BAB II LANDASAN TEORI
A. Komitmen Karyawan pada Organisasi 1. Definisi Komitmen Karyawan pada Organisasi Mowday, Porter & Steers (1982) mendefinisikan komitmen karyawan pada organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam melakukan identifikasi dan melibatkan diri dengan organisasi, yang dicirikan oleh penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, kesiapan dan kesediaan untuk bekerja keras dan keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi memiliki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, namun melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya (Chairy, 2002). Sejalan dengan hal tersebut di atas, Miller (2003) mendefinisikan komitmen karyawan
pada
organisasi
sebagai
suatu
keadaan
dimana
karyawan
mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan tujuannya, serta berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, komitmen karyawan pada organisasi merupakan tingkatan dimana seorang karyawan bersedia untuk mempertahankan keanggotaannya karena ketertarikan dan hubungannya dengan tujuan dan nilai organisasi. Meyer dan Allen (1997) mengemukakan komitmen karyawan pada organisasi sebagai kondisi psikologis yang menggambarkan hubungan individu dengan organisasi dan mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi. Sementara itu Morrow (1993)
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan komitmen karyawan pada organisasi dikarakteristikkan melalui sikap dan perilaku. Komitmen karyawan sebagai sikap merefleksikan perasaan seperti kelekatan, identifikasi dan loyalitas terhadap organisasi sebagai objek dari komitmen. Komitmen
sikap
ini
juga
merupakan
suatu
keadaan
dimana
individu
mempertimbangkan sejauhmana nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan
organisasi
serta
sejauhmana
keinginannya
untuk
mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi. Sementara itu komitmen karyawan sebagai perilaku didasarkan pada sejauhmana individu menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya kerugian jika memutuskan alternatif lain di luar pekerjaannya saat ini (Chairy, 2002). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi merupakan kondisi psikologis yang menggambarkan keyakinan dan penerimaan karyawan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi dan kesediaan untuk berusaha sungguh-sungguh dan bekerja keras demi pencapaian tujuan organisasi. 2. Aspek Komitmen Karyawan pada Organisasi Mowday et al., (1982) mengungkapkan tiga aspek dari komitmen karyawan pada organisasi, yang terdiri atas : a. Identifikasi (Identification) Merupakan pemahaman dan penerimaan tujuan organisasi yang menjadi dasar dari komitmen karyawan pada organisasi. Identifikasi karyawan dapat dilihat melalui
kepercayaan
karyawan
terhadap
organisasi,
sikap
menyetujui
kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dengan nilai organisasi, serta rasa bangga menjadi bagian dari organisasi.
Universitas Sumatera Utara
b. Keterlibatan (Involvement) Merupakan kesediaan karyawan untuk terlibat dan berusaha sungguh-sungguh dalam organisasi. Keterlibatan ini disesuaikan dengan peran dan tanggungjawab pekerjaan dalam organisasi. Hal ini tercermin dari usaha karyawan untuk menerima dan melaksanakan setiap tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan kepadanya. Karyawan bukan hanya sekedar melaksanakan tugastugasnya melainkan selalu berusaha melebihi standar minimal yang ditetapkan organisasi. Selain itu karyawan akan terdorong pula untuk melakukan pekerjaan diluar tugas dan peran yang dimilikinya apabila bantuannya dibutuhkan oleh organisasi, serta menjalin kerjasama baik dengan atasan ataupun dengan sesama rekan kerja. c. Loyalitas (Loyalty) Merupakan keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi dan menjadi bagian dari organisasi. Loyalitas terhadap organisasi ini juga merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta menunjukkan adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan karyawan. Karyawan dengan komitmen tinggi menunjukkan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Hal ini dapat diupayakan bila karyawan merasakan adanya keamanan dan kepuasan dalam bekerja. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi terdiri atas tiga aspek yaitu identifikasi (identification), keterlibatan (involvement) dan loyalitas (loyalty). 3. Tipe Komitmen Karyawan pada Organisasi Allen dan Meyer (1990) mengemukakan 3 (tiga) komponen komitmen karyawan pada organisasi yang terdiri atas :
Universitas Sumatera Utara
a. Komitmen Afektif Berkaitan dengan keterikatan emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin melakukan hal tersebut. Komitmen afektif adalah sikap kerja yang berkaitan dengan perasaan positif terhadap organisasi (Morrow, 1993). Tingkat kekuatan komitmen afektif dipengaruhi oleh sejauh mana kebutuhan dan harapan karyawan tentang organisasi sesuai dengan pengalaman yang sebenarnya (Storey, 1995). Perkembangan komitmen afektif melibatkan identifikasi dan internalisasi (Beck & Wilson, 2000). Keterikatan afektif individu dengan organisasi pertama kali didasarkan pada identifikasi dengan keinginan untuk membangun hubungan yang menguntungkan dengan organisasi. Selanjutnya, melalui internalisasi yang mengacu pada keselarasan tujuan dan nilai yang dimiliki individu dengan organisasi (Allen & Meyer, 1990). b. Komitmen Kontinuans Menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi disebabkan mereka butuh untuk melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain. Tingkat kekuatan komitmen kontinuans ditentukan oleh besarnya biaya yang ditimbulkan jika meninggalkan organisasi (Meyer & Allen, 1997). Komitmen kontinuans dapat dianggap sebagai kelekatan instrumental terhadap organisasi, dimana hubungan karyawan dengan organisasi berdasarkan pada penilaian terhadap manfaat yang diperoleh (Beck & Wilson, 2000). Untuk
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan karyawan yang berkomitmen secara kontinuans, organisasi perlu memberikan perhatian dan penghargaan lebih terhadap unsur-unsur yang meningkatkan semangat kerja karyawan agar dapat berkomitmen secara afektif terhadap organisasi (Manetje, 2005). c. Komitmen Normatif Berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib bertahan dalam organisasi, terlepas dari tingkat kepuasan yang diberikan oleh organisasi selama bertahun-tahun (Manetje, 2005). Tingkat kekuatan komitmen normatif dipengaruhi oleh aturan tentang kewajiban timbal balik antara organisasi dan karyawan (Suliman & Iles, 2000). Kewajiban timbal balik ini didasarkan pada teori pertukaran sosial, yang menunjukkan bahwa karyawan yang menerima manfaat dari organisasi, merasa memiliki kewajiban normatif yang kuat untuk membayar manfaat yang diperoleh (McDonald & Makin, 2000). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi terdiri atas 3 tipe yaitu afektif, kontinuans dan normatif. 4. Tahap Komitmen Karyawan pada Organisasi Komitmen karyawan pada organisasi berkembang melalui beberapa tahapan, sebagaimana yang dikemukakan oleh O’Reilly (1989) : a. Tahap Kepatuhan Pada tahap pertama, komitmen terfokus pada kepatuhan karyawan dalam menerima pengaruh orang lain di sekitarnya terutama yang bermanfaat bagi mereka, melalui remunerasi atau promosi (O’Reilly, 1989). Sikap dan perilaku diadopsi bukan karena keyakinan bersama namun hanya untuk mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
imbalan tertentu. Sifat komitmen dalam tahapan ini berkaitan dengan dimensi kontinuans, dimana karyawan mempertimbangkan kebutuhan untuk bertahan dalam organisasi dengan imbalan yang diterima (Beck & Wilson, 2000). Hal ini berarti bahwa karyawan tetap bertahan dalam organisasi pada tahapan ini karena apa yang mereka terima (Meyer & Allen, 1997). b. Tahap Identifikasi Pada tahap kedua, identifikasi terjadi ketika karyawan menerima pengaruh dari orang lain untuk memperoleh hubungan yang memuaskan dengan organisasi (O'Reilly, 1989). Karyawan merasa bangga menjadi bagian dari organisasi, karyawan mungkin menganggap peran mereka dalam organisasi sebagai bagian dari identitas diri. Komitmen karyawan pada tahap ini didasarkan pada dimensi normatif (Meyer & Allen, 1997). Individu bertahan dalam organisasi karena ia harus dan dituntun oleh kewajiban terhadap tugas dan loyalitas terhadap organisasi. c. Tahap Internalisasi Dalam tahap terakhir, terjadi internalisasi ketika karyawan menemukan nilainilai organisasi secara intrinsik bermanfaat dan selaras dengan nilai-nilai pribadinya (O'Reilly, 1989). Komitmen karyawan pada tingkat ini didasarkan pada dimensi afektif (Meyer & Allen, 1997). Pada tahapan ini tidak hanya rasa memiliki yang berkembang dalam diri karyawan tapi juga keinginan untuk menjadi bagian dari organisasi sehingga komitmen lebih didasarkan pada keinginan karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Oleh karena itu, dalam tahapan ini nilai-nilai individu kongruen dengan nilai dari kelompok dan organisasi (Suliman & Iles, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi berkembang dalam 3 tahapan yaitu tahap kepatuhan, tahap identifikasi dan tahap internalisasi. 5. Level Komitmen Karyawan pada Organisasi Ada berbagai level komitmen karyawan pada organisasi yang terkait dengan perkembangan komitmen karyawan. Menurut Reichers (1985), level komitmen organisasi karyawan terdiri dari : a. Higher Level Level ini ditandai dengan penerimaan yang kuat dari nilai-nilai organisasi dan kemauan untuk mengerahkan segala upaya untuk tetap bertahan dalam organisasi (Reichers, 1985). Miller (2003) menyatakan bahwa komitmen organisasi yang tinggi berarti mengidentifikasi dengan nilai-nilai organisasi. Sementara
itu
keinginan
untuk
tetap
bertahan
menunjukkan
bahwa
kecenderungan perilaku pada tingkat ini berhubungan erat dengan dimensi afektif komitmen di mana individu bertahan karena mereka ingin. b. Moderate Level Level ini ditandai dengan penerimaan yang wajar dari tujuan dan nilai-nilai organisasi serta kemauan untuk mengerahkan upaya untuk tetap bertahan dalam organisasi (Reichers, 1985). Level ini dapat dilihat sebagai komitmen wajar atau rata-rata, yang berarti komitmen parsial. Kemauan untuk bertahan adalah atribusi dari komitmen moral yang terkait dengan dimensi normatif komitmen dimana individu bertahan dalam organisasi karena mereka harus melakukannya. c. Lower Level Level ini ditandai oleh kurangnya penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi maupun kemauan untuk mengerahkan upaya untuk tetap bertahan dalam
Universitas Sumatera Utara
organisasi (Reichers, 1985). Para karyawan yang berada pada level ini merasa kecewa dengan organisasi, karyawan tersebut mungkin tetap bertahan karena dia harus bertahan yang terkait dengan dimensi kontinuans komitmen. Jika diberi pilihan lain, mereka akan meninggalkan organisasi (Meyer & Allen, 1997). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan pada organisasi terdiri atas 3 level yaitu higher level, moderate level dan lower level. 6. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Karyawan pada Organisasi a. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan Komitmen
karyawan
pada
organisasi merupakan
hasil penting yang
berhubungan dengan pekerjaan pada tingkat individu, yang mungkin berdampak pada hasil pekerjaan lainnya seperti turnover, absensi, usaha kerja, peran pekerjaan dan kinerja atau sebaliknya (Randall, 1990). Peran pekerjaan yang ambigu dapat menyebabkan kurangnya komitmen terhadap organisasi dan peluang promosi juga dapat meningkatkan atau mengurangi komitmen organisasi (Curry, Wakefield, Price & Mueller, 1996). Faktor pekerjaan lainnya yang memiliki dampak terhadap komitmen organisasi adalah tingkatan tanggungjawab dan otonomi (Baron & Greenberg, 1990). b. Kesempatan kerja Adanya kesempatan kerja dapat mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi (Curry et al., 1996). Karyawan yang memiliki persepsi kuat bahwa mereka memiliki kesempatan untuk mencari pekerjaan lain mungkin menjadi kurang berkomitmen terhadap organisasi karena mereka memikirkan alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, jika karyawan merasa kurang memiliki kesempatan kerja lain, ada kecenderungan karyawan tersebut akan memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi (Vandenberghe, 1996). Akibatnya keanggotaan
Universitas Sumatera Utara
dalam organisasi didasarkan pada komitmen kontinuans, di mana karyawan memperhitungkan resiko untuk tetap bertahan atau meninggalkan organisasi (Meyer & Allen, 1997). c. Karakteristik pribadi Komitmen karyawan pada organisasi juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi karyawan seperti usia, lama bekerja dan jenis kelamin (Meyer & Allen, 1997). Baron dan Greenberg (1990) menyatakan bahwa karyawan yang lebih tua, orang-orang dengan masa kerja yang lama atau senior, dan mereka yang puas dengan kinerja sendiri cenderung melaporkan tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada yang lain. Ini berarti bahwa orang yang lebih tua terlihat lebih berkomitmen terhadap organisasi daripada kelompok usia lainnya. Karakteristik pribadi lain yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi berhubungan dengan jenis kelamin (Meyer & Allen, 1997). Namun, ia berpendapat bahwa perbedaan jenis kelamin dalam komitmen adalah karena karakteristik kerja yang berbeda dan pengalaman yang terkait dengan jenis kelamin (Mathieu & Zajac, 1990). d. Lingkungan kerja Salah satu kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi komitmen organisasi yaitu rasa kepemilikan terhadap organisasi. Kepemilikan ini membuat karyawan merasa dianggap penting dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan (Klein, 1987). Faktor lain dari lingkungan kerja yaitu praktik kerja yang terkait dengan rekrutmen dan seleksi, penilaian kinerja, promosi dan gaya manajemen (Meyer & Allen, 1997).
Universitas Sumatera Utara
e. Hubungan kerja Organisasi sebagai lingkungan kerja dibangun dari hubungan kerja, salah satunya yaitu hubungan pengawasan yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi baik secara positif ataupun negatif (Randall, 1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bullying di tempat kerja memiliki hubungan negatif dengan organisasi (Hoel & Copper, 2000). Misalnya pengawasan yang kasar dan menekan yang dilakukan atasan dapat mengurangi komitmen terhadap organisasi (Duffy et al., 2002). Hubungan kerja lainnya seperti dengan tim atau kelompok kerja juga dapat mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan dapat menunjukkan komitmen ketika mereka mampu menemukan nilai melalui hubungan kerja yang ada (Mathieu & Zajac, 1990). Pada dasarnya, ketika hubungan kerja mencerminkan hubungan yang saling menghormati antar individu dalam organisasi, maka karyawan akan mampu berkomitmen terhadap organisasi (Manetje, 2005). f. Struktur Organisasi Struktur organisasi memainkan peran yang penting dalam komitmen karyawan pada organisasi. Struktur birokratis cenderung memiliki efek negatif terhadap komitmen organisasi. Zeffanne (1991) menunjukkan bahwa pemindahan hambatan birokrasi dan pembentukan struktur yang lebih fleksibel lebih berkontribusi terhadap peningkatan komitmen organisasi karyawan, baik dari segi loyalitas maupun keterikatan terhadap organisasi. Manajemen dapat meningkatkan level komitmen organisasi dengan memberikan pengaruh dan pengarahan yang baik terhadap karyawan (Storey, 1995).
Universitas Sumatera Utara
g. Gaya Manajemen Gaya manajemen yang mendorong keterlibatan karyawan dapat membantu untuk memenuhi keinginan karyawan untuk pemberdayaan dan permintaan untuk komitmen terhadap tujuan organisasi (Zeffane, 1991). Gaya majamen yang lebih fleksibel dan partisipatif dapat meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi (Gaertner, 1999). Organisasi harus memastikan bahwa strategi manajemen yang digunakan memiliki tujuan untuk meningkatkan komitmen organisasi dibandingkan kepatuhan karyawan (Williams & Anderson, 1991). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, kesempatan kerja, karakteristik pribadi karyawan, lingkungan kerja, hubungan kerja yang positif, struktur organisasi dan gaya manajemen.
B. Dukungan Organisasi 1. Definisi Dukungan Organisasi Eisenberger et al (1986) mengemukakan bahwa dukungan organisasi merupakan keyakinan global karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan peduli dengan kesejahteraan mereka. Sementara itu Shore & Shore (1995) menyatakan bahwa dukungan organisasi mengacu pada sejauhmana karyawan menganggap organisasi memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan mereka dan menghargai kontribusi yang telah diberikan pada organisasi. Selanjutnya, Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch dan Rhoades (2001) mengemukakan bahwa dukungan organisasi merupakan atribusi yang didasarkan pada pengalaman karyawan mengenai tujuan dari kebijakan organisasi, norma,
Universitas Sumatera Utara
prosedur dan tindakan organisasi yang mempengaruhi karyawan. Sejalan dengan hal ini, Rhoades dan Eisenberger (2002) menyatakan dukungan organisasi sebagai sebuah keyakinan global yang dibentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi. Keyakinan ini dibentuk berdasarkan pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasi (misalnya supervisor) dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka. Rhoades dan Eisenberger (2002) juga mengemukakan bahwa dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada kesejahteraan mereka. Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri mereka dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut. Dengan menyatunya keanggotaan dalam organisasi dengan identitas karyawan, maka karyawan tersebut merasa menjadi bagian dari organisasi dan merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan kinerja terbaiknya pada organisasi Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan organisasi merupakan persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi yang diberikan dan mempedulikan kesejahteraan karyawan. 2. Aspek Dukungan Organisasi Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002) dukungan organisasi memiliki tiga aspek, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Keadilan Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk menentukan bagaimana mendistribusikan sumber daya di antara karyawan (Greenberg, 1990). Cropanzo dan Greenberg (1997) membagi keadilan prosedural menjadi aspek keadilan struktural dan aspek sosial. Aspek struktural mencakup aturan formal dan keputusan yang mempengaruhi karyawan, termasuk didalamnya pemberitahuan
yang
memadai
sebelum
keputusan
diimplementasikan,
penerimaan informasi yang akurat dan masukan karyawan dalam proses pembuatan keputusan. Sedangkan aspek sosial seringkali disebut dengan keadilan interaksional yang meliputi bagaimana memperlakukan karyawan dengan memberikan penghargaan terhadap mereka dan menyediakan informasi mengenai bagaimana penentuan hasil dari suatu keputusan. b. Dukungan atasan Karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana atasan menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka (Kottke & Sharafinski, 1988 dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Hal ini disebabkan atasan bertindak sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan, dan karyawan pun melihat orientasi atasan mereka sebagai indikasi adanya dukungan organisasi (Eisenberger et al., 1986). c. Penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a) Pengakuan, gaji dan promosi Menurut teori dukungan organisasi, adanya peluang untuk mendapatkan penghargaan akan meningkatkan kontribusi karyawan sehingga dengan demikian berkontribusi pada persepsi terhadap dukungan organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002). b) Keamanan dalam bekerja Keyakinan bahwa organisasi ingin mempertahankan keanggotaan dari karyawannya mengindikasikan adanya dukungan organisasi yang positif pada karyawan (Allen, Shore & Griffeth, 1999). c) Kemandirian Kemandirian menunjukkan adanya kontrol mengenai bagaimana karyawan melakukan pekerjaan mereka. Dengan menunjukkan kepercayaan terhadap kemandirian karyawan dalam memutuskan bagaimana mereka akan melaksanakan pekerjaan termasuk jadwal kerja, prosedur dan varietas tugas, akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Eisenberger, Rhoades & Cameron, 1999). d) Peran stresor Stres mengacu pada ketidakmampuan individu dalam mengatasi tuntutan dari lingkungan (Lazarus & Folkman, 1984). Stres memiliki hubungan negatif dengan persepsi dukungan organisasi karena karyawan mengetahui bahwa faktor yang menyebabkan stres bersumber dari lingkungan yang dikontrol oleh organisasi. Dalam hal ini, stres terkait dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi yang memiliki hubungan negatif dengan persepsi dukungan organisasi, yaitu tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan karyawan dalam bekerja untuk waktu tertentu (work overload), kekurangan
Universitas Sumatera Utara
informasi yang jelas mengenai tanggungjawab dari pekerjaan (role ambiguity) dan tanggungjawab atau peran yang saling bertentangan (role conflict) (Rhoades & Eisenberger, 2002). e) Pelatihan Pelatihan merupakan investasi yang diberikan pada karyawan sehingga diharapkan dapat meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Wayne, Shore & Liden, 1997). f) Ukuran organisasi Karyawan merasa kurang dihargai dalam organisasi yang kecil, dimana terdapat kebijakan yang sangat formal dan prosedur yang mungkin mengurangi
fleksibilitas
terhadap
pemenuhan
kebutuhan
individual
karyawan. Meskipun organisasi yang besar bisa menunjukkan penghargaan terhadap karyawan, namun berkurangnya fleksibilitas dalam pemenuhan kebutuhan individual karyawan sebagaimana diatur oleh aturan formal dapat mengurangi persepsi dukungan organisasi (Dekker & Barling, 1995). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan organisasi terdiri atas tiga aspek yaitu keadilan, dukungan atasan serta penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan.
C. Bullying Di Tempat Kerja 1. Definisi Bullying di Tempat Kerja Bullying di tempat kerja merupakan perilaku interpersonal negatif yang dilakukan oleh rekan kerja atau atasan terhadap karyawan secara berulang-ulang dan terus menerus (Einarsen & Skogstad, 1996; Hoel & Cooper, 2000). Sementara itu Olweus (1999) mendefinisikan bullying sebagai bagian dari perilaku agresif yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan berulang-ulang dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan sehingga sulit bagi karyawan yang mengalami bullying untuk membela dirinya sendiri. Australian Public Service Commission (2009) mendefinisikan bullying sebagai perilaku berulang dan tidak beralasan yang cukup dapat dianggap mempermalukan, mengintimidasi, mengancam atau merendahkan seseorang atau sekelompok orang sehingga menimbulkan resiko bagi kesehatan dan keselamatan orang tersebut. Bullying di tempat kerja dapat terjadi karena disengaja dimana tindakan
yang
dilakukan
memang
dimaksudkan
untuk
mempermalukan,
