BAB II Landasan Teori 2. 1 Konsep Identitas Dalam pemahaman orang banyak, etnisitas tidak pernah baru. Seperti halnya gen dan dewa-dewa, etnisitas itu ada di segala jaman. Dan pluralisasi atas istilahnya menunjukkan adanya keberagaman dalam satu domain yang di dalamnya relasi memang bersifat relatif : karakter dan tradisi memang merupakan nasib. Identitas-identitas etnis tidak beku karena pewarisan. Sebaliknya di dalam sebuah konteks suksesif yang berbeda-beda, identitasidentitas tersebut membentuk ulang sebuah diaspora populasi manusia menjadi sebuah kondisi yang membuat sejarah kultural manusia menjadi benar-benar berubah. Definisi tentang etnisitas (Hall. 1989: 441) dengan hati-hati menyaring konsep itu untuk menghilangkan
jejak
kemurnian
genetis
yang
literal
maupun
yang
metaforis.
Multikulturalisme mengabsolutkan etnisitas itu sebagai personalistas kultural yang tidak bisa berubah. Etnisitas adalah „apa yang mengakui tempat yang dimiliki oleh sejarah bahasa, dan budaya di dalam konstruksi yang menghasilkan subjektifitas dan identitas. (Francis Mulhern. 2010:153). Identitas merupakan sumber makna (pemaknaan) dan pengalaman orang. Proses pengkonstruksian makna tersebut didasarkan atas sebuah atribut kultural, atau terkait dengan seperangkat atribut kultural, dimana di prioritaskan di atas sumber-sumber pemaknaan yang lain. Ini yang menyebabkan identitas bersifat majemuk / jamak (plurality of identites), karena identitas sebagai sumber pemaknaan dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan bagi seorang individu, atau sebuah kumpulan aktor (collective actor). (Manuel Castells 2000:93) Castells berpendapat bahwa semua identitas adalah terkonstruksi (dikonstruksikan, dibentuk). Bahan-bahan atau material pengkonstruksian tersebut adalah berasal dari sejarah, letak geografis, biologis, institusi-institusi produktif, collective memory dan fantasi personal serta kekuasaan dari aparatur-aparatur dan syariah keagamaan (kitab). Castells merumuskan bangunan identitas berdasarkan bentuk dan asal-usulnya menjadi tiga, yaitu: 1. legitimizing identity – identitas yang sahih atau otoritas (authority) dan dominasi.
2. Resistance identity – identitas perlawanan sebagai bentuk perlawanan atas dominasi, contohnya politik identitas. 3. Project identity – identitas proyek seperti feminisme – ketika aktor-aktor sosial dengan sumber daya kulturalnya membangun sebuah identitas baru untuk mendapatkan kembali posisinya di masyarakat. Menurut Jenkins (2008), semua identitas manusia merupakan identitas sosial (social identity). Secara sederhana Jenkins mengambil definisi identitas (“identity”) dari The Oxford English Dictionary, dimana bahasa Latin yang menjadi akar dari “identity” adalah “identitas” (sama seperti bahasa Indonesia: Identitas), yang terdiri dari idem, yang berarti “sama” atau “kesamaan” (the same), dan dua makna dasar: (1) the sameness of object, as in A1 is identical to A2 but not to B1; (2) the consitency or continuity over time that is the basis of establishing and grasping the definiteness and distiveness of something. Melalui persamaan dan perbedaan ini, Jenkins mengkonstruksikan Identitas “Sosial”nya. Seperti yang diutarakan Jenkins dalam buku “Social Identity” (2008: 17) “First, if my argument is correct, all human identities are, by definition , social identities. identifying ourself or others is a matter of meaning, and meaning always involves interaction: agreement and disagreement convention and innovation, communication and negotiation. to add "social" in this context is somewhat redundant. second, I have argued that elsewhere that to distinguish analytically between the "social" and the "cultural" misrepresents the observable