningkatan kadar IL-6 meningkatkan risiko kematian sebesar 93,4% pada penderita yang dirawat inap, sedangkan peningkatan kadar PCT meningkatkan risiko kematian 66,7%. Prokalsitonin memiliki sensitivitas 76% dan spesifisitas 61,8% dengan nilai cut-off 2,56 ng/ml sebagai prediktor kematian. Penelitian Bacci et al. (2015) terhadap 27 penderita pneumonia komunitas yang dirawat inap menyebutkan kadar IL-6 dan TNF-α berkaitan dengan kematian yang terjadi lebih awal. Interleukin-6 memiliki korelasi yang baik dengan nilai prediksi seperti APACHE II dan CURB-65, tingginya kadar IL-6 berkaitan dengan berkembangnya AKI, kebutuhan terhadap ventilasi mekanik, lama perawatan di rumah sakit, dan kematian. Martin-Loeches et al. (2014) menemukan tingginya kadar IL-6 saat masuk rumah sakit disertai skor CURB-65 ≥3 pada penderita pneumonia komunitas yang mengalami kegagalan terapi. Peningkatan kadar IL-6 memiliki nilai prediktif yang
27
tinggi terhadap kegagalan terapi dini pada hari pertama, dan kegagalan terapi lambat pada hari ketiga sehingga IL-6 dianggap mampu menjadi marker yang baik dalam menilai kegagalan terapi.
C. VITAMIN C Vitamin C merupakan antioksidan mayor larut air yang bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi asam, dapat dirusak O2, alkali, dan temperatur tinggi. Vitamin ini tersedia dalam bentuk tereduksi (L-asam askorbat) dan teroksidasi (L-asam dehidroaskorbat), berperan meningkatkan produksi kolagen ekstraselular dan penting untuk fungsi sel imun (Hacisevki, 2009). Pertama kali diisolasi pada tahun 1928 oleh ahli biokimia pemenang Nobel berkebangsaan Hongaria bernama Szent-GyorGyi. Asam askorbat sebagai bentuk tereduksi merupakan komponen esensial dalam diit, kadarnya yang tinggi dalam plasma dan jaringan dapat memproteksi terhadap kerusakan oksidatif dan inflamasi (Barrita dan Sanchez, 2015). 1. Biosintesis dan defisiensi vitamin C Vitamin C merupakan gula kristalin berwarna putih yang secara alamiah didapatkan dalam bentuk kimia L-xylo-ascorbate dan D-xylo-ascorbate. L-xyloascorbate tidak memiliki aktivitas vitamin, akan dioksidasi secara reversibel menjadi Lasam dehidroaskorbat pada paparan dengan tembaga, panas, maupun kondisi alkali ringan. Baik L-asam askorbat maupun L-asam dehidroaskorbat secara fisiologis merupakan bentuk aktif vitamin C. Proses oksidasi L-asam dehidroaskorbat menjadi 2,3-diketo-L-gulonic acid dan oksalat bersifat ireversibel (Barrita dan Sanchez, 2015). Struktur kimia asam askorbat dan dehidroaskorbat seperti terlihat pada Gambar 10.