menyinggung perasaan, mengintimidasi atau menekan, terlepas dari perilaku tersebut menimbulkan efek yang diinginkan atau tidak. Bullying juga dapat terjadi secara tidak disengaja, dimana tindakan yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk mempermalukan, menyinggung perasaan, mengintimidasi atau menekan, namun menimbulkan efek yang cukup berarti. Hoel & Cooper (2000) mengemukakan bullying sebagai sebuah situasi dimana satu atau beberapa individu terus-menerus selama periode waktu tertentu menerima tindakan negatif dari satu atau beberapa orang dan
target bullying
mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri terhadap tindakan ini. Fokus dari perilaku bullying biasanya pada kompetensi individual atau kurangnya kompetensi yang dimiliki karyawan, namun dalam kenyataannya target bullying biasanya adalah karyawan yang kompeten dan populer dengan proyeksi pada ketidakmampuan sosial, interpersonal dan profesional dari target (Field, 2005). Selanjutnya Hoel et al., (1999) mengungkapkan bahwa bullying meliputi berbagai perilaku baik yang melibatkan kekerasan ataupun tidak, seperti melecehkan, menyinggung atau mengucilkan secara sosial. Perilaku tersebut harus terjadi secara teratur dan dalam kurun waktu tertentu agar dapat diklasifikasikan
Universitas Sumatera Utara
sebagai bullying (Einarsen & Mikkelsen, 2003; Leymann, 1990). Klasifikasi perilaku bullying tergantung pada perspektif karyawan yang mengalami bullying, mengingat bahwa perilaku tertentu dapat dianggap oleh satu orang sebagai bullying tapi tidak oleh orang lain (Liefooghe & Davey, 2003). Leymann (1996) menyatakan bahwa durasi bullying harus berlangsung sampai 6 bulan dan terjadi paling tidak sekali seminggu. Di sisi lain Zapf dan Einarsen (2001) mengemukakan bahwa jika durasi bullying kurang dari 6 bulan dan terjadi kurang dari sekali seminggu, sudah cukup untuk dimasukkan dalam perilaku bullying. Namun ada kesepakatan bahwa bullying harus diarahkan terhadap target tertentu, terdapat lebih dari satu tindakan dan target berada dalam posisi yang sulit untuk membela dirinya sendiri. Lutgen-Sandvik & Sypher (2009) mengemukakan bahwa bullying dapat dilihat dari sudut pandang pelaku dan target. Pelaku merupakan individu yang melakukan bullying terhadap orang lain dan target merupakan individu yang menjadi sasaran perilaku bullying. Dalam penelitian ini difokuskan pada bullying di tempat kerja dilihat dari sudut pandang karyawan sebagai target perilaku bullying. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bullying di tempat kerja merupakan berbagai bentuk perilaku negatif baik disengaja ataupun tidak disengaja yang dilakukan secara berulang-ulang yang terjadi dalam kurun waktu tertentu,
dan
dianggap
dapat
mempermalukan,
menyinggung
perasaan,
mengintimidasi atau menekan serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan terhadap karyawan yang mengalami bullying. 2. Bentuk Perilaku Bullying Rayner dan Hoel (1997) mengemukakan perilaku yang termasuk kategori bullying berupa:
Universitas Sumatera Utara
a. Ancaman terhadap status profesional. Misalnya meremehkan pendapat, penghinaan publik, menuduh karyawan kurang mau berusaha. b. Ancaman terhadap posisi pribadi. Misalnya memberi nama panggilan yang mengejek, penghinaan, intimidasi, dan merendahkan dengan mengacu pada usia karyawan. c. Isolasi. Misalnya mencegah akses untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan, isolasi fisik atau sosial dan penundaan pemberian informasi. d. Beban kerja yang berlebihan. Misalnya memberikan tekanan yang tidak semestinya, tenggat waktu yang tidak mungkin, dan gangguan yang tidak perlu. e. Destabilisasi. Misalnya mengingatkan kesalahan yang dilakukan berulangkali, memberikan tugas yang tidak berarti, penghapusan tanggungjawab dan sengaja menggagalkan tugas yang telah dilakukan karyawan. Einarsen, Hoel & Notelaers (2009) mengklasifikasikan perilaku bullying ke dalam tiga bentuk, yaitu : a. Work related bullying Merupakan segala macam bentuk perilaku yang membuat situasi kerja menjadi sulit bagi karyawan yang mengalami bullying. Diantaranya menetapkan tenggat waktu yang tidak masuk akal, beban kerja yang berlebihan, memberikan tugas yang terlalu mudah atau sedikit, selalu mengkritik hasil kerja karyawan.
Universitas Sumatera Utara
b. Person related bullying Merupakan segala macam bentuk perilaku yang mengintimidasi pribadi karyawan yang mengalami bullying. Diantaranya meremehkan kemampuan intelektual karyawan, komentar yang menghina, menyebarkan gosip atau rumor secara berlebihan, isolasi dan pengucilan sosial. c. Physical intimidation bullying Merupakan segala macam bentuk perilaku yang melibatkan kekerasan fisik atau resiko kekerasan. Diantaranya diteriaki oleh atasan, menunjuk dengan jari tengah atau menghalangi jalan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai bentuk perilaku bullying yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi work related bullying, person related bullying dan physical intimidation bullying. 3. Tipe Bullying di Tempat Kerja Lutgen-Sandvick dan Sypher (2009) mengemukakan tiga tipe bullying yang terjadi di tempat kerja, yaitu : a. Dispute-related bullying Berawal dari pertentangan interpersonal yang secara ekstrim meningkat dan menjadi konflik yang mengakar (Einarsen, 1999). Tujuan bullying disini adalah untuk menghukum karyawan atas kesalahan yang dilakukan atau memprovokasi karyawan agar merasa bertanggungjawab. b. Predatory bullying Dimulai dengan fakta bahwa karyawan kebetulan berada dalam situasi di mana seseorang melakukan penyalahgunaan wewenang terhadap mereka atau
Universitas Sumatera Utara
menggunakan agresi untuk memperoleh keuntungan pribadi, misalnya dengan berbicara buruk tentang rekan kerja untuk mendapatkan tugas yang lebih menarik untuk diri sendiri. Tujuan bullying dalam hal ini adalah untuk menunjukkan kekuasaan, memaksa seseorang untuk taat dan mendapatkan keuntungan pribadi. Predatory bullying dapat dibedakan menjadi : 1) Authoritative bullying Merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan melalui jabatan dalam organisasi (Hoel, Cooper & Faragher, 2001) 2) Displaced bullying Biasa disebut scapegoating, merupakan bentuk agresi terhadap orang lain selain sumber provokasi karena agresi terhadap sumber agresi dianggap terlalu berbahaya (Neuman & Baron, 2003). Hal ini terjadi ketika meningkatnya frustrasi atau stres disebabkan oleh faktor di tempat kerja yang menyebabkan karyawan menunjukkan agresi terhadap orang lain. 3) Discriminatory bullying Merupakan pelecehan terhadap karyawan yang disebabkan oleh prasangka, biasanya pada karyawan yang berbeda dari yang lain, karyawan yang menolak aturan yang ada atau karyawan yang menjadi anggota kelompok tertentu di luar organisasi (Rayner et al., 2002; Einarsen et al., 2003). c. Organizational bullying Mengindikasikan praktik organisasi yang menindas, eksploitatif dan kontrol yang berlebihan, misalnya perampingan perusahaan, pekerjaan alih daya dan lembur tanpa kompensasi (Liefooghe & Davey, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tipe bullying yaitu dispute-related bullying, predatory bullying dan organizational bullying.
