BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori kontrol diri yang meliputi definisi, elemen-elemen, dan tipe-tipe kontrol diri. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian.
A. CYBERLOAFING Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang bersamaan dengan perkembangan penggunaan internet di bidang bisnis atau perusahaan. Tak dapat dipungkiri bahwa cyberloafing menjadi salah satu fokus perhatian pihak perusahaan karena dampaknya terhadap produktivitas karyawan. Terdapat banyak istilah dan konsep yang digunakan untuk menyebutkan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Beberapa konsep tersebut antara lain non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, online loafing, internet deviance, problematic internet use, personal web usage at work, internet dependency, internet abuse, serta internet addiction (Kim & Sahara, 2011).
Universitas Sumatera Utara
1. Definisi Cyberloafing Lim, Teo, dan Loo (2002) menyebutkan segala tindakan disengaja karyawan menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan untuk tujuan pribadi dan aktivitas memeriksa (termasuk
menerima dan mengirim)
email
pribadi
sebagai
penyalahgunaan internet. Segala aktivitas tersebut disebut dengan istilah cyberloafing. Kedua aktivitas itu (seperti browsing atau memeriksa email) merupakan penggunaan waktu yang tidak produktif karena menurunkan kinerja karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas utama pekerjaan. Perilaku cyberloafing ini dapat dikatakan sama dengan istilah personal web usage at work (penggunaan jaringan pribadi saat bekerja) yang diungkapkan oleh Anadarajan dan Simmers (2004). Personal web usage at work merupakan segala bentuk perilaku online web yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama jam kerja dengan menggunakan berbagai sumber daya organisasi untuk aktivitas selain dari keperluan pekerjaan yang ditentukan. Sumber daya organisasi yang dimaksud tidak hanya berupa jaringan maupun server perusahaan, tetapi juga penggunaan komputer dan waktu karyawan yang seharusnya menjadi sumber daya milik perusahaan. Sedangkan menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan fasilitas internet dan email perusahaan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan secara disengaja oleh karyawan saat bekerja. Askew (2012) menyatakan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan menggunakan berbagai jenis komputer (seperti desktop, cell-phone, tablet) saat
Universitas Sumatera Utara
bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor karyawan tidak menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan. Dari beberapa definisi yang diungkapkan tokoh di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) di saat jam kerja.
2. Tipe-Tipe Cyberloafing Lim dan Teo (2005) membagi cyberloafing menjadi dua tipe aktivitas yaitu: 1.
Emailing Activities (Aktivitas Email) Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun menerima email pribadi.
2.
Browsing Activities (Aktivitas Browsing) Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah browsing situs olahraga, situs berita, maupun situs khusus dewasa.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing ke dalam dua tipe yaitu: 1.
Minor Cyberloafing Minor cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet umum yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Minor cyberloafing terdiri dari penggunaan email atau browsing situs hiburan. Beberapa contoh minor cyberloafing adalah mengirim dan menerima email pribadi, mengunjungi situs olahraga, memperbarui status jejaring sosial (seperti Twitter atau Facebook), serta berbelanja online. Dengan kata lain, minor cyberloafing mirip dengan perilaku umum lain yang tidak sepenuhnya ditoleransi di tempat kerja, seperti mengangkat telfon pribadi atau mengobrol hal-hal yang bersifat pribadi saat sedang bekerja.
2.
Serious Cyberloafing Serious cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet yang bersifat lebih berbahaya karena bersifat melanggar norma perusahaan dan berpotensi ilegal. Beberapa contoh perilaku dari serious cyberloafing adalah judi online, mengelola situs milik pribadi, serta membuka situs yang mengandung pornografi (Case & Young, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan kedua tipe cyberloafing dari Blanchard dan Henle (2008), baik minor cyberloafing maupun serious cyberloafing. Hal ini dikarenakan kedua tipe cyberloafing ini membagi perilaku cyberloafing ke dalam beberapa aktivitas berdasarkan tingkat keparahannya.
3. Faktor-Faktor Penyebab Cyberloafing Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut : 1) Faktor Individual Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku cyberloafing. Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain : a. Persepsi dan Sikap Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing dengan perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka menguntungkan bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). b. Sifat Pribadi Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi seperti
Universitas Sumatera Utara
shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud adalah
kecenderungan
individu
mengalami
kecanduan
atau
penyalahgunaan internet. c. Kebiasaan dan Adiksi Internet Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyaratisyarat khusus di lingkungan (Woon & Pee, 2004). Lebih dari 50% perilaku media diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010). d. Faktor Demografis Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor penting dari cyberloafing (Garrett & Danziger, 2008). e. Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial, dan Kode Etik Personal Persepsi
individu
mengenai
larangan
etis
terhadap
cyberloafing
berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif individu (misalnya, cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2) Faktor Organisasi Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu : a. Pembatasan Penggunaan Internet Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal ini dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan (Garrett & Danziger, 2008). b. Hasil yang Diharapkan Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi negatif (Garrett & Danziger, 2008). c. Dukungan Manajerial Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap semua tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku cyberloafing.