Gambar 15. Struktur asam askorbat dan asam dehidroaskorbat. Dikutip dari (Levine et al., 2011)
28
Biosintesis asam askorbat pada hewan mencakup jalur metabolisme asam glukoronat melibatkan metabolisme gula pada kondisi normal maupun sakit serta regulasinya pada fungsi fisiologis. Aktivitas sintesis enzim bervariasi antar spesies, sebagian besar hewan dapat mengkonversi D-glukosa menjadi L-asam askorbat. Manusia dan primata lainnya, guinea pig, kelelawar buah Indian, beberapa ikan dan burung, serta serangga tidak dapat memproduksi asam askorbat secara endogen karena kekurangan enzim L-gulonolakton oksidase yang mengkatalisis tahap akhir biosintesis vitamin C sehingga sangat diperlukan asupan dari luar (Kumar dan Rizvi, 2012; Deruelle dan Baron, 2008). Tubuh membutuhkan vitamin C untuk fungsi fisiologis seperti membantu metabolisme tirosin, asam folat, dan triptofan. Vitamin C juga berperan dalam sintesis L-carnitine,
metabolisme
kolesterol,
aktivitas
sitokrom
P-450,
dan
sintesis
neurotransmitter. Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan anemia, scurvy, infeksi, perdarahan gusi, degenerasi otot, buruknya penyembuhan luka, plak aterosklerotik, perdarahan kapiler, dan gangguan neurotik (Barrita dan Sanchez, 2015; Hacisevki, 2009). 2. Farmakokinetik vitamin C Farmakokinetik vitamin C meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, eliminasi, dan mekanisme transpor aktif maupun pasif (Kumar dan Rizvi, 2012). a. Absorpsi Vitamin C yang tercerna diabsorpsi pertama kali oleh epitel usus melalui transpor membran bagian apikal, baik sebagai askorbat dengan transpor aktif sodium-coupled melalui sodium-dependent vitamin C transporter (SVCT)1 maupun sebagai asam dehidroaskorbat dengan difusi terfasilitasi melalui glucose transporter (GLUT)2 atau GLUT3 (Kumar dan Rizvi, 2012). Dehidroaskorbat segera setelah masuk ke dalam sel diubah menjadi askorbat atau diedarkan ke seluruh peredaran darah oleh GLUT1 dan GLUT2 pada membran basolateral sehingga akan memelihara kadar rendah intraselular dan memfasilitasi uptake dehidroaskorbat lebih lanjut. Askorbat dihantarkan ke plasma melalui difusi, mungkin juga melalui difusi terfasilitasi melewati kanal anion sensitif terhadap volume. Sodium-dependent vitamin C transporter 2 berlokasi pada membran basolateral yang dapat melakukan re-uptake askorbat dari plasma ke epitel usus. Askorbat diekskresikan
29
melalui filtrasi glomerular ke lumen tubulus renal. Reabsorpsi terutama dicapai SVCT1 pada membran apikal, walaupun difusi permukaan lumen dapat berkontribusi terhadap keseluruhan uptake (Kumar dan Rizvi, 2012). Hal ini seperti yang terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Mekanisme transpor vitamin C melalui usus,darah, dan ginjal. Keterangan: ASC= askorbat, DHA= dehidroaskorbat
Dikutip dari (Kumar dan Rizvi, 2012) Askorbat beredar dalam darah pada konsentrasi 30-60 µM, tetapi konsentrasinya pada sebagian besar sel lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan transpor aktif penghantar askorbat isoform lainnya, dikenal sebagai SVCT2 yang didapatkan pada sebagian besar jaringan tubuh termasuk otak, paru, hepar, jantung, dan otot skeletal. Konsentrasi plasma askorbat terbatas sampai 120 µM terkait saturasi absorpsi, uptake jaringan, dan kegagalan reabsorpsi komplit di ginjal. Bentuk teroksidasi (DHA) ditranspor ke dalam sel lebih cepat dibandingkan bentuk tereduksi oleh difusi terfasilitasi melalui beberapa isoform penghantar glukosa (GLUT), suatu proses yang dapat dihambat glukosa hanya pada beberapa tipe sel (Deruelle dan Baron, 2008). b. Metabolisme Vitamin C dimetabolisme di hepar dan meluas ke ginjal pada beberapa rangkaian reaksi. Sekitar 80-90% vitamin C diserap pada saluran gastrointestinal dan tersirkulasi bebas dalam plasma, leukosit, dan eritrosit serta masuk ke seluruh jaringan dengan kadar maksimum 68-86 µmol/liter plasma tercapai melalui konsumsi oral sebesar 90150 mg/hari. Tubuh akan menggunakannya dalam dua jam, dan akan dikeluarkan dari darah dalam 3-4 jam (Barrita dan Sanchez, 2015).
30
Radikal bebas intermediate sebagai bentuk reversibel dehidroaskorbat akan memicu munculnya formasi ireversibel dari 2,3-diketogulonic acid yang fisiologis inaktif, selanjutnya terpecah menjadi asam oksalat dan asam treonat, atau mengalami dekarboksilasi menjadi CO2, xylosa, dan xylulosa, terpicu menjadi asam xylonat dan asam liksonat. Seluruh metabolit beserta vitamin C itu sendiri diekskresikan melalui urin (Deruelle dan Baron, 2008). c. Distribusi Vitamin C terdistribusi ke seluruh jaringan dengan kadar tertinggi di otak dan saraf dibandingkan organ lain seperti terlihat pada Gambar 12 (Kumar dan Rizvi, 2012). Vitamin ini cenderung terakumulasi pada kelenjar adrenal, otak, beberapa tipe leukosit, sedangkan kadarnya di dalam plasma relatif rendah yaitu di bawah 100 µM pada dewasa sehat meskipun diberikan 2,5 gram sekali sehari per oral (Hacisevki, 2009).