D. Hubungan antara Dukungan Organisasi dengan Komitmen Karyawan pada Organisasi Komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah satu kunci penting yang turut menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Karyawan yang mempunyai komitmen kepada organisasi biasanya menunjukan sikap kerja yang penuh perhatian terhadap tugasnya, sangat memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas serta sangat loyal terhadap perusahaan (Aktami, 2008). Disamping itu juga akan meningkatkan keefektifan organisasi melalui keterlibatan yang tinggi dalam organisasi dan akan bekerja keras mencapai tujuan organisasi (Arthur, 2004; Bhatnagar, 2007). Komitmen karyawan pada organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam hal ini, organisasi dan karyawan harus secara bersama-sama menciptakan kondisi yang mendukung untuk mencapai komitmen organisasi (Aktami, 2008). Organisasi yang memberikan kesempatan pencapaian prestasi bagi karyawan akan berdampak signifikan terhadap perilaku dan komitmennya pada organisasi. Demikian juga halnya, karyawan yang secara emosional memiliki komitmen terhadap organisasi akan menunjukkan performansi kerja yang tinggi, mengurangi tingkat absensi dan memiliki kemungkinan yang rendah untuk berhenti dari pekerjaannya (Meyer & Allen, 1997; Eisenberger & Rhoades, 2002). Sebaliknya, karyawan juga akan menuntut bagaimana dukungan organisasi terhadap mereka. Hal ini dapat dinilai karyawan dari penerimaan dan
Universitas Sumatera Utara
penghargaan organisasi terhadap mereka, gaji, kesempatan promosi dan akses terhadap informasi organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002). Dukungan organisasi memainkan peran penting dalam meningkatkan komitmen organisasi karyawan. Dukungan organisasi yang dirasakan karyawan membuat karyawan merasa lebih berkewajiban dan berkomitmen terhadap organisasi, yang mengarahkan pada manfaat positif bagi organisasi seperti efektivitas organisasi, peningkatan kinerja dan mengurangi tingkat ketidakhadiran karyawan (Shumaila et al., 2012). Perasaan dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan akan persetujuan, penghargaan dan keanggotaan. Penilaian positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha dalam bekerja akan dihargai. Oleh karena itu karyawan akan memberikan perhatian yang lebih atas penghargaan yang mereka terima dari atasan mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002). Persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasi karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002). Hal ini dapat dijelaskan dari sudut pandang teori pertukaran sosial, dimana keyakinan yang mendasari kesimpulan karyawan mengenai komitmen organisasi terhadap mereka ikut mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi. Dukungan organisasi yang kuat menciptakan perasaan akan kewajiban bagi karyawan. Karyawan merasa bahwa mereka tidak hanya harus berkomitmen terhadap organisasi, namun juga harus membalas dukungan tersebut dengan menunjukkan perilaku yang mendukung tujuan organisasi (Eisenberger et al., 1986). Eisenberger et al., (2001) juga melihat komitmen organisasi sebagai pertukaran sosial antara organisasi dan karyawan di mana karyawan menarik kesimpulan tentang komitmen organisasi terhadap mereka
Universitas Sumatera Utara
yang pada gilirannya akan berkontribusi terhadap komitmen mereka terhadap organisasi. Dari sudut pandang teori dukungan organisasi, persepsi karyawan terhadap dukungan pemenuhan
organisasi kebutuhan
membantu
perkembangan
sosioemosional
karyawan,
komitmen seperti
afektif
melalui
kebutuhan
akan
penghargaan, persetujuan dan dukungan emosional. Pemenuhan kebutuhan ini memfasilitasi penggabungan keanggotaan organisasi dan status peran karyawan menjadi identitas sosial mereka sehingga menciptakan ikatan yang kuat dengan organisasi (Eisenberger et al., 2004). Persepsi terhadap dukungan organisasi dapat meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi dengan menciptakan rasa bertanggung jawab untuk peduli pada kesejahteraan dan keberlangsungan organisasi (Eisenberger et al., 2001). Karyawan yang merasa dihargai dan didukung oleh organisasi, secara emosional akan lebih terikat kepada organisasi tempatnya bekerja. Individu tersebut juga akan merasa memiliki kewajiban moral untuk tetap bertahan dalam organisasi tersebut serta memberikan usahanya yang terbaik demi tercapainya visi dan misi organisasi tersebut. Eisenberger et al., (1990) menyatakan bahwa karyawan yang merasa dihargai oleh organisasi dan atasannya tidak hanya memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi, namun juga lebih menyadari akan tanggungjawabnya, lebih terlibat dengan organisasi dan lebih inovatif. Organisasi dan atasan harus dapat menghargai dan mendukung karyawan atas usaha yang telah dilakukan karena dukungan yang dirasakan oleh karyawan akan meningkatkan kepercayaan karyawan terhadap organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian LaMastro (1999) menunjukkan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasi memiliki hubungan positif yang kuat dengan komitmen afektif. Hal ini disebabkan oleh individu yang merasa dihargai dan didukung oleh organisasi secara emosional memiliki kelekatan terhadap organisasi. Sejalan dengan ini, hasil penelitian Shumaila et al., (2012) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan organisasi dengan komitmen karyawan pada organisasi dan dukungan organisasi yang dirasakan secara signifikan dipengaruhi oleh komitmen karyawan pada organisasi. Beberapa penelitian lainnya juga menemukan bahwa persepsi dukungan organisasi berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan pada organisasi (Eisenberger et al., 1990; Eisenberger et al., 2001; Fuller, Barnett, Hester & Relyaea, 2003; Kusumowardhani & Ancok, 2006; Aube, Rousseau & Morin, 2007; Fitri, Dalimunthe & Irawaty, 2007; Wahab, Quaddus & Nowak, 2009; Vanesha & Rosari, 2011; Wann-Yih & Htaik, 2011; Gokul, Sridevi & Srinivasan, 2012; Rahaman, 2012; Ahmed & Ahmed, 2013; Alfian, Zulkarnain & Ulfa, 2013). Ditinjau dari aspek dukungan organisasi, aspek keadilan yang dirasakan karyawan memiliki dampak positif terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung memiliki kemauan yang besar untuk mengabdikan dirinya kepada organisasi serta memberikan kontribusi bagi keberhasilan organisasi ketika diperlakukan dengan adil (Lee, Lee & Yang, 2009). Sementara itu aspek dukungan dari atasan juga ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan komitmen karyawan pada organisasi. Hasil penelitian Wang (2014) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari atasan dapat mempengaruhi sikap (misalnya komitmen organisasi) dan perilaku karyawan (misalnya perilaku citizenship).