Universitas Sumatera Utara
d. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga melakukan
cyberloafing,
akan
lebih
mungkin
untuk
melakukan
cyberloafing (Weatherbee, 2010). e. Sikap Kerja Karyawan Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan (Garrett & Danziger, 2008). Sikap kerja karyawan ini terdiri dari tiga bagian yaitu : e.1. Injustice (Ketidakadilan) Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk
menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan
melakukan cyberloafing.
Universitas Sumatera Utara
e. 2. Komitmen Kerja Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen memiliki peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang diharapkan. Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi dan pekerjaannya cenderung merasa bahwa cyberloafing tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang melakukan cyberloafing. e. 3. Kepuasan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet. Sedangkan Stanton (2002) menemukan bahwa karyawan yang cenderung menjadi sangat puas adalah karyawan yang sering menyalahgunakan internet. f. Karakteristik Pekerjaan Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan. Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak tuntutan dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang melakukan cyberloafing.
Universitas Sumatera Utara
3) Faktor Situasional Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor
secara
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi
perilaku
cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan formal organisasi dan sanksi atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing.
Dari
uraian
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
cyberloafing di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus pada faktor individual yaitu sifat pribadi karyawan berupa kontrol diri sebagai salah satu variabel penelitian.
B. KONTROL DIRI Kontrol diri merupakan salah satu fungsi pusat yang berada dalam diri individu. Kontrol diri dapat dikembangkan dan digunakan oleh individu untuk mencapai kesuksesan dalam proses kehidupan. Pengaruh kontrol diri terhadap timbulnya tingkah laku dianggap cukup besar, karena salah satu hasil proses pengontrolan diri seseorang adalah tingkah laku yang tampak (Zulkarnain, 2002).
Universitas Sumatera Utara
1. Definisi Kontrol Diri Goldfried & Marbaum (1973) menyatakan bahwa kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Hal ini sejalan dengan definisi yang diungkapkan oleh Rothbaum, Weisz, dan Snyder (1982) yang mendefinisikan kontrol diri sebagai sejauhmana individu mampu mengubah dan beradaptasi dengan lingkungan sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan diri. Kopp (1982) menyatakan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku sesuai dengan yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh hal lainnya. Sedangkan Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, atau dengan kata lain sebagai serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri sebagai individu. Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Gottfredson dan Hirschi juga menyatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik daripada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktivitas berbahaya, kurang sensitif dengan kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibandingkan dengan hal-hal kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber-sumber frustasi.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Bauimester (2002), kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah atau mengarahkan respon individu, termasuk pikiran, emosi, dan tindakan secara sadar, terutama mengendalikan impuls dan melawan godaan. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengartikan kontrol diri sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh masyarakat. Dari beberapa definisi kontrol diri tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan godaan tertentu.
2. Elemen-Elemen Kontrol Diri Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan enam elemen yang menjadi ciri-ciri individu yang memiliki kontrol diri rendah. Melalui enam elemen ini, dapat dilihat tingkat kontrol diri individu. Enam elemen tersebut adalah : 1) Impulsiveness Konsep ini mengacu pada kecenderungan seseorang untuk merespon stimulus nyata di lingkungan terdekat. Individu ini memiliki orientasi “here and now”. Individu tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang akan
dilakukannya.
Individu
mudah
tergoda
untuk
sesuatu
yang
menyenangkan. Sebaliknya, apabila individu memiliki kontrol diri yang tinggi cenderung menunda pemuasan kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
2) Preference for Physical Activity Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah lebih memilih kegiatan yang tidak membutuhkan keahlian tertentu dibandingkan mencari aktivitas yang membutuhkan pemikiran (kognitif). Individu ini senang melakukan aktivitas secara fisik dibandingkan aktivitas mental.
3) Risk-Seeking Orientation Konsep ini menjelaskan bahwa individu dengan kontrol diri yang rendah suka terlibat dalam aktivitas-aktivitas fisik yang beresiko, menyenangkan, dan menegangkan. Mereka melakukan tindakan sembunyi-sembunyi, berbahaya, atau manipulatif. Oleh karena itu, individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung pemberani dan aktif. Sedangkan individu yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung hati-hati, kognitif, dan verbal.
4) Self-Centeredness Individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung mementingkan diri sendiri. Individu ini juga kurang peka terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain. Individu ini sering tidak bersikap ramah, atau dengan kata lain, cenderung kurang peduli dalam pembinaan hubungan dengan orang lain. Tindakan mereka merupakan refleksi dari self-interest (minat pribadi) atau untuk keuntungan pribadi.
Universitas Sumatera Utara
5) Preference for Simple Tasks Individu dengan kontrol diri yang rendah akan cenderung menghindari tugastugas sulit yang membutuhkan banyak pemikiran. Individu ini lebih menyukai tugas sederhana yang dapat diselesaikan dengan mudah. Dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung kurang rajin, gigih, atau tekun dalam melakukan suatu tindakan. Mereka lebih mencari kepuasan hasrat yang mudah dan sederhana.
6) Short-Tempered Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung rentan mengalami frustasi, emosi mudah meledak, dan temperamental. Ketika terlibat permasalahan dengan orang lain, individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung kesulitan untuk menyelesaikannya secara verbal.
3. Tipe-Tipe Kontrol Diri Averill (1973) menyebut kontrol diri sebagai personal control (kontrol personal). Berdasarkan konsep Averill, terdapat tiga tipe kontrol diri, yaitu behaviour control (kontrol perilaku), cognitive control (kontrol kognitif), dan decisional control (mengontrol keputusan) (Averill, 1973; Zulkarnain, 2002).
Universitas Sumatera Utara
a. Behavioral control Kontrol perilaku merupakan adanya kesiapan dan penggunaan tindakan yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan atau mengancam.
b. Cognitive control Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.
c. Decisional control Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diinginkannya atau setuju dengan tindakan yang harus diambilnya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
Dari uraian mengenai tipe-tipe kontrol diri yang dijelaskan di atas, peneliti akan berfokus pada kontrol perilaku.
Universitas Sumatera Utara
C.
PENGARUH
KONTROL
DIRI
TERHADAP
PERILAKU
CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN Salah satu fenomena yang muncul bersamaan dengan penggunaan fasilitas internet di tempat kerja adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing merupakan perilaku kerja karyawan yang bersifat counterproductive dan dapat merugikan perusahan. Hal ini dikarenakan cyberloafing memungkinkan karyawan untuk membuang-buang waktu kerja. Cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja berupa penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing website yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Tindakan ini dilakukan selama jam kerja untuk kepentingan pribadi karyawan. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah sifat pribadi karyawan (Ozler & Polat, 2012). Salah satu sifat pribadi tersebut adalah kontrol diri. Penelitian yang dilakukan oleh Restubog, Garcia, Toledano, Amarnani, Tolentino, dan Tang (2011) menunjukkan bahwa kontrol diri berhubungan negatif dengan perilaku cyberloafing pekerja. Hal ini konsisten dengan
penelitian
sebelumnya
yang
menyatakan
bahwa
perilaku
counterproductive seperti cyberloafing terjadi akibat kegagalan regulasi diri (Yellowees & Marks, 2007). Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Dalam teori kontrol diri rendah yang mereka kembangkan, mereka mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah dikarakteristikkan dengan enam
Universitas Sumatera Utara
elemen, yaitu impulsiveness, preference for physical activity, risk-seeking orientation, self-centeredness, preference for simple tasks, dan short-tempered. Jika ditinjau dari elemen impulsiveness, maka pegawai yang impulsif cenderung tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang dilakukannya. Pegawai yang impulsif lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing. Selain itu, mereka lebih mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang bersifat menyenangkan bagi dirinya (Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti browsing situs hiburan atau media sosial saat bekerja. Pegawai yang impulsif berorientasi “here and now” sehingga mereka hanya berfokus pada kenikmatan sesaat dengan melakukan aktivitas browsing internet untuk kepentingan pribadi tanpa mempedulikan dampaknya bagi tempat di mana ia bekerja. Jika ditinjau dari elemen preference for physical activity, maka pegawai yang melakukan cyberloafing adalah pegawai yang senang melakukan aktivitas fisik dibandingkan aktivitas mental. Hal ini maksudnya adalah pegawai tidak suka melakukan aktivitas yang membutuhkan pemikiran maupun keahlian tertentu (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Cyberloafing merupakan salah satu perilaku yang tidak membutuhkan