BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Gambaran Umum Pasar modal adalah bagian ilmiah dari teori permintaan dan pengadaan dana. Di salah satu sisi, akan ada pihak yang kekurangan dana (perusahaan go public) dan di sisi lain, ada pihak yang kelebihan dana (investor). Mereka bertemu dalam suatu tempat pertukaran yang disebut pasar modal. Investor akan
menyerahkan
dananya
untuk
mendapatkan
bukti
kepemilikan
perusahaan, dinyatakan lewat lembaran saham yang diterbitkan oleh perusahaan go public. Sebagai imbalanya, investor akan dapat menikmati keuntungan perusahaan yang akan dibagikan dalam bentuk deviden. Pasar modal sendiri terbagi menjadi dua bagian utama, pasar perdana dan pasar sekunder. Pada pasar perdana, untuk pertama kalinya dana masyarakat ditarik. Di pasar perdana inilah sebuah perusahaan yang akan melakukan go public pertama kali menjual sahamnya (disebut pasar perdana). Masyarakat yang telah membeli saham perdana ini akan selanjutnya dapat memilih untuk tetap menjadi pemegang saham tersebut, atau menjualnya kepada orang lain melalui pasar sekunder. Inilah pasar yang sesungguhnya, dimana para pialang saham (sebagai wakil dari para investor), bisa menjual dan / atau membeli saham perusahaan yang terdaftar di bursa. Pasar sekunder
10
11
ini dijalankan mirip dengan sebuah system lelang. Pembeli dan penjual dipertemukan secara terus menerus sehingga terjadi transaksi.
2.2. Penjelasan Indeks LQ45 Indeks LQ45 pertama kali diperkenalkan dibursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 24 Februari 1997. seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Indeks sektoral yang lebih dulu dibuat, indeks LQ45 inipun diciptakan untuk menjadi tolak ukur dalam memantau kecenderunganpasar dan perkembangan harga saham yang diperdagangkan. Seperti diketahui, angka indeks dalam notasi statistic dibuat untuk membandingkan perkembangan suatu kegiatan, apakah itu perkembangan produksi, harga, jumlah penjualan, termasuk tingkat keuntungan. Demikian pula indeks LQ45 ini diharapkan dapat digunakan sebagai pembanding. Indeks ini terdiri dari 45 saham yang dipilih setelah melalui beberapa criteria sehingga indeks ini terdiri dari saham-saham yang mempunyai likuiditas yang tinggi dan juga mempertimbangkan kapitalisasi pasar dari saham-saham tersebut : Kriteria pemilihan saham indeks LQ45 : 1. Masuk dalam top 60 dari total transaksi saham dipasar regular (ratarata nilai transaksi selama 12 bulan terakhir). 2. Masuk dalam ranking yang didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar (rata-rata kapitalisasi pasar selama 12 bulan terakhir).
12
3. Telah tercatat di BEJ sekurang-kurangnya 3 bulan. 4. Kondisi keuangan perusahaan, prospek pertumbuhan perusahaan, frekuensi dan jumlah transaksi dipasar regular. BEJ secara terus menerus memantau perkembangan komponen saham yang masuk dalam perhitungan Indeks LQ45. Setiap 3 bulan. Direview pergerakan ranking saham yang masuk dalam perhitungan Indeks LQ45. Pergantian saham akan dilakukan setiap 6 bulan sekali, yaitu pada setiap awal bulan Februari dan Agustus. Bila ada satu saham yang tidak memenuhi criteria, saham tersebut akan dikeluarkan dari perhitungan indeks dan digantikan dengan saham yang memenuhi criteria. Saham-saham yang masuk dalam criteria ranking 1-35 dikalkulasikan dengan cepat dalam perhitungan indeks. Sedangkan saham yang masuk pada rangking 36-45 tidak perlu dimasukan dalam perhitungan indeks. Hari Dasar LQ45 dan awal Perhitungan (13 Juli 1994-1996). Indeks LQ45 dihitung mundur hingga tanggal 13 Juli 1994 sebagai Hari Dasar, dengan Nilai Dasar 100. untuk seleksi awal digunakan data pasar Juli 1993-Juni 1994. Hasilnya, ke-45 saham tersebut meliputi 72% total market kapitalisasi pasar dan 72,5% nilai transaksi di pasar regular.
