BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Modal Dalam menjalankan setiap aktivitasnya, setiap perusahaan memerlukan
modal dimana modal tersebut seringkali menjadi penentu kinerja suatu perusahaan. Modal dapat memiliki beberapa pengertian tergantung pada sudut pandang terhadap modal itu sendiri. Demikian pula halnya dalam persepsi keuangan, modal dapat didefinisikan berbeda oleh satu pihak dengan pihak yang lainnya. Menurut Prof. Baker sebagaimana dikutip oleh Bambang Riyanto (2001) menerangkan bahwa: “Modal ialah baik yang berupa barang konkrit yang masih ada dalam rumah tangga perusahaan yang terdapat di neraca sebelah debit, maupun daya beli atau nilai tukar dari barang-barang itu yang tercetak di sebelah kiri.” Pada awal perkembangannya, modal hanya ditinjau dari segi fisik saja, namun kemudian berkembang dimana modal tidak hanya semata-mata diartikan sebagai barang berwujud yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan dalam operasi perusahaan, tetapi juga mencakup nilai dan juga kemampuan dalam memanfaatkan segala hal dari modal itu sendiri.
7
2.2
Sumber Modal Menurut Bambang Riyanto (2001), sumber modal dibedakan menjadi
sumber modal internal dan sumber modal eksternal. Sumber modal internal merupakan sumber modal atau dana yang dibentuk atau dihasilkan sendiri di dalam perusahaan. Sumber modal eksternal merupakan sumber modal yang berasal dari luar perusahaan. Jadi, apabila ditinjau dari asalnya sumber modal dikelompokkan menjadi: 2.2.1
Sumber eksternal, antara lain terdiri dari:
Modal Pemilik/Ekuitas (Owner Capital/Owner Equity), atau Modal Saham (Capital Stock) yang terdiri dari : Saham Istimewa (Preferres Stock) dan Saham Biasa (Common Stock). Hutang (Debt) terdiri dari
Hutang Jangka Pajang (Long Term Debt) dan
Hutang Jangka Pendek (Short Term Debt). 2.2.2
Sumber Internal antara lain terdiri dari :
Laba Ditahan (Retained Earning) Penyusutan, Amortisasi dan Deplesi
2.3 Jenis-jenis Modal 2.3.1 Modal Sendiri (Shareholder Equity) Menurut Bambang Riyanto (2001), modal sendiri/ ekuitas adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam dalam perusahaan untuk waktu yang tidak tertentu lamanya. Ekuitas pada dasarnya merupakan modal yang berasal dari pemilik perusahaan. Bentuknya berbeda-beda bergantung pada bentuk
8
badan hukum perusahaan, misalnya Perseroan Terbatas (PT) ekuitasnya terdiri dari modal saham, cadangan dan keuntungan (laba ditahan). a.
Modal Saham Modal saham adalah tanda bukti pengambilan bagian atau peserta dalam
suatu Perusahaan, terdiri dari : Saham Biasa (Common Stock) Saham Preferen (Preferred Stock)
b.
Cadangan Cadangan yang dimaksud adalah cadangan yang dibentuk dari keuntungan
yang diperoleh perusahaan selama beberapa waktu yang lampau atau dari tahun berjalan. Akan tetapi tidak semua cadangan termasuk dalam ekuitas. Cadangan yang termasuk dalam ekuitas antara lain : Cadangan ekspansi Cadangan modal kerja Cadangan selisih kurs Cadangan untuk menampung hal-hal atau kejadian yang tidak diduga sebelumnya. c.
Laba Ditahan Laba ditahan adalah laba dari sebagian keuntungan yang dibayarkan
sebagai deviden. Penahanan laba yang sudah dengan tujuan tertentu, maka cadangan tersebut termasuk ke dalam cadangan sebagaimana diuraikan di atas.
9
Sedangkan laba yang ditahan tanpa tujuan penggunaan tertentu, maka laba tersebut termasuk ke dalam “laba ditahan” (retained earning). 2.3.2. Modal pinjaman (hutang) Modal pinjaman adalah modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara dalam perusahaan dan dalam jangka waktu tertentu harus dikembalikan. berdasarkan jangka waktu pengembaliannya, hutang dapat digolongkan menjadi: a.
Hutang jangka pendek Menurut Bambang Riyanto (2001), “Hutang jangka pendek atau modal
asing jangka pendek adalah hutang atau modal asing yang jangka waktunya paling lama satu tahun.” Hutang ini sebagian besar terdiri dari kredit yang diperlukan dalam penyelenggaraan usaha seperti kredit rekening koran, kredit dari penjual/ pembeli dan kredit wesel. b.
