BAB II LANDASAN TEORI
A. Ekspor 1. Pengertian Ekspor Pada dasarnya ekspor adalah mengeluarkan barang dari kawasan pabean pada suatu Negara. Menurut kamus lengkap perdagangan internasional, ekspor merupakan pengangkutan barang dari suatu Negara ke Negara lain untuk dijual. Berdasarkan surat keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No. 164/MPP/IV/1991 mengenai ketentuan umum dibidang ekspor, dijelaskan bahwa ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut Amir, M.S (2003) ekspor adalah upaya melakukan penjualan komoditi yang kita miliki kepada bangsa lain atau Negara asing, dengan mengharapkan pembayaran dalam valuta asing, serta melakukan komunikasi dengan Bahasa asing. 2. Faktor Pendorong Terjadinya Transaksi Ekspor Dalam melakukan transaksi ekspor tidak lepas dari adanya faktor yang mendorong dari adanya transaksi tersebut, adapun faktor yang mendorong terjadinya ekspor, yaitu : a) Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri.
b) Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan Negara. c) Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi. d) Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut. e) Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang. f) Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari Negara lain. g) Terjadinya era globalisasi. h) Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, sumber daya manusia, budaya dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan keterbatasan produksi.
3. Manfaat Transaksi Ekspor Beberapa manfaat yang diperoleh ketika melakukan transaksi ekspor, Antara lain : a) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. b) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi atau keunikan barang yang diproduksi. c) Memperluas pangsa pasar dan menambah keuntungan. d) Transfer teknologi modern dan efisien dalam melakukan proses produksi.
B. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) 1. Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) System Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan mengenai standar, kriteria, indicator, verifier, metode verifikasi dan norma penelitian. Diberlakukannya SVLK merupakan sebuah perwujudan komitmen pemerintah dan memerangi adanya pembalakan liar atau illegal loging. SVLK sudah dibentuk sejak tahun 2003 dan berlaku sampai kurun waktu 3 (tiga) tahun setelah itu dapat dilakukan perpanjangan untuk 3 (tiga) tahun selanjutnya. Sesuai dengan yang dijelaskan pada pasal 20 peraturan menteri kehutanan No.38/Menhut-II/2009 bahwa peraturan tersebut diundangkan pada 12 juni 2009 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 september 2009. Namun, sampai saat ini SVLK belum 100% dimiliki oleh seluruh perusahaan furniture, padahal menurut pasal 4 peratuan menteru kehutanan No.38/Menhut-II/2009 dijelaskan bahwa, setiap pemegang IUIPHHK (Izin Usaha Industri Premier Hasil Hutan Kayu) dan IUI (Izin Usaha Industri) lanjutan wajib mendapatkan legalitas kayu. Sampai saaat ini SVLK belum juga diberlakukan secara penuh karena mengingat masih banyaknya perusahaan yang belim atau tidak memiliki Sertifikasi SVLK. Bagi perusahaan yang belum memiliki SVLK, pemerintah
sudah menetapkan serta memutuskan sebuah sanksi administrative seperti yang dituangkan dalam permenhut Nomor P.17/MENHUT-II/2009. Atas tuntutan tersebut, industri harus dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa bahan baku kayu yang digunakan berasal dari sumber daya yang legal. Sertifikasi merupakan salah satu sarana untuk memberikan jaminan legalitas produk kayu sehingga produk tersebut dapat diterima pasar internsaional. Dalam hal ini, standar legalitas SVLK diterapkan di (Sudarwan, 2012:17) : a. Hutan Negara yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan swasta, termasuk di dalamnya pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan tanaman. b. Hutan Negara yang dikelola masyarakat, termasuk di dalamnya : kutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa, hutan adat, dan htan tanaman rakyat (HTR). c. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan industri lanjutan. d. Hutan Negara yang tidak berbasis unit manajemen, termasuk didalamnya pemegang izin pemanfaatan kayu. e. Hutan hak/hutan rakyat/hutan milik dan areal non hutan.
2. Tujuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Tentu ada tujuan mengapa seluruh industri diwajibkan menerapkan SVLK. Tujuan dari penerapan SVLK adalah (Sudarwan, 2012:3) : a. Untuk memastikan bahwa setiap pemegang ijn atau pengelola hutan hak mematuhi dan melaksanakan semua perundang-undangan dan peraturan terkait sector kehutanan dalam setiap level aktifitasnya. Dengan demikian diharapkan pengelolaan hutan yang lestari di Indonesia dapat diwujudkan. b. Mempromosikan kayu legal melalui implementasi standar legalitas pada konsumen, pemasok, dan Negara produsen. c. Penegakan hukum dan tata kelola kehutanan terhadap produk kayu. d. Mendorong sektor swasta untuk menerapkan kebijakan yang terkait dengan pasokan kayu legal. e. Trend dalam perdagangan internasional yang memerlukan bukti legalitas. f. Komitmen untuk memberantas illegal loging dan perdagangan kayu melalui pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan rakyat. g. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien, dan adil sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar. h. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan untuk meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia. i. Menjadi satu-satunya system legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia. j. Menghilangkan wilayah abu-abu yang terbukti telah memunculkan ekonomi biaya tinggi dan mendorong munculnya pembalakan liar.
k. Mereduksi praktek pembalakan liar. 3. Kelembagaan Dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Dalam penerapan SVLK tentu tidak terlepas dari pihak-pihak atau lembaga yang terkait didalamnya. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah : a. Badan pelaksana, anggota dari Badan Pelaksana (BP) merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan masyarakat. b. Lembaga akreditasi yaitu Komie Akreditasi Nasional (KAN), Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI), yaitu perusahaan berbadan hukum milik Negara atau swasta yang diakreditasi oleh KAN untuk menilai kinerja atau verifikasi legalitas kayu guna mendapatkan sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Contoh : PT. Sucofindo (PERSERO telah Diakreditasi KAN berdasarkan hasil rapat KAN COUNCIL tanggal 4 juni 2010 dengan nomor akreditasi LVLK-002-IDN). c. Auditee yaitu pemegang izin atau unit manajemen yang dinilai oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) untuk mendapatkan sertifikasi VLK. d. Lembaga Penyelesaian Keberatan, merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat.
e. Lembaga Pemantau Independen (LPI) yaitu lembaga yang melakukan pemantauan terhadap proses sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). 4. Proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dilakukan atas dasar prinsip kredibel, efisien, dan adil. Dalam penjabarannya, verifikasi melibatakan berbagai macam unsur dalam proses pengambilan data dan keputusan. Jumlah anggota tim penilai lapangan akan diatur oleh Badan Pelaksana (BP). Secara keseluruhan proses verifikasi SVLK dibagi ke dalam 6 (enam) tahapan sebagai berikut : Efransjah, (2011) a. Prapenilaian Lapangan Prapenilaian lapangan adalah serangkaian penilaian secara administratif yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses peniliaian. Bila pada tahap ini Unit Manajemen / Unit Usaha Kehutanan belum memenuhi persaratan administratif, maka penilai lapangan tidak dapat melanjutkan
proses
verifikasi
sampai
terpenuhinya
persyaratan
administratif tersebut. Adapun beberapa syarat administratif yang diperlihatkan, Antara lain : 1) Akte perusahaan beserta perubahannya 2) SIUP (surat ijin usaha perdagangan) / TDP (tanda daftar perusahaan) / IUI (izin usaha industri) 3) NPWP (nomor pokok wajib pajak) 4) ETPIK (eksportir terdaftar produk industri kehutanan)