2.3. Latar Belakang Economic Value Added (EVA) Sebelum ada istilah EVA, para ahli keuangan menggunakan istilah yang berbeda untuk konsep yang sama, yaitu Economic Profit. Konsep ini
13
secara sederhana menjelaskan profit berasal dari pendapatan dikurangi seluruh biaya yang terjadi dalam menghasilkan pendapatan tersebut dan profit yang melebihi biaya modal, akan menciptakan suatu nilai bagi pemodal. Konsep EVA dilandasi oleh : 1. Konsep pendapatan residu yang dikembangkan oleh Alfred Marshall. Profit is the residual income accruing to a firm’s owner, as a return to the investment of his own capital1. Economic profit is the total net gains less the interest on invested capital at the current rate2 . Pendapatan residu didapat dari pendapatan yang diperoleh pada suatu periode dikurangi biaya modal. Secara sistematis : RI t = earning t − (r × capitalt −1 ) r = biaya modal capitalt-1 =modal pada tahun sebelumnya (t-1) 2. Teori “Maximize wealth of owner” oleh Adam Smith Usaha penciptaan kekayaan, modal dari perusahaan yang terbatas harus dialokasikan pada suatu usaha yang paling menguntungkan pemilik perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dalam mengalokasi modal harus memilih investasi yang dapat memberikan tingkat pengembalian yang lebih tinggi daripada tingkat biaya modal. 3. Konsep keuangan yang menyatakan bahwa modal perusahaan memiliki biaya.
14
Konsep biaya modal (Cost of Capital) menggunakan logika dasar bahwa tidak ada dana yang gratis karena investor telah kehilangan peluang mendapatkan return di tempat lain karena telah menanamkan modalnya disuatu perusahaan (opportunity cost) dan tingkat resiko perusahaan dalam melakukan investasi tidak sama. Akibatnya, semakin tinggi resiko investasi, makin tinggi pula return yang dituntut investor. 4. Konsep “Net Present Value” oleh Modigliani & Miller. Artikel “Devidend Policy, Growth and The Valuation of Shares” yang dikeluarkan pada Oktober 1961 dan dipublikasikan di Journal of Business, mengembangkan ide free cash flow dan penilaian perusahaan berdasarkan cash. Tujuan dari Adam Smith dihitung oleh Miller dengan menggunakan Net Present Value.
2.4. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Salah satu upaya untuk memenangkan persaingan bisnis adalah melakukan evaluasi terhadap hasil yang diperoleh sebagai tindakan usaha yang telah dilakukan perusahaan. Salah satu data yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi dalam melakukan evaluasi atau pengukuran kinerja adalah laporan keuangan perusahaan. Melalui laporan keungan, perusahaan dapat mengetahui besarnya variance antara yang dianggarkan (budgeting) dengan hasil yang ada (real) untuk mengetahui apakah variance itu secara keseluruhan
15
favorable atau unfavorable terhadap perusahaan, dimana nantinya bermanfaat untuk menentukan strategi apa yang harus diambil dalam situasi dan kondisi tersebut. Pengukuran kinerja perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan nilai buku (accounting based) dan berdasarkan nilai ekonominya (economic based). Menurut Kenneth Lahn dan Anil K. Makhija4 , pengukuran kinerja perusahaan berdasarkan nilai buku pada laporan keungan tidak dapat mengukur penciptaan nilai perusahaan karena didalam perhitinganya tidak memasukan biaya modal (cost of capital) yang diperlukan dalam menghitung penghasilan. Contohnya adalah Return on Equity. Sebaliknya pengukuran kinerja perusahaan berdasarkan nilai ekonomis berarti menghitung penghasilan setelah mempertimbangkan semua biaya modal yang digunakan . Contohnya adalah Economic Value Added.
2.4.1.