Hutang jangka menengah Menurut Bambang Riyanto (2001), “Hutang jangka menengah adalah
hutang yang jangka waktu atau umumnya adalah lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun.” c.
Hutang jangka panjang Hutang jangka panjang adalah hutang yang jangka waktunya lebih dari
sepuluh tahun. Hutang jangka panjang ini pada umumnya digunakan untuk membelanjai perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan. Bambang Riyanto (2001), membagi jenis hutang jangka panjang menjadi pinjaman obligasi dan pinjaman hipotik.
10
1)
Pinjaman Obligasi Pinjaman obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu yang
panjang, dimana si debitur mengeluarkan surat pengakuan utang yang mempunyai nilai nominal tertentu. 2)
Pinjaman Hipotik Pinjaman hipotik adalah pinjaman jangka panjang di mana pemberi uang
(kreditur) diberi hak hipotik terhadap suatu barang tidak bergerak, agar supaya bila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya, barang itu dapat dijual dan hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk menutup tagihannya
2.4
Struktur Modal Menurut Brigham & Houston (2006), “struktur modal adalah bauran dari
hutang, saham preferen dan saham biasa.” James C. Van Horne & John M. Wachowicz Jr. (2007) berpendapat “Capital structure is the mix (or proportion) of a firm’s permanent long term financing represented by debt, preferred stock, and common stock equity.” Sedangkan Bambang Riyanto (2001) berpendapat bahwa “struktur modal adalah perimbangan/ perbandingan hutang jangka panjang dengan ekuitas.” Adapun Keown, Scott, Martin and Petty (2000) mendefinisikan struktur modal sebagai kombinasi sumber dana jangka panjang yang digunakan perusahaan berupa hutang jangka panjang, saham preferen dan juga saham biasa. Dari beberapa definisi struktur modal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa struktur modal adalah metode pembiayaan permanen perusahaan melalui
11
salah satu atau kombinasi dari hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa. Kebijakan struktur modal selalu
melibatkan resiko dan tingkat
pengembalian. Tingginya resiko yang ditanggung perusahaan sebagai dampak dari tingginya penggunaan hutang sebagai penyusun modal perusahaan akan cenderung menurunkan harga saham. Akan tetapi di lain pihak, peningkatan tingkat pengembalian sebagai dampak pemanfaatan hutang yang baik akan meningkatkan harga saham. Kondisi ini menuntut perusahaan untuk mencapai struktur modal yang optimal. James C. Van Horne & John M. Wachowicz Jr. (2007), berpendapat bahwa: “Optimal capital structure is the capital structure that minimizes the firm’s cost of capital and thereby maximizes the value of the firm.” Sedangkan menurut Bambang Riyanto (2001) “struktur modal yang optimal adalah struktur modal yang dapat meminimumkan biaya penggunaan modal rata-rata (average cost of capital).” Dengan demikian, struktur modal yang optimal adalah struktur modal yang mampu menjaga proporsi komponen-komponen penyusun modalnya dengan mempertimbangkan resiko dan tingkat pengembalian masing-masing penyusun modal dengan tingkat biaya penggunaan modal rata-rata paling minimal yang pada akhirnya akan memaksimalkan harga saham.
12
2.5
Teori Struktur Modal
2.5.1
Pendekatan Teori Struktur Modal Menurut David Durand
a.
Pendekatan laba bersih (Net Income Approach) Pendekatan
ini
menerangkan
bahwa
kenaikan
tingkat
leverage
menurunkan total biaya (Ko) sehingga nilai perusahaan naik dengan asumsi biaya ekuitas (Ke) dan biaya hutang (Kd) konstan, kenaikan leverage mampu menurunkan biaya total (ko) sampai pada kondisi optimal. Sehingga dapat disimpulkan peningkatan financial leverage menyebabkan peningkatan nilai perusahaan, karena biaya modal perusahaan menurun. b.
Pendekatan laba operasi bersih (Net Operating Income Approach) Pendekatan ini menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang
berbeda terhadap penggunaan hutang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang bersifat konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Artinya apabila perusahaan menggunakan hutang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh bagian laba yang semakin kecil. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh pemilik ekuitas akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang akan berubah. c.