Interaksi
yang
positif
antara
atasan
dengan
bawahan
ikut
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi. Atasan dianggap sebagai perwakilan dari organisasi, sehingga sikap dan perilaku atasan ikut mempengaruhi penilaian karyawan terhadap organisasi yang selanjutnya berpengaruh terhadap sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan. Oleh karena itu penerimaan karyawan dan pengakuan terhadap nilai-nilai organisasi atau kecenderungan untuk menunjukkan komitmen terhadap organisasi, salahsatunya ikut dipengaruhi oleh sikap dan tingkahlaku atasan terhadap bawahan (Wang, 2014). Demikian juga halnya dengan aspek penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan. Kondisi pekerjaan yang baik berhubungan positif dengan komitmen karaywan pada organisasi. Lingkungan yang bersih dan menarik memungkinkan karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan lancar sehingga cenderung memiliki dampak positif terhadap komitmen organisasi (Akanbi & Itiola, 2013). Penelitian yang dilakukan Painter & Akroyd (1998) menunjukkan bahwa kondisi kerja secara umum terkait dengan komitmen karyawan pada organisasi. Kesempatan mengikuti pelatihan mengindikasikan kepada karyawan bahwa organisasi mendukung dan peduli terhadap mereka, hal ini cenderung mengarah pada peningkatan komitmen organisasi karyawan. Hasil penelitian telah mengungkapkan hubungan positif antara kesempatan mengikuti pelatihan dengan komitmen karyawan pada organisasi (Akanbi & Itiola, 2013). Selain itu penghargaan organisasi berupa pemberian kompensasi yang lebih besar juga dapat meningkatkan komitmen karyawan organisasi. Secara keseluruhan, hasil penelitian Akanbi & Itiola (2013) menunjukkan bahwa sistem penghargaan, pekerjaan yang berhubungan dengan stress, kebermaknaan pekerjaan, pelatihan dan peran pengawasan berhubungan dengan komitmen karyawan pada organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa komitmen karyawan pada organisasi berhubungan positif dengan dukungan organisasi. Komitmen karyawan pada organisasi dapat ditingkatkan melalui dukungan organisasi yang positif bagi karyawan.
E. Hubungan antara Bullying di Tempat Kerja dengan Komitmen Karyawan pada Organisasi Komitmen karyawan pada organisasi memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu organisasi, sebaliknya tidak adanya komitmen dapat menjadi sumber masalah bagi keberlangsungan organisasi tersebut (Gross, 1996). Komitmen berdampak kepada performansi kerja karyawan dan pada akhirnya juga sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi (Aktami, 2008). Dampak dari komitmen bukan hanya tampak dari performa kerja yang meningkat, namun juga dapat dilihat dari tingkat absensi yang rendah dan rendahnya tingkat keluar karyawan dari organisasi (Erenstein & McCaffrey, 2007). Selain itu komitmen karyawan akan berdampak pada upayanya untuk secara totalitas bekerja demi mencapai tujuan organisasi. Komitmen organisasi berkaitan dengan perbuatan atau tindakan seseorang. Tindakan ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mendorong atau mempengaruhinya (Mulyanto & Hardaya, 2009). Salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu bullying di tempat kerja (Hoel, Einarsen & Cooper, 2003). Komitmen organisasi menjadi sangat penting dalam keberlangsungan pekerjaan yang berhubungan dengan bullying, karena perilaku bullying ini berhubungan secara langsung dengan kinerja karyawan yang mengalami bullying
Universitas Sumatera Utara
(Djurkovic et al., 2004). Tidak dapat dipungkiri bahwa karyawan tidak akan merasa berkomitmen terhadap organisasi jika dihadapkan pada hambatan yang disengaja dalam pelaksanaan pekerjaannya baik secara pribadi maupun profesional (Duffy et al., 2002). Organisasi menaruh banyak perhatian terhadap cara penanganan bullying di tempat kerja (Rasool et al., 2013). Bullying mengurangi performansi organisasi dengan mempengaruhi kinerja karyawan baik melalui ketidakhadiran ataupun turnover karyawan dari organisasi (Hoel et al., 2003; Quine, 1999). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa bullying menyebabkan tingkat ketidakhadiran, niat untuk meninggalkan organisasi dan turnover yang lebih tinggi serta pensiun dini (Salin, 2001; Leymann, 1996). Selain itu bullying juga memiliki efek negatif terhadap performansi karyawan (Kirel, 2007; Yuksel & Tuncsiper, 2011) dan komitmen organisasi (Demirgil, 2008; Yuksel & Tuncsiper, 2011). Bullying telah terbukti memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasi (Hoel & Cooper, 2000). Misalnya pengawasan yang kasar dan menekan yang dilakukan oleh atasan mengurangi komitmen terhadap organisasi (Duffy et al., 2002). Dampak negatif bullying terhadap karyawan yang mengalami bullying pada akhirnya ikut mempengaruhi efektivitas organisasi, diantaranya berkorelasi negatif dengan masalah konsentrasi (Leymann, 1996), ketidakhadiran (Einarsen et al., 2003) dan intensi untuk meninggalkan organisasi (Djurkovic et al., 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian McCormack et al. (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara komitmen organisasi dengan bullying di tempat kerja. Bullying menyebabkan komitmen yang rendah dikarenakan pekerja yang mengalami bullying merasa dikecewakan oleh organisasi karena membiarkan perilaku bullying terjadi. Perilaku bullying cenderung menurunkan
Universitas Sumatera Utara