Return on Equity (ROE) ROE merupakan hasil pembagian antara earning per share (EPS) dengan book equity per share. ROE diperlukan untuk menentukan sustanable growth rate yang nantinya digunakan untuk menghitung nilai saham (value of stock). Rumus untuk menghitung sustanaible growth rate (g) :
g = ROE × (1 − d ) d = divident payout rate =
dividend EPS
16
Investor dapat memprediksi harga saham saat ini (P0). P0 =
D0 (1 + g ) r−g
D0 = dividen tahun lalu r = expected return Nilai suatu perusahaan perusahaan yang telah go public tercermin melalui harga saham perusahaan tersebut. Prediksi investor terhadap harga saham saat ini merupakan salah satu alat bantu investor untuk mengambil keputusan dalam berinvestasi.
2.4.2.
Economic Value Added (EVA) Pengukuran ini dipercaya dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada pengukuran sebelumnya. Hal ini semakin diperkuat dengan perusahaan-perusahaan besar yang telah mengadopsi EVA . Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Stern Steward & Co yang menyatakan bahwa EVA merupakan pengukuran kinerja yang paling tepat, baik kinerja internal seperti manajemen akan bertindak seperti pemegang saham sehingga akan lebih hati-hati dalam bertindak, maupun kinerja eksternal yaitu penciptaan shareholder value. Perhitungan EVA berbeda dengan ROE karena EVA tidak mengikuti kebijakan yang konvensional dan konservatif, sehingga terdapat beberapa penyesuaian terhadap kebijakan akuntansi seperti biaya pelatihan atau pendidikan. Biaya tersebut menurut standar akuntansi
17
umum akan diakui langsung sebagai beban pada periode yang bersangkutan sednagkan EVA tidak seperti itu. EVA akan menganalisis lebih lanjut terhadap tujuan adanya pengeluaran tersebut karena pengeluaran
tersebut
dianggap
sebagai
investasi
sehingga
akan
dikapitalisasi terlebih dahulu kemudian diamortisasi sesuai dengan umur manfaat. Penyesuaian yang dilakukan bertujuan untuk meminimalkan terjadinya manipulasi data keuangan dan mencegah manager berorientasi pada kinerja jangka pendek karena manajer harus menyadari bahwa manfaat dari biaya yang dikeluarkan tidak akan langsung terlihat pada saat itu juga atau periode yang bersangkutan tetapi akan terlihat manfaatnya pada periode mendatang. Misalnya, biaya pendidikan dibebankan sebagai investasi karena diharapkan memperoleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan yang nantinya akan menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik.
2.5. EVA Sebagai Pengukuran Kinerja EVA dinilai mampu memberikan solusi bagi perusahaan dalam upaya mendorong proses penciptaan nilai (value creation) bagi pemegang sahamnya sehingga
implementasi
yang
tepat
akan
memungkinkan
perusahaan
menjalankan program manjemen berbasis nilai (value-based management) secara komprehensif sehinga konflik kepentingan antara manajer dengan
18
pemilik dapat diatasi. VBM meliputi perencanaan stratejik, alokasi kapital, anggaran operasi, pengukuran kinerja, dan komunikasi internal. Para manajer dalam perusahaan dituntut untuk tidak berfikir keuntungan
jangka
pendek
saja
melainkan
jangka
panjang
yang
mempengaruhi kehidupan perusahaan secara keseluruhan. Akibatnya, walaupun para manajer tahu bahwa dengan melakukan investasi saat ini berarti mereka melakukan pengluaran yang tidak sedikit yang dapat berpnegaruh pada laporan keuangan perusahaan, tetapi para manajer menjadi tidak ragu untuk melakukan investasi saat ini pada proyek-proyek yang diperkirakan dapat menciptakan nilai bagi perusahaan dimasa mendatang. Dengan kata lain, jika ingin menciptakan value perusahaan yang lebih baik dimasa mendatng, maka diperlukan pengorbanan dneg mengluarkan biayabaiaya untuk melakukan investasi saat ini.
2.6. Ketidakpastian EVA EVA yang positif tidak akan menjamin bahwa performa perusahaan akan terus bagus dimasa depan karena EVA merupakan pengukuran atas kinerja yang telah lewat. Bisa saja EVA menjadi lebih tinggi dan positif dari sebelumnya karena adanya kejadian tertentu seperti restrukturisasi utang yang sudah selesai dan divestasi sehinga perhitungan EVA selanjutnya bisa menjadi turun bahkan negatif. Juga bisa disebabkan perusahaan tidak mau melakukan investasi sehingga cost of capital-nya tidak bertambah.
19
Demikian sebaliknya EVA yang negatif juga tidak dapat langsung dikatakan bahwa perusahaan tersebut jelek atau manajemen telah gagal mengelola kapital. Alasannya, cost of capital dalam investasi umumnya masih beru sehingga masih terdapat kemungkinan terjadi kesalahn. Jadi, semakin besar pertumbuhan aset biasanya cenderung menekan rate of return dan meningkatkan cost of capital. Rate of return menurun karna belum tentu tambahan aset tersebut dapat segera menghasilkan return yang diharapkan, sementara peningkatan cost of capital terkait dnegan resiko yang menyertai biayan pertumbuhan aset yang belum tentu bisa segera menghasilkan return yang diharapkan dalam waktu singkat.
2.7. Kelebihan dan Kekurangan EVA 2.7.1.
Kelebihan EVA Kelebihan pertama EVA adalah bahwa EVA memfokuskan penilainya pada nilai tambah dnegan memperhitungkan beban biaya modal sebagai konsekuensi dari investasi. Kelebihan kedua adalah EVA dapat digunakan secara mandiri tanpa data pembanding seperti standar industri atau data perusahaan lain, sebagaimana konsep penilaian dengan menggunakan analisis rasio. Kelebihan EVA yang lainnya secara konseptual dibanding ukuran kinerja konvesional seperti earning adalah sebagai berikut :
20
1. Selain menjadi metode pengukuran kinerja keunagan, EVA juga merupakan
kerangka
kerja
manajemen
keunagan
yang
komprehensif, mencakup berbagai fungsi yang dimulai dari strategic
palnning,
capital
allocation,
operating
budget,
performance measurement, management compensation, sampai pada internal.external communication. 2. EVA diyakini mampu berperan sebagai suatu sistem insentif kompensasi yang dapat mengarahkan perusahaan dalam mencapai tujuan utama, yaitu menciptakan nilai untuk pemegang saham. 3. EVA dapat dipakai untuk mentransformasi budaya perusahaan (corporate culture), sehingga semua elemen dalam organisasi menjadi lebih peka dan sadar untuk terus menciptakan nilai bagi perusahaan. Akibatnya, tujuan setiap fungsi divisional tidak lagi saling berbenturan. 4. Melalui penerapan sistem kompensasi berbasis nilai (value based compensation), EVA dapat mendorong setiap manajer untuk memainkan peran seperti pemegang saham perushaaan sehinggga manajer akan bertindak lebih cepat.
2.7.2.
Kekurangan EVA Beberapa kelemahan dari EVA menurut Teuku Mirza, Robert Onchsner dan Bruce Hanson, antara lain :
21
1. EVA tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu kerja perusahaan seperti loyalitas dan tingkat retensi konsumen karena EVA hanya mengukur hasil akhir dari kinerja perusahaan dalam bentuk laporan keuangan. 2. EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan dan menjual atau membeli saham. 3. Konsep EVA sangat bergantung pada transparansi internal untuk perhitungan EVA secara akurat. 4. Perhitungan EVA yang cukup rumit dan banyaknya penyesuaian terhadap NOPAT maupun invested capital dapat menyebabkan distorsi tersendiri. 5. EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun tertentu sehingga manajemen bisa memilih alternatif pendanaan yang dapat meningkatkan EVA pada jangka pendek dan secara jangka panjang dapat menghambat potensi perusahaan.