realities of the human world. sticking with the plain 'identty' prevents me from being seen to do so.” 2.2. Konsep Branding / Merek Sebuah merek dapat dikatakan sukses apabila merek tersebut dapat menjadi penghambat bagi pesaing yang ingin memperkenalkan merek yang sejenis. Merek memiliki peran strategis dengan menjadi pembeda antara produk yang ditawarkan dengan merek pesaingnya. Merek adalah sebuah janji kepada konsumen bahwa hanya dengan menyebut namaya, timbul harapan bahwa merek tersebut akan memberikan kualitas yang terbaik, kenyamanan, status, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan konsumen ketika melakukan pembelian. (Terence, 2000: 8)
2. 3. City Branding Dalam dunia bisnis, Brand atau merk sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Oleh karena itu banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat mempromosikan brand-nya ke masyarakat luas. Dengan kata lain agar brand-nya dapat menjadi Brand Equity. Kotler dan Armstrong (2004, 292), “Brand equity is the positive differential effect that knowing the brand name has on customer response to the product or service”. Artinya ekuitas merek adalah efek diferensiasi yang positif yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa. Jadi brand equity adalah kekuatan suatu brand yang dapat menambah atau mengurangi nilai dari brand itu sendiri yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa yang dijual. Di sektor publik, diakui atau tidak, dengan penerapan otonomi daerah dan semakin nyata serta meluasnya trend globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berebut satu sama lain dalam hal: -
Perhatian (attention)
-
Pengaruh (influence)
-
Pasar (market)
-
Tujuan Bisnis & Investasi (business & investment destination)
-
Turis (tourist)
-
Tempat tinggal penduduk (residents)
-
Orang-orang berbakat (talents), dan
-
Pelaksanaan kegiatan (events) Oleh karena itu sebuah daerah membutuhkan Brand yang kuat. Secara definisi, City
Brand adalah indentitas, symbol, logo, atau merk yang melekat pada suatu daerah. Sebuah pemda harus membangun Brand (brand building) untuk daerahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target daerah tersebut. 1
1
Diunduh
27/12/2011;15.25)
dari
http://www.otonomidaerah.net/2009/10/city-branding-untuk-pemda-perlukah.html
Banyak keuntungan yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan City Branding, antara lain: 1. Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik 2. Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (specific purposes) 3. Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events) 4. Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang tinggi 2. 4. Langkah-Langkah membuat City Brand yang kuat Brand atau merk yang legendaris dan mampu bertahun puluhan bahkan ratusan tahun, tidak muncul begitu saja. Tetapi mereka melakukan langkah-langkah yang terencana, jelas, dan berbeda dengan para pesaingnya. Demikian juga agar mempunyai Brand yang kuat, sebuah daerah harus memiliki karakteristik khusus yang bisa dijelaskan dan diidentifikasikan. Misalnya tampak fisik kota, pengalaman orang terhadap daerah tersebut, dan penduduk seperti apa yang tinggal di daerah tersebut. Langkah-langkah utama dalam membangun City Branding yang kuat adalah sebagai berikut: 1. Mapping Survey; meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah itu. 2. Competitive Analysis; melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun mikro daerah itu sendiri. 3. Blueprint; penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik logo, semboyan, tag line, dan lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi komunikasinya. 4. Implementation; pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya.