komitmen afektif karyawan karena bullying mengurangi kelekatan emosional karyawan terhadap organisasi. Hasil-hasil penelitian lain juga menemukan hubungan negatif antara bullying dengan komitmen organisasi (Tepper, 2000; Demirgil, 2008; Yuksel & Tuncsiper, 2011). Demikian juga halnya dengan penelitian Rasool et al. (2013) yang menunjukkan bahwa komitmen organisasi merupakan salah satu faktor yang memperantarai hubungan antara bullying di tempat kerja dengan intensi untuk meninggalkan organisasi. Bentuk perilaku bullying seperti serangan lisan atau fisik kepada karyawan serta tindakan halus seperti mengucilkan karyawan dari kelompok kerja dapat menyebabkan tingkat ketidakhadiran tanpa alasan dan niat untuk berhenti yang lebih tinggi (Yuksel & Tuncsiper, 2011). Work related bullying lebih berhubungan dengan kelemahan sistem dalam organisasi dibandingkan dengan kinerja karyawan, sementara person related bullying lebih terkait dengan karakteristik pribadi karyawan yang mengalami bullying. Sehingga terlepas dari komitmen karyawan pada organisasi, keluar dari organisasi merupakan alternatif yang lebih baik bagi karyawan yang mengalami person related bullying (Rasool et al., 2013). Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa bullying di tempat kerja memiliki hubungan negatif dengan komitmen karyawan pada organisasi. Semakin tinggi tingkat bullying yang dirasakan karyawan dalam organisasi maka akan semakin rendah komitmen karyawan tersebut terhadap organisasi.
Universitas Sumatera Utara
F. Hubungan Dukungan Organisasi dan Bullying di Tempat Kerja dengan Komitmen Karyawan pada Organisasi Keberhasilan suatu organisasi tergantung pada kemampuannya untuk mengelola berbagai macam sumber daya yang dimilikinya, salah satunya yaitu sumber daya manusia (SDM). SDM dalam organisasi terdiri atas karyawankaryawan yang merupakan penggerak dan harus selalu diperhatikan, dipertahankan serta dikembangkan oleh organisasi (Kurniasari, 2004). Komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah satu kunci penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuannya (Aktami, 2008). Komitmen karyawan pada organisasi pada dasarnya merupakan kondisi yang didasarkan pada pengalaman individu di tempat mereka bekerja, seperti cara karyawan diperlakukan oleh anggota organisasi lainnya. Pengalaman yang membuat karyawan merasa nyaman dalam hubungannya dengan organisasi dan anggota organisasi berhubungan dengan komitmen karyawan pada organisasi (McCormack et al., 2006). Komitmen karyawan pada organisasi bukanlah suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam hal ini, organisasi dan karyawan harus bersama-sama menciptakan kondisi yang mendukung untuk mencapai komitmen organisasi (Aktami, 2008). Perlakuan yang diterima karyawan dalam organisasi dapat bersifat positif atau pun negatif. Karyawan yang merasa dihargai dan didukung oleh organisasi, secara emosional akan lebih terikat kepada organisasi tempatnya bekerja. Dukungan organisasi yang dirasakan karyawan dapat berupa perlakuan yang adil, dukungan atasan dan kondisi pekerjaan yang mendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan organisasi dengan komitmen organisasi (Shumaila et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya perlakuan negatif yang diterima karyawan dalam organisasi juga ikut mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi. Perlakuan negatif tersebut dapat berupa bullying
di tempat kerja. Bullying di tempat kerja telah terbukti
memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasi (Hoel & Copper, 2000). Pengawasan yang kasar dan menekan yang dilakukan oleh atasan mengurangi komitmen terhadap organisasi (Duffy et al., 2002). Secara bersamaan, perlakuan yang diterima dari organisasi baik positif ataupun negatif dapat mempengaruhi komitmen organisasi. Dalam hal ini, perlakuan positif berupa dukungan organisasi dan perlakuan negatif berupa bullying di tempat kerja. Hasil penelitian McCormack et al., (2006) menunjukkan bahwa dampak negatif dari bullying tetap ada walaupun karyawan merasakan kepuasan terhadap hubungan kerja dengan atasan maupun rekan kerja. Selain itu juga ditemukan bahwa kepuasan terhadap hubungan kerja dengan atasan dan rekan kerja dapat menghilangkan efek negatif dari bullying terhadap komitmen organisasi karyawan. Berdasarkan uraian diatas, dapat terlihat bahwa terdapat pengaruh dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi.
G. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Hipotesis 1 Terdapat pengaruh positif dukungan organisasi terhadap komitmen karyawan pada organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Hipotesis 2 Terdapat pengaruh negatif bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan organisasi. Hipotesis 3 Terdapat pengaruh dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Hipotesis 4 Terdapat pengaruh aspek-aspek dukungan organisasi terhadap komitmen karyawan pada organisasi. 4a. Terdapat pengaruh aspek fairness terhadap komitmen karyawan pada organisasi. 4b. Terdapat pengaruh aspek supervisor support terhadap komitmen karyawan pada organisasi. 4c. Terdapat pengaruh aspek organizational reward & job condition terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Hipotesis 5 Terdapat pengaruh bentuk-bentuk bullying di tempat kerja dengan komitmen karyawan pada organisasi. 5a. Terdapat pengaruh work related bullying terhadap komitmen karyawan pada organisasi. 5b. Terdapat pengaruh person related bullying terhadap komitmen karyawan pada organisasi. 5c. Terdapat pengaruh physical intimidating bullying terhadap komitmen karyawan pada organisasi.
Universitas Sumatera Utara