2.8. Artikel dan Penelitian tentang EVA Sebelum adanya penelitian yang dilakukan oleh Pablo Fernandez pada awal 2002, EVA seperti yang disebarluaskan oleh Stewart dan didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Kenneth Lehn dan Anil K. Makhija (1996) terhadap 241 perusahaan selama tahun 1987, 1998, 1992 dan 1993,
22
menganggap EVA sebagai pengukuran kinerja yang superior. Hasil penelitian itu juga membuktikan bahwa EVA berkolerasi positif dengan tingkat pengembalian investasi dalam saham dengan korelasi yang lebih tinggi dibanding ROA, ROE dan ROS yang digunakan sebagai alat ukur kinerja perusahaan. Hal ini juga diperkuat oleh perusahaan seperti Coca-Cola, Quaker Oats, Georgia Pacific, dan perusahaan besar lainnya yang menyatakan kinerja perusahaan menjadi lebih baik setelah mengadopsi EVA. Penelitian lainnya oleh Chen dan Dodd (1997) terhadap data EVA rata-rata 10 tahun di 561 perusahaan yang telah dikalkulasi Stern Stewart memperlihatkan, laba akuntasi (earning) tetap signifikan terhadap imbal hasil saham perusahaan. Studi tersebut menyimpulkan, perbaikan kinerja EVA berhubungan dengan tingginya return saham, walaupun kekuatannya jauh lebih rendah dari yang diklaim Stern Stewart. Akibatnya, EVA dipercaya banyak pihak sebagai pencermin akan kinerja perusahaan yang baik dimasa mendatang sehingga akan menaikan nilai dari perusahaan tersebut. Bagi perusahaan yang telah go public, kenaikan nilai ini tercermin dari naiknya harga saham perusahaan tersebut sehingga akan menyebabkan shareholders bertambah kaya melalui return yang didapat lebih banyak dari sebelumnya. Pada
tahun
2003,
majalah
SWA
melakukan
pemeringkatan
menggunakan metode economic value-added (EVA), yang dipopulerkan oleh Stern Steward & Co. Yang diperingkat adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, serta per awal Agustus 2003
23
sudah mengeluarkan laporan keuangan tahunan 2002 versi lengkap dan mendapatkan opini "Unqualified" (wajar tanpa syarat) dari akuntan publik. Dengan menetapkan persyaratan seperti itu, hanya 188 perusahaan yang lolos. Kemudian dari 100 perusahaan (SWA100) yang mendapatkan peringkat tertinggi -- 50 perusahaan beraset di atas Rp 1 triliun dan 50 perusahaan di bawah Rp 1 triliun -- yang diperingkat berdasarkan pencapaian EVA, hanya ada 24 perusahaan perusahaan yang angka EVA-nya plus. Mereka terdiri dari 10 perusahaan di kelompok aset di atas Rp 1 triliun dan 14 perusahaan beraset kurang dari Rp 1 trilun. Padahal, tahun lalu ada 34 perusahaan. Menurut Sidharta Utama, Ketua MAKSI (Magister Akuntansi dan Keuangan) Universitas Indonesia, mengungkapkan ada dua faktor utama penyebabnya. Pertama, kondisi ekonomi makro yang masih sulit, sehingga berimbas pada kondisi pasar yang kurang bagus akibat daya beli masyarakat merosot. Dalam situasi pasar yang tidak bagus, tentu, penjualan turun. Rentetan dampak dari penjualan menurun ini adalah profit yang rendah. Padahal, perhitungan EVA bersumber dari laba dikurangi beban modal. Kedua adalah faktor mikro dalam perusahaan. Sebelum krisis pun tingkat profitabilitas perusahaan di Indonesia rendah. Menurutnya, ini karena pengelolaaan perusahaan yang kurang baik. Praktis bisnis tak terpuji yang membuat perusahaan harus menanggung biaya operasional yang makin tinggi -- sehingga menyebabkan perolehan laba menciut, misalnya praktik mark-up dan suap-menyuap. Jadi, pembengkakan biaya sebetulnya bukan berarti semata-mata perusahaan tak mampu mengontrol biaya.