5) Ijin gangguan (HO) 6) UKL-UPL (upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan) 7) Dokumen ekspor (invoice, packing list, letter of credit (L/C), bill of lading (B/L), PEB, certificate of origin (COO)) 8) Tally Sheet (pencatatan tata usaha kayu) 9) Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) 10) Karyawan harus diikutkan jamsostek / BPJS Kegiatan dalam tahapan prapenilaian lapangan adalah pemeriksaan keberadaan dokumen yang akan di ferivikasi. b. Penilaian Lapangan dan Masukan Masyarakat Tahap Penilaian Lapangan dan Masukan Masyarakat terdiri dari 2 (dua) kegiatan yan berlangsung secara parallel, yaitu : 1) Penilaian Lapangan Tahapan penilaian lapangan adalah proses pengumpulan dan analisis data/informasi lapangan yang dilakukan oleh penilai lapangan berdasarkan kriteria dan indicator legalitas kayu. 2) Masukan Masyarakat Masukan masyarakat adalah bagian dari penilaian lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan data/informasi yang berkenaan dengan pemenuhan legalitas. Unit manajemen/unit usaha kehutanan yang sedang dinilai. Lembaga verifikasi mengumumkan kesempatan tersebut
secara terbuka diantaranya media massa, disampaikan kepada lembaga verifikasi untuk digunakan sebagai bahan dalam penyusunan laporan verifikasi. c. Evaluasi dan Pengambilan Keputusan Evaluasi adalah penilaian hasil keseluruhan proses berdasarkan kriteria dan indikator legalitas kayu melalui perbandingan kondisi actual dan standar yang ditetapkan untuk menghasilkan laporan pemenuhan verifikasi serta rekomendasi tindak lanjut pengambilan keputusan verifikasi dilakukan oleh komisi lisensi dan pengembangan standar. d. Hasil Penilaian Verifikasi Legalitas Kayu Hasil penilaian verifikasi legalitas kayu diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu “memenuhi” jika dokumen yang disyaratkan telah terpenuhi dan sesuai dengan penilaian lapangan oleh lembaga verifikasi dan “belum memenuhi” jika persyaratan dokumen dan penilaian lapangan tidak sesuai. e. Penilikan (surveillance) Untuk menjaga kredibilitas ketetapan verifikasi, lembaga verifikasi menyelenggarakan kegiatan penilikan terhadap unit manajemen yang telah memperoleh lisensi setiap tahun sekali. Kegiatan penilikan dilakukan oleh suatu tim penilai lapangan yang diketuai oleh personil setingkat kepala penilai lapangan. Penentuan anggota tim dan standar pelaksanaan penilikan akan diatur oleh lembaga verifikasi yang mengacu pada pedoman penilikan (serveillance) yang ditetapkan. Laporan hasil penilikan oleh lembaga
verifikasi disampaikan kepada badan pelaksana untuk diumumkan secara terbuka sesuai dengan sistem mutu lembaga verifikasi yang bersangkutan. f. Pengajuan kembali verifikasi bagi unit manajemen/UUK yang belum memenuhi. Pengaturan pengajuan lisensi bagu unit manajemen/unit usaha kehutanan yang pernah dinyatakan belum memenuhi dalam proses verifikasi adalah sebagai berikut : 1) Bagi yang tidak memenuhi persyaratan dalam proses hasil verifikasi, penilaian dilakukan dari tahapan pra penilaian. 2) Bagi yang tidak memenuhi dalam tahapan evaluasi, proses penilaian tidak melalui proses penapisan kembali, dengan syarat proses pengajuan verifikasi kedua tidak lebih dari 6 (enam) bulan. 5. Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) dan Laporan Mutasi Kayu olahan (LMKO) Bagi industri primer diwajibkan untuk memiliki izin usaha industri primer hasil hutan (IUIPHHK), selain itu perusahaan juga diwajibkan untuk menyusun Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) dan Laporan Mutasi Kayu Olahan (LMKO) yang kemudian diserahkan kepada dinas kabupaten, dinas provinsi, dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi. Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan,