BAB II LANDASAN TEORI
A. Sistem Perpajakan di Indonesia 1. Pengertian Pajak Untuk mengetahui pengertian pajak, Santoso Brotodihardjo,S.H., dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang bebebrapa diantaranya dalam kutipan sebagai berikut : a) Mr. Dr. N. J. Feldmann “Pajak adalan prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang apaila kepada pengusaha, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. b) Prof.Dr. M.J.H. Smeets “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui normanorma umum, dan yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah’. “Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja, baru kemudian menambahkan fungsinya mengatur pada definisinya’.
6
c) Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum” Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya akan menjadikan fasiltas dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis pajak apa saja yang dipungut serta beberapa besarnya pemungutan pajak. 2. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak di Indonesia dibagi menjadi tiga, antara lain : a) Sistem Self Assestment Dalam sistem self assestment, wajib pajak sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang. Fiskus hanya berperan untuk mengawasi, misalnya melakukan penelitian apakah Surat Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua lampiran sudah disertakan, meneliti kebenaran penghitungan dan meneliti kebenaran penulisan. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan kebenaran data yang terdapat di SPT wajib pajak, fiskus dapat melakukan pemeriksaan. PPh orang pribadi dan badan serta PPN menggunakan sistem ini. 7
b) Sistem Official Assestment
Berbeda dengan sistem self assestment, dalam sistem official assestment, fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terutang. PBB menganut sistem ini, karena besarnya pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). c) Sistem Withholding Dalam sistem withholding, pihak ketiga yang wajib menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut. Misalnya pihak perusahaan atau pemberi kerja berkewajiban untuk menghitung berapa PPh yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima pegawainya. Kemudian perusahaan atau pemberi kerja tersebut harus menyetorkan, dan melaporkan PPh pegawainya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak. 3. Hak dan Kewajiban wajib pajak Hal-hal yang diatur dalam hukum pajak formal terdiri dari cara-cara pemungutan pelaksanaan kewajiban perpajakan, prosedur pemungutan pajak, cara pengawan pelaksanaan pemungutan pajak oleh pemerintah, hak-hak dan kewajiban wajib pajak dan pemerintah, begitupula kewajiban dan hak-hak pihak ketiga.
8
a) Kewajiban Wajib Pajak Dengan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini, tata cara pemungutan pajak di Indonesia dilaksanakan dengan menerapkan system selfassessment. Wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarnya kepada Negara. Undang-undang memberikan kepercayaan dan hak serta kewenangan yang besar kepada Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibankewajiban perpajakannya. Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang harus dibayar ke Kas Negara. Untuk Menjamin dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya, undang-undang juga mengatur dengan tegas hak-hak Wajib Pajak dalam sau Hukum pajak Formal Secara Tegas. b) Hak Wajib Pajak 1) Menerima tanda bukti penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2)
Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT Tahunan
3)
Pembelutan sendiri SPT
4) Mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak 5) Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan kepastian keputusan atas permohonan tersebut. 6)
Memperoleh imbalan bunga apabila pengembalian lewat waktu
7) Mengajukan permohonan pembetulan kesalahan tulis, kesalahan hitung atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak. 8) Memperoleh Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. 9
9) Mengajukan gugatan atas penagihan, keputusan pembetulan dan peninjauan kembali. 10) Meminta keterangan tertulis dari Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak tentang dasar pengenann pemungutan atau pemotongan pajak. 11) Mengajukan permohonan keberatan dan kepastian terbitnya Surat Keputusan Keberatan. 12) Memperoleh tanda penerimaan surat keberatan. 13) Menyampaiakan alsan keberatan tambahan atas penjelasan tertulis. 14) Mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan. 15) Memperoleh imbalan bunga dari putusan keberatan dan banding yang menyebabkan lebih bayar. 16) Dikecualikan
dari
kewajiban
menyelenggarakan
pembukuan
atau
pencatatan. 17) Menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing. 18) Mengubah metode pembukuan 19) Menggunakan bahasa asing tertentu dan mata uang selain rupiah dalam pembukuan. 20) Melihat Surat Perintah Pemeriksaan. 21) Menunjuk kuasa khusus. 22) Kerahasiaan atas informasi yang disampaikannya ke pejabat yang menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
10
c) Kewajiban Wajib Pajak 1) Melaksanakan pendatraran diri/melaporkan usahanya untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 2) Mengambil sendiri formulir SPT dan formulir perpajakan lainnya ditempat yang telah ditentukan oleh Ditjen pajak 3) Mengisi dengan benar, lengkap, jelas dan menandatangani sendiri serta menyampaikan SPT. 4) Memberikan surat kuasa khusus pada kuasanya. 5) Membayar/menyetor pajak yang terutang di kas Negara atau tempat lain yang ditunjuk menteri keuangan. 6) Melengkapi ketidakbenaran ketetapan pajak. 7) Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. 8) Tanggung rentang pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. B. Pajak Penghasilan Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenak pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908, terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan.