Pendekatan tradisional (Traditional Approach) Pendekatan tradisional dari struktur modal dan penilaian modal
mengasumsikan adanya struktur modal yang optimal dan manajemen dapat meningkatkan nilai total perusahaan melalui penggunaan hutang. Pendekatan tradisional menyarankan perusahaan dapat menurunkan biaya modal dan
13
menaikkan nilai perusahaan melalui hutang. Meskipun investor meningkatkan tingkat pengembalian ekuitas yang diminta, peningkatan biaya ekuitas tidak sepenuhnya mengimbangi manfaat yang diperoleh dari pendanaan hutang yang lebih murah. Dengan semakin banyaknya hutang yang digunakan, investor meningkatkan tingkat pengembalian hingga akhirnya pengaruh ini dapat mengimbangi manfaat pendanaan dari pinjaman yang lebih murah. Pendekatan ini mengakui adanya titik optimal, di mana tidak hanya Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang mencapai titik terendah, namun total nilai perusahaan yang mencapi titik tertinggi. 2.5.2
Teori Struktur Modal Modigliani-Miller (MM) Teori MM menerangkan bahwa hubungan antara hutang dan biaya modal
dijelaskan oleh pendekatan laba operasi bersih, akan tetapi mereka menentang pendapat tradisional dengan menawarkan pembenaran perilaku tingkat kapitalisasi perusahaan yang konstan. Teori ini menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut: - Risiko bisnis perusahaan diukur dengan EBIT (Standart Deviation Earning before Interest and Taxes = deviasi standar laba sebelum bunga dan pajak); - Investor memililki pengharapan yang sama tentang EBIT perusahaan di masa mendatang; - Saham dan Obligasi diperjual belikan di suatu pasar modal yang sempurna; Adapun kriteria pasar modal yang sempurna adalah : - Informasi selalu tersedia bagi semua investor (symetric information) dan dapat diperoleh tanpa biaya;
14
- Tidak ada biaya transaksi dan investor bersikap rasional; - Investor dapat melakuakan diversifikasi investasi secara sempurna; - Tidak ada baik pajak penghasilan perseorangan maupun pajak penghasilan perusahaan; - Investor baik individu maupun institusi dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama seperti halnya perusahaan sebesar tingkat bunga bebas risiko. Uang adalah tanpa risiko sehingga suku bunga pada utang adalah suku bunga bebas risiko; - Seluruh aliran kas adalah perpetuitas (sama jumlahnya setiap periode hingga waktu yang terhingga). Teori MM secara garis besar terbagi atas dua model, yaitu model tanpa pajak dan dengan pajak. a.
Tanpa pajak
1)
Preposisi I Modigliani dan Miller (MM) menjelaskan bahwa tidak ada
pengaruh financial leverage terhadap nilai perusahaan. Menurut teori MM I, perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan, atau dengan kata lain tidak ada struktur modal yang optimal bagi perusahaan. 2)
Preposisi II yang menyatakan bahwa nilai pengharapan (expected value)
tingkat pengembalian hasil terhadap modal/ Return on Equity (ROE) bertambah seiring dengan meningkatnya rasio hutang terhadap modal/debt to equty (DER). Kenaikan ekspektasi ROE ini didorong oleh adanya peningkatan resiko keuangan yang akan ditanggung investor perusahaan akibat bertambahnya hutang (DER),
15
sehingga apabila financial leverage naik maka biaya modal/ ekuitas secara linier juga naik, karena pemegang saham dihadapkan pada resiko yang semakin besar. b.
Dengan pajak perusahaan
1)
Preposisi I menyatakan bahwa nilai perusahaan yang memiliki hutang
akan lebih besar daripada nilai perusahaan tanpa hutang. Nilai perusahaan akan memiliki hutang tersebut sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang ditambah dengan
penghematan
pajak.