skill tertentu, karena yang dibutuhkan hanya perangkat elektronik (seperti komputer atau laptop) dan akses internet. Sedangkan pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih suka pada aktivitas yang membutuhkan pemikiran dan keahlian tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Apabila ditinjau dari elemen risk-seeking orientation, pegawai yang berorientasi mencari resiko lebih cenderung melakukan perilaku menyimpang saat bekerja (Gottfredson & Hirschi, 1990). Perilaku menyimpang ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan cukup berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal ini, salah satu perilaku menyimpang itu adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing juga mengandung unsur manipulatif karena pegawai tetap dapat terlihat bekerja dengan semangat karena tidak meninggalkan meja kerja, meskipun sebenarnya mereka sedang melakukan aktivitas browsing internet untuk kepentingan pribadi (Lavoie & Pychyl, 2001). Oleh karena itu, pegawai yang memiliki elemen risk-seeking orientation rendah cenderung akan berhati-hati dalam bekerja, sehingga mereka akan mempertimbangkan segala konsekuensi dari suatu tindakan yang akan dilakukannya. Jika ditinjau dari elemen self-centeredness, pegawai yang hanya berfokus pada kebutuhan diri sendiri akan lebih mungkin melakukan cyberloafing. Pegawai ini kurang peka terhadap kebutuhan orang lain (Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti misalnya kebutuhan pengguna layanan perpustakaan. Dampak dari penggunaan internet pribadi saat bekerja tentu akan merugikan berbagai pihak, termasuk instansi di mana ia bekerja. Pegawai yang memiliki self-centeredness tinggi juga akan kurang peka terhadap orang lain, sehingga mereka berperilaku hanya untuk keuntungan pribadi (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Apabila dilihat dari elemen preference for simple tasks, pegawai yang lebih mungkin melakukan cyberloafing adalah pegawai yang kurang gigih atau tekun dalam bekerja. Fokus perhatian pegawai ini mudah beralih ke aktivitas-aktivitas
Universitas Sumatera Utara
menyenangkan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Ia sulit untuk mengontrol dirinya dan fokus menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Pegawai yang tinggi pada elemen preference for simple tasks juga akan menghindari pekerjaan sulit yang membutuhkan banyak pemikiran (Gottfredson & Hirschi, 1990). Sebaliknya, pegawai yang memiliki elemen preference for simple tasks rendah cenderung lebih fokus pada pekerjaannya sehingga perhatiannya tidak mudah beralih ke halhal lain yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Jika ditinjau dari elemen short-tempered, pegawai yang tinggi pada elemen ini cenderung rentan mengalami frustasi saat bekerja, sehingga mereka akan mudah mencari pelampiasan dari rasa frustasi yang dialami dengan aktivitas lain (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Aktivitas lain tersebut biasanya tidak berkaitan dengan pekerjaan, seperti cyberloafing. Selain itu, pegawai yang tinggi pada elemen ini memiliki emosi yang mudah meledak dan temperamental. Sebaliknya, pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih tenang dan mamp mengontrol emosinya dengan baik. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pegawai yang memiliki kontrol diri rendah berdasarkan teori Gottfredson dan Hirschi (1990) cenderung impulsif, lebih suka melakukan aktivitas fisik yang tidak membutuhkan skill tertentu, suka melakukan aktivitas beresiko, hanya fokus pada kebutuhan diri sendiri, rentan mengalami frustasi dan temperamental, serta menghindari pekerjaan sulit yang membutuhkan pemikiran kognitif. Oleh karena itu, pegawai yang memiliki kontrol diri rendah cenderung lebih mungkin melakukan perilaku cyberloafing di tempat kerja. Sedangkan pegawai yang memiliki kontrol diri
Universitas Sumatera Utara
tinggi cenderung mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan dilakukannya (tidak impulsif), berhati-hati dalam bekerja, lebih suka melakukan aktivitas mental, peka terhadap kebutuhan orang lain, mampu mengatur emosinya, serta gigih dan tekun dalam bekerja. Oleh sebab itu, pegawai yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung lebih jarang melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing. Berdasarkan pemaparan dinamika kedua variabel di atas, dapat dilihat bagaimana keenam elemen dari kontrol diri rendah yang dikemukakan oleh Gottfredson dan Hirschi (1990) dapat mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengaruh dari kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan.
D. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing.” Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki individu, maka hal itu dapat mengurangi frekuensi perilaku cyberloafing yang dilakukannya.
Universitas Sumatera Utara