Gambar 12. Distribusi vitamin C di dalam tubuh Dikutip dari (Lindbland et al., 2013) Regulasi ketat homeostasis vitamin C terutama dikontrol oleh empat sistem regulasi yaitu uptake intestinal (bioavailabilitas), akumulasi jaringan dan distribusi,
31
kecepatan utilisasi dan siklus berulang, serta eksresi ginjal dan reabsorpsi. Hal ini diperoleh melalui berbagai mekanisme termasuk difusi pasif, difusi terfasilitasi, transpor aktif, dan siklus berulang (Kumar dan Rizvi, 2012). 3. Bioavailabilitas dan efek samping vitamin C Bioavailabilitas atau konsentrasi efektif vitamin C tergantung pada efektivitas absorpsi intestinal dan ekskresi ginjal. Penggunaan vitamin C akan makin cepat pada kondisi stres, konsumsi alkohol, dan merokok. Kadar vitamin C dalam darah perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok pada pemberian intake yang sama. Demam, infeksi virus, antibiotik, analgetik, produk petroleum atau karbonmonoksida (CO), dan paparan terhadap logam berat mengurangi absorpsi dan meningkatkan penggunaan vitamin C (Chambial et al., 2013). Recommended dietary allowance (RDA) sebesar 60 mg/hari akhir-akhir ini dianggap terlalu rendah, sehingga sedang diusulkan asupan vitamin C sebesar 200 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan orang sehat dan dewasa muda (Kumar dan Rizvi, 2012). Kebutuhan ini dihitung berdasarkan perkiraan absorpsinya, berkurangnya kadar vitamin karena penyiapan makanan, deplesi, pengubahan, dan katabolisme. Pauling menyarankan asupan harian vitamin C sebesar 250-4000 mg, sedangkan Hickey dan Roberts menyarankan dosis 2500 mg. Sejumlah penelitian menunjukkan pemberian vitamin C dosis minimal 1 gram/hari dapat memperbaiki sistem imun dan mencegah berbagai proses patologis, tetapi dibutuhkan dalam jumlah lebih besar pada penderita kanker dan penyakit jantung (Deruelle dan Baron, 2008). Dosis tertinggi suplementasi vitamin C yang aman dikonsumsi menurut panduan Dietary Reference Intake adalah 2 gram, dengan dosis maksimal per oral sekitar 3-4 gram. Pemberian oral terbatasi oleh diare osmotik dan saturasi absorpsi intestinal sehingga tidak dapat mencapai puncak konsentrasi plasma 1 mmol/liter (Levine et al., 2011). Penelitian bioavailabilitas vitamin C pada dosis 15-1250 mg memperlihatkan dosis farmakologis intravena dapat menghasilkan kadar plasma 70 kali lebih tinggi dibandingkan dosis oral maksimal yang dapat ditoleransi. Kadar dalam plasma sebesar 10 mmol/liter (10.000 µmol/liter) dapat diperoleh lebih dari tiga jam dengan rata-rata kecepatan infus 0,5-1 gram/menit, tergantung pada dosis, kecepatan dan frekuensi infus (Levine et al., 2011).
32
4. Peran vitamin C pada pneumonia Vitamin C memperkuat dan memproteksi sistem imun melalui sejumlah mekanisme, terutama melalui kemampuannya mereduksi produksi radikal bebas sehingga mencegah kerusakan DNA sel imun. Vitamin ini dapat memperbaiki aktivitas sel NK, membunuh mikroba, proliferasi limfosit, dan kemotaksis (Barrita dan Sanchez, 2015; Brewer, 2011). Metode yang umum digunakan untuk menilai status vitamin C adalah mengukur kadarnya dalam leukosit karena terkonsentrasi tinggi di dalamnya. Pentingnya peran vitamin C terhadap sistem imun umumnya terlihat pada kondisi defisiensi klinis, scurvy, infeksi, dan anergi yang mempengaruhi hampir seluruh komponen sistem imun (Padayatty et al., 2003). a. Antioksidan Sistem imun sensitif terhadap stres oksidatif. Beberapa mekanisme selular untuk menjelaskan peran vitamin C sebagai antioksidan telah diidentifikasi melalui suplementasi diet atau terapi in vitro sel imun (Field et al., 2002). Vitamin C mendonorkan dua elektron dari ikatan ganda antara rantai karbon kedua dan keenam molekul 6-karbon, disebut sebagai antioksidan karena mampu mencegah teroksidasinya komponen lain meskipun vitamin C ikut teroksidasi dalam proses tersebut. Asam askorbat, sebagai bentuk tereduksi vitamin C, memiliki empat kelompok –OH yang dapat mendonorkan hidrogen untuk sistem pengoksidasi. Kelompok –OH tersebut berdekatan dengan atom karbon sehingga mampu mengikat ion logam (Fe2+) (Brewer, 2011; Padayatty et al., 2003). Vitamin C merupakan agen pereduksi poten dan penangkap radikal bebas dalam sistem biologis, dengan bentuk monoanion (askorbat) sebagai unsur kimia predominan pada pH fisiologis (Hacisevki, 2009). Prinsip jalur oksidasi dan pengubahan vitamin C melibatkan keberhasilan pemindahan dua elektron, menghasilkan radikal bebas askorbat terlebih dulu (ascorbate free radical/AFR) dan kemudian dehidroaskorbat. Dua molekul AFR dapat bereaksi bersama membentuk satu molekul askorbat dan satu molekul dehidroaskorbat. Ascorbate free radical dapat direduksi menjadi askorbat oleh monodehidro-L-askorbat oksidoreduktase, suatu enzim mikrosomal NADH-dependent (Kumar dan Rizvi, 2012). Reaksi redoks vitamin C terlihat pada Gambar 13.
33
Gambar 13. Tiga macam status redoks vitamin C Keterangan: Askorbat= bentuk tereduksi total; SDA= semidehidroaskorbat (bentuk monooksidasi); DHA= dehidroaskorbat (bentuk teroksidasi total)
Dikutip dari (Linster dan Schaftingen, 2007) Vitamin C bekerjasama dengan vitamin E (α-tokoferol) untuk meregenerasi αtokoferol dari radikalnya pada membran dan lipoprotein. Vitamin ini juga berperan penting dalam memproteksi kelompok protein thiol terhadap oksidasi dengan cara meningkatkan kadar glutathione intraselular (Al-Dalaen dan Al-Qtaitat, 2014). Pemberian vitamin C pada kultur makrofag normal meningkatkan kadar cyclic GMP (cGMP) selular sama seperti halnya hexose monophosphate (HMP) shunt. Vitamin C dalam jumlah besar in vitro dapat menghambat aktivitas H2O2myeloperoxidase-halide, tetapi tidak dapat mengubah kapasitas bakterisidal sel (Barrita dan Sanchez, 2015). Gambar 14 memperlihatkan siklus vitamin C pada sistem imun, dimana vitamin ini akan menstimulasi diversi glukosa-6-P dari glikolisis ke dalam HMP shunt yang memiliki dua fungsi penting terhadap sistem imun. Pertama, konversi glukosa (6 karbon) menjadi gula 5 karbon, ribosa, dan deoksiribosa yang penting untuk sintesis komponen genetik ribonucleic acid (RNA) dan DNA. Kedua, reduksi koenzim niasin NADP menjadi NADPH yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi oksidasi (Ottoboni dan Ottoboni, 2005). Gula 5-karbon dibutuhkan untuk menyokong peningkatan aktivitas mitotik memungkinkan sintesis DNA dan RNA untuk proliferasi sel fagositik. Fagosit menggunakan NADPH untuk memproduksi superoksida dan sejumlah highly ROS sehingga mampu membunuh patogen yang menginvasi. Akhirnya, phagocyte-derived
34
highly reactive oxidant yang berlebihan jumlahnya akan bocor keluar dari sel masuk ke ruang ekstraselular. Oksidan tersebut toksik terhadap sel host dan harus dihancurkan sebelum
merusaknya.