Beberapa contoh kota di dunia yang dianggap memiliki City Brand yang kuat adalah New York, Paris, dan San Francisco. Mengapa kota-kota tersebut dianggap memiliki City Brand yang kuat? Karena kota-kota itu memiliki kualifikasi yang harus dimiliki oleh suatu brand yang kuat, yaitu mempunyai sejarah, kualitas tempat, gaya hidup, budaya, dan keragaman yang menarik dan bisa dipasarkan. Kesimpulannya, pemda-pemda di Indonesia, baik level provinsi, kabupaten, atau kota perlu melakukan City Branding, agar daerahnya bisa makin dikenal, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya makin meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh Peter Spearrit dalam bukunya Marketing Cities: Icons, Brands, and Slogans. (2002) “When branding a city, the personality of the people who live there needs to be an essential part of the brand, and if people are promoting the city from within, the word-of-mouth advertisement finds its way to potential customers.” 2. 5. Branding Kota melalui Budaya Pembentukan merek melalui budaya adalah hasil dari gabungan antara tiga trend yang berbeda. Yang pertama adalah manajemen tempat. Karena bagaimana cara sebuah kota dikelola sangat memiliki dampak yang signifikan terhadap sektor komersial. Tujuan utama dari pembentukan merek adalah suatu usaha umum yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan teoritis dan praktis yang telah terakumulasi menjadi sebuah pengetahuan. Yang terpenting dalam sebuah pembentukan merek sebuah kota adalah dua elemen yang menghubungkan budaya. Yang kedua adalah pentingnya citra kota untuk branding kota dan kekuatannya untuk mempengaruhi bahkan membentuk sebuah kota itu sendiri yang kedua adalah ketergantungan antara branding kota pada sebuah identitas dari kota itu sendiri. (Mihalis, Kavaratzis. Journal of Branding the City through Culture and Entertainment. 2011 : 3) . Kavaratzis mengatakan dalam tulisannya di Journal of Branding the City through Culture and Entertainment (2011: 3) “It involves the creation of a recognisable place identity and the subsequent use of that identity to further other desirable processes, whether financial investment, changes in user behaviour or generating political capital. It is clear that this is more than the creation and promotion of place
images as part of place management, forwarding a wider approach and better understanding of the application of branding in places.”
2. 6 Konsep kebudayaan 1 . Ko n se p ke bu da ya a n me nur ut Ko e nt jar a ningr at Definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Melihat dari definisi ini, kita dapat melihat konsep kebudayaanyang diberikan Koentjaraningrat yaitu sebagai berikut a. Sistem Gagasan – dari pikiran b. sistem tindakan – perilaku
milik bersama dari hasil belajar
c. hasil karya – benda mati Kebudayaan merupakan sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antar manusia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Kebudayaan sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu mendasari pandangan kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran atau perilaku yang harus diterima oleh sesama atau yang berkaitan dengan orang lain (Norhayati Ismail, 2001). Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang telah tertanam, yg merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (diasosialisasikan) tidak sekedar sebuah catatan ringkas tetapi dalam bentuk perilaku pembelajaran sosial (social learning). Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol – yang mereka terima tanpa sadar – yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan sari satu generasi ke generasi berikutnya (Alo Liliweri, 2007). Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. 2. Unsur-Unsur Kebudayaan Unsur-unsur Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia.
Ada beberapa pendapat
ahli yang
mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: 1. Sistem religi 2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial 3. Sistem pengetahuan 4. Kesenian 5. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi 6. Sistem peralatan hidup atau teknologi 7. Bahasa
2.7 Definisi Festival Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Festival merupakan
suku kata yang
berasal dari bahasa latin yaitu Festa atau dalam bahasa Indonesia adalah Pesta.
Pada
umumnya, Festival merupakan sebuah perayaan besar yang di lakukan dengan tujuan untuk memperingati sesuatu. 2.7.1 Jenis-jenis Festival - Festival fim: Merupakan sebuah perayaan yang dimana isinya menampilkan produksi film - film (biasanya film yang diproduksi selama setahun) - Festival musik: Biasanya serangkaian tindakan di tempat tertentu dan terinspirasi oleh tema pemersatu, seperti musik nasional, musik
modern atau
mempromosikan karya-karya komposer / yang 9 menonjol, dapat juga berupa bentuk kontes untuk penyanyi atau komposer. - Festival seni: Merupakan peristiwa besar di mana pertunjukan, pameran dan kompetisi seputar seni musik, teater, lukis dan kerajinan diadakan. - Festival budaya: Festival budaya merupakan pengekspresian pandangan tentang isu-isu budaya, sosial dan politik. Seringkali perdebatan perubahan pada fokus polarisasi antara para
pendukung perubahan dan yang ingin melestarikan
"tradisional" atau "lokal udaya modernisasi dan globalisasi. Dari jenis – jenis festival di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Festival Danau Poso termasuk dalam kategori Festival Seni dan Budaya. 2.8 Kerangka Pikir
Tabel 2.1