11
1. Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh undangundang untuk dikenai pajak. Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Berdasarkan UU pajak Penghasilan No.36 tahun 2008 Pasal 2, yang menjadi subjek pajak adalah : 1) Orang Pribadi 2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, 3) Badan 4) Bentuk usaha Tetap (BUT) 2. Pengecualian Subjek Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 Pasal 3, yang tidak termasuk kedalam subjek Pajak Penghasilan yaitu : 1)
Kantor Perwakilan Negara asing ;
2)
Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima tau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaanya tersebut serta Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal-balik ; 12
3)
Organisasi-organisasi dengan syarat a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut ; dan b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota ;
4) Pejabat-Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak tersebut dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 kemudian dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk satu tahun pajak. 3. Objek Pajak Penghasilan Yang dimaksud dengan objek Pajak Penghasilan yaitu setiap Tambahan kembampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, yang berasal dari Indonesia ataupun dari luar Indonesia. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada subjek pajak, penghasilan dapat dikelompokan menjadi : 1) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, 2) Penghasilan dari usaha dan kegiatan, 13
3) Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun harta tidak bergerak, 4) Penghasilan lain-lain yaitu seperti pembebasan utang, hadiah dan lainnya. Dilihat dari penggunaanya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena UndangUndang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak, suatu usaha atau kegiatan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut dalat dikompensasikan dengan penghasilan lainnya yang disebut Kompensasi Horisontal, terkecuali apabila kerugian yang dialami di luar negeri. Menurut Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak penghasilan adalah : 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus dan uang pension. Kecuali ditentukan lain dalam Undangundang. 2. Hadiah dari undian atau pekerjaanatau kegiatan dan penghargaan, 3. Laba usaha, 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
14
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak, 6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi, 8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, 11. Keuntungan selisih kurs mata uang asing 12. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, 13. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 4. Penghasilan yang Bersifat Final Pemerintah, dalam rangka menyederhanakan pemungutan pajak dan mengurangi beban administrasi, baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jendral Pajak, menentukan beberapa penghasilan yang bersifat pajak final. Berikut penghasilan yang bersifat final : 15
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, 2. Penghasilan berupa hadiah undian, 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas laiinya, transaksi derivative yang diperdagangkan dibursa, dan transaksi penjualan saham
atau
pengaliahan
penyertaan
modal
pada
perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura, 4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan bangunan, usaha jasa konstruksi, ursaha real estate dan persewaan tanah dan atau bangunan 5. Penghasilan tertentu lainnya. C. Penagihan Pajak Menurut pasal 18 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 penagihan pajak terdiri dari Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pembetulan, Surat Ketetapan Keberatan, dan Putusan Banding, Pada dasarnya besarnya utang pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak. Apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam penghitungan pajak terhutang tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar 16
Tambahan . Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo, penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa. Menurut Munawir (2003:2008) Penagihan paksa adalah : Serangkaian tindakan pajak agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penaghan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita. Pada dasarnya, penagihan pajak itu dilakukan oleh fiskus seksi penagihan pajak dimana sehubungan dengan wajib pajak yang tidak melunasi utang pajak berdasarkan ketetapan undang perpajak berlaku. Kegiatan penagihan pajak ini merupakan kelanjutan pelaksanaan tugas dan mata rantai sebelumnya sejak dimulainya penerbitan surat ketetapan. Sehubungan adanya reformasi Tax Reform di Indonesia, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar pajak dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (Self Assessment). Apabila wajib pajak tidak sesuai berdasarkan peraturan perpajakan, Direktorat Jendral Pajak berwenang untuk melakukan koreksi fiskal berdasarkan hasil pemeriksaan atau keteranan lain. Utang pajak yang timbul dari hasil koreksi fiskal akan ditagih oleh Direktorat Jendral Pajak melalui Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
17
Ketentuan yang menjadi dasar hukum penagihan pajak diatur dalam : 1) UU No.16 tahun 2000 Penagihan pajak diatur dalam pasal 18 s/d 24 dalam UU. KUP. -
Surat Tagihan Pajak, SKPKB, SKPKBT, Keputusan Keberatan, Putusan banding, merupakan dasar dan penagihan pajak
2) UU No.19 tahun 2000 3) Kep.Menteri Keuangan RI No.561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa 4) Kep. Menteri Keuangan RI No.171/KMK.03/2001 tentang besarnya biaya penagihan Pajak Negara untuk memberitahukan SP dan pelaksanaan SP melaksanakan Penyitaan. 5) Peraturan Pemerintah RI No. 135 tahun 2000, tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa. 6) Surat edaran DJP No.SE-13/PJ.75/1998, tentang jadwal waktu pelaksanaan penagihan pajak. Berdasarkan system self assessment tindakan penagihan pajak dilakukan setelah adanya pemeriksaan dan setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak yang harus dibayar setelah lewat tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan)
18
Menurut Hadi (2001:51) dalam bidang administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk tindakan penagihan, yaitu : 1. Penagihan Pasif 2. Penagihan Aktif Penagihan pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara melakukan pencatatan, pengawasan atau kepatuhan pembayaran masa dan pembayaran lainnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sedangkan Penagihan aktif adalah penagihan yang didasarkan pada Surat Tagihan Pajak / Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar / Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dimana Undang-undang telah mencantumkan tanggal jatuh tempo yaitu satu bulan terhitung dari saat Surat Tagihan Pajak / Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar / Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan. 1. Surat Ketetapan Pajak Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenakan pajak, tanpa menunggu adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Surat Ketetapan Pajak hanya berfungsi sebagai surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang., jumlah pengukuran pembayaran pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. Menurut ketentuan pasal 15 UU No.17 Tahun 2000, Surat Ketetapan Pajak baru diterbitkan bila wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk mengetahui apakah 19
wajib pajak tidak atau kurang membayar pajak, adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang bersangkutang dibayar dari jumlah yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat wajib pajak dengan memeriksa pembukuan melalui penelitian Administrasi. Surat Pemeritahuan (SPT) yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran itu, menurut ketentuan aya (1) huruf b pasal 1 membawa akibat, bahwa Direktorat Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Dalam ketetapan seperti ini dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar : 1) 50% (Lima puluh persen) dari pajak penghasilan yang kurang atau tidak dibayar dalam satu tahun pajak; 2) 100% (seratus persen) dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungun, tidak atau kurang disetor; 3) 100% (seratus persen) dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah yang tidak atau kurang bayar. Maksud dari teguran itu antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada wajib pajak yang beritikad baik, untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya Surat Teguran disampaikan misalnya karena terjadinya sesuai hal di luar kemampuan.
20
Menurut Soemarso S. Rahardjo, menyebutkan Surat Ketetapan Kurang Bayar dapat dikeluarkan dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau tahun pajak. Bila dalam jangka waktu tersebut diatas tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, Jumlah pajak terutang menurut SPT menjadi pasti. Namun, jika wajib pajak setalah jangka waktu sepuluh tahun tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, SKPKB tetap dapat diterbitkan. Tindak pidana yangmemungkinkan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar pajak setelah jangka waktu sepuluh tahun adalah tindak pindana. 2. Surat Teguran Surat Teguran adalah surat yang berisi teguran atau peringatan yang dikeluarkan oleh fiskus kepada Wajib pajak apabila belum melaksanakan kewajiban perpajakannya, seperti belum melaporkan pajak, belum melunasi pajak terutang dan atau tagihan pajak supaya Wajib Pajak Segera memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang ditentukan. Menurut Wirawan B.Ilyas dalam bukunya “Hukum Pajak” : Surat Teguran bisa disamakan dengan istilah somasi yaitu surat yang bersifat memberi peringatan kepada pihak lain agar melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pemberi somasi. Berdasarkan SE-05/PJ.33/2000 Tentang pencabutan ketentuan angka 8 surat edaran Dirjan Pajak Nomor : SE-04/PJ.33/1998 tanggal 30 April 1998 dan Surat Edaran Dirjan Pajak Nomor : SE-18/PJ.33/1999 tanggal 26 Agustus 1999. 21
24/07/00, Wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran, maka Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dianggap tidak dimasukkan, sehingga hanya berfungsi sebagai data dari Wajib Pajak dan dilakukan penetapan secara Jabatan. SPT Tahunan PPh yang dimasukan Wajib Pajak setelah batas waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran, tidak perlu diberikan tanda tangan terima SPT. SPT tersebut merupakan data biasa yang kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan Keputusan direktur jenderal Pajak Nomor : KEP-394/PJ/1992 tanggal 19 Agustus 1992 tentang pedoman tata usaha pengolahan data di Lingkup Direktorat Jenderal Pajak. Penyampaian Surat Teguran kepada Wajib Pajak : 1) Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan, apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). 2) Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding, apabila Wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas 22
keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). 3) Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayarkan berdasarkan Putusan Banding, apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). 4) Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan sejak tanggal diterbitkan) apabila Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahsan akhir hasil pemeriksaan. 5) Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan apabila Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan untuk Hadir oleh Wajib Pajak.
23
3. Surat Paksa Dasar hukum penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam UU.No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat paksa. Dalam pasal 7 UU.No 19 Tahun 2000 dikatakan bahwa : Surat Paksa berkepala kata-kata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan pasal 8 UU. NO 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ditegaskan bahwa Surat Paksa diterbitkan apabila : 1) Penanggung pajak tidak melunasi pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatau atau Surat lain yang sejenis. 2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau 3) Penanggung pajak tidak memiliki ketentuan sebagaimana tecantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Yang dimaksud dengan jurusita pajak menurut UU.No.19 Tahun 2000 adalah pelaksana tindakan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. 24
Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan hakim dan tidak dapat ditentang lagi dengan jalan hukum apa pun baik berupa banding maupun kasasi . Wewenang untuk langsung mengeluarkan Surat Paksa tanpa melalui prosedur di muka pengadilan disebut eksekusi langsung. Walaupun isi dari Surat Paksa tersebut tidak bisa ditentang dengan upaya hukum apa pun, pelaksanaan Surat Paksa bisa digugat ke pengadilan pajak sesuai UU no.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU no 19 Tahun 2000. Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak (Orang pribadi atau badan). Pemberitahuan Surat Paksa dituangkan dalam berita acara yang sekurangkurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan surat paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima dan tempat pemberitahuan Surat Paksa. Surat Paksa berisi perintah supaya Wajib Pajak segera melunasi utang pajak dan biaya penagihan dalam waktu dua kali dua puluh empat jam setelah Surat Paksa diterima. Pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak : 1) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita pajak kepada : a) Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
25
b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, c) Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, d) Ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan tetap dibagi. 2) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada : a) Pengurus meliputi Direksi, Komisaris, Pemegang Saham pengendali atau mayoritas untuk perseroan terbuka, pemegang saham untuk perseroan tertutup dan orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perseroan untuk perseroan terbatas (PT), b) Kepala perwakilan, kepala cabang atau penanggung ajwab, untuk Bentuk Usaha Tetap c) Direktur, pemilik modal atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas perusahaan, untuk badan usaha lainnya seprti kontrak investasi kolektif, persekutuan, firma, dan perseroan komanditer.
26
d) Ketua atau orang yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas yaysan, untuk yayasan, e) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d. 3) Apabila Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan. 4) Apabila Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebai untuk melakukan pemberesan atau likuidator. 5) Apabila Wajib Pajak menunjukan seorang Kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada Penerima kuasa. Apabila Penanggung Pajak atau pihak-pihak menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dan menacatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan. Apabila pemberitahuan Surat Paksa tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat. Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa 27
dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya dengan mengumumkan melalui media massa atau dengan cara lainnya. 4. Penyitaan Penyitaan merupakan serangakaian penagihan terhadap wajib pajak yang setelah dikeluarkan surat paksa oleh Dirjen Pajak yang tidak merespon atau membayar dari pajak terhutangnya yang tertera dalam Surat Paksa. Penyitaan ini merupakan Surat yang mempunyai kekuatan hukum yang tinggi, dimana wajib pajak hanya mempunyai waktu 2 x 24 jam untuk melunasi pajak terhutangnya. Menurut Wirawan B ilyas : “Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang penanggung Pajak gunda dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajaknya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. Pada prinsipnya tujuan penuitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari penanggung pajak. Oleh karenanya, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang milik wajib pajak yang berada ditempat tinggal, tempat kegiatan usaha, tempat kedudukan atau tempat lain yang menjadi jaminan untuk pelunasan utang tertentu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997, barang yang dikecualikan dari penyitaan diantaranya :
28
1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; 2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang ada dirumah; 3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas; 4) Buku-buku yang berkaitan demgam jabatan atau pekerjaan penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dam keilmuam; 5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah); 6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; Dalam melaksanakan penyitaan, sering terjadi persinggungan dalam lapangan terkait dengan penyitaan yang juga dilakukan oleh instansi lain seperti pihak Pengadilan Negeri atau pihak Panitia. Apabila pihak lain telah melakukan penyitaan, maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa kepada instansi yang bersangkutan dan tidak melakukan penyitaan lagi. Artinya, terhadap suatu barang sudah disita oleh suatu instansi tidak diperbolehkan disita lagi oleh instansi lainnya.
29
Terhadap barang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi salah satu dari tingga hal seperti dibawah berikut : 1. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. 2. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak; atau; 3. Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah. Misalnya adanya objek sita terbakan, objek sita hilang atau objek sita musnah.
D. Kerangka Pemikiran dan Model Konseptual 1. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap Pelunasan Tunggakan Pajak Pengaruh surat teguran yang diterbitkan kepada wajib pajak ternyata membuat wajib pajak menyadari akan kewajiban perpajakaanya. Surat teguran sendiri mempunyai peranan yang penting terhadap kepatuhan wajib pajak, akan tetapi terkadang wajib pajak tidak menyadari akan kewajibaanya walaupun telah diperingatkan dengan surat teguran wajib pajak terkadang mengabaikannya, untuk itu dirjen pajak akan melakukan tindakan dengan surat paksa. Surat paksa ini sudah dikategorikan penagihan pajak yang serius, dimana wajib pajak harus benar-benar membayar denda berupa sanksi administrasi dan hutang pajaknya.
30
Berdasarkan penelitian oleh saudara Cahyo Wicaksono Fakultas FISIP Universitas Indonesia dengan judul “Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap Pelunasan Tunggakan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Setiabudi Satu, Jakarta”, penelitian tersebut menyatakan bahwa surat teguran yang dikirimkan kepada wajib pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pencairan / pelunasan tunggakan pajak oleh wajib pajak dan surat paksa yang dikirimkan kepada wajib pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pencairan / pelunasan tunggakan pajak oleh wajib pajak, surat paksa ini yang sangat dominan berpengaruh terhadap penerimaan tunggakan pajak. 2. Model Konseptual Penelitian Kerangka Konseptual merupakan suatu gambaran mengenai variabelvariabel yang akan digunakan untuk melakukan analisis data sehingga dapat diperoleh suatu kesimpulan. Berikut model kerangka yang akan digunakan untuk meneliti berbagai variable
Surat Teguran
Pelunasan Tunggakan Pajak di KPP Pratama Menteng I
(X1) Surat Paksa (X2)
31
1) Variabel pelunasan tunggakan pajak merupakan variabel dependen, dapat dilihat dari jumlah pelunasan tunggakan pajak yang diterima di KPP Pratama Menteng I tahun fiskal 2009, 2010 dan 2011 2) Surat teguran merupakan variabel independen, variebel ini dapat diukur dengan kepatuhan wajib pajak badan dalam menanggapi surat teguran dan melunasi pajaknya. 3) Surat Paksa merupakan variabel independen yang dapat diukur dari kepatuhan wajib pajak badan dalam menanggapai surat paksa dan melunasi pajak terutangnya.
32