Vitamin
C
berperan
sebagai
antioksidan
yang
akan
menghancurkan toksin berlebih (Ottoboni dan Ottoboni, 2005).
Gambar 14. Siklus vitamin C pada sistem imun Dikutip dari (Ottoboni dan Ottoboni, 2005)
35
Vitamin C pada sepsis dapat mempengaruhi aktivitas makrofag dan pertumbuhan bakteri, dimana makrofag memperbanyak produksi sitokin termasuk beberapa tipe ROS. Inkubasi makrofag dengan vitamin C meregulasi proses fagosit melalui penurunan adherensi, kemotaksis, ingesti, dan produksi anion O2 -. Suplementasi vitamin C dosis tinggi pada penderita sepsis atau setelah iskemik/reperfusi diduga dapat mengurangi kerusakan oksidatif endotel dan sel lainnya sehingga akan memperbaiki perfusi jaringan dan oksigenasi, serta menurunkan kejadian disfungsi organ seperti terlihat pada Gambar 15 (van-Straaten et al., 2014).
Gambar 15. Vitamin C pada disfungsi endotel terinduksi iskemik/reperfusi dan sepsis. Keterangan: OONO-= peroksinitrit, O2-= superoksida, NADPH-ox= nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase, BH4= tetrahydrobiopterin, eNOS= endothelial nitric oxide synthase, eNO= endothelial nitric oxide, iNOS= inducible nitric oxide, NO= nitric oxide, PP2A= protein phosphatase 2A, ICAM= intracellular adhesion molecule, cAMP= cyclic adenosine monophosphate, cGMP= cyclic guanosine monophosphate, GTP= guanosine triphosphate, I/R= ischemia/reperfusion, sGC= soluble guanylate cyclase.
Dikutip dari (van-Straaten et al., 2014) b. Antiinflamasi Vitamin C memproteksi tubuh terhadap efek toksik ROS dengan cara menurunkan regulasi ekspresi gen proinflamasi IL yang terikat ROS melalui inhibisi faktor transkripsi NFκB. Faktor transkripsi ini meregulasi ekspresi sitokin proinflamasi seperti
36
IL-1 dan TNFα. Sejumlah penelitian menunjukkan vitamin C juga memperkuat pertahanan antioksidan sel T dan meningkatkan respons terhadap antigen yang dianggap berperan penting dalam sistem imun (Field et al., 2002). Hartel et al. melaporkan bahwa vitamin C menurunkan kadar IL-6 atau TNF-α yang diproduksi monosit setelah stimulasi LPS (Scalabrino, 2009). Penelitian Carcamo et al. (2004) menunjukkan vitamin C dapat menghambat aktivasi NFκB melalui dua jalur berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu menekan aktivasi terinduksi ROS dan menghambat IKKα dan IKKβ. Asam dehidroaskorbat dapat berfungsi sebagai penghambat kinase dan secara langsung menghambat aktivitas IKKα, IKKβ, dan p38MAPK. Mekanisme vitamin C sebagai penghambat kinase dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Vitamin C sebagai penghambat kinase Keterangan: AA= ascorbic acid, DHA= dehydroascorbic acid, IKKβ= IκBα kinase B, TNF-α= tumor necrosis factor-α, ROS= reactive oxygen species
Dikutip dari (Carcamo et al., 2004) c. Memperbaiki fungsi neutrofil Kadar vitamin C plasma berkisar 20-80 µmol/liter, sedangkan kadarnya dalam sel maupun jaringan sekitar 100 kali lebih tinggi dibandingkan plasma (Bozonet et al., 2015; Pavlovic dan Sarac, 2010). Vitamin ini terakumulasi dalam neutrofil melalui SVCT-2 dan memiliki kadar intraselular 1-2 mM. Selama oxidative burst, neutrofil meningkatkan kadar vitamin C intraselular melalui uptake nonspesifik bentuk teroksidasi melalui pembawa glukosa. Dehydroascorbic acid kemudian direduksi menjadi askorbat sehingga tercapai kadarnya sekitar 10-20 mM untuk dapat menstimulasi fungsi sel. Secara keseluruhan, vitamin C akan memperbaiki fungsi
37
neutrofil dalam kemotaksis, membangkitkan oksidan, produksi NET, dan apoptosis (Bozonet et al., 2015). Apoptosis neutrofil merupakan proses penting untuk memastikan terjadinya resolusi inflamasi aman dan efisien, serta mencegah dikeluarkannya sitotoksik dan enzim hidrolitik neutrofil granular yang merusak jaringan. Penelitian Vissers dan Wilkie (2007) pada neutrofil mencit Gulo -/- menunjukkan defisiensi askorbat meningkatkan regulasi hypoxia-inducible factor (HIF)-1α yang akan memblokade apoptosis neutrofil dalam kondisi normal. Regulasi negatif tersebut menjadi salah satu aktivitas vitamin C dalam sistem imun (Bozonet et al., 2015; Vissers dan Wilkie, 2007). Vitamin C memiliki mekanisme pleiotropik, yaitu memperkuat respons proinflamasi,meningkatkan fungsi sawar epitel, meningkatkan bersihan cairan alveolar, dan mencegah koagulasi abnormal yang sering didapatkan pada sepsis. Vitamin ini terutama terakumulasi sejumlah milimolar tertentu dalam PMN yang meregulasi apoptosis neutrofil. Penelitian Mohammed et al. (2013) pada mencit Gulo
-/-
yang
diberikan infus vitamin C 200 mg/kgBB memperlihatkan efek vitamin C in vitro dan in vivo sebagai regulator baru dalam pembentukan NET (NETosis) pada kondisi sepsis. Gambar 17 menjelaskan hipotesis regulasi jalur signaling yang memicu NETosis oleh vitamin C. Stimulus sepsis mengaktifkan NFκB dalam PMN terutama yang kekurangan vitamin C. Translokasi nukleus NFκB menyebabkan munculnya ekspresi peptidylargininedeiminase (PAD)4, stres retikulum endoplasmik, dan signaling gen autofagi yang akan menghambat caspase-3 pada PMN teraktivasi. Hal ini menghindarkan PMN teraktivasi dari apoptosis dan meningkatkan NETosis. Vitamin C dapat memblokade semua proses tersebut melalui penurunan aktivasi NFκB (Mohammed et al., 2013) Vitamin C efektif memperbaiki gejala infeksi saluran napas atas, terutama common cold. Kadar vitamin C dalam plasma dan leukosit menurun tajam saat awitan infeksi dan kembali normal saat gejala membaik. Tinjauan terhadap sejumlah besar penelitian menyimpulkan suplementasi vitamin C lebih dari 1 gram/hari tidak memiliki efek konsisten terhadap insidensi common cold, tetapi dapat memperingan gejala dan mempersingkat durasi penyakit (Brewer, 2011).
38
Gambar 17. Vitamin C sebagai regulator NETosis pada sepsis Keterangan: PMN= polymorphonuclear neutrophil, ER= reticulum, PAD4= peptidylargininedeiminase 4
endoplasmic
Dikutip dari (Mohammed et al., 2013) Vitamin C relatif murah dan aman digunakan, dapat diberikan sebagai suplementasi pada penderita pneumonia yang memiliki kadar rendah vitamin C plasma (Hemila dan Louhiala, 2013). Penelitian Chen et al. (2014) memperlihatkan vitamin C menghambat ROS, kerusakan DNA, TNF-α, dan IL-6 secara in vitro pada pneumonia komunitas berat. Pemberian vitamin C juga mengurangi ROS, kerusakan DNA, dan produksi TNF-α pada makrofag terstimulasi LPS. Stres oksidatif akan mengacaukan regulasi autofagi terinduksi LPS pada makrofag. Vitamin C menghambat autofagi pada macrophage cell lines (MH-S) yang terpajan LPS dan H2O2, sehingga disimpulkan bahwa vitamin ini dapat menghambat stres oksidatif dan mediator proinflamasi pada pneumonia berat (Uchide dan Toyota, 2011). Penelitian Bhoite et al. (2011) bertujuan menilai kadar vitamin C dan E pada anak-anak dengan pneumonia berusia 5-15 tahun, melibatkan 40 penderita pneumonia dan 40 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar vitamin C dan E sangat signifikan pada kelompok pneumonia dibandingkan kontrol (p< 0,001) secara respektif. Sebelumnya, Mahalanabis et al. (2006) bertujuan mengevaluasi efek antioksidan vitamin C dan E sebagai terapi ajuvan infeksi berat saluran napas bawah pada anak-anak berusia 2-35 bulan di Kolkata, India. Sejumlah 174 penderita anak mendapatkan vitamin C 100 mg dua kali sehari dan vitamin E 200 mg dua kali sehari selama lima hari. Penelitian ini gagal mendapatkan manfaat dari kedua antioksidan
39
tersebut dimungkinkan karena infeksi berat saluran napas pada bayi dapat menyebabkan disfungsi cell-mediated immunity (Mahalanabis et al. 2006). Khan et al. meneliti 222 penderita pneumonia anak berusia kurang dari lima tahun menyimpulkan bahwa kelompok yang diberikan vitamin C 200 mg/hari lebih cepat mengalami perbaikan saturasi oksigen dan laju pernapasan dibandingkan yang tidak mendapatkan vitamin C. Hal ini akan mengurangi durasi, morbiditas, dan mortalitas karena pneumonia. Cathcart menyebutkan penderita pneumonia dapat menerima suplementasi vitamin C sampai 100 gram/hari tanpa mengalami diare, yang dimungkinkan karena perubahan metabolismenya (Khan et al. 2014). Penelitian Pitt memberikan suplementasi vitamin C dosis 2 gram/hari pada penderita pneumonia yang memiliki baseline kadar vitamin C plasma 56 µmol/liter dengan asupan harian vitamin C 100 mg/hari atau lebih (Hemila dan Louhiala, 2013). Fowler III et al. meneliti keamanan pemberian vitamin C infus intravena pada 24 penderita sepsis berat. Sebanyak masing-masing delapan penderita diberikan infus intravena vitamin C dosis rendah (50 mg/kgBB/24 jam) atau dosis tinggi (200 mg/kgBB/24 jam) atau plasebo (dektrosa 5% terlarut). Pemantauan yang dilakukan meliputi perburukan hipotensi arterial, takikardi, hipernatremia, mual muntah, skor sequential organ failure assessment (SOFA), kadar vitamin C plasma, C-reactive protein, PCT, dan trombomodulin. Peneliti menyimpulkan vitamin C infus intravena aman dan ditoleransi baik sehingga berdampak positif pada perluasan kegagalan multiorgan, biomarker inflamasi, dan cedera endotel (Fowler et al., 2014). Gambar 18 menjelaskan kerangka teori mengenai proses infeksi pada pneumonia.
40
Gambar 24. Kerangka teori yang menjelaskan proses infeksi pada pneumonia. Keterangan gambar: IL= interleukin, NF-κB= nuclear factor kappa B, TNF-α= tumor necrosis factor-α, NK= natural killer, Th= T helper, CD= cluster of differentiation, ROS= reactive oxygen species, NET= neutrophil extracelular trap, ICAM= intracelular adhesion molecule, TLR= toll-like receptor
= mengaktivasi/menstimulasi = menghambat = berkorelasi (?)