Teori
ini
mengalami
perubahan
dengan
dimasukkannya unsur pajak oleh Miller. MM mengakui bahwa peningkatan jumlah hutang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. 2)
Preposisi II menyatakan bahwa biaya ekuitas pada perusahaan yang
memiliki hutang sama dengan biaya ekuitas perusahaan tanpa hutang ditambah dengan premi resiko. Jadi teori MM dengan pajak menyatakan bahwa nilai perusahaan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan hutang. Biaya bunga hutang dapat mengurangi pajak sehingga makin besar porsi pendapatan perusahaan yang menjadi bagian investor. Akan tetapi teori MM dianggap belum mampu menjelaskan penetapan struktur modal secara sempurna. Asumsi pasar modal sempurna yang digunakan oleh MM dianggap berlawanan dengan kenyataan dan sulit ditemukan dalam praktek, sebab dalam kenyataan yang ada, pasar modal tidaklah sempurna. Bukti ketidaksempurnaan ini antara lain adalah adanya biaya transaksi ketika menggunakan sumber dana tertentu, informasi yang tidak sempurna, adanya biaya kebangkrutan, dan terjadinya perubahan hutang ketika proporsi
16
jumlah hutang berubah. Oleh karena itu dilakukan perubahan asumsi dengan tujuan agar teori struktur keuangan berikutnya lebih mampu menjelaskan kondisi pasar yang nyata. Kelemahan utama teori MM adalah mengabaikan faktor financial distress dan agency cost dengan mempertimbangkan financial distress dan agency cost maka muncul trade off theory. 2.5.3
Trade off Theory Teori trade-off pada awalnya ditemukan oleh Kraus dan Litzenbenger
pada tahun 1973. Teori ini memasukkan pengaruh pajak perseorangan, biaya keagenan dan biaya kesulitan keuangan sebagai imbangan dari manfaat penggunaan hutang. Menurut trade off model, struktur modal yang optimal merupakan keseimbangan antara penghematan pajak atas penggunaan hutang dengan biaya kesulitan keuangan akibat penggunaan hutang, sebab biaya dan manfaat akan saling meniadakan satu sama lain (trade-off). Tingkat hutang optimal tercapai ketika pengaruh interest tax-shield mencapai jumlah yang maksimal terhadap ekspektasi cost of financial distress. Pada tingkat hutang yang optimal diharapkan nilai perusahaan akan mencapai tingkat optimal, dan sebaliknya terjadi tingkat perubahan hutang sampai melewati tingkat optimal atau biaya kebangkrutan dan biaya kesulitan keuangan financial distress cost lebih besar daripada efek interest tax shield, hutang akan mempunyai efek negatif terhadap nilai perusahaan. Teori tradeoff ini mengakui adanya tingkat hutang yang ditargetkan.
17
2.5.4
Agency Theory Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Mecking
pada tahun 1976 (Horne dan Machowich, 2007 ; 243). Pihak manajemen dapat dianggap sebagai agen dari para pemilik perusahaan, yaitu para pemegang saham. Para pemegang saham ini, dengan harapan bahwa agen akan bertindak demi kepentingan para pemegang saham, akan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan ke pihak manajemen. Agar pihak manajemen dapat membuat keputusan yang optimal atas nama para pemegang saham, merupakan hal yang penting agar pihak manajemen tidak hanya mendapat insentif yang tepat (gaji, bonus, opsi saham, dan kompensasi), tetapi mereka akan diawasi juga. Pengawasan dapat dilakukan melalui berbagai metode seperti pengikatan agen, audit laporan keuangan, dan secara eksplisit membatasi keputusan pihak manajemen. Para kreditor mengawasi perilaku pihak manajemen dan pemegang saham dengan membebankan perjanjian jaminan dalam kesepakatan pinjaman antara pihak peminjam dan pemberi pinjaman. Kegiatan pengawasan tentu saja membutuhkan biaya yang disebut dengan biaya agensi. Biaya agensi merupakan biaya-biaya
yang
berhubungan
dengan
pengawasan
manajemen
untuk
meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditor dan pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (Horne dan Machowitz, 2007), salah satu pendapat dari teori agensi adalah siapapun yang mengeluarkan biaya pengawasan, biaya tersebut pada akhirnya ditanggung oleh pemegang saham. Contohnya, para pemilik utang, karena mengantisipasi biaya pengawasan, akan membebankan
18
bunga yang lebih tinggi. Semakin besar kemungkinan biaya pengawasan, semakin tinggi biaya bunga dan semakin rendah nilai perusahaan bagi para pemegang saham. Jumlah pengawasan yang diisyaratkan oleh pemilik utang akan naik sejalan dengan jumlah utang yang belum dilunasi. Jika hanya ada sedikit atau tidak ada utang, para pemberi pinjaman hanya dapat melakukan pengawasan terbatas, sementara jika terdapat banyak utang, mereka mungkin dapat mendesak pengawasan yang ekstensif. Biaya pengawasan cenderung akan meningkat sejalan dengan leverage keuangan. 2.5.5
Signaling Theory Signaling Theory (Teori Persinyalan) menurut Brigham dan Houston
(2006) merupakan suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk menggunakan utang di luar sasaran struktur modal yang normal. Perusahaan yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya, yang artinya menarik investor-investor baru untuk berbagi kerugian yang mereka alami. Adanya pengumuman penawaran saham biasanya akan dianggap sebagai suatu sinyal bahwa prospek perusahaan seperti yang dilihat manajemen tidak terlalu cerah. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa ketika sebuah perusahaan mengumumkan penawaran saham baru, biasanya harga sahamnya akan menurun.
19
2.5.6
Asymmetric Information Theory Asymmetric Information (Informasi Asimetris) menurut Brigham dan
Houston (2006) adalah situasi dimana manajer memiliki informasi yang berbeda (yang lebih baik) daripada yang dimiliki investor. Informasi Asimetris ini terjadi karena pihak manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak daripada para pemodal. Dengan demikian, pihak manajemen mungkin berpikir bahwa harga saham saat ini sedang overvalue (terlalu mahal). Kalau hal ini yang diperkirakan terjadi, maka manajemen tentu akan berpikir untuk lebih baik menawarkan saham baru (sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih mahal dengan yang seharusnya). Tetapi pemodal akan menafsirkan kalau perusahaan menawarkan saham baru, salah satu kemungkinannya adalah harga saham saat ini sedang terlalu mahal (sesuai dengan persepsi manajemen). Sebagai akibatnya para pemodal akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah, karena itu emisi saham baru akan menurunkan harga saham. 2.5.7
Pecking Order Theory Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun 1961.
Pecking Order Theory (POT) merupakan teori struktur pendanaan yang menawarkan alternatif lain dalam pengambilan keputusan pendanaan. Pengertian POT yakni terdapat urutan prioritas dalam aktivitas pemilihan sumber dana perusahaan. Secara singkat teori ini menyatakan bahwa perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan yang berwujud laba ditahan), apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu yaitu
20
dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarateristik opsi, baru akhirnya apabila belum mencukupi saham baru diterbitkan. Dana internal lebih disukai dari dana eksternal karena dana internal memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu mencari pinjaman lagi dari pihak luar. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada ekuitas karena dua alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi, biaya emisi obligasi lebih murah dari biaya emisi saham baru (Suad Husnan, 2007) hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Alasan kedua adalah manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik antara pihak manajer dengan pihak pemodal.
2.6
Financial Leverage Menurut James C. Van Horne dan M. Wachowicz, Jr. (2007), financial
leverage didefinisikan sebagai: “Financial leverage is the use of fixed financing cost by the firm. The british expression is gearing.” Financial Leverage adalah penggunaan secara potensial biaya tetap pendanaan (fixed financial cost) untuk memperbesar pengaruh perubahan EBIT terhadap laba earning per share perusahaan. Financial leverage muncul akibat dari adanya biaya tetap pendanaan. Ada dua biaya tetap pendanaan dalam laporan keuangan perusahaan, yaitu bunga hutang (interest on debt) dan deviden saham
21
preferen (preferred stock devidens). Kedua biaya ini merupakan biaya yang wajib dibayarkan oleh perusahaan. Oleh sebab itu, besarnya EBIT yang menghasilkan EPS (earning per share) yang positif akan sangat dipengaruhi oleh biaya tetap pendanaan yang dibayarkan oleh perusahaan.
2.7
Nilai Perusahaan Secara sederhana nilai perusahaan merupakan sejumlah uang yang
bersedia untuk dibayarkan untuk mendapatkan suatu perusahaan. Secara garis besar, nilai perusahaan dapat di bagi menjadi nilai buku (book value) dan nilai pasar (market value). Nilai buku merupakan nilai perusahaan menurut perhitungan akuntansi, sedangkan nilai pasar merupakan harga dimana suatu perusahaan ditransaksikan atau diasumsikan dijual atau dibeli. Nilai yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah nilai pasar dengan menggunakan pendekatan pendapatan dimana nilai perusahaan diukur dengan mengkapitalisasikan EBIT dikurangi pajak dengan WACC atau dapat dirumuskan dengan persamaan: 1
dimana: V
= Nilai perusahaan
EBIT
= Earning Before Interest Tax
Tc
= Tax (tarif pajak)
WACC = Weighted Average Cost of Capital
22
WACC merupakan terminal rate dari tingkat keseluruhan biaya modal yang dibebankan kepada perusahaan sebagai imbal balik dari modal yang dihimpun. WACC dihitung dengan menjumlahkan seluruh hasil pembobotan biaya modal hutang, saham biasa, saham preferen dan laba ditahan. WACC =(Wd x Kd) + (Wp x Kp) + (Ws x Ks) + (Wr x Kr) dimana: Wd Wp Ws Wr = nilai bobot masing-masing komponen modal Kd
= biaya hutang yang disyaratkan kreditur =
Kp
1
= biaya saham preferen =
Ks
= biaya saham biasa =
Kr
= biaya laba ditahan, adalah tingkat pengembangan yang dikehendaki pemegang saham biasa perusahaan, jadi biaya komponen laba ditahan sama dengan biaya komponen ekuitas atau Kr = Ks
23