D. KERANGKA KONSEP PENELITIAN Pneumonia merupakan konsekuensi kolonisasi di paru, cedera epitel terinduksi patogen, aktivasi inflamasi, dan aktivasi berlebihan dari mekanisme perbaikan jaringan. Bakteri terinhalasi akan menghadapi mekanisme pertahanan pertama host berupa pelepasan toksin silier, pneumolisin, endotoksin, dan protease IgA sehingga membuat
41
bakteri melekat pada epitel. Sel dendritik, makrofag alveolar, dan epitel teraktivasi sebagai penanda patogen yang teridentifikasi melalui TLRs, mengawali proses inflamasi yang melalui empat fase yaitu inisiasi, amplifikasi, fagositosis, dan resolusi. Aktivasi sel setelah PAMPs dapat dikenali TLRs akan meningkatkan faktor transkripsi seperti NF-κB dan sitokin proinflamasi (IL-6, IL-8, TNF-α, dan IL-1β). Interleukin-8 berperan sebagai agen kemotaktik neutrofil, dimana neutrofil teraktivasi akan melepaskan lebih banyak IL-8 sehingga akan makin meningkatkan perekrutan neutrofil. Tumor necrosis factor-α berperan meningkatkan ekspresi molekul adhesi sel endotel kapiler paru untuk peningkatan adhesi neutrofil, serta berperan sebagai proinflamasi dan prokoagulan yang akan diperkuat sitokin lain. Perpindahan neutrofil dari endotel kapiler paru ke rongga alveolar akan melepaskan protease, ROS, dan RNS yang berperan pada sel terinfeksi serta menginduksi kematian atau lisis antigen patogen dan jaringan. Patogen yang menginvasi akan dimatikan dan dibersihkan pada fase fagositosis oleh sel fagosit seperti leukosit PMN (neutrofil), sel dendritik, monosit, dan makrofag. Neutrophil extracellular traps merupakan perangkap khusus yang dikeluarkan granula neutrofil berperan meningkatkan aktivitas fagositik dan memproduksi molekul antimikroba. Fagositosis disertai penghancuran bakteri oleh ROS, protein penginduksi permeabilitas bakterisidal, laktoferin, elastase, serta NETs akan menurunkan pengaturan sistem pertahanan host sehingga terjadi resolusi. Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik yang tidak hanya terlibat dalam proses inflamasi dan infeksi, tetapi juga dalam proses regulasi metabolik, regeneratif, dan neurologis. Peningkatan kadar IL-6 pada reaksi inflamasi dapat menginduksi pelepasan PCT melalui respons cell-mediated, selain jalur induksi melalui pelepasan endotoksin. Interleukin-6 memiliki nilai prediktif independen kematian pada penderita pneumonia komunitas, bersama dengan PCT mampu memprediksi kematian dalam 30 hari pada penderita pneumonia komunitas yang dirawat inap. Vitamin C dapat memproteksi tubuh terhadap stres oksidatif dan inflamasi, berperan sebagai agen pereduksi poten dan penangkap radikal bebas dengan prinsip jalur oksidasi dan pengubahannya melibatkan keberhasilan pemindahan dua elektron. Vitamin C menstimulasi diversi glukosa-6-P dari glikolisis ke dalam HMP shunt yang penting terhadap sistem imun, serta mereduksi koenzim niasin NADP menjadi NADPH
42
yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi oksidasi. Fagosit menggunakan NADPH untuk memproduksi ROS sehingga mampu membunuh patogen yang menginvasi, tetapi ROS yang berlebihan jumlahnya dapat bocor keluar dari sel masuk ke ruang ekstraselular dan bersifat toksik. Vitamin C berperan sebagai antioksidan yang akan menekan produksi ROS berlebihan. Vitamin C mempunyai efek antiinflamasi dengan cara menurunkan regulasi ekspresi gen proinflamasi IL yang terikat ROS melalui inhibisi faktor transkripsi NFκB. Inhibisi ini melalui dua jalur berbeda, yaitu menekan aktivasi terinduksi ROS dan menghambat IKKα dan IKKβ. Asam dehidroaskorbat dapat berfungsi sebagai penghambat kinase dan secara langsung menghambat IKKα, IKKβ, dan p38MAPK. Penurunan aktivasi NFκB pada kondisi sepsis akan menghambat NETosis sehingga tidak terjadi apoptosis neutrofil berlebihan dan terjadi resolusi inflamasi aman dan efisien. Penambahan vitamin C pada terapi standar pneumonia diharapkan dapat menurunkan stres oksidatif dan respons inflamasi bakterial yang ditandai dengan penurunan kadar serum IL-6 sehingga menyebabkan perbaikan klinis lebih cepat. Kerangka konsep penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 19.
43
Gambar 19. Kerangka konseptual yang menjelaskan pengaruh pemberian vitamin C terhadap kadar serum IL-6 dan lama perbaikan klinis penderita pneumonia. Keterangan gambar: variabel penelitian= menghambat =
, mengaktivasi/menstimulasi= , area penelitian:
E. HIPOTESIS 1.
Terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap penurunan kadar serum IL-6 penderita pneumonia.
2.
Terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap penurunan lama pencapaian perbaikan klinis penderita pneumonia.
44
3.
Terdapat korelasi antara penurunan kadar serum IL-6 dengan penurunan lama pencapaian perbaikan klinis pada penderita pneumonia setelah pemberian vitamin C.